Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan persaingan yang sangat ketat ini memacu persaingan di dunia pendidikan
untuk bergerak dinamis agar mendapatkan sumber daya manusia yang koheren, antara
kemampuan teoritis yang di peroleh di sekolah dengan kemampuan praktik sebagai
tuntutan pragmatis. Hal ini di lakukan bertujuan untuk memperkecil distori yang mungkin
timbul dalam pengetahuan teoritis dengan aktualisasi praktik.
Praktik Kerja Lapangan adalah salah satu bentuk implementasi secara sistematis
dan sinkronasi antara program pendidikan dengan keahlian yang di peroleh melalui
kegiatan kerja langsung di dunia kerja untuk mencapai tingkat keahlian tertentu.
Maksud di laksanakannya praktik kerja lapangan ini adalah sebagai salah satu
syarat yang harus di lakukan oleh siswa. Selain untuk memenuhi kewajiban akademik,
praktik kerja lapangan juga sebagai kegiatan untuk mencari pengalaman kerja sebelum
memasuki dunia kerja yang sesungguhnya.

B. Tujuan Penulisan
1. Sebagai salah satu syarat akademik.
2. Memberikan pengertian proses dan pelaksanaan praktik kerja lapangan dengan penuh
dedikasi , maka banyak pengalaman dan peluang positif yang di peroleh.
3. Memacu siswa untuk mempraktikan apa yang di dapat dalam praktik kerja lapangan
di dalam dunia usaha/kerja.
4. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan.

C. Manfaat Penulisan
1. Meningkatkan tentang kemampuan cara berfikir dan bekerja secara interdisipliner,
sehingga menghayati adanya saling ketergantungan.
2. Mendewasakan cara berfikir serta meningkatkan nalar mahasiswa dalam melakukan
penelaahan secara pragmatis.
3. Dapat mempraktikan ilmu yang di dapat di sekolah dan di terapkan di lapangan.
4. Menumbuhkan sikap profesionalisme dan kepedulian sosial dalam diri mahasiswa arti
dari sebuah tanggungjawab.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Profil Puskesmas
1. Sekilas Sejarah Puskesmas
Puskesmas Pataruman I dahulu bernama Puskesmas Pataruman, pada saat
masih dibawah naungan Dinas Kesehatan Ciamis yang wilayah kerjanya dari 6
sampai 8 Desa. Puskesmaas Pataruman didirikan pada tanggal 6 Juni 1994, oleh dr.
Bunyamin yang pada saat itu pula menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan Ciamis.
Setelah diadakannya pemekaran Kota Banjar maka Puskesmas Pataruman
diserahkan kepada Kota Banjar, di bawah naungan Dinas Kesehatan Kota Banjar dan
nama Puskesmas Pataruman pun di ganti menjadi UPTD Puskesmas Pataruman 1
yang wilayah kerjanya pun dari 6 Desa menjadi 2 Desa saja dari tahun 2009 sampai
sekarang.
Kepala Puskesmas yang pernah menjabat di UPTD Puskesmas Pataruman 1 ini
adalah :
a. H. Abdurrauf K. dr. MMR.
b. dr. Hery K. H.
c. Bd. Nyoman Sukarini, SST
d. dr. Hj. Nina Gartina
e. dr. H. Sudar Budi Setiawan
f. dr. Hj. Ika Rika Rohantika, sampai dengan sekarang.
2. Gambaran Umum Geografi
a. Lokasi Puskesmas.
BLUD UPTD Puskesmas Pataruman 1 terletak di Jalan Mayjen Lili
Kusumah No.458 Koya Banjar Provinsi Jawa Barat, yang termasuk dalam
wilayah Kelurahan Hegarsari Kecamatan Pataruman Kota Banjar. Lalu lintas
utama kendaraan di daerah ini berada di jalan penghubung Kabupaten
Pangandaran dengan Kabupaten Ciamis. Yang merupakan lalu lintas 2 atah yaitu
dari selatan ke utara dan sebaliknya, dengan intensitas pemakaian lalu lintas
kendaraan yang cukup tinggi terutama pada hari libur/hari besar dikarenakan
merupakan perlintasan jalur jalan ke arah objek wisata pantai Pangandaran dan
sekitarnya.
