Anda di halaman 1dari 16

MATERI KULIAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

JUDUL :

NEGARA HUKUM
DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Disampaikan Oleh :

Dr.Cucu Solihah, MH.

PROGRAM PASCASARJANA
ILMU HUKUM UNVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
Jl. Pasir Gede Raya Telp. (0263) 261215 Fax. (0263) 284754
Email. Pascasarjana. Ilmuhukum@mail.com

NEGARA HUKUM DAN


1
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Materi Kuliah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Suryakancana
Disampaikan Oleh :
Dr.Cucu Solihah., MH.

A. Konsep Dasar Negara Hukum


Pemikiran atau konsepsi manusia merupakan anak zaman yang lahir dan berkembang
dalam situasi kesejarahan dengan berbagai pengaruhnya. Pemikiran manusia tentang Negara
Hukum, juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Konsep negara hukum
merupakan konsep universal, namun pada tataran implementasinya, ternyata memiliki
karakteristik beragam. Hal itu disebabkan adanya pengaruh-pengaruh situasi kesejarahan,
disamping pengaruh falsafah bangsa, ideologi Negara, dan budaya masyarakat.
Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai
model , seperti :
1. Negara hukum menurut Alquran dan Sunnah atau Nomokrasi Islam;
2. Negara hukum eropa kontinental yang dinamakan ‘Rechtsstaat’;
3. Negara hukum menurut Anglo Saxon dinamakan ‘Rule of Law’;
4. Negara hukum menurut kaum sosialis dinamakan ‘Socialist Legality’;
5. Negara hukum Indonesia dinamakan ‘Negara Hukum Pancasila’.1
Gagasan negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato dalam bukunya yang
berjudul ‘Nomoi’. Plato mengemukakan ‘bahwa penyelenggara negara yang baik harus
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik’.2 yang disebutnya istilah nomoi, kemudian
ide tentang negara hukum popular pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa
yang didominasi oleh absolutisme.3
Gagasan Plato ini dikembangkan oleh muridnya Aristoteles dalam bukunya ‘Poleteia’.
Menurut Aristoteles ‘suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah oleh konstitusi dan
berkedaulatan hukum’. Ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu :
1. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum;
3. Pemerintahan berkonstitusi, berarti pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
Konsep negara hukum tersebut selanjutnya berkembang dalam 2 (dua) sistem hukum
yaitu Eropa Kontinental dengan istilah ‘Rechtsstaat’ dan sistem Anglo Saxon dengan istilah

1
Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Hlm. 63
2
Ibid, Hlm. 66
3
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Diulihat dari segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992,
Hlm. 66
2
‘Rule of Law’. Rule of Law berkembang dinegara-negaera Anglo Saxon, seperti Amerika
Serikat. 4
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu
yang cukup lama. Gagasan negara hukum muncul kembali pada abad ke-19, dengan
munculnya konsep negara hukum Eropa Kontinental (Rechtsstaat) di pelopori oleh Immanuel
Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl konsep ini ditandai oleh 4 (empat) unsur
pokok diantaranya :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. Negara didasarkan pada teori Trias Politika;
3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);
4. Ada Peradilan Administrasi Negara yang bertugas menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).5
Adapun konsep negara hukum Anglo Saxon (Rule of Law) di pelopori oleh A.V. Dicey
(Inggris). Menurut A.V. Dicey, konsep Rule of Law ini menekankan pada 3 (tiga) tolok ukur
diantaranya :
1. Supermasi Hukum (supremacy of law);
2. Persamaan didepan hukum (equality before the law);
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak perorangan (the constitution based on individual
rights)
Dengan demikian maka negara hukum hakekatnya adalah negara yang menolak
melepaskan kekuasaan tanpa kendali, Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang
adil dan demokratis, kekuasaan negara didalamnya harus tunduk pada ‘aturan main’.
Munculnya ‘unsur peradilan administrasi dalam perselisihan’ pada konsep Rechsstaat
atau negara hukum formil tersebut diatas menunjukan adanya hubungan historis antara Negara
hukum Eropa Kontinental dengan Negara Hukum Anglo Saxon (Romawi).
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa :
1. Konsep Rechsstaat bertumpu pada sistem hukum Kontinental yang disebut ‘Civil Law’
atau ‘Modern Raman Law’, sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum
‘Common Law’ yang diatur negara-negara Anglo Saxon.
2. Karakteristik ‘Civil Law’ adalah ‘adminsitrative’ sedangkan karakteristik ‘Common
Law’ adalah ‘judicial’.
3. Perbedaan karakteristik disebabkan kerena latar belakang kekuasaan raja.6
Dalam perkembangan negara hukum tersebut mengalami penyempurnaan, yang secara
umum dapat dilihat di antaranya :
4
Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, Hlm. 267
5
Selanjutnya konsep Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan pada suatu
pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. Bandingkan dengan Denny Indrayana, Negara Hukum
Pasca Soeharto; Transisi Menuju Demokrasi vs Korupsi, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No.
1 Juli 2004, Hlm. 106

