Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu tantangan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat global maupn para pemangk

u kebijakan kesehatan terutama dibidang kesehatan mental adalah prevelensi gangguan ment

al yang terus meningkat tiap tahunnya. Tinggi angka prevenlensi serta berbagai stigmasi serta

diskriminasi yang masih sering dialami oleh anggota masyarakat yang dinilai berbeda dengan

masyarakat pada umumnya termasuk orang gangguan jiwa (ODGJ), antara lain dikeluarkan d

ari sekolah diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh

keluarga, bahkan dipasung, serta dirampas harta bendanya semakin membuat miris para tena

ga kesehatan khususnya. Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan y

ang signifikan didunia, termasuk diindonesia (Nasir &Muhith, 2011)

Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang

terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia,

dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk,

maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban

negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Hasil Data Riskesdas

2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan

gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta

orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat,

seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk

Indonesia mengalami gangguan jiwa. Prevenlensi penduduk yang mengalami gangguan

mental emosional secara nasional pada tahun 2013 sebesar 6%(37.782 orang dari subyek
yang dianalisa). Prevenlensi tertinggi ada pada kelompok usia lebih dari 75 tahun

dibandingkan kelompok usia lainnya. Kelompok perempuan daripada laki-laki, dan

kelompok tidak sekolah (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Community mental health nursing adalah upaya untuk mewujudkan pelayanan kesehatan

jiwa dengan tujuan pasien yang tidak tertangani di masyarakat akan mendapatkan pelayanan

yang lebih baik. CMHN adalah pelayanan keperawatan yang komprehensif, holistic, dan

paripurna, berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa, rentang terhadap stress dan dalam

tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan. CMHN merupakan salah satu strategi

berupa program peningkatan pengetahuan dan keterampiln yang diberikan kepala petugas

kesehatan melalui pelatihandalam rangka upaya membantu masyarakat menyelesaikan

masalah kesehatan jiwa (Nasir &Muhith, 2011)

Tingginya prevenlensi individu dengan gangguan mental, dan minimnya individu yang

memperoleh perawata formal mengindikasikan adanya kesenjangan penanganan,

kesenjangan penanganan merujuk pada prevenlensi gangguan mental yang terjadi dan

proporsi individu yang tertangani, atau dengan kata lain presentase individu yang

memerlukan perawatan. Namun tidak menerima penanganan. Hambatan eksternal dapat

menjadi salah satu penyebab tingginya kesenjangan penanganan. Hal ini dapat ditinjau dari

akses yang meliputi area geografis transportasi, dan biaya kelayanan kesehatan mental tidak

berdistribusi secara merata (Harvey & Gumport, 2015). Di Indonesia, standar yang belum

memadai anatara jumlah tenaga professional kesehatan mental (psikolog dan psikiater)

dengan jumlah penduduk menjadi salah satu penghambat akses layanan kesahatan mental

(Kementerian Kesehatan, 2013).

Usaha yang didapat dilakukan untuk menjembatani kesenjangan penanganan yaitu


dengan meningkatkan jumlah dan mutu tenaga kesehatan mental professional di institusi

pendidikan, intergritas pembiayaan pelayanan melalui asuransi kesehatan, pemberdayaan,

masyarkat dan integritas layanan kesehatan mental di aras primer. (Mclnnis dan Merajver,

2011). Mengemukan bahwa usaha lain untuk mengurangi kesenjangan penanganan adalah

dengan melatih tenaga non professional berbasis komunitas (Kader) untuk mengenali dan

mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan mental, serta berkolaborasi dengan para tenaga

pemberi bantuan informasi di komunitas. Program kesehatan mental berbasis komunitas yang

telah dilakukan yaitu program Desa Siaga Sehat Jiwa (Nasir &Muhith, 2011)

Puskesmas Bantur sendiri merupakan unit pelaksanaan teknis dinas kesehatan Kabupaten

Malang yang berada di wilayah Kecamatan Bantur. Jumlah penduduk di bawah wilayah kerja

Puskesmas Bantur tahun 2018 tercatat 34,438 yang tersebar di lima desa yakni Bantur

13.086,Wonorejo 1034, Srigonco 4476, Sumberbening 5854, Bandungrejo 9988. Wilayah

kerja puskesmas Bantur memiliki kondisi Topografi perbukitan, tanah kapur, dan berbatasan

dengan pantai selatan dengan luas wilayah 80.577,22 km. Berdasarkan survey yang

dilaksanakan di 5 Desa di Kecematan Bantur, Kabupaten malang terdapat jiwa dan orang

mengalami masalah kejiwaan.

Tujuan pelayanan keperawatan yang komprehensif, holistik dan paripurna, berfokus pada

masyarakat yang sehat jiwa tidak dapat tercapai apabila hanya dilaksanakan oleh salah satu

pihak. Dibutuhkan kerjasama dan keterlibatan keluarga serta masyarakat dalam proses

penyembuhan dan perawatan pasien gangguan jiwa. Pentingnya peran keluarga sangat

mendukung dalam proses pemulihan penderita gangguan jiwa. Keluarga dapat

mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku anggota keluarga. Disamping itu,

keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang, rasa aman, rasa memiliki
dan menyiapkan peran dewasa individu dimasyarakat. Keluarga merupakan suatu sistem,

maka jika terdapat gangguan jiwa pada anggota keluarga (Nasir & Muhith, 2011).

Berdasarakan latar belakang diatas maka diperlukan peran penting desa dalam

menekankan angka ODGJ.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

1. Terbentuknya desa yang anggota masyarakatnya mampu merawat sesama anggota

masyarkat yang mengalami gangguan jiwa secara mandiri melalui penerapan

konsep dan prinsip manajemen keperawatan kesehatan jiwa komunitas dan

aplikasi asuhan keperawatan kesehatan jiwa komunitas

2. Terbentuknya perilaku pasien gangguan jiwa yang sadar akan kebutuhannya

untuk berobat dengan mengunjugi poli jiwa dan mengontrol perilaku

menyimpangnya

3. Deteksi dini untuk psien gangguan jiwa agar tertangani dengan segera

1.2.2 Tujuan khusus

1. Mengindekteksi kebutuhan dan masalah pelayanan kesehatan jiwa yang berkait

dengan manajemen keperawatan kesehatan jiwa komunitas di Kecamatan Bantur

( Desa Bantur, Wonorejo, Srigonco, Sumberbening, Bandungrejo)

2. Menetapakan kebutuhan dan masalah pelayanan kesehatan jiwa yang terkait

dengan manajemen keperawatan kesehatan jiwa komunitas di Keccamatan

Bantur (Desa Bantur, Wonorejo, Srigonco, Sumberbening, Bandungrejo)

3. Menyusun rencana alternatif pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah

yang telah ditetapkan


4. Mengusulkan alternatif pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah yang

bersiafat terknis operasional bagi komunitas di Kecamatan Bantur (Desa Bantur,

Wonorejo, Srigonco, Sumberbening, Bandungrejo)

1.3 manfaat

1.3.1 Bagi Puskesmas

Membantu menyelesaikan masalah khususnya terkait dengan kesehatan jiwa secara

optimal dari aspek manajemen pelayanan keperawatan tertentu, sehingga

diharapakan dapat membantu puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan masyarakat, yang akhirnya meningkatkan mutu pelayanan

1.3.2 Bagi Kecamatan Bantur

Membantu menyelesaiakan masalah yang terjadi di masyarkat Kecematan Bantur

(Desa Bantur, Wonorejo, Srigonco, Sumberbening, Bandungrejo), khusunsnya

kesehatan jiwa.

1.3.3 Bagi Masyarakat

Menambah wawasan dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan jiwa. Serta

masyrakat menjadi siaga terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa di

masyarakat

Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari

unsur psikis Maramis, (2010). Jenis-jenis gangguan jiwa menurut Keliat, (2009) : Gangguan

jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal, gangguan waham, gangguan
suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang

berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, gangguan kepribadian dan perilaku

masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan

emosional dengan onset masa kanak dan remaja. Menurut Keliat, (2009) jenis-jenis

gangguan jiwa yaitu:

a. Skizofrenia

Merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi

personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatubentuk psikosa yang sering

dijumpai dimana mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-

musabab dan patogenisanya sangat kurang. Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak

dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara

bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa

terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan

personalitas yang rusak “cacat”. Skizofrenia mempunyai macam-macam jenisnya, menurut

Maramis (2004) jenis-jenis skizofrenia meliputi:

1. Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya

Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejalagejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah

beberapa kali serangan skizofrenia.

2. Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama

ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir

biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini

timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan


keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam

kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada

orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau

“penjahat”. 3) Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis

(2004) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara

15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan

kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-

kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.

3. Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali antara umur

15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin

terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.

4. Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol

secara bersamaan, juga gejalagejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini

cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi

serangan.

b. Depresi

Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan

yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,

psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan

yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna,

putus asa dan lain sebagainya. Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan

dengan penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah
yang mendalam. Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik

berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri,

pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan

takut pada bahaya yang akandatang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan

normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai.

Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan dan

menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi. Individu yang menderita suasana perasaan

(mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi

yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas. Depresi dianggap normal

terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa

penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih.

c. Kecemasan

Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang

dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya. Suatu

keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak

spesifik. Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali.Intensitas

kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat. Menurut Stuart &

Sundeen (2008) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang

meliputi kecemasan ringan, sedang, berat, dan kecemasan panik.

d. Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-

gejala nerosa berbentuk hamper sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun

rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian, nerosa dan gangguan intelegensi

sebagian besar tidak tergantung pada satu dan yang lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi

gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian

skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepribadian

histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, kepribadian pasif agresif, kepribadian

inadequate.

e. Gangguan mental organic

Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh

gangguan fungsi jaringan otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh

penyakit badaniah yang terutama mengeni otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian

otak yang terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak

tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu

saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit

yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan

kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu dari pada pembagian akut dan

menahun.

f. Gangguan kepsikomatik

Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah. Sering terjadi

perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan
fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetative. Gangguan psikosomatik

dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya

fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.

g. Retardasi mental

Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak

lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hilangnya keterampilan selama masa

perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya

kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.

h. Gangguan perilaku masa anak dan remaja

Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan

permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat. Anak dengan gangguan perilaku dapat

menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari

anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling

memengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian yang

umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Pada gangguan otak seperti trauma

kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahan kepribadian. Faktor lingkungan

juga dapat mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena lingkungan

itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah.

2.4 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Gejala-gejala gangguan jiwa adalah hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatic,

psikologik, dan sosio-budaya. Gejala-gejala inilah sebenarnya menandakan dekompensasi


proses adaptasi dan terdapat terutama pemikiran, perasaan dan perilaku (Maramis, 2010).

Gangguan mental dan penyakit mental dalam taraf awal gejala-gejalanya sulit dibedakan,

bahkan gejala itu kadangkala menampak pada orang normal yang sedang tertekan emosinya

dalam batas-batas tertentu. Pada taraf awal sulit dibedakan dengan gejala pada gangguan

mental gejala umum yang muncul mengenahi keadaan fisik, mental, dan emosi. Tanda dan

gejala gangguan jiwa secara umum menurut Yosep (2009) adalah sebagai berikut :

a. Ketegangan (tension), Rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan-perbuatan

yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut,

pikiran-pikiran buruk.

b. Gangguan kognisi pada persepsi merasa mendengar (mempersepsikan) sesuatu bisikan

yang menyuruh membunuh, melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang

disekitarnya tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya muncul

dari dalam individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat berat dia rasakan. Hal ini

sering disebut halusinasi, klien bisa mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan

sesuatu yang sebenarnya tidak ada menurut orang lain.

c. Gangguan kemauan klien memiliki kemauan yang lemah (abulia) susah membuat

keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali bangun pagi, mandi, merawat diri

sendiri sehingga terlihat kotor, bau, dan acak-acakan.

d. Ganggaun emosi klien merasa senang, gembira yang berlebihan (Waham kebesaran).

Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja, pengusaha, orang kaya, titisan Bung

Karno tetapi dilain waktu ia bisa merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi)

samapai ada ide ingin mengakhiri hidupnya.


e. Gangguan psikomotor Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan yang berlebihan naik

keatas genting berlari, berjalan maju mundur, meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang

tidak disuruh atau menentang apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak atau melakukan

gerakan aneh. Menurut Yosep, (2009) dalam keadaan fisik dapat dilihat pada anggota

tubuh seseorang yang menderita gangguan jiwa, diantaranya sebagai berikut :

 Suhu Badan berubah

Orang normal rata-rata mempunyai suhu badan sekitar 37 derajat celcius. Pada

orang yang sedang mengalami gangguan mental meskipun secara fisik tidak terkena

penyakit kadangkala mengalami perubahan suhu.

 Denyut nadi menjadi cepat

Denyut nadi berirama, terjadi sepanjang hidup. Ketika menghadapi keadaan yang

tidak menyenangkan, seseorang dapat mengalami denyut nadi semakin cepat.

 Nafsu makan berkurang

Seseorang yang sedang terganggu kesehatan mentalnya akan mempengaruhi pula

dalam nafsu makan. Keadaan mental dan emosi nampak ditandai dengan : Delusi atau

Waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal) meskipun telah

dibuktikkan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita

tetap meyakini kebenarannya.

f. Halusinasi yaitu pengelaman panca indera tanpa ada rangsangan misalnya penderita

mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari

suara/bisikan itu.

g. Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya, misalnya

bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.


h. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan

gembira berlebihan.

i. Tidak atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak ada upaya usaha,

tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas dan selalu

terlihat sedih.

2.5 Penyebab Umum Gangguan Jiwa

Gejala utama atau gejala lain yang timbul itu terdapat pada unsure kejiwaan tetapi

penyebab utamanya dapat berasal dari badan (somatogenik), psikogenik, di lingkungan sosial

(sosiogenik).

a. Faktor-faktor Somatogenik

Dalam setiap individu memiliki fisik yang berbedabeda. Struktur jaringan dan

fungsi system syaraf dalam mempengaruhi tubuh untuk dapat beradaptasi dan menerima

rangsang sampai dapat diterima oleh otak tubuh manusia (Djamaludin, 2010).

b. Faktor Psikogenik

Perasaan interaksi antara orang tua dan anak, secara normal akan timbul rasa

percaya dan rasa aman, namun jika timbul perasaan abnormal berdasarkan kekurangan,

distorsi, dan keadaan yang terputus dapat menimbulkan perasaan tak percaya dan

kebimbangan. Hal ini dapat berlanjut pada hubungan dengan lain keluarga dan

pekerjaan, serta masyarakat. Selain itu dapat timbul karena ada faktor kehilangan yang

mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah. Tingkat emosi dan

kemampuan individu dalam mengenal diri kemampuan berkreatifitas, keterampilan dan

menyesuaikan diri terhadap lingkungan (Djamaludin, 2010).

c. Faktor Lingkungan Sosial


Kestabilan keluarga sangat berpengaruh dalam kejiwaan setiap orang. Seperti

halnya pola asuh yang diterima seorang anak dari orang tuanya. Nilai-nilai yang

ditanamkan akan mempengaruhi kehidupan dan kejiwaan setiap individu (Djamaludin,

2010).

2.6 Respon dari Penderita Gangguan Jiwa

Sebagai makhluk biopsikososial setiap individu memiliki cara karakteristik yang unik dan

berespon terhadap orang yang ada disekitarnya dengan berbagai cara. Respon individu

tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya (Maramis, 2010) :

a. Faktor Individual

Faktor Individual dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya adalah usia, pertumbuhan

dan perkembangan. Usia seseorang mempengaruhi cara mengekspresikan penyakitnya. Sebagai

contoh seorang anak kecil yang mengalami gangguan hiperaktivitas defisit perhatian tidak

memiliki pemahaman dan kemampuan untuk mendiskripsikan perasaannya sehingga perawat

harus menyadarkan tingkat bahasa anak dan berupaya memahami pengalaman anak tersebut.

Setiap perkembangan fase demi fase harus diselesaikan. Melaksanakan tugas perkembangan

tersebut mempengaruhi cara individu berespon terhadap stress dan penyakitnya. Melaksanakan

tugas perkembangan tersebut mempengaruhi cara individu berespon terhadap stress dan

penyakitnya.

b. Faktor Genetik dan Faktor Biologis

Struktur genetik memiliki pengaruh yang sangat besar pada respon terhadap penyakit.

Hubungan genetik spesifik tidak teridentifikasi pada beberapa gangguan jiwa, namun telah
menunjukkan bahwa gangguan tersebut cenderung timbul lebih sering pada keluarga yang

memiliki riwayat yang sama.

c. Faktor Interpersonal

Dari dalam individu seperti perasaan memiliki, perasaan keterkaitan dalam suatu sistem

social atau lingkungan. Maslow menjelaskan perasaan memiliki sebagai kebutuhan dasar

psikososial manusia. Perasaan memiliki terbukti dalam meningkatkan kesehatan.

d. Faktor Budaya

Budaya memiliki pengaruh yang paling besar terhadap keyakinan dan praktik kesehatan

individu. Budaya terbukti mempengaruhi konsep individu terhadap penyakit. Dengan keyakinan

tersebut mempengaruhi kesehatan individu dalam kesembuhan penyakitnya.

2.7 Dampak Gangguan Jiwa bagi Keluarga

Menurut Wahyu, (2012) dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi keluarga

diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:

a. Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa,

pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan meyakini memiliki penyakit

berkelanjutan. Selama episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang

terjadi pada mereka cintai. Pada proses awal, keluarga akan melindungi orang yang sakit

dari orang lain dan menyalahkan dan merendahkan orang yang sakit untuk perilaku tidak

dapat diterima dan kurangnya prestasi. Sikap ini mengarah pada ketegangan dalam

keluarga, dan isolasi dan kehilangan hubungan yang bermakna dengan keluarga yang
tidak mendukung orang yang sakit. Tanpa informasi untuk membantu keluarga belajar

untuk mengatasi penyakit mental, keluarga dapat menjadi sangat pesimis tentang masa

depan. Sangat penting bahwa keluarga menemukan sumber informasi yang membantu

mereka untuk memahami bagaimana penyakit itu mempengaruhi orang tersebut. Mereka

perlu tahu bahwa dengan pengobatan, psikoterapi atau kombinasi keduanya, mayoritas

orang kembali ke gaya kehidupan normal.

b. Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam anggota

keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak dapat berkomunikasi

layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman

untuk mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. stigma dalam begitu banyak di

kehidupan sehari-hari, tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan

dari aktif berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.

c. Frustasi, tidak berdaya dan kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan tingkah laku

aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan, dan melelahkan. Bahkan

ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi.

Anggota keluarga memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi

marah-marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke

rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.

d. Kelelahan dan Burn out

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang dicintai

yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu mengatasi
dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus terus-menerus dirawat. Namun

seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari,

terutama jika hanya ada satu anggota keluarga mungkin merasa benar-benar diluar

kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang

ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa

dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan keluarga tidak boleh

berhenti untuk selalu men-support penderita.

e. Duka

Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit mental.

Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi dan berpartisipasi

dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-

menerus. Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak

dapat disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk

disembuhkan dan melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan

sebagai yang memiliki potensi berubah.

f. Kebutuhan pribadi dan mengembangkan sumber daya pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stress dan banyak pekerjaan, dapat

menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem pendukung yang

sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus diingatkan bahwa mereka harus

menjaga diri secara fisik, mental, dan spiritual yang sehat. Memang ini bisa sangat sulit

ketika menghadapi anggota keluarga yang sakit mereka. Namun, dapat menjadi bantuan

yang luar biasa bagi keluarga untuk menyadari bahwa kebutuhan mereka tidak boleh

diabaikan.
2.8 Pencegahan Kekambuhan Gangguan Jiwa

Pencegahan kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali

gejala-gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan Yulianti, (2010). Pada

gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan

79% pada tahun ke dua (Yosep,2009). Kekambuhan biasa terjadi karena adanya

kejadiankejadian buruk sebelum mereka kambuh Empat faktor penyebab klien kambuh dan

perlu dirawat dirumah sakit, menurut Dit, (2008) :

a. Klien : sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur

mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan

25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.

b. Dokter (pemberi resep) : makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun

pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive

Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak

terkontrol.

c. Penanggung jawab klien : setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap

bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.

d. Keluarga : Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi

emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan

menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi

keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang

menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan

(kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien dan keluarga dapat mengatasi dan

mengurangi stress. Cara terapi biasanya : mengumpulkan semua anggota keluarga dan
memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk

menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien gangguan jiwa, memfasilitasi untuk

hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru. Beberapa gejala kambuh yang perlu

diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu :

 Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)

 Tidak nafsu makan

 Sukar konsentrasi

 Sulit tidur

 Depresi

 Tidak ada minat

 Menarik diri

Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan

pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat

komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai “ruangan

perawatan”. Perawat, klien dan keluarga besar sama untuk membantu proses

adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak

dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di puskesmas.

Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat

utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang

diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika

tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat

kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah sakit akan

meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga


kemungkinan dapat dicegah. Pentingnya peran serta keluarga dalam klien

gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan

tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya.

Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan

mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Individu menguji coba

perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu

dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu

untuk berperan di masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka

gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan dapat mempengaruhi

seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab

gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan mempengaruhi perilaku anak,

dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor penyebab kambuh

gangguan jiwa adalah : Dit, (2008). Keluarga yang tidak tahu cara menangani

perilaku klien di rumah klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan

kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun

kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di

rumah atau di masya

Anda mungkin juga menyukai