1) Luas Wilayah Kerja Puskesmas
2
Luas wilayah kerja BLUD UPTD Puskesmas Pataruman 1 adalah
10,46 km2 (7,92%) dari luas wilayah Kota Banjar sebesar 131,97 km2. Luas
Kelurahan Hegarsari sebesar 3,96 km2 (37,83%) dan luas Desa Binangun
sebesar 6,50 km2 (62,17%) dari luas seluruh wilayah kerja.
2) Batas Wilayah Kerja Puskesmas
Wilayah kerja BLUD UPTD Puskesmas Pataruman 1 mencakup 1
Kelurahan dan 1 Desa yaitu Kelurahan Hegarsari serta Desa Binangun
Kecamatan Pataruman Kota Banjar, dengan demikian batas wilayah kerja
BLUD UPTD
Puskesmas Pataruman 1 dapat dijelaskan berdasarkan batas wilayah
sebagai berikut :
a) Kelurahan Hegarsari berbatasan dengan Kelurahan Mekarsari Kec.
Banjar, Kelurahan Pataruman Kec. Pataruman, Desa Sukamukti Kec.
Pataruman dan Desa Bangunsari Kec. Pamarican Kab. Ciamis.
b) Desa Binangun berbatasan dengan Desa Neglasari Kec. Cimaragas Kab.
Ciamis, Desa Mekarsari Kec. Banjar, Desa Sukamukti Kec. Pataruman,
Desa Sukajaya dan Desa Bangunsari Kec. Pamarican Kab. Ciamis.
3. Visi dan Misi Puskesmas
a. Visi BLUD UPTD Puskesmas Pataruman 1
“ Mewujudkan Masyarakat Kecamatan Pataruman yang Mandiri, Sehat Fisik
dan Mental Tahun 2023 “
b. Misi dan Tujuan BLUD UPTD Puskesmas Pataruman 1
1) Memberikan pelayanan prima.
Tujuannya: Terwujudnya pelayanan kesehatan yang profesional dan akuntabel.
2) Meningkatkan sarana dan prasarana berbasis teknologi.
Tujuannya: Meningkatkan cakupan pelayanan dengan memanfaatkan
penggunaan teknologi sesuai perkembangan jaman.
3) Menjalin kerjasama lintas program dan lintas sektor.
Tujuannya: Mendorong lintas sektor dan masyarakat untuk membantu dalam
pelaksanaan dan peningkatan layanan kesehatan.

B. Definisi Dermatitis
Dermatitis ialah kelainan kulit yang subyektif ditandai oleh rasa gatal dan secara
klinis terdiri atas ruam polimorfi yang umumnya berbatas tidak tegas. Gambaran
3
klinisnya sesuai dengan stadium penyakitnya. Kadang-kadang terjadi tumpang tindih
penggunaan istilah eksim dengan dermatitis. Sebagian ahli menyamakan arti keduanya,
sebagian lain mengartikan eksim sebagai salah satu bentuk dermatitis, yakni dermatitis
atopik tipe infantil. Untuk itu, istilah dermatitis tampak lebih tepat.
Istilah eksematosa digunakan untuk kelainan yang ‘membasah’ (kata eksim berasal
dari bahasa Yunani ‘ekzein’ yang berarti ‘mendidih’) yang ditandai adanya eritema,
vesikel, skuama dan krusta, yang menunjukkan tanda akut. Sedangkan adanya
hiperpigmentasi dan likenifikasi menunjukkan tanda kronik.
Untuk penamaan dermatitis, berbagai klasifikasi sudah diajukan antara lain
berdasarkan kondisi kelainan, lokasi kelainan, bentuk kelainan, usia pasien dan
sebagainya, contohnya:
1. Berdasarkan lokasi kelainan misalnya dermatitis manus, dermatitis seboroik,
dermatitis perioral, dermatitis popok, dermatitis perianal, akrodermatitis, dermatitis
generalisata, dan sebagainya.
2. Berdasarkan kondisi kelainan misalnya dermatitis akut, subakut dan kronis atau
dermatitis madidans (membasah) dan dermatitis sika (kering).
3. Berdasarkan penyebab misalnya dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergik,
dermatitis medikamentosa, dermatitis alimentosa, dermatitis venenata, dermatitis
stasis, dan sebagainya.
4. Berdasarkan usia misalnya dermatitis infantil, dan sebagainya.
5. Berdasarkan bentuk kelainan misalnya dermatitis numularis, dan sebagainya.
Dalam penanganan disarankan untuk menggunakan istilah dermatitis, ditambah
dengan satu kata lain untuk menggambarkan kemungkinan penyebab atau
mendeskripsikan kondisi, contohnya dermatitis atopik impetigenisata, dermatitis
medikamentosa madidans, dan sebagainya. Istilah impetigenisata menunjukkan adanya
infeksi sekunder yang ditandai oleh adanya pus, pustul, bula purulen, krusta berwarna
kuning tua, pembesaran kelenjar getah bening regional, leukositosis, dan dapat disertai
demam.
Dermatitis ada yang didasari oleh faktor endogen, misalnya dermatitis atopik,
dermatitis kontak, dan sebagainya. Kebanyakan penyebab dermatitis ini belum diketahui
secara pasti. Bila ditinjau dari jenis kelainannya, maka dermatitis atopik adalah
dermatitis yang paling sering dibahas, mengingat insidensnya yang cenderung terus
meningkat dan dampak yang dapat ditimbulkan pada kualitas hidup pasien maupun
keluarganya.
4
C. Klasifikasi Dermatitis
1. Dermatitis Atopik (DA)
Dermatitis Atopik (DA) adalah kelainan kulit kronis yang sangat gatal, umum
dijumpai, ditandai oleh kulit yang kering, inflamasi dan eksudasi, yang kambuh-
kambuhan. Kelainan biasanya bersifat familial, dengan riwayat atopi pada diri sendiri
ataupun keluarganya.
Istilah atopi berasal dari kata atopos (out of place). Atopi ialah kelainan
dengan dasar genetik yang ditandai oleh kecenderungan individu untuk membentuk
antibodi berupa imunoglobulin E (IgE) spesifik bila berhadapan dengan alergen yang
umum dijumpai, serta kecenderungan untuk mendapatkan penyakit-penyakit asma,
rhinitis alergika dan DA, serta beberapa bentuk urtikaria.
Berbagai faktor dapat memicu DA, antara lain alergen makanan, alergen hirup,
berbagai bahan iritan, dan stres. Besar peran alergen makanan dan alergen hirup ini
masih kontroversial. Meski pada pasien DA kerap dijumpai peningkatan IgE spesifik
terhadap kedua jenis alergen ini, tidak selalu dijumpai korelasi dengan kondisi
klinisnya. Hasil tes positif terhadap suatu alergen, tidak selalu menyatakan alergen
tersebut sebagai pemicu DA, tetapi lebih menggambarkan bahwa pasien telah
tersensitasi terhadapnya. Secara umum, alergen makanan lebih berperan pada DA usia
dini. Seiring dengan penambahan usia, maka peran alergen makanan akan digantikan
oleh alergen hirup. Selain itu, memang terdapat sekitar 20% penderita DA tanpa
peningkatan IgE spesifik, yang dikenal sebagai DA tipe intrinsik.
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan adanya riwayat
atopik (dalam keluarga maupun sendiri). Secara klinis, terdapat 3 fase/bentuk yang
lokasi dan morfologinya berubah sesuai dengan pertambahan usia. Pada fase bayi lesi
terutama pada wajah, sehingga dikenal sebagai eksim susu. Pada fase anak, terutama
pada daerah lipatan kulit, khususnya lipat siku dan lutut. Pada fase dewasa lebih
sering dijumpai pada tangan, kelopak mata dan areola mammae. Penyebab pasti
kekhususan pada distribusi anatomi ini belum diketahui.
Terdapat beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosis DA yaitu kriteria
Hanifin dan Rajka, kriteria Williams, kriteria UK Working Party, SCORAD (the
scoring of atopic dermatitis) dan EASI (the eczema area and severity index). Selama 2
dekade terakhir ini, berbagai upaya dilakukan untuk membuat standar evaluasi DA.
Idealnya, kriteria ini harus efisien, sederhana, komprehensif, konsisten, dan fleksibel.

5
Selain itu juga dapat menilai efektivitas terapi yang diberikan. Tetapi, kriteria yang
sering digunakan karena relatif praktis ialah kriteria Hanifin dan Rajka.
2. Dermatitis Seboroik (DS)
Dermatitis Seboroik (DS) merupakan dermatitis dengan distribusi terutama di
daerah yang kaya kelenjar sebasea. Lesi umumnya simetris, dimulai di daerah yang
berambut dan meluas meliputi skalp, alis, lipat nasolabial, belakang telinga, dada,
aksila dan daerah lipatan kulit. Penyebab pasti DS belum diketahui, walaupun banyak
faktor dianggap berperan, termasuk faktor hormonal, genetik dan lingkungan. DS
dianggap merupakan respons inflamasi terhadap organisme Pityrosporum ovale.
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas
relatif tegas. Skuama dapat kering, halus berwarna putih (dikenal sebagai pitiriasis
sika) sampai berminyak kekuningan. DS umumnya tidak disertai rasa gatal. Bentuk
yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/dandruft. Walaupun
demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft
adalah bentuk DS ringan, tetapi sebagian lai berpendapat tidak.
Pada beberapa kasus, kelainan DS sulit dibedakan dari DA. Sebagai pegangan
dapat dikatakan bahwa adanya kelainan di lengan dan tungkai lebih mengarah pada
DA, sedangkan kelainan di ketiak lebih mengarah kepada DS. Pada DS umumnya
tidak dijumpai rasa gatal. Berbeda dengan DA, pada kelainan DS di daerah lipatan
kulit, sering dijumpai infeksi sekunder baik infeksi bakteri maupun kandida.
3. Intertrigo (Dermatitis Intertriginosa/DI)
Intertrigo merupakan istilah umum untuk kelainan kulit di daerah
lipatan/intertriginosa, yang dapat berupa inflamasi maupun infeksi bakteri atau jamur.
Sebagai faktor predisposisi ialah keringat/kelembaban, kegemukan, gesekan antar 2
permukaan kulit dan oklusi. Dalam kondisi seperti ini, mudah sekali terjadi
superinfeksi oleh Candida albicans, yang ditandai oleh eritema berwarna merah-gelap,
dapat disertai papulpapul eritematosa di sekitarnya (lesi satelit).
4. Pitiriasis Alba (PA)
Pitiriasis Alba (PA) terbanyak terjadi pada usia 3-16 tahun dan dianggap
merupakan manifestasi DA dengan penyebab yang tidak diketahui pasti. Secara klinis
terlihat bercak hipopigmentasi dengan sedikit skuama halus dalam berbagai bentuk
dan ukuran, terutama di daerah wajah. Pada individu berkulit gelap, kelainan ini
sangat mengganggu secara kosmetik, yang merupakan penyebab utama penderita ke
dokter.
6
5. Dermatitis Numularis (DN)
Dermatitis Numularis (DN) ditandai oleh bercak yang sangat gatal, bersisik,
berbentuk bulat, berbatas tegas (berbeda dari dermatitis pada umumnya), dengan
vesikel-vesikel kecil di bagian tepi lesi. Pada DN sering dijumpai penyembuhan pada
bagian tengah lesi (central clearing), tetapi secara klinis berbeda dari bentuk lesi tinea.
Pada kelainan ini bagian tepi lebih vesikuler dengan batas relatif kurang tegas.
Kata numular diambil dari bahasa Latin nummulus yang berarti koin
kecil=diskoid. DN lebih sering dijumpai pada usia dewasa dibanding pada anak-anak.
Terdapat berbagai variasi bentuk klinis, antara lain DN pada tangan dan lengan, DN
pada tungkai dan badan, dan DN bentuk kering. DN merupakan kelainan yang
kambuh-kambuhan. Pada setiap kekambuhan dapat muncul lesi tambahan, tetapi
umumnya lesi awal selalu menjadi aktif kembali.
6. Pompoliks atau Dishidrosis
Pompoliks (bubble) ialah kelainan yang sering dijumpai, ditandai oleh
munculnya vesikel-vesikel yang ‘deep seated”, secara tiba-tiba, yang dapat
berkonfluensi membentuk bula di telapak tangan (cheiropompolyx) dan kaki
(podopompolyx) tanpa eritema, disertai keluhan rasa gatal hebat, dan sering kambuh.
Saat tenang kelainan ditandai dengan eritema ringan, kulit telapak yang kering,
kadang-kadang menebal dan sering berfisurasi.
Sebagian kasus pompoliks dapat merupakan bentuk reaksi iritasi (misalnya
akibat kontak dengan deterjen), maupun reaksi alergi (misalnya kontak dengan bahan
yang mengandung nikel), ataupun reaksi ‘id’ akibat infeksi bakteri atau jamur di
bagian tubuh lainnya. Tetapi, sebagian lainnya adalah dishidrosis yang idiopatik.
Pernah pula dilaporkan adanya pompoliks yang dicetuskan oleh pajanan sinar
matahari, yang dianggap merupakan varian yang jarang terjadi.
7. Neurodermatitis = Lichen Simplex Chronicus (LSC)
Istilah LSC diambil dari kata likenifikasi yang berarti penebalan kulit disertai
gambaran relief kulit yang semakin nyata. Patogenesisnya belum diketahui secara
pasti, tetapi kelainan sering diawali oleh cetusan gatal yang hebat, misalnya pada
insect bite.
Likenifikasi ini merupakan respons kulit terhadap gosokan dan garukan yang
berulang-ulang. Oleh karena itu, proses likenifikasi sering dijumpai pada individu
dengan riwayat atopik karena kelompok tersebut mempunyai ambang rasa gatal yang
relatif lebih rendah. Dianggap terdapat variasi rasial dalam hal kemampuan seseorang
7
untuk bereaksi likenifikasi ini dan dikatakan reaksi lebih sering terjadi pada ras
Mongol. Diagnosis LSC digunakan bila pada seorang pasien dijumpai likenifikasi
tanpa ada predisposisi atopik sebagai dasar.
Istilah LSC sering disamakan dengan neurodermatitis karena diketahui faktor
stres emosional dapat merupakan faktor yang sangat berperan. Tetapi, disarankan agar
penggunaan istilah neurodermatitis dibatasi saja, agar kita terus berupaya mencari
kemungkinan faktor lain dan tidak terpaku hanya pada faktor stres saja. Secara klinis
gejala utama yang dijumpai ialah rasa gatal hebat pada area likenifikasi. Rasa gatal ini
hilang timbul, dapat dipicu oleh faktor stres ataupun oleh rabaan/sentuhan saja.
Sensasi gatal ini akan diikuti oleh kecenderungan untuk menggaruk berulang-ulang.
Kelainan jarang dijumpai pada anak-anak, umumnya pada orang dewasa dan
puncaknya pada usia 30-50 tahun. Tempat predileksinya ialah bagian belakang leher,
tungkai bawah dan pergelangan kaki, serta sisi ekstensor lengan bawah. LSC pada
bagian belakang leher yang dikenal sebagai lichen nuchae umumnya hanya dijumpai
pada wanita saja.
8. Prurigo Nodularis
Kelainan sering dijumpai pada ras oriental dan umumnya pada anak-anak.
Penyebab pastinya belum diketahui, tetapi sebagian ahli menganggap kelainan ini
sebagai varian LSC.
9. Dermatitis Kontak (DK)
Terdapat 3 bentuk DK yakni DK iritan (DKI), DK alergik (DKA) dan reaksi
fototoksik maupun reaksi fotoalergik. DKI ialah erupsi yang timbul bila kulit terpajan
bahan-bahan yang bersifat iritan primer melalui jalur kerusakan yang non-imunologis.
Bahan iritan antara lain deterjen, bahan pembersih peralatan rumah tangga, dan
sebagainya. Sedangkan DKA ialah respons alergik yang didapat bila berkontak
dengan bahan-bahan yang bersifat sensitiser/alergen. Contoh bahan yang dapat
memicu DKA antara lain adalah beberapa jenis pewangi, pewarna, nikel, obatobatan,
dan sebagainya.
Adanya kontak dengan beberapa jenis bahan tertentu dapat memicu reaksi
setelah terkena pajanan sinar matahari. Hal ini disebabkan karena beberapa substansi
dengan berat molekul rendah akan berubah menjadi bahan iritan primer ataupun
bahan sensitiser bila terpajan oleh sinar-matahari. Bahan-bahan ini akan
meningkatkan reaktivitas kulit terhadap pajanan sinar matahari.

