Anda di halaman 1dari 6

MANAJEMEN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN OBSTETRIK

ABSTRAK

Hasil: Kasus faktor risiko tertinggi untuk ada potensi gawat obstetri (APGO) adalah ibu bersalin
dengan umur 35 tahun atau lebih. Kasus faktor risiko untuk ada gawat obstetri (AGO) yang
terbanyak adalah serotinus. Kejadian faktor risiko terbanyak untuk ada gawat darurat obstetri
(AGDO) adalah preeklampsia berat/eklampsia. Kasus kehamilan risiko sangat tinggi (KRST)
merupakan kasus yang terbanyak pada ibu bersalin. Frekuensi rujukan terlambat lebih tinggi dari
pada rujukan terencana. Untuk mengurangi angka kejadian rujukan terlambat beberapa hal yang
harus diperhatikan yaitu pengetahuan petugas kesehatan mengenai sistem rujukan
kegawatdaruratan obstetri, sarana dan prasarana, standar operasional prosedur, surat pengantar
rujukan, penyerahan tanggung jawab dengan petugas kesehatan lain, pencatatan, pelaporan dan
evaluasi.

Kesimpulan: Manajemen kegawatdaruratan pada pasien obstetri yang baik dapat mengurangi
angka rujukan terlambat.

ABSTRAC

Result: The case for the highest risk factor for potential obstetrical distress is a woman who is 35
years or older. Most cases of risk factor for obstetrical distress are serotinus. The most common
risk factor incidence for an obstetric emergency department is severe preeclampsia / eclampsia.
Very high risk pregnancy cases are the most cases in mothers who give birth. The frequency of
late referrals is higher than planned referrals. To reduce the incidence of late referrals, several
things must be considered, the obstetric emergency referral system, facilities and infrastructure,
standard operating procedures, referral cover letters, transfer of responsibilities with other health
workers, recording, reporting and evaluation.

Conclusion: Good management of emergency obstetric patients can reduce late referral rates.
Hasil

Faktor risiko tertinggi untuk Ada Potensi Gawat Obstetri (APGO) adalah ibu bersalin dengan
umur 35 tahun atau lebih dan yang paling sedikit adalah kasus primi muda. Penelitian yang
dilakukan di 3 kabupaten yaitu Nganjuk, Probolinggo, dan Tranggalek didapatkan sebanyak 22%
memliliki faktor risiko dari seluruh sampel yang ada. Peneliti memisahkan secara khusus ibu
hamil yang hanya memiliki 1 faktor risiko, yaitu sebanyak 16,1% dimana kasus terbanyak adalah
usia ≥ 35 tahun yaitu 3,1% dan kasus yang paling sedikit adalah primi tua dengan 0,2 %.10
Penelitian yang dilakukan di RSUD Gambiran Kota Kediri mendapatkan kasus faktor risiko
umur ≥ 35 tahun juga merupakan faktor risiko terbanyak yaitu 52 kasus (29,2%) sedangkan
angka terkecil yaitu masing-masing sebanyak 3 kasus didapat pada 3 faktor risiko yaitu primi
muda, primi tua dan anak terkecil < 2 tahun.

Kasus Ada Gawat Obstetri (AGO) yang terbanyak adalah serotinus dan yang paling sedikit
adalah kasus hidramnion. Didapatkan bahwa kejadian faktor risiko tertinggi adalah letak
sungsang dan yang paling sedikit dengan masing 1 kasus adalah hidramnion dan letak lintang.
Penelitian lainnya mendapatkan kasus terbanyak faktor risiko AGO adalah penyakit ibu.

Kehamilan serotinus didefinisikan sebagai kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu
(294 hari) atau tanggal taksiran persalinan ditambah 14 hari.13 Pada banyak kasus, penyebab
dari kehamilan serotinus tidak diketahui. Beberapa faktor risiko kehamilan serotinus adalah
riwayat kehamilan serotinus sebelumnya, wanita yang hamil untuk pertama kali, umur ibu yang
lebih dari 30 tahun, dan obesitas, termasuk juga predisposisi genetik. Seorang wanita yang
dilahirkan dengan serotinus akan meningkatkan risiko sebanyak 49% untuk menjadi ibu hamil
dengan serotinus pula.

