Anda di halaman 1dari 4

Sampai Kita Sudah Jatuh Hati

Musim hujan kini sudah dimulai, tidak tahu ini sudah yang keberapa kalinya, dia menghembuskan
nafasnya berkali-kali sambil menatap rintikan air dari langit yang turun sejak pagi menjelang.
Pikirannya melambung jauh saat sebelum masa mudanya berakhir, ia terkadang sedikit tersenyum
sambil menyembunyikan rasa khawatirnya. Kaki-kakinya mulai menggigil seiringan suhu yang
semakin menurun, ia beranjak dari lamunanya dan mengambil beberapa selimut untuk
menghangatkan kakinya. Tangannya mengambil salah satu buku, saatnya sudah tiba, ia harus segera
kembali kedunianya, ia mengingat baik-baik apa yang harus dikerjakan sambil menyalakan laptop
kesayangannya.
Tok-tok-tok – suara pintu kamarnya terdengar
“Ya?” ia mengentikan kegiatannya sejenak, membuka lebar-lebar telinganya untuk mendengar siapa
yang mengetuk pintu kamarnya.
“Ini...aku, delia, buka pintunya, aku ingin bicara sebentar”
Lagi-lagi helaan nafas yang berat itu mengudara disekeliling ruangan, hatinya berat, ia masih belum
siap atas apapun yang harus ia dengar. Bahkan sang kaka tidak mempedulikan kondisi hatinya saat
ini, ia hanya mementingkan urusannya berjalan lancar. Anna beranjak dari duduknya, meraih gagang
pintu yang sudah tidak terbuka selama dua hari penuh, ia membukanya hati-hati, sambil mengintip
lewat celah pintu yang terbuka sedikit.
“Boleh aku masuk?” tanya Delia, tangannya sibuk memegang beberapa makanan yang Anna sukai.
Anna mengerenyit sebentar, dia lapar, tapi hatinya kini jauh lebih lapar dari pada perutnya yang terus
berbunyi semalaman.
“Aku tidak peduli dengan urusan lainnya, aku hanya ingin masuk dan kita bisa berbicara sebentar,
boleh?” kali ini Delia memohon dengan sangat, ia bahkan melupakan kejadian dua hari lalu, ia tidak
akan membahas hal yang membuat adiknya terus menerus ketakutan.
Anna membukakan pintu kamarnya dengan lebar, dan mempersilahkan Delia untuk masuk. Beberapa
orang yang melihat dari luar kamarnya tampak tersenyum lega, tak terkecuali sepasang mata dan hati
yang masih menunggu Anna dengan setia.
Mereka duduk berhadapan, jendela yang kini sudah terbuka itu membawa masuk udara dingin, Delia
melihat isi kamar Anna yang penuh dengan hal menarik dari sang adik, ia tidak tahu jika Anna adalah
sosok yang sangat hangat dan bisa sangat kelam dan dingin, ia melihatnya sekarang, merasakan
suasana kamarnya yang penuh dengan hal-hal muram, namun terkadang bisa juga terlihat hangat, dan
itu terlihat tergantung pada bagaimana kamu menatap kamar itu.
“Makanlah, aku membuatkan bubur ketan hitamnya sendiri, bahkan tangan ku terkena percikan bubur
panas tadi” Delia memperlihatkan bekas luka itu, ia tersenyum sambil mengelus rambut Anna
“Jadi, habiskan, aku akan membaca buku dengan tenang disini, oke?” Anna hanya mengangguk dan
mulai memakan makanan yang disiapkan Delia dengan tenang.
Sepuluh menit berlalu begitu saja, Delia masih menatap buku kesukaan Anna, membacanya dengan
seksama, sedangkan Anna menunggu sang kakak selesai membaca sambil meneruskan kegiatannya.
‘ehemm’ suara Delia memekakan telinga mereka, ia masih membaca beberapa kalimat dan menutup
buku itu.
“Ann, apa yang kau takutkan saat ini?” tanya sang kakak, ia meletakkan buku itu ketempat semula
kemudian duduk disamping adiknya yang masih berkutat pada laptopnya. Anna masih mengetik
beberapa kalimat sambil berpikir untuk menjawab pertanyaan sang kakak.
“emm... pernikahan?” ia menoleh sebentar ke arah Delia, lalu tersenyum seulas
“Kalau aku, aku takut aku tidak bisa menunjukkan wajah anakku kepada ayah dan ibu” Delia
mengelus perutnya yang rata, ia juga tersenyum.
