Asma merupakan suatu penyakit saluran pernapasan yang disebabkan karena adanya proses inflamasi kronik. Sel inflamator yang berperan antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit. Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai dengan adanya mengi (wheezing), batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan. Derajat serangan asma bervariasi dari ringan, sedang, berat hingga serangan yang mengancam jiwa. Perburukan asma dapat terjadi dalam waktu beberapa menit, jam atau hari dan umumnya timbul akibat pajanan faktor pencetus diantaranya aktivitas, paparan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas. (Global Initiatif for Asthma, 2018). Asma menjadi 5 penyakit terbesar yang menyumbang kematian di dunia dan diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit ringan sampai berat bahkan beberapa dapat menyebabkan kematian. Menurut World Health Organization (2017) asma menjadi penyebab utama kematian di dunia dengan sekitar 235 juta orang. Pada tahun 2015 sekitar 338.000 kematian dilaporkan yang sebagian besar terjadi pada orang dewasa. Lebih lanjut dalam World Health Organization (2017) penyebab timbulnya asma tidak terlepas dari kompleksitas patogenesis asma yang melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Berdasarkan jenis kelamin sebesar 6,3% pada laki-laki dan 9,0% pada perempuan. Data prevalensi berdasarkan umur sebesar 7,4% pada dewasa dan 8,6% pada anak-anak. Prevalensi asma di Amerika Serikat mencapai 8,4% pada tahun 2009 dan terus meningkat hingga mencapai 17,8% pada tahun 2011. Prevalensi penyakit asma di Indonesia menurun dari 4,5% pada tahun 2013 menjadi 2,4% di tahun 2018. Prevalensi asma tertinggi terdapat di DIY sebesar 4,5% dan untuk provinsi Jawa Tengah memiliki prevalensi sebesar 1,8% di tahun 2018 (Antoro dan Lestari, 2019 ; Kemenkes RI, 2019). Berdasarkan Global Initiative for Asthma (2016) prevalensi asma di Asia Tenggara sebesar 3,3% dimana 17,5 juta penderita asma dari 529,3 juta total populasi. Dari berbagai sumber, Indonesia menempati urutan ke 19 di dunia untuk penyebab kematian akibat asma serta menempati 1 dari 12 penyebab kematian utama dari penyakit tidak menular. Prevalensi penyakit asma di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2018 Di Indonesia prevelensi penyakit asma berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal yaitu pada anak umur kurang dari 1 tahun 0,4% dan mengalami peningkatan hingga 5,1%. Pada dewasa umur 75 tahun presentase penyakit asma pada laki-laki 2,3% sedangkan perempuan lebih tinggi yaitu 2,5%. Prevalensi asma tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (4,59%), Kalimantan Timur (4,0%), dan Bali (3,9%) dan daerah dengan prevalensi terendah yaitu Sumatera Utama dengan presentase 1,0%. Presentase berdasarkan tempat tinggal, penduduk di daerah perkotaan presentase penyakit asma lebih tinggi 2,6% dibandingkan dengan presentase penyakit asma di daerah pedesaan yaitu 2,1%.. Prevalensi asma di Jawa Tengah pada tahun 2018 adalah 1,5% (RISKESDAS, 2018). Masalah yang sering dialami pada pasien asma adalah sesak napas. Sesak napas ini terjadi karena obstruksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh menebalnya dinding saluran napas yang ditimbulkan oleh peradangan dan edema yang dipicu oleh pengeluaran zat histamine, tersumbatnya saluran napas oleh sekresi berlebihan mukus kental, hiperresponsitivitas saluran napas yang ditandai oleh konstriksi hebat saluran napas kecil akibat spasme otot polos di dinding saluran napas (Sherwood 2012). Obstruksi bertambah berat saat melakukan ekspirasi karena fisiologis pernapasan menyempit pada fase tersebut. Diameter bronkiolus lebih banyak berkurang pada saat ekspirasi daripada selama inspirasi karena terjadi peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa sehingga menekan bagian luar bronkiolus dan menutupnya saluran napas cenderung sangat meningkat karena tekanan positif dalam dada selama eskpirasi. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi tidak dapat diekspirasikan sehingga volume udara yang masuk dan keluar tidak seimbang. Penyempitan pada saluran napas ini akan mengakibatkan kesulitan dalam ekspirasi (Guyton and Hall 2012). Penggunaan obat rasional adalah penggunaan obat yang disesuaikan dengan kebutuhan klinis pasien, baik dalam jumlah maupun waktu yang memadai, disertai dengan biaya paling rendah. Penggunaan obat harus sesuai dengan penyakit, oleh karena itu diagnosis yang ditegakkan harus tepat, patofisiologi penyakit, keterkaitan farmakologi obat dengan patofisiologi penyakit dan dosis yang diberikan dan waktu pemberian yang tepat, serta evaluasi dan efektivitas dan toksisitas obat tersebut, ada tidaknya kontraindikasi serta biaya yang harus dikeluarkan harus sesuai dengan kemampuan pasien tersebut. Dalam penatalaksanaannya asma memiliki dua jenis terapi diantaranya terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi terdiri atas dua golongan yaitu pertama obat yang berguna untuk menghilangkan serangan asma yaitu mengurangi bronkokonstriksi yang terjadi. Obat ini disebut obat pelega napas (reliever medications) yang umumnya bekerja sebagai bronkodilator dan golongan obat kedua adalah obat yang dapat mengontrol asma disebut sebagai controller medications. Sedangkan untuk terapi non farmakologi adalah melakukan pola hidup sehat, berhenti merokok, melakukan aktivitas fisik yang dapat membantu meringankan asma seperti senam asma dan olahraga renang (Global Initiatif for Asthma, 2018) Salbutamol yang merupakan obat simpatomimetik agonist β2 ini memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Pemberian langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronco selektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik (Yosmar, 2015). Pemberian kortikosteroid baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan obat pengendali lainnya dapat meningkatkan fungsi paru (arus puncak ekspirasi, PEFR), mengurangi gejala asma khususnya gangguan tidur malam hari, dan aktivitas sehari-hari (Yosmar, 2015). Prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan untuk mengontrol gejala. Pengobatan secara efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena efektivitas terapi hanya tercapai jika ketepatan obat untuk pasien telah sesuai (Okti, dkk., 2016). Berdasarkan uraian dan data di atas maka peneliti merasa perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui Pola Penggunaan Obat Asma Pada Pasien Asma di Rumah Sakit Advent Kota Manado.
1.2 Identifikasi dan Batasan Masalah
Supaya permasalahan yang dikaji tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah pada tempat penelitiannya. Batasan masalah yang peneliti ambil adalah: 1. Lokasi berada di Jl. 14 Februari, Teling Atas Kec. Wanea Kota Manado, Sulawesi Utara. 2. Penelitian dilakukan pada Semester Ganjil Tahun Ajaran 2019-2020. 3. Metode penelitian dengan survei dan wawancara 4. Objek penelitian yaitu obat golongan yang digunakan Penderita Asma. 5. Subjek penelitian terdiri dari: penderita penyakit asma 6. Data utama yaitu: jenis obat, golongan obat, dan bentuk sediaan, rasionalitas penggunaan obat asma berdasarkan indikasi dan aturan dosis penggunaan dan cara penggunaan obat oleh setiap pasien, jumlah obat yang diberikan pada setiap pasien 7. Data penunjang yaitu responden yang diwawancarai terdiri dari: penderita asma yang menggunakan tumbuhan sebagai obat asma.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimana prevalensi penyakit Asma pada pasien rawat jalan periode Januari 2019 s/d Desember 2019 di Rumah Sakit Advent Manado berdasarkan Karakteristik Pasien (Jenis Kelamin, Usia) ? b. Bagaimana pola penggunaan obat pada pasien asma rawat jalan periode Januari 2019 s/d Desember 2019 di Rumah Sakit Advent Manado berdasarkan karakteristik obat (jumlah obat, lama pemberian obat, cara pemberian obat, golongan obat, bentuk sediaan obat, dan dosis obat) c. Bagaimana penggunaan obat penyakit Asma pada pasien rawat jalan periode Januari 2019 s/d Juni 2019 di Rumah Sakit Advent Manado berdasarkan rasionalitas obat yang ditinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien ?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Untuk mengetahui Pola Penggunaan Obat Asma Pada Asma di Rumah Sakit Advent Manado. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui prevalensi penyakit Asma pada pasien rawat jalan periode Januari 2019 s/d Juni 2019 di Rumah Sakit Advent Manado berdasarkan Karakteristik Pasien (Jenis Kelamin, Usia) b. Untuk mengetahui penggunaan obat Asma pada pasien rawat jalan periode 2019 s/d Juni 2019 di Rumah Sakit Advent Manado berdasarkan karakteristik obat (jumlah obat, lama pemberian obat, cara pemberian obat, golongan obat, bentuk sediaan obat, dan dosis obat) c. Untuk mengetahui penggunaan obat Asma pada pasien rawat jalan periode 2019 s/d Juni 2019 di Rumah Sakit Advent Manado berdasarkan rasionalitas obat yang ditinjau dari Ketepatan Diagnosis, Ketepatan Indikasi, Ketepatan Obat, Ketepatan Dosis, Tepat Pasien ?.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang penggunaan obat pada penderita asma 2. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Pengetahuan dan pemahaman peneliti dan tenaga kesehatan mengenai penggunaan obat asma yang efektif dan rasional dalam praktek sehari-hari di Rumah Sakit Advent Manado dalam penggunaan obat dosis obat, lama pemberian obat, pemilihan jenis obat yang maksimal tanpa efek samping atau dengan efek samping yang seminimal mungkin b. Bagi Instansi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan yang berarti bagi peserta didik yang akan datang sehingga meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. c. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya