Anda di halaman 1dari 7

1. Apakah yang dimaksud dengan ultra petita!

Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan

seluruh Undang- Undang No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dapat di katakan

melanggar prinsip ultra petita !

Jawab :

Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak di tuntut atau

memutus melebihi apa yang diminta. Ketentuan Ultra Petita diatur dalam pasal 178 ayat

(2) dan (3) Het Herziene Indonensisch Reglement ( HIR ) serta padanannya daklam pasal

189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seseorang hakim memutus melebihi apa yang di

tuntut ( petitum ). Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan seluruh Undang- Undang

Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dapat di katakana melanggar prinsip

ultra petita adalah MK dalam memutuskan hal itu menggunakan pertimbangan hukum

menimbang pasal yang di uji merupakan dasar berlakunya pasal – pasal lain ( jantuing

Undang- Undang ). Ketentuan lain ( pasal bagian atau seluruh pasal UU ) yang

bersandarkan padanya akan di nyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Meskipun dalam permohonan penggugat tentang UU Ketenagalistrikan tidak diminta

gugatan yang lainnya, MK memutuskan menangguhkan UU tidak mempunyai kekuatan

mengikat sampai 3 tahun sejak putusan di ucapkan meskipun UU dinyatakan

inskonstitusional. Sementara itu pasal 58 UU MK menyatakan “ Undang- Undang yang

di uji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan

bahwa undang – undang tersebut bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan penafsiran a contrario maka seharusnya setelah

di nyatakan bertentangan, UU tidak memiliki kekuatan berlaku. MK dalam memutuskan

mengandung ultra petita di atas , beberapa putusannya menggunakan pertimbangan


hukum pokoknya yaitu : 1) UU yang diminta di uji merupakan jantung UU sehingga

seluruh pasal tidak dapat dilaksanakan (2) praktik ultra petita oleh MK Lazim di negara –

negara lain. ( 3) perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata ultra petita di ijinkan

(4) pengujian UU menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga ormes,

berbeda dengan hukum perdata ( privat ) (5)

kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita tidak berlaku mutlak(6)jika kepentingan

umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan ( petitum ) (7)

permohonan keadilan ( ex aequo et bono ) di anggap secara hukum di ajukan pula dan

mengabulkan hal yang tidak diminta.

2. Jelaskan siapa yang memiliki legal standing dalam Sengketa Kewenangan antar Lembaga

( SKLN ) ! Apakah pemerintah daerah merupakan subyek SKLN menurut UUD NRI

Tahun 1945!

Jawab :

Yang memiliki legal standing dalam sengketa kewenangan antar lembaga ( SKLN )

adalah Mahkamah Konstitusi yang di berikan kewenangannya oleh UUD 1945. Dalam

pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan “ Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar, memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan oleh Undang – Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Selain itu dalam pasal 10 ayat ( 1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang – undang tehadap Undang – Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di

berikan oleh Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

c. Memutus pembubaran partai politik, dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Pemerintah Daerah merupakan subyek dari Sengketa Kewenangan antar Lembaga

Negara menurut UUD NRI 1945.Objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara ,

akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi pemohon dan termohon dalam

persidangan MK. Kewenangan lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa

hanyalah menyangkut yang kewenangan yang di berikan oleh UUD 1945 kepada

lembaga tertentu. Oleh karenanya tidaklah semua lembaga negara , yang memenuhi

criteria sebagai organ, badan atau lembaga negara yang menjalankan fungsi

penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersengketa dengan lembaga negara lain

dapat dengan sendirinya menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga antar

negara. Berdasarkan keputusan MK dalam perkara nomor / PUU-IV/2006 yang kemudian

diadopsi sebagai syarat legal standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 08/PMK/2006, di tetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :

1. Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan

konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, di abaikan dan/atau di

rugikan oleh lembaga negara lain.


2. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang

di persengketakan.

3. Termohon adalah lembaga negara yang di anggap telah mengambil,

mengurangi, menghalangi, mengabaikan dan/ atau merugikan pemohon.

3.Jelaskan perbedaan antara pemakzulan dengan impeachment! Uraikan sejarah ketatanegaraan

Indonesia di mana pernah terjadi Presiden yang di berhentikan dalam masa jabatan !

Jawab :

Istilah pemakzulan merupakan derivative dari kata makzul yang berasal dari bahasa Arab

dari akar kata Azalan yang memiliki dua arti yaitub 1) mengasingkan, menyisihkan

memisahkan, memencilkan, menyendiri dan 2) memecat , pemberhwntian, penarikan kembali,

memecat dari jabatan. Dalam kamus KBBI dari sisi bahasa pemakzulan berarti berhenti

memegang jabatan, turun tahta, memakzulkan berarti menurunkan dari tahta , memberhentikan

dari jabatan, sedangkan Impeachment merupakan istilah bahasa Inggris yang berarti

pendakwaan, tuduhan atau panggilan untuk bertanggung jawab. Impeach sendiri berasal dari

bahasa latin, akar kata impedicare artinya menjerat dan pedica artinya jerat atau perangkap.

Dalam kehidupan ketatanegaraan RI sebelum perubahan UUD 1945, MPR dapat

memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya. Aturan yang spesifik tentang

prosedur pemberhentian seorang Presiden di jabarkan dalam ketentuan dua TAP MPR. Pertama

tertuang dalam ketentuan Pasal 4 Tap MPR No II/ MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan

tata kerja lembaga tertinggi dengan/ atau antar lembaga-lembaga tinggi negara, mengatur bahwa

MPR memiliki kekuasaan memberhentika Presiden dari jabatannya sebelum berakhir masa

jabatannya, jika yang bersangkutan telah melanggar haluan negara. Pengaturan tentang hanya
Presiden dan Wakilm Presiden dapat di berhentikan dalam masa jabatannya yang terdapat dalam

pasal 7A perubahan ketiga UUD 1945. Selanjutnya dalam perubahan ketiga UUD 1945 pasal 24

C ayat (2) menyatakan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai

dugaan pelanggaran Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut Undang- Undang Dasar. Di

dalam sejarah ketatanegaraan pernah terjadi kejadian Presiden yang di makzulkan antara lain

yaitu Pemberhentian Presiden Soekarno dimana pada saat itu dengan aklamasi , DPRGR ( DPR

Gotong Royong ) mengesahkan usul sejumlah anggota DPR yang di sebut resolusi Nurdin Lubis

dkk. Inti resolusi yang di hasilkan adalah DPRGR mendesak pimpinan MPRS memanggil siding

luar biasa untuk memecahkan persoalan Bung Karno. Resolusi tersebut juga melampirkan

memorandum kepada instansi yang berwenang untuk mengadili Bung Karno yang di duga terkait

dengan gerakan 30 September, secara konrtitusional DPRGR telah membuka jalan untuk

memberhentikan Soekarno. Akhirnya Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan

Kekuasaan pada 20 Februari 1967. MPRS kemudian mencabut mandate SOekarno , mencabut

gelar Pemimpin Besar Revolusi serta mengesahkan Soeharto sebagai pengantinya. Yang kedua

adalah pemberhrntian Presiden Abdurahman Wahid , yaitu Abdurahman Wahid dinilai

controversial karena membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, kemudian

seringnya resufle cabinet,seringnya melakukan lawatan kenegaraan, hingga sandungan dana

bulog dan bantuan Sultan Brunei Darusallam. Di mana pada tahun2001 Presiden Abdurahman

Wahid di berhentikan oleh MPR , yang pada waktu itu merupakan lembaga pemberi mandate

yang memegang kendali ketatanegaraan.

4.Uraikan mengenai perubahan sistem pemilu pasca reformasi berkaitan dengan lembaga mana

yang memiliki kapasitas untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada !


Jawab :

Pasca reformasi 1998 Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar dalam sistem

politiknya. Salah satu aspek penting yang menjadi sasaranutama perubahan adalah perubahan

sistem pemerintahan yang di kelola secara sentralistik. Gagasan sistem sentralistik dalam

pemerintahan Soeharto selama 32 tahun menutup akses demokrasi nbagi rakyat , sehinnga

kejatuhan Presiden SOeharto di sambut gembira oleh semua kalangan masyarakat Indonesia.

Pada saat itu sistem pemerintahan Indonesia berganti dari otoriter menuju era reformasi yang di

cirikan dengan liberalisasi politik dan ekonomi. Setelah Soeharto turun pengaktifan hak – hak

rakyat terlihat dari adanya suatu partisipasi politik yang tinggi dari rakyat, jumlah partai polituik

peserta pemilun1999 pun mengalami lonjakan.

Lembaga yang memiliki kapasitas untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada

adalah Mahkamah Konstitusi. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menangani sengketa hasil

Pemilukada ini diatur dalam pasal 29 ayat (1) huruf e Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan oleh

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945

c. Memutus pembubaran partai politik

d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Ketentuan ini kemudian di pertegas dalam pasal 157 ayat (1) , (2), dan (3) Undang – Undang

Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi :


(1) Perkara perselisihan hasil pemilihan di periksa dan di adili oleh badan peradilan

khusus

(2) Badan peradilan khusus sebagaimana di maksud dalam ayat (1) di bentuk sebelum

pelaksanaan pemilihan serentak nasional

(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan di periksa

dan di adili oleh Mahkamah Konstitusi sampai di bentuknya badan peradilan khusus

Anda mungkin juga menyukai