LOKAL
PT. SUMALINDO LESTARI JAYA II
(SUMBER DATA : BUKU LAPORAN INDENTIFIKASI NKT PT. SLJ II TH. 2018)
A. Zonasi Khusus
1. Rumah Adat atau Lamin (Rumah Panjang)
Rumah Lamin merupakan rumah adat yang menjadi identitas masyarakat Dayak. Mulai tahun
2007, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah meresmikan
Rumah Lamin sebagai bagian dari nilai sosial budaya masyarakat yang perlu dilestarikan dan
dikembangkan (sumber: http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/2007/09/24/peraturan-
mendagri-no-52- tahun-2007; http://samarinda.bpk.go.id/wp-content/uploads/2016/01/PERDA-
NOMOR-8-TAHUN- 2015-TENTANG-BANGUNAN-GEDUNG.pdf). Rumah Lamin juga dikenal
sebagai rumah panggung yang panjang dan sambung menyambung, serta ditinggali beberapa
keluarga. Desa/Kampung di sekitar SLJ II yang masih melestarikan Rumah Lamin saat ini adalah
Desa Mahak Baru, Dumu Mahak, Agung Baru, Long Lebusan, Long Bagun Ulu. Desa Long Top
dan Batoq Kelo tidak memiliki Rumah Lamin, sedangkan Rumah Lamin Desa Agung Baru sedang
dalam proses pembangunan. Saat ini, fungsi Rumah Lamin di desa/kampung adalah sebagai
rumah adat yang menjadi pusat kegiatan berkaitan dengan masalah-masalah adat seperti
pemilihan ketua adat dan mantir adat, tempat pertemuan atau musyawarah adat,
penyelenggaraan pesta kesenian, upacara/ritual-ritual adat, tempat penyelesaian sengketa-
sengketa adat dan lain-lain. Namun, hanya Desa Mahak Baru yang memiliki 2 (dua) Rumah
Lamin yang satu di antaranya masih ditinggali oleh warga.
Seluruh bangunan Rumah Lamin di desa pemukiman masyarakat suku Dayak terbuat dari kayu
keras seperti ulin (kayu besi), arau (nama lokal) dan merang (nama lokal). Ulin digunakan untuk
tiang-tiang penyangga dan ada kalanya untuk lantai, sedangkan jenis kayu-kayu lain dipakai
untuk dinding dan lantai. Setiap sudut rumah dihiasi dengan ukiran khas yang memiliki makna-
makna tertentu yang unik, serta melambangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup
dan kehidupan suku tersebut. Seluruh kayu yang digunakan diambil dari kawasan hutan yang
berada wilayah adat.
Dengan demikian, Rumah Lamin dan bahan baku bangunannya, merupakan cakupan kawasan
K/NKT 6 terhadap masyarakat Dayak di sekitar konsesi SLJ II. Hal ini dikarenakan tingkat
kepentingannya yang tinggi dan ditemukan hampir di semua desa di sekitar konsesi SLJ II.
Rumah Lamin, sebagian besar bahan bangunannya adalah kayu ulin atau kayu besi, yang
masih berada di sekitar konsesi SLJ.
Dengan demikian, kawasan Rotan dan Kawasan Ulin, serta wilayah hutan yang dimanfaatkan
untuk pemenuhan rotan dan ulin adalah NKT 6. Kawasan Rotan merupakan kawasan khusus
dimana masyarakat setempat mengambil rotan untuk keperluan pembuatan kerajinan tangan
tradisional seperti topi dan anjat (keranjang), sedangkan Kawasan Ulin dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan bahan bangunan tradisional yaitu Rumah Lamin.
Papan tanda kawasan kayu ulin dan rotan yang dibuat oleh UM PT SLJ II untuk memberitahu
pengunjung dan masyarakat mengenai situs tersebut
3. Sungan
Sungan adalah suatu kawasan di hutan yang memiliki ciri khas mengeluarkan air asin. Menurut
informasi dari masyarakat, sungan merupakan tempat minum dan pemenuhan kebutuhan garam
satwa-satwa hutan. Oleh karena itu, kawasan di sekitar sungan menjadi tujuan bagi para
pemburu untuk menemukan binatang buruan. Di kawasan hutan, tempat-tempat semacam ini
tidak banyak dan tersebar secara sporadis.
Berdasarkan pengamatan lapangan, sungan-sungan yang terdapat di Batoq Kelo, Long Bagun
Ulu, Mahak Baru, Data Baru, Agung Baru dan Long Lebusan masih terjaga keasliannya, kecuali
sungan di bantaran Sungai Lisi (Long Lebusan) yang tertutup tanah longsoran.
Berdasar informasi yang diperoleh melalui FGD dan wawancara dengan beberapa warga
menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keterikatan yang erat dengan kawasan ini dan
berusaha mempertahankannya dari kemusnahan. Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain
melarang warga membuka lading (sawah) mendekati sungan-sungan tersebut. Sungan terdapat
di seluruh wilayah desa, kecuali Long Top.
Tujuan keberadaan sungan ini menjadi kontradiktif, dimana fungsinya sebagai penyedia jasa
bagi satwa-satwa dimanfaatkan oleh warga pemburu sebagai salah satu lokasi kegiatan untuk
mendapatkan satwa buruan dengan cepat, mudah dan banyak.
Sungan (kiri) dan jebakan satwa liar (kanan) dibuat oleh pemburu lokal di dekat lokasi Sungan
Dengan demikian, sungan tidak masuk sebagai NKT 6 namun memiliki potensi sebagai NKT 6
apabila dalam pemeliharaannya, masyarakat juga menetapkan aturan perburuan untuk
menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di sekitar sungan-sungan tersebut.
b. Lasan Kesenian
Tempat ini merupakan tempat singgah bagi masyarakat Dayak terdahulu yang melakukan
perjalanan dan berkumpul, dimana dalam waktu berkumpulnya timbul sukacita sehingga
ditampilkanlah tari-tarian dan nyanyian kesenian sebagai penghiburan masyarakat. Sama
dengan Kubuk Sawak, saat ini keberadaan Lasan Kesenian telah hilang karena sudah tidak
digunakan lagi sejak masyarakat mulai memanfaatkan jalan utama SLJ II. Lokasi Lasan
Kesenian ini sudah menyatu dengan jalan utama SLJ II.
c. Can Batu
Dalam bahasa Dayak Kenyah, can berarti “tangga”. Can Batu secara harfiah artinya adalah
“tangga batu”. Menurut informasi yang diperoleh dari masyarakat, keberadaan Can Batu terkait
dengan terhambatnya perjalanan ketika melewati sungai yang curam dan berdinding licin.
Untuk memudahkan rombongan melintasi sungai, maka dibuatlah undakan di dinding sungai
yang menyerupai anak tangga. Masyarakat setempat juga mengatakan bahwa menurut leluhur
terdahulunya, Can Batu juga diartikan sebagai “tangga batu menuju langit”. Berdasarkan
informasi dari kegiatan pertemuan dengan masyarakat atau FGD dan wawancara bebas dengan
beberapa warga masyarakat, diperoleh informasi bahwa warga yang masih mengenali lokasi
dan mengetahui sejarah Can Batu mayoritas adalah kalangan tua yang menjadi saksi sejarah
karena terlibat langsung dalam pembuatan Can Batu. Pengamatan lapangan menunjukkan
bahwa kondisi Can Batu terkini tidak berbekas dan tidak terawat. Tangga yang dulu dibuat
tidak ada lagi serta tidak ada papan petunjuk menuju ke lokasi.
4 | Identifikasi Nilai Konservasi Tinggi (NKT) IUPHHK-HA PT Sumalindo Lestari Jaya Unit II
Papan tanda Can Batu yang dibuat oleh UM PT SLJ II untuk memberitahu pengunjung atau
masyarakat tentang kawasan yang dilindungi warga.
d. Lasan Kopi
Merupakan tempat singgah bagi masyarakat Dayak terdahulu saat melakukan perjalanan dalam
mencari sumber kebutuhan pokok dan sekaligus juga tempat berkumpul dan istirahat bagi
masyarakat yang berburu. Masih banyak masyarakat yang mengenal dan mengetahui sejarah
Lasan Kopi , namun kondisi Lasan Kopi saat ini dipenuhi belukar dan tidak terawat.
Papan tanda Lasan Kopi signboard yang dibuat oleh UM PT SLJ II untuk memberitahu
pengunjung dan masyarakat sekitar kawasan yang dilindungi
e. Kubuk Encep
Sama dengan Kubuk Sawak, Kubuk Encep merupakan tempat singgah bagi masyarakat Dayak
terdahulu yang melakukan perjalanan untuk mencari kebutuhan bahan pokok. Kubuk Encep ini
berada di wilayah aliran sungai yang menjadi pilihan masyarakat suku Dayak sebagai tempat
istirahat. Titik lokasi yang tepat dari Kubuk Encep ini belum diketahui karena letaknya yang jauh
dan hanya beberapa kalangan saja yang mengenali dan mengetahui lokasinya.
f. Kubuk Tanyit
Kubuk Tanyit juga merupakan tempat singgah bagi masyarakat Dayak terdahulu yang
melakukan perjalanan untuk mencari kebutuhan bahan pokok. Dalam pengidentifikasiannya,
lokasi tepat dari Kubuk Tanyit ini masih samar dikarenakan sudah lama tidak digunakan sejak
adanya jalan darat utama bagi transportasi warga.
Berdasarkan analisa terkait dengan keberadaan, kualitas dan kepentingan situs-situs yang
membentuk Rute Sejarah ini, hanya Lasan Kopi dan Can Batu yang masuk menjadi NKT 6.
Keenam situs tersebut memiliki nilai sejarah dan identitas bagi masyarakat Dayak di Kecamatan
Sungai Boh, namun hanya Lasan Kopi dan Can Batu yang keberadaannya masih diketahui
walaupun kondisinya tidak terawat. Untuk Kubuk Sawak, Lasan Kesenian, Kubuk Encep dan
Kubuk Tanyit berpotensi menjadi NKT 6 apabila ada kemauan dan tindakan dari masyarakat
sendiri untuk tetap mempertahankan dan memelihara situs-situs tersebut sebagai identitas
budaya mereka.
g. Lasan Bali
Menurut informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar, bali dalam bahasa Dayak berarti
“hantu”. Selama tinjauan lapangan, ditemukan bahwa Lasan Bali merupakan suatu hamparan
lahan yang tidak berumput di Gunung Lasan Bali, dimana warga setempat menganggapnya
angker/berhantu sehingga warga berhati-hati dalam melakukan perjalanan ke arah Lasan Bali
tersebut. Tidak ada sejarah terkait dengan situs ini. Hanya saja, masyarakat menganggap lokasi
ini adalah situs mistis.
Dengan demikian, Lasan Bali tidak tercakup dalam kawasan NKT 6. Hal ini dikarenakan
walaupun lokasinya ada, namun tingkat kepentingan dan ketergantungan warga atas situs ini
sebagai identitas budaya mereka rendah. Warga tidak menjaga dan memelihara lokasi ini dan
situs ini hanya dikenal sisi mistisnya saja. Namun situs ini berpotensi menjadi NKT 6 apabila ada
tindakan dari masyarakat untuk mengelola dan memelihara situs ini sebagai identitas budaya
mereka.
Seraung (kiri) dan bahan baku tanaman (Daun Biru; kanan) sebagai salah satu
identitas masyarakat Dayak.
Gambar 50. Peta delineasi keberadaan NKT 6
Delineasi K/NKT 6
Delineasi KNKT 6 ditentukan oleh keberadaan identitas budaya penting bagi masyarakat lokal dan
tersebar luas di seluruh konsesi. Lokasi-lokasi ini terdiri dari: jalur sejarah, Tanah Ulen, Kubu Sawak,
Kubu Tanyit, Kubu Ncep, Lasan Bali, Lasan Kesenian, Lasan Kopi, Can Batu, Makam Tua dan Rumah
Adat Lamin. Semua lokasi berada di dalam konsesi SLJ II dan dipetakan dengan titik koordinat GPS
berdasarkan observasi lapangan. Luas tanah adat digambarkan berdasarkan RKU SLJ II. Menurut
hasil kajian, K/NKT 6 diidentifikasi dalam konsesi SLJ II dan dipetakan pada Gambar 51 berikut ini.
Gambar 51. K/NKT 6 di konsesi PT SLJ II.