“Kau tau?, dulu aku juga takut, tapi setelah aku melihatnya lebih dalam lagi, justru lebih banyak
ketakutan lainnya yang muncul, terutama yang berkaitan dengan kedua orang tua kita. Seiring
berjalannya waktu, mereka semakin dimakan oleh usia, kita semakin beranjak dewasa, dan tanpa
sadar kita bisa kehilangannya dalam semalam tanpa melihat kita mengucapkan janji setia dengan
orang yang akan menemani seumur hidup kita, dan yang lebih dalam lagi adalah aku takut jika
mereka masih mengkhawatirkan kita bahkan saat mereka tidak disisi kita lagi. Itu sebabnya, aku
melangkah kearah yang lebih jauh, untuk mengobati rasa khawatir dan takutku” ia menatap Anna,
mengelus pucuk kepalanya, dan mulai meneteskan air matanya.
“Jika kau tidak ingin melakukannya bersama pria itu, maka kau harus mencari pria yang ingin kau
nikahi, setidaknya satu penyesalanmu akan terangkat. Meski pernikahan terkadang tidak semudah itu,
jauh lebih sulit ketika kau memutuskan untuk melukai hati mereka” airmata Delia terus berjatuhan, ia
mengusapnya segera, dan perlahan mulai membuat Anna angkat bicara.
“Aku tidak ingin dipukul” ucap Anna yang membuat Delia membelalakan matanya, ia paham maksud
perkatannya.
“Aku tidak ingin diduakan” lanjut Anna
“Aku tidak ingin mati terbunuh”
“Anna, memang sulit, aku tahu itu, maka dari itu kami mencari pria yang baik untuk mu, bahkan
ketika kau dilukai, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri”
“Aku tidak ingin membalas pukulan dengan pukulan, yang baik bagi kalian bisa jadi yang terburuk
bagiku. Jangan memaksaku”
Delia menghela nafasnya, ia pikir tidak akan berjalan baik jika terus dipaksakan untuk bicara. Ia
beranjak dari duduknya, mengambil mangkuk kosong dan meninggalkan Anna sendiri.
Begitu sulitnya seseorang untuk membukakan hatinya, namun terkadang ada banyak bahkan ribuan
luka yang siap menyerangnya setelah ia berani membuka pintu itu. Ada banyak dilema tentang
bagaimana kamu ingin dicintai dan mencintai, semua itu tergantung bagaimana individu saling
berjuang untuk menghadapi dilema itu. Anna masih berdiam didalam kamarnya, ini sudah hari kelima
ia menutup diri, bahkan semakin hari semakin terasa sulit bagi Anna. Ketika ia bahkan sudah bisa
mendengar sayup sayup suara pria itu yang kini membuatnya semakin tersiksa, atau bahkan sekedar
mendengar ketukan yang tidak ia harapkan menyapa dinding pintu kayunya yang tertutup, Anna
semakin dibuat terdesak. Ini bukan cara yang baik, jika kau memang sudah tidak diterima, lantas
haruskah kau membuat orang lain merasa sesak karena desakanmu?. Hidup ini bukan hanya soal kau
diterima oleh orang yang kau inginkan saja, tapi hidup ini juga soal bagaimana kau bisa menerima
setiap keputusan terburuk dari orang yang kau harapkan.
Anna sudah tidak tahan lagi,, ia melangkah dengan limbung untuk meraih gangang pintu kayunya,
membukanya lebar-lebar. Orang-orang dari ruang tengah yang mendengar suara geseka pintu
bergegas menghampiri suara itu. Mereka terkejut, entah harus merasa bahagia atau sedih karena
kondisi Anna yang tidak mengkonsumsi apapun selama berhari-hari dan itu tampak sangat buruk.
“Kau mau menjalaninya kan” ucap sang ayah, dia perlahan menghampiri Anna yang berdiam diri
diambang pintu.
“Tidak” lirih Anna, nafasya sedikit tersengal, ia merasakan lelah yang luar biasa. Eleah, ibu Anna
menghampiri anaknya dengan cepat, ia mengkhawatirkan kondisi putrinya.
“KAU!” nada pria paruh baya itu meninggi, belum sampai ia menghampiri Anna, emosinya
memuncak dan membuatnya sedikit pening.
“Kau harus menikah, itu sebuah keseharusan, kau bisa mencari pria lain, tapi menikah itu memang
kewajiban sayang..” Eleah mencoba menengahi keduanya, ia mengusap putri keduanya itu dengan
tangan rentannya.
“Tidak, kau harus menikahi Zain, ayah sudah berjanji untuk menikahkan mu dengan orang tuanya”
Zain, pria yang baru saja dibicarakan, ia menghela nafasnya dengan berat, ia memang sudah jatuh
cinta dengan wanita itu sejak lama, namun jika Anna masih saja menolaknya apakah pantas baginya
untuk tetap berjuang untuk disampingnya.
“Menikah bukan hanya sekedar janji antara ayah dengan orang tua Zain, jika harus, maka kalian saja
yang menikah, kalian yang berjanji” Anna dengan emosi yang luar biasa, ia menepis semua tangan
disana, ia berjalan tegap kearah pria yang dijodohkan dengannya.