Kejadian faktor risiko terbanyak untuk Ada Gawat Darurat Obstetri (AGDO) pada penelitian ini
adalah preeklampsia berat/eklampsia. Hal ini sejalan dengan penelitian Laili et al (2007) yang
mendapatkan preeklampsia berat/ eklampsia sebagai jumlah tertinggi untuk AGDO yaitu
sebanyak 23 kasus (76,6%). Penelitian di RSUP DR. Kariadi Semarang tahun 2013 mendapatkan
juga proporsi kejadian preeklampsia berat/eklampsia yaitu 84 kasus (8,0%) lebih tinggi dari
perdarahan anterpartum yaitu 56 kasus (5,6%).
Risiko preeklampsia meningkat pada wanita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti wanita
dengan riwayat prekampsia sebelumnya, wanita dengan antibodi fosofolipid, penderita diabetes,
gameli, wanita yang hamil untuk pertama kalinya, riwayat keluarga preeklampsia, peningkatan
tekanan darah (diastolik ≥80 mmHg) pada kunjungan pertama ANC dan umur ibu ≥ 40 tahun.
Penelitian lain juga menyebutkan wanita dengan jarak kehamilan lebih dari 10 tahun atau primi
tua sekunder, penyakit autoimun, penyakit ginjal dan hipertensi kronis juga meningkatkan risiko
preeklampsia.

Rujukan terencana terbagi menjadi rujukan dini berencana dan rujukan tepat waktu. Dari tabel
dapat dilihat bahwa rujukan dini berencana dan rujukan tepat waktu masing-masing adalah 93
(35,7%) dan 21 (8%) kasus, maka total kasus rujukan terencana adalah gabungan kedua kedua
nilai diatas yaitu 114 kasus (43,7%). Frekuensi rujukan terlambat lebih tinggi yaitu 146 kasus
(56,1%).

Penyebab rujukan terlambat pada ibu hamil yang memiliki faktor risiko adalah karena ibu hamil
tersebut datang kebidan dengan kondisi usia kehamilan tua dan mendekati persalinan.
Berdasarkan hal tersebut, rujukan terlambat kemungkinan disebabkan karena kurangnya
kesadaran pasien tentang tanda bahaya pada kehamilan dan pengambilan keputusan
mendapatkan perawatan oleh tenaga kesehatan.

Ada empat faktor terlambat yang mempengaruhi kematian maternal. Faktor tersebut adalah
terlambat mendeteksi tanda bahaya, terlambat mengambil keputusan merujuk, terlambat sampai
di tempat rujukan, dan terlambat mendapatkan pertolongan di tempat rujukan.

Pengetahuan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric merupakan kasus yang harus segera
ditangani apabila terjadi keterlambatan akan berakibat pada kematian ibu dan janin (Wheaton,
Aws Al-Abdullah and Haertlein, 2019). Penyebab utama manisfestasi klinik kegawatdaruratan
obstetric berbeda-beda yaitu: (1) Perdarahan: bermanifestasi mulai perdarahan berwujud bercak,
mrembes, profus hingga syok; (2) Infeksi dan sepsis: bermanisfestasi dari pengeluaran cairan
pervaginam yang berbau, air ketuban berbabu, serta demam hingga syock; (3) Kasus hipertensi
serta preeklamsia/eklamsia: bermanifestasi mulai dari keluhan pusing, bengkak, penghelihatan
kabur, kejang-kejang hingga koma; (4) Kasus persalinan macet : manisfestasi berawal dari
kemajuan persalinan tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal sesuai partograf
serta resiko terjadinya rupture uteri (Wheaton, A. Al-Abdullah and Haertlein, 2019).

Sistem rujukan merupakan suatu sistem penyelenggaraan pelayanan dengan pelaksanaan


pelimpahan tanggung jawab timbal balik pada kasus penyakit atau masalah kegawatdaruratan
obstetric secara vertical dalam arti dalam unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang
berkemampuan lebih secara horizontal antar unit-unit yang setingkat kemampuannya.