6
Ibid, Hlm. 73
3
1. Sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat;
2. Pemerintah melaksanakan tugas dan kewajiban berdasarkan hukum atau peraturan
perundang-undangan;
3. Adanya jaminan hak asasi manusia (warga negara);
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
5. Adanya peradilan yang bebas dan mandiri;
6. Adanya peranan anggota masyarakat dalam mengawasi roda pemerintahan;
7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.7
Perumusan unsur-unsur negara hukum tersebut tidak terlepas dari falsafah dan sosio
politik yang melatarbelakangi, terutama pengaruh falsafah individualisme. Yang
menempatkan individu atau warga negara sebagai ‘premus interpares’ dalam kehidupan
kenegaraan oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak
individu menempati posisi yang signifikan.
Semangat membatasi kekuasaan ini semakin kental setelah lahirnya adagium dari Lord
Acton, yaitu ‘power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely’ (manusia yang
mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaannya itu, tetapi kekuasaan
yang tidak terbatas pasti akan disalahgunakan).8
Pembatasan kekuasaan dalam negara tercantum dalam konstitusi, sehingga sering
disebut ‘pemerintahan berdasarkan konstitusi.9 Esensi bagi negara berkonstitusi adalah
‘perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia’ karena itu konstitusi merupakan ‘conditio sine
quanon’ dalam negara hukum. Memang tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak
mempunyai konstitusi, karena konstitusi dan negara tidak dapat dipisahkan. 10 Bila negara
hukum diidentikkan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu Negara, maka sejalan dengan
dengan pendapat A. Hamid S. Attamimi yang menyatakan bahwa dalam abad ke 20 hampir
tidak ada satupun Negara moderen tanpa menyebutkan dirinya sebagai ‘Negara berdasarkan
atas hukum’.11
Menurut Budiono Kusumohamidjojo, bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai
politik dan hukum secara bertahap menuju kearah negara yang akan mewujudkan harapan
para warganya akan kehidupan yang tertib, adil, sejahtera jika Negara itu diselenggarakan
berdasarkan hukum sebagai aturan main.12
Konsep negara hukum Indonesia menurut Garry F. Bell dalam bukunya The New
Indonesion Laws Relating to Regional Autonomy Good Intentions, Confusing Laws seperti
7
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni Bandung, 1992, Hlm. 29-30
8
Lord Acton dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Radjawali Press, Jakarta, 2006, Hlm 6
9
Miriam Budiardjo, Op Cit, Hlm. 52
10
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung, 1987, Hlm. 2
11
A. Hamid S. Attamimi, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Perspektif Menurut Pancasila dan UUD
1945, Makalah, UNTAG, Jakarta, 9 Juli 1994, Hlm. 2
12
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta,
1999, Hlm 147
4
dikutip Denny Indrayana sebagai terminologi negara hukum (a nation of law) dalam kontek
hukum Indonesia lebih mendekati konsep hukum continental (rechsstaat) dibandingkan
konsep rule of law dinegara-negara Anglo Saxon.
Pernyataan yang aga berbeda disampikan oleh R.M. Ananda B. Kusuma melihak
bahwa negara Republik Indonesia menganut asas Rechtsstaat Kontinental dan asas Rule of
Law, hal ini dapat dilihat dalam kunci pokok supremacy of Law pokok 1) equality before the
Law,, tercermin dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1); dan 2) Constitutional Based on Human
Righet tercermin pada sistem konstitusional yang memuat aturan HAM Pasal 27 Ayat (2)
Bab XA, Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 34.13
Perbedaan ini kemudian menjadi sangat menarik mengingat N.W. Barber memberikan
pemahaman yang meyakinkan, bahwa antara dua sistem hukum tersebut mengandung banyak
persamaan.
Indonesia secara formal sudah sejak tahun 1945 (UUD 1945 pra amandemen)
mendeklarasikan diri sebagai negara hukum terbukti dalam penjelasan UUD 1945 dengan
tegas dinyatakan ‘Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dan bukan negara yang
berdasarkan kekuasaan belaka’konsep negara hukum Indonesia dipertegas dalam UUD 1945
hasil amandemen dalam Pasal 1 Ayat (3) yang menetapkan bahwa ‘Negara Indonesia adalah
Negara Hukum’.
Memperhatikan rumusan diatas maka Ismail Suny mencacat empat syarat negara
hokum secara formil yang menjadi kewajiban kita untuk melaksanakannya dalam negara
Republik Indonesia dianataranya :
1. Hak Asasi Manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan administrasi.14
Berdasarkan beberapa rumusan diatas secara umum unsur-unsur bagi setiap negara
hukum meliputi : 1) adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan
rakyat; 2) bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab harus berdasar atas
hokum atau peraturan perundang-undangan; 3) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga
negara); 4) adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 5) adanya pengawasan dari badan peradilan
yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak
berada di bawah pengaruh eksekutif; 6) adanya perannm yang nyata dari anggota masyarakat atau
warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan
oleh pemerintah; 7) adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata
sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi-konstitusi oleh karena itu,
keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum meupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri , tidak

13
RM. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Kostitusi, Mahkamah Konstitusi RI
Vol.1 No. 1, Juli, 2004, Hlm. 146
14
Ismail Suny, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca-Amandemen UUD 1945, Kertas Kerja, Seminar
tentang Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945 diselenggarakan oleh Badan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerja sama dengan FH UNAIR dan Kanwil Departemen
Kehakiman dan HAM RI Provinsi Jawa Timur di Surabaya, tanggal 9-10 Juni, 2004, Hlm. 5-6
5
ada suatu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Oleh sebab itu, pada dasarnya dalam konsep tentang negara hukum tersebut ada dua substansi dasar,
yaitu 1) adanya paham konstitusi; 2) sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di
dalamnya, yaitu sebagai berikut : pertama, prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 Ayat (2)). Kedua,
pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945); Ketiga, jaminan terhadap hak asasi
manusia (Pasal 27, 28, 29, 31), Keempat, pembagian kekuasaan (Pasal 2,4,16, 19); Kelima,
pengawasan peradilan (Pasal 24); Keenam, pertisipasi warga negara (Pasal 28), Ketujuh, sistem
perekonomian (Pasal 33).

B. Negara Hukum Demokratis


Terdapat korelasi antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan
perundang-undangan dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui demokrasi. korelasi
itu tampak dari munculnya istilah ‘demokrasi konstitusional’. Dalam sistem demokrasi,
penyelenggaraan negara harus bertumpu pada partisipasi (keikutsertaan) dan kepentingan
rakyat. Implementasi negara hukum harus ditopang dengan sistem demokrasi.
Hubungan antara negara hukum dengan demokrasi tidak dapat dipisahkan. ‘Demokrasi
tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa
demokrasi akan kehilangan makna’. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas Negara Hukum.15
Negara hukum demokratis atau demokrasi konstitusional mengakomodir prinsip-prinsip
negara hukum dan prinsip-prinsip negara demokrasi, yang meliputi :
1. Prinsip-prinsip negara hukum :
a. Asas legalitas;
b. Perlindungan hak asasi;
c. Pemerintah terikat pada hukum;
d. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum;
e. Pengawasan oleh hakim yang merdeka.
2. Friedrich Julius Stahl, elemen penting dari Negara hokum adalah :
a. Adanya jaminan atas hak-hak dasar manusia;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Adanya pemerintahan berdasarkan undang-undang;
d. Adanya peradilan administrasi Negara.
3. Ciri-ciri Negara Hukum adalah :
a. Adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia;
b. Adanya peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain
dan tidak memihak;
c. Legalitas dalam arti hokum dengan segala bentuknya.
4. Unsur-unsur Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah :
a.Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia warga Negara;

15
Ibid, Hlam. 163
6
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c.Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus selalu berdasarkan hokum yang
berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
5. Prinsip-prinsip demokrasi :
a. Perwakilan politik;
b. Pertanggungjawaban politik;
c. Pemencaran kewenangan;
d. Pengawasan dan kontrol;
e. Kejujuran dan keterbukaan pemerintah untuk umum;
f. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.16
6. Ciri-ciri Negara Demokrasi adalah :
a. Penghormatan terhadap prularisme dalam masyarakat, dengan menghilangkan
sikap sektarian dan sikap mau menang sendiri. Di Indonesia, prinsip ini tersimpul
dalam selogan Bhineka Tunggal Ika (berbeda tetapi satu tujuan);
b. Semangat musyawarah dalam mencapai suatu putusan tertentu;
c. Cara yang diambil haruslah selaras dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal
ini demokrasi tidak hanya berkepentingan dengan aspek proseduralnya saja
(seperti bagaimana prosedur pemilihan umum, pengambilan putusan di parlemen,
dsb) melainkan demokrasi berkepentingan juga dengan tujuan atau hasil yang
dicapai. Misalnya, sudahkan dengan pemilihan umum tersebut menghasilkan para
wakil rakyat atau para pemimpin yang berkualitas;
d. Norma Kejujuran dalam bermufakat, dengan prinip kejujuran dan ketulusan
dalam bermusyawarah, kita dapat diharpkan untuk saling menghargai perbedaan-
perbedaan yang ada, dan dapat mengmbil putusan yang menguntungkan semua
pihak (win-win solution);
e. Norma kebebasan, persamaan hak, dan kesamaan perlakuan di antara anggota
masyarakat;
f. Toleransi terhadap perinsip “coba dan salah” (trial and error) dalam
mempraktekan demokrasi.
7. Syarat-syarat agar suatu demokrasi tumbuh dan survive adalah :
a. Konsep Negara hukum, karena demokrasi hanya dapat hidup dan berkembang
dengan baik jika unsure-unsur Negara hokum terpenuhi di Negara mana system
demokrasi akan diterapkan;
b. Intensitas konflik harus ditekan sekecil mungkin;
c. Stabilitas ekonomi dan social harus diperhatikan;

16
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Utrecht Uitgeverij Lemma
BV, 1995, Hlm. 41
7
d. Konsep masyarakat madani (civil society), dimana dalam masyarakat seperti ini
berlaku perinsip terbuka, egaliter, bebas dari rasa takut, toleransi dan
menghormati keberagaman, dan sebagainya;
e. Consensus dasar dan organisasi masyarakat yang plural harus ada;
f. Budaya demokrasi yang genuine di Negara yang bersangkutan, sehingga dapat
menangkis pola perilaku masyarakat yang tidak demokratis. Dengan demikian
dapat terbentuk suatu demokrasi yang berperadaban (civilized democracy).
Tanapa budaya demokrasi yang genuine tersebut, pelaksanaan demokrasi akan
berjalan ditempat, dan membutuhkan waktu lama untuk sampai pada penerapan
demokrasi yang baik;
g. Konsep ranah publik (public sphere) yang luas, yakni yang merupakan tempat
dimana rakyat dan kelompok penekan (pressure group) dapat dengan bebas
menyuarakan aspirasinya;
h. Kultur oposisi, dimana para oposan terhadap pemerintah dapat mengkeritik
pemerintah tanpa ada intimidasi dari pihak manapun;
i. Kehidupan beragama yang menghargai pendapat orang lain/sekte lain/agama lain;
j. Tingkat kemakmuran masyarakat yang baik.
8. Nilai-nilai yang terkandung dalam Negara demokrasi meliputi :
a.Nilai kesetaraan (egalitarialisme);
b. Nilai penghargaan terhadap HAM;
c.Nilai perlindungan (protection);
d. Nilai keberagaman (pluralism);
e.Nilai keadilan;
f. Nilai toleransi;
g. Nilai kemanusiaan;
h. Nilai ketertiban;
i. Nilai penghormatan terhadap orang lain;
j. Nilai kebebasan;
k. Nilai penghargaan terhadap kepemilikan;
l. Nilai tanggung jawab;
m. Nilai kebersamaan;
n. Nilai kemakmuran.
9. Unsur-unsur demokrasi meliputi :
a. Kedaulatan secara inklusif hanya ada pada rakyat;
b. Adanya ruang tempat dimana rakyat dapat berpartisipasi secara aktif, disamping
partisipasi dari parlemen yang juga merupakan wakil-wakil dari rakyat;
c. Adanya perlindungan yang maksimal terhadap HAM;
d. Adanya system plus trias politika;
e. Adanya system check and balances anatara eksekutif, legislatif, efaluatif dan
yudikatif;

8
f. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap HAM;
g. Adanya pemahaman yang sama (common understanding) di anatara rakyat
terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah;
h. Adanya pemilihan umum yang LUBER dan JURDIL;
i. Adanya hak untuk memilih dan dipilih secara merata dalam mengisi jabatan
politik dan jabatan publik;
j. Adanya sumber-sumber informasi alternatif kepada rakyat disamping sumber
informasi dari pemerintahan;
k. Adanya system yang menjamin bahwa pelaksanaan kekuasaan Negara dapat
mewujudkan semaksimal mungkin hasil suara dan aspirasi masyarakat yang
persermun dalam suatu pemilihan umum;
l. Adanya perlakukan yang sama terhadap semua kelompok dan golongan dalam
masyarakat;
m. Adanya perlindungan terhadap golongan minoritas dan golongan rentan;
n. Pengambilan putusan dengan system one man one vote;
o. Adanya system oposisi yang kuat;
p. Adanya penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam masyarakat;
q. System recruitment terhadap kekuasaan-kekuasaan dan jabatan Negara yang
dilakukan secara terbuka dan fair;
r. Adanya suatu system yang dapat menjamin terlaksananya suatu rotasi system
kekuasaan yang teratur, damai dan alami;
s. Adanya akses yang mudah dan cepat kepada masyarakat luas terhadap setiap
informasi tentang kebijakan pemerintah;
t. Adanya system yang akomodatif terhadap suara/pendapat/kepentingan yang ada
dalam masyarakat;
u. Pelaksanaan system pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance;
v. Perwujudan prinsip supermasi hokum dan rule of law;
w. Terujudnya system kemasyarakatan yang berbasis masyarakat madani (civil
society).
Arief Budiman,17 criteria kenetralan dan kemandirian konsep Negara demokrasi
konstitusional atau Negara hukum formal ini biasa disebut sebagai Negara hukum pluralism,
yaitu Negara yang tidak mandiri hanya bertindak sebagai penyaring berbagai keinginan dari
dalam masyarakatnya. Dalam Negara ini setiap kebijakan yang dikeluarkan bukanlah atas
inisiatif yang timbul dari kemandirian Negara, melainkan lahir dari proses penyerapan aspirasi
masyarakat secara penuh melalui parlemen.

C. Tugas-Tugas Pemerintahan Dalam Negara Hukum Modern (Welvaartsstaat)

17
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Yapemdo Bandung, 2009, Hlm. 337
9
Sejarah telah membuktikan bahwa pemusatan kekuasaan di satu tangan atau lembaga
telah membawa bencana bagi kehidupan Negara demokrasi dan kemasyarakatan serta
terlanggarnya hak-hak asasi warga negara. Oleh karena itu kekuasaan Negara perlu
dipencarkan dan dipusatkan dalam berbagai lembaga Negara, sehingga terjadi saling control
(checks and balances).
Pentingnya pemencaran dan pemisahan kekuasaan dalam Negara kemudian melahirkan
teori pemencaran kekuasaan atau pemisahan kekuasaan. John Locke yang pertama kali
mengintrodusir ajaran pemisahan kekuasaan Negara dalam bukunya ‘Two Treaties on Civil
Government”, dengan membaginya :
1. Kekuasaan legislatif (membuat undang-undang);
2. Kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang);
3. Kekuasaan federatif (kekuasaan dan hubungan luar negeri).
Ajaran pemisahan kekuasaan dikembangkan lebih moderen oleh Montesquieu dalam
bukunya L’Esprit des Lois (The spirit of the law),18 dengan menyatakan tiga organ utama
dalam negara ‘legislatif, eksekutif, yudikatif dan menurut penulis ditambah evaluatif’.
Masing-masing organ trsebut harus dipisahkan agar tidak menimbulkan ancaman bagi
kebebasan individu. Ajaran pemisahan kekuasaan dalam perkembangan mengalami
modifikasi dengan nama ‘pembagian kekuasaan’, sesuai dengan UUD 1945 sebelum
diamandemen. Pembagian kekuasaan dalam perkembangnnya terus mengalami modifikasi,
diantaranya :
1. AM. Donner dan E. Utrecht, membagi dua kekuasaan dalam negara, yaitu :
g. Policy making (menentukan haluan negara);
h. Task executing (pelaksana tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh
Negara)
2. Hans Kelsen. membagi :
a. Politik sebagai etik, yakni memilih tujuan-tujuan kemasyarakatan;
b. Politik sebagai estetik, bagaimana merealisasikan tujuan-tujuan tersebut;
3. Logemaan, membagi tugas negara menjadi dua yaitu :
a. Menentukan tujuan yang tepat;
b. Melaksanakan tujuan tersebut secara tepat pula.
4. Van Vollenhoven, membagi empat tugas Negara yaitu :
a. Regeling (membuat undang-undang);
b. Bestuur (pemerintahan);
c. Yustitusi (menyelesaikan sengketa);
d. Politie memelihara ketertiban dan keamanan.
5. Lemaire, membagi lima tugas Negara, yaitu :
a. Perundang-undangan;
b. Pelaksanaan perundang-undangan;

18
S.A. de Smith, Constitutional and Administrative Law, Secon Edition, Penguin Education, England, 1973,
Hlm. 39
10
c. Pemerintahan;
d. Kepolisian;
e. Pengadilan.
Setelah perang dunia kedua pada umumnya Negara di dunia adalah Negara
Kesejahteraan (welfare stste). Konsep Negara Kesejahteraan timbul sebagai reaksi atas
kegagagalan konsep “legal state” atau “negara penjaga malam” atau “pembatasan peranan
negara dan pemerintah dalam bidang politik” yang bertumpu pada dalil “The least
government is the best government” dan terdapat ekonomi yang melarang Negara dan
pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat. Akibat pembatasan ini pemerintah
atau administrasi Negara menjadi pasif, sehingga sering disebut sebagai Negara penjaga
malam (nachtwachtesstaat).
Kegagalan implementasi negara penjaga malam, menyebabkan munculnya gagasan
yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan
rakyatnya, maka lahirlah yaitu “welfare state”.
Menurut E. Utrecht, sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan
kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi
Negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
Pemberian kewenangan kepada Administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif
sendiri lajim dikenal dengan istilah “freies Ermessen” atau “discretionary power”, yaitu suatu
istilah yang didalamnya mengandung “kewajiban dan kekuasaan yang luas”.
Kewajiban adalah tindakan yang harus dilakukan, sedangkan kekuasaan yang luas
mensyaratkan adanya “kebebasan memilih, melakukan atau tidak melakukan tindakan”, dalam
praktek kewajiban dan kekuasaan berkaitan erat.19
Nata Saputra, mengartikan ‘freies Ermessen’ sebagai suatu “kebebasan yang diberikan
kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat
administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan dari pada berpegang
teguh kepada ketentuan hukum”,20 atau kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan
sosial, guna melaksanakan tugas-tugas untuk mewujudkan kepentingan umum dan
kesejahteraan sosial atau warga negara”.
Pemberian freies Ermessen kepada Pemerintah atau administrasi Negara mempunyai
konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi hal ini sejalan dengan pendapat Robert Klitgaard
yang menuduh freies Ermessen/Diskresi sebagai penyebab terjadinya korupsi, jika tidak
diimbangi dengan adanya akuntabilitas public atau freies Ermessen/Diskresi merupakan
sumber korupsi jika kekuasaan diskresi tersebut dipergunakan seluas-luasnya.21 Dalam
permasalahan yang sama Miftah Thoha, menengarai freies Ermessen/Diskresi sebagai biang
keladi terjadinya korupsi jika diskresi itu menyalahi atau melanggar ketentuan perundang-

19
Ibid, Hlm. 531
20
M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, Hlm. 15
21
Robert Klitgaard, Corrupt Cities:A Practical Guide to Cure and Prevention, 2000, Hlm. 12
11
undangan.22 Dengan bersandar pada freies Ermessen, maka administrasi negara mempunyai
kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani
kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum dan untuk melakukan itu
diperlukan instrumen hukum. Artinya bersamaan dengan pemberian kewenangan untuk
membuat instrumen hukumnya.
Menurut E. Utrecht, kekuasaan administrasi Negara dalam bidang legislasi ini meliputi :
1. Kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam
menghadapi soal-soal genting yang belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada
pembuat undang-undang pusat;
2. Kekuasaan administrasi Negara untuk membuat peraturan atas dasar delegasi;
3. Droit function, yaitu kekuasaan administrasi Negara untuk menafsirkan sendiri berbagai
peraturan, yang berarti administrasi Negara berwenang mengoreksi hasil pekerjaan
pembuat undang-undang.

D. Negara Hukum dan Hukum Administrasi Negara


Negara hukum adalah negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan
dibatasi oleh ketentuan hukum. Atau negara hukum adalah negara yang menempatkan hukum
sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaran kekuasaan tersebut dalam segala
bentuknya dibawah kekuasaan hukum.23 Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan
menurut hukum (everything must be done according to law). Dalam negara hukum pemerintah
harus tunduk pada hukum, bukannya hukum harus tunduk pada pemerintah.24
Dalam negara hukum, hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan
kenegaraan, pemerintah dan kemasyarakatan sementara tujuan hukum itu sendiri untuk
menata masyarakat yang damai, adil dan bermakna. 25 Artinya sasaran dari negara hukum
adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang bertumpu
pada keadilan, kedamaian dan kemanfaatan dan kebermaknaan. Dalam negara hukum,
eksistensi hukum dijadikan sebagai instrument dalam menata kehidupan kenegaraan,
pemerintahan dan kemasyarakatan.
Dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu negara
hukum itu, terdapat aturan-aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-
22
Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah di Era Reformasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009,
Hlm. 79; contoh pertanggung jawaban administrasi dari penggunaan anggaran biarpun kuitansi sah ada
stempel dan tanda tangan, akan tetapi kuitansi itu hasil patgulipat antara pimpro dengan rekannya maka
sah pertanggungjawabannya . inilah diskresi / freies
Ermessen dan kekuasaan yang diberi
keleluasaan penyimpangan oleh oleh peraturan perundangan.
23
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia, Makalah, FH. UI, Jakarta, 25 April 1992,
Hlm. 8
24
H.W.R, Wade, Administrtive Law, Third Edition, Oxford, Clarendon Press, 1971, Hlm. 6
25
N.E. Algra dan H.C.J.G, Jansen, Rechtsingang Een Orientasi in Het Recht, H.D. Tjeenk Willink, bv,
Groningen, 1974, Hlm. 24
12
peraturan yang terhimpun dalam Hukum Tata Negara (HTN). Namun untuk
menyelenggarakan persoalan yang bersipat teknis, Hukum Tata Negara tidak sepenuhnya
dapat diterapkan secara efektif karena itu Hukum Tata Negara membutuhkan hukum yang
bersifat teknis, yaitu Hukum Administarsi Negara (HAN).
Menurut J.B.J.M. ten Barge Hukum Administrasi Negara adalah “perpanjanagan
Hukum Tata Negara yang berkenaan dengan keanekaragaman lebih mendalam dari tatanan
hukum publik sebagai akibat tugas oleh penguasa”.26 Atas dasar itu maka keberadaan Hukum
Administrasi Negara seiring dan sejalan dengan keberadaan Hukum Tata Negara. Hukum
Administrasi Negara berkaitan erat dengan kekuasaan dan kegiatan penguasa. Karena adanya
kekuasaan dan kegiatan penguasa itu, maka lahirlah Hukum Administrasi Negara. 27 Dengan
kata lain Hukum Administrasi Negara, sebagaimana Hukum Tata Negara , berkaitan erat
dengan persoalan kekuasaan.28 Mengingat Negara merupakan organisasi kekuasaan
(machtenorganisatie), maka pada akhirnya Hukum Administrasi Negara itu muncul sebagai
instrumen untuk mengawasi penggunaan kekuasaan pemerintahan.29 Dengan demikian,
keberadaan Hukum Administrasi Negara itu muncul kerena adanya penyelenggaraan
kekuasaan Negara dan pemerintahan dalam suatu Negara hukum, yang menuntut dan
menghendaki penyelenggaraan tugas-tugas kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan
yang berdasarkan atas hukum.
Dewasa ini hampir semua Negara di dunia menganut Negara hukum, yaitu
menempatkan hukum sebagai aturan main penyelenggaraan kekuasaan Negara dan
pemerintahan. Sebagai Negara hukum, sudah barang tentu memiliki hukum administrasi
Negara. Oleh karena itu semua Negara modern mengenal hukum administrasi Negara (all
modern staten kennen bestuursrecht). Hanya saja hukum administrasi Negara itu berbeda-beda
antara satu dengan Negara lainnya, yang disebabkan oleh di antaranya :
a. Perbedaan persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan yang dihadapi penguasa;
b. Perbedaan sistem politik;
c. Perbedaan bentuk Negara dan bentuk pemerintahan;
d. Perbedaan Hukum Tata Negara yang menjadi sandaran Hukum Administrasi Negara.30

E. Pengertian Hukum Administrasi Negara Perspektif Eropa Kontinental. Anglo


Saxon dan Indonesia.
1. Eropa Kontinental

26
J.B.B.M. ten Barge, Besturen Door de Overheid, Deventer, W.E.J. Tjeenk Willink, 1996, Hlm. 24
27
Ibid, Hlm. 4
28
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Utrecht Uitgeverij Lemma
BV, 1995, Hlm. 41
29
H.W.R. Wade, Op Cit, Hlm. 8
30
C.A.J.M. Kortmaan, Het Staatsrecht van de Landen der Europese Gemeenschappen, Kluwer-Denver,
1988, Hlm. 12
13
Willem Konijnenbelt, mengatakan bahawa HAN adalah kumpulan peraturan yang
mengatur tentang seluk beluk (hal ikhwal) kehidupan lembaga eksekutif. Dalam definisi
tersirat tiga unsur diantaranya :
a. Kumpulan peraturan hukum;
b. Hal ikhwal kehidupan lembaga eksekutif;
c. Seluk beluk ini hanya ditik beratkan pada lembaga eksekutuf.
Hukum administrasi Negara meliputi peraturan-peraturan yang berkenaan dengan
administrasi atau pemerintahan atau kekuasaan eksekutif.31
2. Anglo Saxon
H.W.R, Wade, mengatakan bahwa HAN adalah kumpulan peraturan yang berkaitan
dengan kewenangan serta pelaksanaan tugas eksekutif. Ada dua unsur utamanya yaitu :
a. Kumpulan peraturan hukum;
b. Pengatur tentang wewenang pelaksanaan tugas eksekutif.
3. Indonesia
Di Indonesia para sarjana lebih cenderung mengikuti definisi dari Belanda misalnya
Sjacran Basah memberikan definisi HAN adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan
administrasi Negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warganya
terhadap sikap tindak administrasi Negara, dan melindungi administrasi Negara itu sendiri.32
Muchsan, memberikan definisi HAN adalah kumpulan peraturan hukum yang
berkaitan dengan seluk beluk lembaga eksekutif yang menyebabkan lembaga eksekutif itu
berfungsi atau hidup. Dalam hal ini objek utama HAN adalah lembaga eksekutif yang
dipimpin oleh Presiden sebagai :
a. Kepala Negara;33
b. Kepala Pemerintahan;34

31
Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Loc Cit, Hlm. 1
32
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung,
1992, Hlm. 4
33
Kedudukan presiden sebagai kepala Negara atas segala-galanya, wewenangnya disebut ‘hak prerogatif’
atau hak yang tidak dapat ‘diganggu gugat’ karena itu harus ditaati meliputi : 1) pemegang kekuasaan
tertinggi atas Angkatan Darat (Pasal 10 UUD 1945); 2) menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara atas persetujuan DPR (Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945); 3) menyatakan negara dalam
keadaan bahaya (Pasal 12 UUD 1945); 4) Mengangkat duta dan konsul. Dalam hal mengangkat dan
menerima duta Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 UUD 1945); 5) Memberi gerasi
dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945) serta memberi
amnesty dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945); 6) Memberi
gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang (Pasal 15 UUD 1945);
7) Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas member nasihat dan pertimbangan kepada
Presiden (Pasal 16 UUD 1945).
34
Presiden sebagai kepala pemerintahan merupakan puncak tertinggi dari eksekutif (Pasal 4 UUD 1945)
karena Presiden mempunyai wewenang sebagai berikut : 1) menetapkan peraturan pemerintah untuk
melaksanakan undang-undang (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945); 2) Mengamngkat dan memberhentikan para
Menteri (Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945); 3) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
14
c. Administrasi tertinggi (Administrator).35
Berdasarkan beberapa definisi HAN tersebut, tampak dua aspek dalam Hukum
Administrasi Negara yaitu :
a. Aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu
melakukan tugas-tugasnya;
b. Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara alat
perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan para warga negara.36

Daftar Pustaka

A. Hamid S. Attamimi, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Perspektif Menurut


Pancasila dan UUD 1945, Makalah, UNTAG, Jakarta, 9 Juli 1994
-----------------, Teori Perundang-undangan Indonesia, Makalah, FH. UI, Jakarta, 25 April
1992.
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Yapemdo Bandung, 2009
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum, Gramedia,
Jakarta, 1999
C.A.J.M. Kortmaan, Het Staatsrecht van de Landen der Europese Gemeenschappen, Kluwer-
Denver, 1988
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Utrecht
Uitgeverij Lemma BV, 1995
H.W.R, Wade, Administrtive Law, Third Edition, Oxford, Clarendon Press, 1971
J.B.B.M. ten Barge, Besturen Door de Overheid, Deventer, W.E.J. Tjeenk Willink, 1996
Lord Acton dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Radjawali Press, Jakarta, 2006
M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988
Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah di Era Reformasi, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982
N.E. Algra dan H.C.J.G, Jansen, Rechtsingang Een Orientasi in Het Recht, H.D. Tjeenk
Willink, bv, Groningen, 1974
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
1987

menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945).
35
Sebagai administrator negara tertinggi, maka Presiden mengepalai Administrasi Negara.
36
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984, Hlm. 2; bandingkan dengan
Muchsan, Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm. 2

15
Robert Klitgaard, Corrupt Cities:A Practical Guide to Cure and Prevention, 2000
S.A. de Smith, Constitutional and Administrative Law, Secon Edition, Penguin Education,
England, 1973
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984, Hlm. 2;
bandingkan dengan Muchsan, Administrasi Negara Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1982
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni Bandung, 1992
---------------, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni Bandung, 1987
Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992

16

Anda mungkin juga menyukai