“Menikah adalah cinta yang menjanjikan untuk kedua mempelai, dan aku.... aku tidak bisa
memberikan cinta yang menjanjikan” ucap Anna dihadapan Zain
Anna tahu, cinta bisa datang karena terbiasa, tapi bagaimana caranya jika kebiasannya tidak bisa
mencintai Zain dengan semestinya?. Kebiasannya saat ini mencintai yang memang Anna cintai, dan
itu bukan pria tinggi tegap dihadapannya. Kini Zain tahu dengan jelas, jika wanitanya itu memang
tidak mencintainya, namun betapa egoisnya Zain ingin memilikinya dengan penuh.
“Kamu bisa mencintaiku setelah kita menikah” Ucap Zain, ia menurunkan pandangannya, tangannya
ingin meraih wanita dihadapannya, namun apa daya, Zain pria beradab yang tahu jika pria dan wanita
yang belum terikat seutuhnya tidak boleh saling bersentuhan jika tidak dalam keadaan darurat.
“Maaf Zain....” Lirih Anna ia menoleh kearah sang ayah.
“Kalau memang begitu pilihan mu, maka keluar dari rumah ini sekarang juga!” Pilihan terakhir yang
Ahtala pilih untuk putri keduanya, ia hanya mengertak gadisnya itu, namun siapa sangka, Anna siap
melakukannya dengan sepenuh hati. Semua orang terbelalak dengan ucapan tegas pria paruh baya itu,
Anna meninggalkan rumah masa kecilnya dengan langkah penuh keyakinan. Eleah yang mencoba
menengahi keduanya tidak bisa mengalahkan keras kepala keduanya, Eleah hanya bisa terisak dengan
kerasnya.
Semua berakhir sampai disini. Anna harus mencari hal yang bisa membuatnya bertahan.
Anna menulusuri jalan setapak dengan sisa tenaganya,
“ aku tidak ingin menikahimu” ucap Anna, Adam membelalakan matanya, ia menatap gadis itu untuk
mencari jawabannya.
“Bukan karena aku tidak mencintaimu, kau tahu kan, kita bertemu saat kau tahu perasaanku, tapi
bahkan aku tidak tahu bagaimana perasaan mu. Aku ingin menikahi pria yang bisa kucintai dan aku
tidak ingin membebaninya dengan perasaanku”
“Kau bisa mencintai ku” ucap Adam, hatinya terasa berat, mungkin saja ia bisa menangis jika tidak
ada Anna dihadapannya.
“Sudah aku lakukan, kau tahu? Tidak mudah menahan perasaan ini”
“Maka jangan tahan perasaan mu, aku bisa menerimanya”
“Kau bisa menerimanya, tapi aku tidak bisa menerima apapun darimu, aku tidak menyalahkanmu, aku
hanya ingin kita benar-benar yakin atas perasaan kita satu sama lain. Jika kau sudah mulai
mencintaiku, hubungi aku segera, aku akan datang kapanpun” Adam mulai meneteskan air matanya,
ia merasa bersalah pada Anna, sungguh bukan itu maksudnya, ia bisa mencintai wanita itu, tapi ia
juga sadar masih ada keraguan di hatinya. Anna meraih tangan Adam, sambil tersenyum
“Cintai aku tanpa ragu, jika sudah kau lakukan, maka ayo kita menikah, tapi jika ragu mu hilang dan
kau masih tidak bisa merasakannya untukku, maka berbahagialah dengan siapapun yang ingin kau
temui”
“Aku juga akan melakukan yang sama, aku tidak akan menikahi pria manapun, tapi jika hatiku
berpaling, aku akan melakukannya tanpa ragu.” Lanjut Anna
“Sampai saat kita bertemu lagi, jika semuanya sudah hilang, ayo kita menikah dengan bahagia. Tapi
jika sampai saat kita bertemu lagi dan semuanya sudah semakin jelas, ayo pergi bersama” ucap Adam,
ia menggenggam tangan mungil itu untuk yang terakhir kalinya.
Jika memang semuanya berjalan baik, akhirnya pun akan baik. Jika tuhan akan mempertemukan mu
dengan yang lebih baik, ia juga akan tetap berakhir dengan baik. Entah akhirnya dengan siapa kapal
itu berlayar, kisah mu akan berakhir dengan indah bersama dengan takdir tuhan yang indah.

“kau harus menikahinya, ayah sudah berjanji pada kedua orang tuanya”
“menikah itu bukan untuk janji mencintai, tapi menikah dengan cinta yang menjanjikan, aku tidak
ingin melakukannya saat hatiku tidak untuk nya”

Anda mungkin juga menyukai