Prosedur sistem rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric teridiri dari (1) Komunikasi antara
perujukdengan tempat yang dirujuk via telpon; (2) Persiapan rujukan yang memadai (identifikasi
data/bersalin/nifas ijin rujukan atau tindakan lain yang dilakukan, transportasi rujukan); (3)
Penerangan kepada keluarga pasien mengenai kasus yang diduga atau ditemukan; (4) Stabilisasi
keadaan pasien (pemberian O2, cairan infus, serta obat-obatan).

Kesediaan sarana dan prasarana mempermudah pelaksanaan rujukan yang dilakukan bidan
puskesmas. Permenkes 1464 serta buku kajian delima menyebutkan terdapat obat-obatan serta
obat-obatan yang wajib tersedia di fasilitas kesehatan diantaranya infus set, oksitosin, RL,
ergometrin, misoprostol serta sarana transportasi untuk melakukan penatalaksanaan serta
merujuk pasien kegawatdaruratan obstetric (Wheaton, Aws Al-Abdullah and Haertlein, 2019).

Standar Oprasional Prosedur (SOP) dalam melakukan penanganan serta rujukan terhadap pasien
kegawatdaruratan obstetric sebagai acuan dalam melakukan rujukan menyesuaikan dengan kasus
yang ditangani sesuai dengan protap yang ada.

Surat pengantar rujukan juga harus diperhatikan, sesuai dengan permenkes 001 tahun 2012
mengenai system rujukan pelayanan kesehatan perorangan pasal 12 menyebutkan bahwa perujuk
sebelum melakukan rujukan harus membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada
penerima rujukan yang berisi identitas pasien, hasil pemeriksaan, diagnosis dan terapi atau
tindakan yang telah diberikan.

Penyerahan tanggung jawab juga harus sesuai dengan permenkes nomor 001 tahun 2012
mengenai system rujukan pelayanan kesehatan perorangan pasal 12 (1) dan (2) menyebutkan
bahwa rujukan dianggap telah terjadi apabila pasien telah diterima oleh penerima rujukan.
Penerima rujukan bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan kesehatan lanjutan sejak
menerima rujukan.

Untuk pencatatan berdasarkan hasil studi dokumentasi yang telah dilkukan oleh peneliti
diperoleh hasil bahwa dokumen berupa informed consent, buku register ibu, rekamedis pasien,
Surat pengantar rujukan serta partograf. Berdasarkan studi dokumentasi juga diperoleh informasi
semua dokumen tersebut telah terisi dengan rapi serta baik. Data pribadi pasien, tindakan yang
diberikan serta obat yang sudah diberikan kepada pasien yang ada didalamnya juga terisi jelas
dan lengkap.

Pelaporan sesuai dengan permenkes nomor 1464 tahun 2010 izindan penyelenggaran praktik
bidan pasal 18 (h) 20 (2) menyatakan bahwa dalam melakukan praktik atau kerja bidan
berkewajiban melukukan pencatatan serta pelaporan kelahiran serta kematian

Dan terakhir yaitu evaluasi yang mengacu pada pedoman system rujukan nasional menyebutkan
bahwa evaluasi internal perlu dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan, dan
memperbaiki ketaatan pelaksanaan rujukan oleh fasilitas kesehatan, memperbaiki serta
mengevaluasi sarana serta SDM dipelayanan kesehatan.

Kesimpulan

Kasus faktor risiko tertinggi untuk ada potensi gawat obstetri (APGO) adalah ibu bersalin
dengan umur 35 tahun atau lebih. Kasus faktor risiko untuk ada gawat obstetri (AGO) yang
terbanyak adalah serotinus. Kejadian faktor risiko terbanyak untuk ada gawat darurat obstetri
(AGDO) adalah preeklampsia berat/eklampsia. Frekuensi rujukan terlambat lebih tinggi dari
pada rujukan terencana. Penyebab rujukan terlambat karena kurangnya kesadaran pasien tentang
tanda bahaya pada kehamilan dan pengambilan keputusan mendapatkan perawatan oleh tenaga
kesehatan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi keterlambatan rujukan yaitu dengan
memperhatikan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri, seperti pengetahuan petugas
kesehatan mengenai sistem rujukan kegawatdaruratan obstetri, sarana dan prasarana, standar
operasional prosedur, surat pengantar rujukan, penyerahan tanggung jawab dengan petugas
kesehatan lain, pencatatan, pelaporan dan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai