ABSTRACT
This study aims to explore the dynamics of the emotional resilience of parents to
children with autism. A qualitative approach using phenomenological theory. The
data was collected by means of interviews, observations and relevant documents.
Respondents were parents of children with autism who were in the environment
where the researchers lived. The results showed that when the emotions arose, these
autistic children were unable to control them, but the emotional dynamics that
occurred in autistic children were actually influenced mainly by situational factors.
Resilience is one of the factors that helps parents of autistic children in carrying out
their parenting roles optimally. The formation of parental resilience is also greatly
influenced by internal and external factors. After the process of adaptation and
meaning, their cognitive and affective states begin to change. So that they see
problems more positively, and are able to accept and think broadly about the
problems they face, so they are motivated to find solutions and help manage their
children's emotions.
Keywords : frequency dynamics; emotional; autism.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika resiliensi orang tua terhadap
emosional anak autis. Pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori
fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan
dokumen yang relevan.. Responden adalah orang tua penyandang anak autis yang
berada di lingkungan rumah tempat tinggal peneliti. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ketika emosi itu bangkit anak-anak autistik ini tidak mampu mengontrolnya,
namun dinamika emosi yang terjadi pada anak autistik sesungguhnya dipengaruhi
terutama oleh faktor situasional. Resiliensi menjadi salah satu faktor yang
membantu orangtua anak autis dalam menjalankan peran pengasuhan secara
optimal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran resiliensi ibu dengan
anak autism. Pembentukan resiliensi orang tua juga sangat dipengaruhi oleh faktor
Diterima: Bulan Tahun. Disetujui: Bulan Tahun. Dipublikasikan: Bulan Tahun 1
Nama penulis depan dan tengah inisial, nama belakang lengkap ( Garamond 8 rata kiri)
internal dan eksternal. Setelah proses adaptasi dan pemaknaan, kondisi kognitif dan
afektif mereka mulai berubah. Sehingga mereka memandang masalah dengan lebih
positif, dan mampu menerima dan berpikiran luas tentang masalah yang mereka
hadapi, sehingga termotivasi untuk mencari solusi dan membantu mengelola emosi
anaknya.
Kata kunci : Dinamika Resiliensi; Emosi; Autisme.
PENDAHULUAN
Dalam suatu keluarga, kehadiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu
dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami istri. Bukan saja mempererat tali
cinta antara pasangan suami istri, tetapi juga kehadirannya sebagai generasi penerus
yang sangat diharapkan oleh keluarga tersebut. Setiap orangtua pasti sangat
menginginkan anaknya berkembang sempurna. Namun demikian sejak usia dini
sering terjadi keadaan dimana anak memperlihatkan masalah dalam tumbuh
kembangnya. Salah satu contoh masalah yang dapat terjadi adalah autisme.
Autisme didefinisikan sebagai suatu gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai
tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Anak penyandang autis mempunyai masalah
gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola
bermain, perilaku dan emosi [ CITATION Sur04 \l 1033 ]. Semua individu
merasakan emosi dalam hidupnya. Emosi merupakan reaksi dari individu
terhadap individu lain, objek maupun situasi di sekitarnya. Pengungkapan emosi
muncul dalam berbagai bentuk, seperti ekspresi wajah, cara perilaku, maupun
ucapan secara verbal. Individu normal pada umumnya mampu
mengontrol emosi yang muncul dalam dirinya, karena tidak memiliki kelainan
dalam struktur otak yang mengatur emosi. Anak autistik dilahirkan dengan
keadaan yang “kurang” dari individu normal. Bauman dan Courchense (dalam
Cristina M, 2009) menemukan kelainan Susunan Saraf Pusat (SSP) pada
beberapa tempat dari anak autistik. Salah satu kelainan itu adalah pengecilan
Cerebellum (otak kecil) terutama Lobus VI-VII. Lobus VI-VII berisi sel-sel
Purkinje, yang memproduksi neurotransmiter cerotonin. Pada anak autisme, jumlah
sel purkinje sangat kurang, akibatnya produksi serotonin berkurang yang
menyebabkan penyaluran rangsang/informasi antar sel otak terganggu. Bentuk
kelainan lainnya adalah kelainan pada struktur pusat emosi dalam otak(sistem
limbik), yang bisa menerangkan kenapa emosi anak autis sering terganggu.
Penderita Autisme mengalami kelambanan dalam aspek kemampuan,
perkembangan fisik dan psikisnya pun tidak berkembangan secara normal. Mereka
mempunyai potensi untuk dikembangkan, potensi tersebut akan dapat
dikembangkan semaksimal mungkin apabila mendapat pengaruh-pengaruh atau
bimbingan dari dukungan orang tua. Penyakit Autis atau sindrome autisme sering
menjadi perbincangan hangat dikalangan orang tua dan pakar kesehatan anak.
Kurangnya informasi yang memadai tentang penyakit ini sering membuat orang tua
dicekam rasa takut dan khawatir, terutama jika melihat pertumbuhan anaknya
dinilai memiliki emosi yang tidak stabil dan tingkah laku aneh.
Penerimaan orangtua sangat mempengaruhi perkembangan anak
autisme dikemudian hari. Sikap orangtua yang tidak dapat menerima
kenyataan bahwa anaknya memiliki gangguan autisme akan sangat buruk
dampaknya, karena hal tersebut hanya akan membuat anak autisme merasa
tidak dimengerti dan tidak diterima apa adanya serta dapat menimbulkan
penolakan dari anak (resentment) dan lalu termanisfestasi dalam bentuk
perilaku yang tidak diinginkan [ CITATION Mar03 \l 1033 ]. Bagaimanapun
anak dengan gangguan autisme tetaplah seorang anak yang membutuhkan
kasih sayang, perhatian dan cinta dari orangtua, saudara dan keluarganya
[ CITATION Saf05 \l 1033 ] serta bimbingan dari lingkungan dan
orangtuanya untuk tumbuh dan berkembang agar dapat hidup dengan mandiri
[ CITATION Pam15 \l 1033 ]. Disabilitas yang dimiliki oleh anak dengan
gangguan autisme menuntut tanggung jawab orangtua dalam memberikan
pengasuhan dan penanganan yang tepat agar dapat mengoptimalkan
kemampuan yang dimiliki anak.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2019 dalam suatu jurnal
tentang resiliensi ibu dengan anak autisme dapat dikatakan bahwa ibu dengan
anak autisme telah mencapai resiliensi diri yang ditandai dengan kemampuan
regulasi emosi, pengendalian keinginan, adanya keyakinan akan kemampuan
diri, kemampuan berempati, mampu mengambil makna dan hikmah dari
setiap permasalahan yang dialami. Untuk dapat mencapai resiliensi, orangtua
dengan anak autisme mengembangkan mekanisme penyesuaian diri dan
mekanisme koping. Mekanisme penyesuaian diri yang dikembangkan oleh
orangtua dengan anak autisme dibagi menjadi dua yaitu mekanisme
penyesuaian terhadap karakteristik anak dan mekanisme penyesuaian
terhadap respon lingkungan sekitar. Mekanisme koping yang dikembangkan
oleh ibu dengan anak autisme dibagi menjadi dua yaitu emotional focused
coping dan problem focused coping.
Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi xx(x) (xxxx) xx-xx 3
Nama penulis depan dan tengah inisial, nama belakang lengkap ( Garamond 8 rata kiri)
Orang tua yang memiliki anak autis memiliki pengalaman yang lebih
dengan level stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan tipe
gangguan yang lain (Pottie, dkk. 2008: 1). Berbagai gejolak emosi muncul
dalam diri orang tua bisa mengganggu kondisi fisiknya. Tingkat gangguan ini
berkaitan dengan sejauhmana orang tua memiliki resiliensi terhadap cobaan
yang sedang dihadapinya. Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung
begitu intens dan cepat, maka seseorang perlu mengembangkan kemampuan
dirinya sedemikian rupa untuk mampu melewati itu semua secara efektif.
Untuk mampu menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka kebutuhan
akan kemampuan untuk menjadi resilien sungguh menjadi makin tinggi.Atas
dasar pemikiran di atas, penelitian mengungkap dinamika resiliensi orang tua
terhadap emosi anak dengan gangguan autisme.
Penelitian ini berusaha memberikan gambaran mengenai proses resiliensi
orang tua terhadap emosi anak autis, oleh karena itu penggunaan pendekatan
kualitatif merupakan pendekatan yang dapat mengakomodasi tujuan tersebut.
Pendekatan kualitatif membantu memahami suatu proses, meneliti latar belakang
fenomena, dan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan responden yang diteliti pada
situasi yang alami.
Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, catatan
lapangan dan dokumen-dokumen pribadi. Wawancara dilakukan kepada orang tua
anak autis mengenai kondisi psikologisnya terutama dari aspek emosionalnya dari
mulai pertama melihat tanda-tanda kelainan pada anaknya, diagnosis dokter sampai
pada bagaimana proses coping dan pemecahan masalah atas kondisi yang dialalmi.
Selain itu juga melalui proses wawancara akan diungkap juga sejauh mana proses
resiliensi yang dijalani oleh partisipan.
Metode observasi dan catatan lapangan juga dilakukan oleh peneliti guna
melihat secara langsung bagimana kondisi fisik partisipan serta kondisi dan
perilaku anak yang mengalami autis. Selain itu melalui teknik observasi ini akan
dilihat bagaimana seting lingkungan di mana orang tua anak autis ini tinggal,
bagaimana cara mereka berinteraksi dengan orang lain dan menjalani kehidupan
sehari-harinya. Catatan dibuat sehubungan dengan hal-hal unik yang terjadi di
lapangan sewaktu proses pengambilan data.
Penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis),
yakni suatu teknik analisis riset dalam rangka untuk membuat inferensi-inferensi
yang repicable, valid dan sahih dengan memperhatikan konteksnya (Muhajir, 1989)
Sementara untuk mengadakan analisis dan penyelidikan lebih mendalam terhadap
4 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi xx(x) (xxxx) xx-xx
Judul artikel jurnal (Garamond 8 rata kanan)
dinamika resiliensi orang tua terhadap emosi anak autis akan menggunakan metode
deskriptif analitis, yaitu upaya mengkaji secara analitis dengan pemahaman yang
tepat sehingga akan diperoleh deskripsi yang obyektif dan sistematis.
Faktor tersebut dibagi menjadi dua bentuk, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal pertama adalah religiusitas. Kehadiran anak dengan
autisme membuat responden semakin mendekatkan diri dengan Tuhan,
berpasrah pada kehendak Tuhan, dan meminta petunjuk kepada Tuhan dalam
menyelesaikan setiap permasalahan. Religiusitas juga muncul sebagai
landasan utama individu menemukan ketenangan diri dan batin, hal ini dapat
memunculkan suatu bentuk ketahanan diri (resiliensi) dalam diri individu,
ditengah krisis yang dialaminya [ CITATION Ayu12 \l 1033 ]. Faktor
internal yang kedua adalah kemampuan diri untuk mengekspresikan pikiran
dan perasaan, yaitu dengan bercerita mengenai apa yang dialami dan yang
dirasakan oleh responden selama mengasuh anak dengan autisme.
Kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaan termasuk salah satu
kemampuan sosial yang dapat menjadi faktor pelindung untuk mengurangi
risiko dari krisis-krisis yang dialami oleh ibu dengan anak autisme
[ CITATION Rob12 \l 1033 ]. Faktor internal yang terakhir adalah harapan.
Harapan memiliki makna sebagai penggerak, sebagai katalis antara individu
dengan tujuan yang ingin diraih, dapat menguatkan individu dalam
menghadapi kesedihan dan stres selama pengasuhan anak autisme, sehingga
individu dapat melalui berbagai situasi sulit yang dialami [ CITATION
Mon10 \l 1033 ].
Sedangkan Faktor eksternal pertama adalan dukungan sosial. Dukungan
sosial yang diperoleh responden berasal dari keluarga, sesama orangtua
dengan anak autisme, lingkungan sekitar, dan juga terapis. Dukungan sosial
yang diperoleh dari berbagai sumber dapat membantu responden untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi dan menjadi individu yang resilien.
Individu yang memeroleh dukungan sosial pada umumnya cenderung mampu
beresiliensi dalam menghadapi kesulitan [ CITATION Rob12 \l 1033 ].
Faktor eksternal kedua yaitu perkembangan kondisi anak. Semakin baik
perkembangan anak, maka orangtua akan semakin menunjukkan penerimaan
yang semakin baik terhadap kondisi anak [ CITATION Ast14 \l 1033 ].
Faktor eksternal ketiga adalah pengalaman orang lain. Pengalaman orang lain
menjadi salah satu faktor yang memengaruhi tindakan orangtua untuk
menjadi resilien. Responden tidak merasa sendiri ketika mengetahui ada
orangtua lain yang juga memiliki anak autis dan membuat responden lebih
termotivasi dalam memberikan penanganan yang optimal bagi perkembangan
anak.
8 Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi xx(x) (xxxx) xx-xx
Judul artikel jurnal (Garamond 8 rata kanan)
responden telah mencapai resiliensi diri yang positif yang ditandai dengan
kemampuan regulasi emosi, pengendalian keinginan, keyakinan akan
kemampuan diri, kemampuan berempati, dan pengambilan hikmah.
PENUTUP
Hasil penelitian dapat dikatakan bahwa orangtua dengan anak autisme
telah mencapai resiliensi diri ditandai dengan kemampuan regulasi emosi,
pengendalian keinginan, kemampuan berempati, mampu mengambil makna
dan hikmah dari setiap permasalahan yang dialami dan adanya keyakinan
akan kemampuan diri.
Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan oleh peneliti antara lain
yang pertama Orangtua yang memiliki anak autis, orangtua diharapkan lebih
peka dan aktif dalam mengikuti perkembangan anak sejak lahir. Langkah
awal ketika pertama kali mengetahui bahwa anak autis, orangtua diharapkan
segera mencari informasi untuk konsultasi dengan dokter atau psikolog untuk
penanganan lebih lanjut.Dan mengembangkan mekanisme penyesuaian diri
terhadap karakteristik anak dengan menjalin kedekatan dengan anak,
memperkaya diri dengan pengetahuan dan keterampilan, dan terlibat secara
penuh dalam proses pendidikan anak. Hal ini bertujuan agar orangtua dapat
mengetahui kondisi perkembangan anak dan apa yang dibutuhkan oleh anak
autisme, serta dapat meningkatkan penerimaan diri sepenuhnya terhadap
kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki oleh anak yang dapat
menciptakan hubungan interpersonal yang positif antara ibu dan anak dengan
autisme. Orangtua terutama ibu dengan anak autisme juga diharapkan dapat
mengembangkan strategi koping atau penyelesaian masalah secara adaptif
dengan cara bersikap terbuka terhadap segala informasi melalui sharing
dengan sesama orangtua yang memiliki anak dengan autisme maupun tenaga
pendidik atau terapis yang menangani anak dan menumbuhkan harapan serta
keyakinan di dalam diri bahwa anak mampu berubah ke arah yang lebih baik.
Kemudian orangtua diharapkan lebih sabar dan selalu berpikir positif bahwa
anak adalah anugerah dari Allah SWT yang harus selalu kita sayangi apapun
keadaanya. Dan diharapkan tetangga dan teman- temannya mampu
mendampingi dengan rasa kasih sayang dan penuh perhatian sehingga dapat
membantu memberikan dorongan semangat kepada orangtua untuk terus
berusaha sebaik mungkin dalam mendidik dan mengasuh anak autis.
DAFTAR PUSTAKA
Anjari, N., dan Asyanti, S. (2016). Dinamika Resiliensi Pada Orangtua Yang
Memiliki Anak Autis Berprestasi. Jurnal Psikologi 20(1):1–8.
Asrizal. (2016). Penanganan Anak Autis dalam Interaksi Sosial. Jurnal PKS
15(1):1–8.
Astutik, S. (2014). Penerimaan orangtua terhadap anak berkebutuhan khusus.
Skripsi. Program Studi Psikologi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Ayu, R. A. (2012). Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang
Memiliki Anak Retardasi Mental. Skripsi. Program Studi Psikologi,
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.
Dewi, C. P. D. C, dan Widiasavitri. P. N. (2019). Resiliensi ibu dengan anak
autisme. Jurnal Psikologi Udayana 6(01):193.
Marijani, L. (2003). Penerimaan orangtua secara ikhlas terhadap anak
penyandang autis. diakses 17 Januari 2021, dari
http://puterakembara.org/leny.htm
Monsson, Y. (2010). The effects of hope on mental health and chronic