Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Keuangan
Dosen Pengampu : Dr. Wahyu Widarjo, S.E., M.Si.
Disusun oleh : Putri Hapsari NIM. S022002040 (IKM 2019/2)
MINAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2020 ASURANSI KESEHATAN
Kehidupan manusai berpotensi mengalami resiko. Diperkirakan 1/3 dari
orang dewasa memiliki resiko terkena resiko degeneratif, seperti jantung, hipertensi, stroke, dan lain sebagainya. Manusia juga bersifat short sighted yaitu kecenderungan masyarakat bahwa berfikir bahwa sebelum sakit belum membutuhkan jaminan kesehatan. sehingga masyarakat perlu mengikuti jaminan kesehatan dimana asuransi kesehatan sosial tersebut memiliki prinsip nasional, nirlaba, gotong royong, equity, dan lain sebagainya. Asuransi kesehatan sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Terdapat perbedaan antara asuransi sosial dengan asuransi komersial. Asuransi sosial yaitu asuransi yang kepesertaannya wajib bagi seluruh penduduk, non profit, manfaat komprehensif. Sedangkan asuransi komersial yaitu asuransi yang kepesertaannya secara sukarela, profit, manfaat sesuai dengan premi yang dibayarkan. 9 Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional menurut UU SJSN : 1. Nirlaba adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya dari seluruh peserta. 2. Kehati-hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman, dan tertib. 3. Kegoyong royongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah atau tingkat penghasilannya. 4. Keterbukaan adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta. 5. Peserta wajib adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. 6. Dana amanat adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial. 7. Portabilitas Adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8. Pengelolaan dana untuk kepentingan peserta adalah hasil berupa deviden dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta jaminan sosial. 9. Akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kepersertaan adalah wajib dengan membayar iuran, baik membayar pribadi
maupun dibayar oleh pemerintah. Peserta BPJS Kesehatan terdiri dari 2 kelompok yaitu : 1. PBI Jaminan kesehatan Adalah peserta jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari oleh Pemerintah sebagai peserta program jaminan kesehatan. 2. Bukan PBI Jaminan kesehatan Peserta bukan PBI jaminan kesehatan terdiri dari : - Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya - Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya - Bukan pekerja dan anggota keluarganya
Pada laporan Pengelolaan Program BPJS 2019, peserta JKN per 31
Desember 2019 mencapai 224,14 juta orang atau mencakup 83,86% dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut meningkat pesat dibandingkan dengan saat awal BPJS Kesehatan berdiri yakni 133,4 juta orang. BPJS Kesehatan juga mencatat pendapatan iuran lebih tinggi dari beban jaminan kesehatan pada tahun 2019, yang terjadi pada tahun 2016. Meskipun begitu, defisit masih terjadi pada tahun lalu. Berdasarkan laporan keuangan yang diaudit per 31 Desember 2019, BPJS Kesehatan membukukan pendapatan iuran Rp 111,75 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan beban jaminan kesehatan pada 2019 senilai Rp108,46 triliun. Pada tahun-tahun sebelumnya, terdapat mismatch atau jumlah pendapatan iuran yang lebih rendah dari beban jaminan kesehatannya. Kondisi tersebut terjadi sejak awal BPJS Kesehatan terbentuk pada 2014. Pada 2018, pendapatan iuran BPJS Kesehatan tercatat senilai Rp85,44 triliun sedangkan beban jaminan kesehatannya Rp94,3 triliun. Adapun pada 2017 pendapatan iuran sebesar Rp74,25 triliun dan beban jaminan kesehatan sebesar Rp84,44 triliun. Kondisi mismatch tidak terjadi pada tahun 2016 karena terdapat surplus sekitar Rp150 miliar. Pendapatan iuran senilai Rp67,4 triliun lebih tinggi dari beban jaminan kesehatan senilai Rp67,25 triliun. Adanya mismatch setiap tahunnya membuat akumulasi beban jaminan kesehatan terus menumpuk dan menjadi tanggungan atau terbawa ke tahun selanjutnya (carry over). Hal tersebut menjadi salah satu defisit BPJS Kesehatan yang jumlahnya mencapai kisaran Rp15,5 triliun pada 2019. Meskipun begitu, pelayanan program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan semakin meluas. Hal tersebut diantaranya terlihat dari jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan jumlah peserta yang terus meningkat. Berdasarkan data BPJS Kesehatan audited, pada 2019 terdapat 23.430 FKTP yang memberikan pelayanan JKN. Jumlah tersebut terdiri dari 10.050 Puskesmas,5.543 klinik pratama, 5.354 dokter praktik perorangan, 1.228 praktik dokter gigi, 654 klinik TNI, 569 klinik Polri, dan 32 Rumah Sakit Daerah Pratama. Selanjutnya untuk perkembangan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan per 31 Desember 2019 mencakup 197 Pemerintah Pusat, 720 Pemerintah Daerah, dan 1.542 RS Swasta. Di mana akses pembayaran iuran peserta dapat dilakukan dimanapun dengan 694.731 kanal sehingga memudahkan masyarakat melakukan iuran. Berdasarkan hasil beberapa riset, dampak program JKN-KIS terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa JKN-KIS telah melindungi 15,9 juta jiwa pada tahun 2015 dan 14,5 juta pada tahun 2016 dari kondisi kemiskinan yang lebih parah. Selain itu, JKN-KIS juga melindungi 320 ribu penduduk miskin dari utang hingga RP12,3 juta pada tahun 2015 dan 290 ribu penduduk miskin dari utang hingga RP7,3 juta pada tahun 2016 hanya untuk membiayai layanan kesehatan yang layak. Selain itu, dampak program JKN-KIS pada perekonomian Indonesia dapat menjadikan sebuah investasi. Dalam jangka pendek, program JKN dapat meningkatkan output dan tenaga kerja sektor lainnya, sedangkan dalam jangka panjang program JKN dapat meningkatkan modal manusia melalui peningkatan angka harapan hidup dan meningkatkan akses terhadap jasa layanan kesehatan. kenaikan kepemilikan JKN akan meningkatkan pemanfaatan rawat jalan dan rawat inap, serta durasi rawat selama 0,86 hari. Peningkatan Universal Health Coverage akan meningkatkan angka harapan hidup sebesar 2,9 tahun. Pencapaian UHC di tahun 2019 akan menghasilkan output sebesar 269 triliun rupiah dan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja sebesar 2,3 juta. PEMBIAYAAN KESEHATAN
Dalam Draft Awal Rancangan RPJMN Teknokraktik 2020-2024
menyebutkan bahwa Indikator Pembangunan Kesehatan yang ditargetkan hingga 2024 meliputi 5 hal yaitu : meningkatnya status kesehatan ibu dan anak, meningkatnya status gizi masyarakat dan meningkatnya pengendalian penyakit menular dan faktor resiko penyakit tidak menular, meningkatnya kinerja sistem kesehatan & meningkatnya pemerataan akses pelayanan kesehatan berkualitas, serta meningkatnya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk. Kebijakan RPJMN 2020 – 2024 dalam mewujudkan indikator – indikator tersebut memiliki arah kebijakan yaitu meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) dan peningkatan upaya promotif dan preventif didukung oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi. Adapun strategi RPJMN 2020-2040 meliputi : 1. Peningkatan kesehatan ibu, anak, KB dan kesehatan reproduksi 2. Percepatan perbaikan gizi masyarakat 3. Peningkatan pengendalian penyakit 4. Pembudayaan GERMAS 5. Penguatan sistem kesehatan, pengawasan obat dan makanan Di dalam rancangan ini disebutkan bahwa ke depannya, akan dilakukan penguatan terhadap beberapa hal untuk membantu pembangunan kesehatan 2020 – 2024, beberapa diantaranya adalah : penguatan GERMAS, afirmasi untuk DTPK dan daerah yang kurang diminati, life sciences, pemanfaatan teknologi digital, sistem informasi terintegrasi, dan pelibatan swasta. Dalam hal penguatan GERMAS terdapat 5 langkah yang akan menjadi fokus yaitu pengembangan pedoman GERMAS sektor non kesehatan; revitalisasi Posyandu dan UKBM; penerapan sin tax produk pangan yang berisiko tinggi; peningkatan cukai rokok, pembatasan iklan rokok; dan pengembangan Kawasan sehat (pasar sehat, UKS, kota sehat, kantor sehat, dan lain – lain). Afirmasi DTPK akan dikuatkan melalui retribusi tenaga kesehatan, paket afirmasi pelayanan kesehatan (tenaga, saranam dan farmasi), serta afirmasi pendidikan dan penugasan tenaga kesehatan. Sedangkan pelibatan swasta juga akan ditingkatkan melalui integrasi fasilitas kesehatan swasta dalam sistem rujukan, sistem kontrak penyedia layanan kesehatan, dan pendampingan akreditasi faskes swasta. Universal Health Coverage (UHC) atau Cakupan Kesehatan Semesta adalah seluruh masyarakat memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan, kapan saja dan dimana saja mereka membutuhkannya tanpa kesulitan finansial. Hal ini mencakup berbagai pelayanan kesehatan esensial termasuk pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif. Untuk mencapai cakupan kesehatan semesta tersebut perlu tersedia beberapa faktor, yaitu: 1. Sistem kesehatan yang kuat, efisien dan dikelola dengan baik. Dimana sistem kesehatan mampu memenuhi prioritas kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan terpadu yang berpusat pasa masyarakat dengan komunikasi, informasi dan edukasi masyarakat; pemantauan kondisi mental kesehatan dini; kapasitas untuk pengobatan dan perawatan penyakit; dll. 2. Keterjangkauan, yaitu menyiapkan suatu sistem pendanaan kesehatan yang efektif sehingga penduduk tidak mengalami kesulitan finansial saat hendak menggunakan yankes 3. Ketersediaan obat-obatan dan teknologi untuk mendiagnosis dan mengobati masalah medis 4. Kapasitas tenaga kesehatan yang kompeten dan memadai dalam menyediakan layanan untuk memenuhi kebutuhan pasien berdasarkan bukti medis yang tersedia
Pembiayaan kesehatan nasional bersumber dari:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di mana dialokasikan minimal 5% diluar gaji diperuntukan untuk program-program kesehatan di kemenkes dan kementerian/lembaga negara lainnya; program JKN bagi peserta PBI; dan dana alokasi khusus (DAK) yang ditransfer ke pemerinta daerah. 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana dialokasikan minimal 10% diluar gaji diperuntukkan untuk program-program promotif preventif kesehatan dari Dinas Kesehatan Prov/Kab/kota dan pembiayaan iuran PBI daerah 3. Rumah Tangga, di mana diperoleh dari kesehatan pribadi (pembayaran premi JKN, obat-obatan pribadi tidak termasuk asuransi, dll) 4. Sektor Swasta dan sumber-sumber lain seperti bantuan donor untuk program- program khusus yang diprioritaskan seperti HIV-AIDS, TB dan malaria.
Upaya kesehatan perseorangan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
perlu diimbangi dengan peningkatan anggaran upaya kesehatan masyarakat, khususnya pemenuhan anggaran standar pelayanan minimal bidang kesehatan (SPM-BK) untuk mencapai hasil yang diharapkan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintah wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. SPM dengan konsep baru ini mengalami perubahan yang cukup mendasar dari konsep SPM sebelumnya. Bila pada SPM yang lalu pencapaian target-target SPM lebih merupakan kinerja program kesehatan, maka pada SPM ini pencapaian target-target tersebut lebih diarahkan kepada kinerja pemerintah daerah. SPM juga berfungsi sebagai instrument untuk memperkuat pelaksanaan performance based budgeting bidang kesehatan dalam proses perencanaan dan penganggaran di kabupaten/kota. SPM Kesehatan Provinsi meliputi pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi; dan pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa provinsi. SPM Kesehatan Kabupaten/Kota meliputi siklus hidup wanita (ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, usia pendidikan dasar, usia produktif dan usia lanjut); Penyakit tidak menular seperti pelayanan kesehatan penderita hipertensi, diabetes melitus dan gangguan jiwa berat; serta Penyakit menular seperti pelayanan kesehatan orang terduga tuberkulosis dan orang dengan risiko terinfeksi HIV. UU nomor 3 tahun 2014 mengamanatkan pada pemda untuk benar-benar memprioritaskan Belanja Daerah untuk mendanai urusan pemerintah wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan SPM. Di mana hal kedepannya pengalokasian dan penyaluran DAK ke daerah akan berdasar pada kemampuan daerah untuk pencapaian target-target SPM, daerah dengan kemampuan sumber daya yang kurang akan menjadi prioritas dalam pengalokasian DAK. Menindaklanjuti tahapan-tahapan implementasi tersebut dan sejalan dengan amanah Permenkes 4 tahun 2019 yang mengatur jenis layanan dasar yang dilaksanakan oleh provinsi/kabupaten/kota (terdiri dari 2 layanan dasar di Propinsi dan 12 layanan dasar di kabupaten/kota). Selain itu juga mengatur tentang standar barang dan jasa, standar SDM dan petunjuk teknis dalam pemenuhan pelayanan dasar SPM. Implementasi SPM akan memperkuat sisi promotif – preventif sehingga diharapkan akan berimpact pada penurunan jumlah kasus kuratif yang harus ditanggung oleh JKN. Konsep SPM berubah dari kinerja program Kementerian menjadi kinerja Pemerintah Daerah yang memiliki konsekuensi reward dan punishment, sehingga pemerintah daerah diharapkan untuk memastikan tersedianya sumber daya (sarana, prasarana, alat, tenaga, dan uang/biaya) yang cukup. Untuk mengetahui kecukupan biaya kegiatan SPM di daerah, pemegang program perlu mengetahui perhitungan costing SPM. Namun di berbagai daerah, merencakan SPM masih menjadi permasalahan terbesar (36%). Hal ini termasuk pengumpulan data, penghitungan kebutuhan dan prioritas pimpinan daerah sendiri. Dari diskusi intensif terpotret bahwa kemungkinan beberapa pimpinan masih kurang aware akan prioritas SPM dalam perencanaan dan penganggaran. Lebih fokus pada pemenuhan janji politik yang kadang kuran inline dengan SPM. Sehingga dipandang perlu adanya focusing pemerintah pusat untuk sosialisasi SPM khusus bagi kepala daerah dan DPRD. Permasalahan terbesar lainnya adalah pendanaan (26%), diikuti oleh permasalahan koordinasi (24%) dan lainnya (14%).