8
Reaksi fototoksik antara lain dapat dipicu oleh kontak lokal PABA di tabir
surya, beberapa jenis pewarna seperti biru toluidin, merah-netral, tar dan derivatnya,
dan sebagainya. Sedangkan reaksi fotoalergik dapat dipicu antara lain oleh kontak
lokal dengan beberapa jenis bahan di parfum dan after-shave lotion (musk ambrette),
lipstik (eosin), tonik rambut (quinine), serta ketoprofenL dan sebagainya.
Reaksi fototoksik antara lain juga dapat dipicu oleh terapi sistemik NSAID
misal piroksikam, tetrasikilin dan derivatnya, quinolon, griseofulvin dan asam
nalidiksat. Sedangkan reaksi fototalergik antara lain juga dapat dipicu oleh terapi
sistemik dengan preparat sulfonamid, fenotiasin, griseofulvin dan diuretik tiazid. 11
Jadi, tergantung jenis bahannya, dapat terjadi reaksi fototoksik maupun fotoalergik.
Bedanya, reaksi fototoksik dapat terjadi pada hampir semua individu karena
mekanismenya nonimunologis. Sedangkan reaksi fotoalergik hanya terjadi pada
individu yang telah tersensitisasi. Kelainan yang terjadi dapat meluas pada area
kulit yang terpajan matahari. Daerah yang terlindung pakaian dan daerah di bawah
dagu serta yang karakteristik ialah daerah di belakang telinga (Wilkinson’s
triangle) bebas dari lesi. Secara umum, batas lesi pada DKI relatif lebih tegas
dibanding pada DKA. Beberapa contoh DK misalnya dermatitis
popok/diaper/napkin dermatitis, dermatitis perianal, dermatitis perioral dan
dermatitis venenata.
10. Dermatitis Stasis (DSt)
Akhir-akhir ini beberapa peneliti menganjurkan pemakaian istilah dermatitis
gravitasional sebagai pengganti istilah DSt. Hal ini karena diduga kemungkinan
penyebabnya ialah faktor gangguan perfusi jaringan dan kulit di lokasi lesi, dan bukan
akibat stasis.
Kelainan ini merupakan akibat lanjutan hipertensi vena (yang umumnya terjadi
di tungkai bawah) dan trombosis. Oleh karena itu, biasanya sebelum muncul Dst,
pasien sering mengeluh rasa berat di tungkai disertai nyeri saat berdiri dan edem. DSt
lebih banyak terjadi pada wanita usia pertengahan atau lanjut, kemungkinan karena
efek hormonal serta kecenderungan terjadinya trombosis vena dan hipertensi saat
kehamilan.
Secara klinis biasanya terlihat kelainan di sisi medial yang dapat meluas ke
seputar pergelangan kaki dalam berbagai gradasi. Awalnya dimulai dengan penebalan
kulit dan skuamasi yang diikuti oleh likenifikasi. Kelainan diperberat oleh adanya
garukan atau gosokan. Selanjutnya terjadi eksematisasi yang dapat muncul secara
9
perlahan-lahan maupun mendadak. Pada bentuk yang berat, dapat terjadi ulserasi yang
dikenal sebagai ulkus venosum. Saat penyembuhan seringkali kulit menjadi tipis,
mengkilat dan hiperpigmentasi. Pada bagian proksimal lesi biasanya dijumpai adanya
dilatasi dan varises vena-vena superfisialis. Pengolesan obat-obat tertentu kadang-
kadang memperberat kelainan, yang menjadi alasan utama pasien datang ke dokter.
11. Dermatitis Asteatotik (DAst)
Dermatitis Asteatotik (DAst) disebut juga sebagai xerosis = eczema craquele =
winter itch. Gambaran klinisnya karakteristik ditandai oleh skuama halus, kering dan
kulit yang pecah-pecah, yang dapat mengalami inflamasi dan menjadi kemerahan.
Kelainan umumnya terjadi di tungkai bawah. DAst lebih sering dijumpai pada wanita
usia pertengahan ke atas.

D. Faktor Risiko dan Cara Penyebaran


Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia
(contoh: detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar, suhu), mikro-organisme
(bakteri, jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik
Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai
dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium
kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai
fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita
ataupun keluarganya.
Penyebab dermatitis tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai
faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik,
kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan
disregulasi/ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme,
perubahan temperatur, dan trauma. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus
aureus (SA).
Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis
atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi,
dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit.

10
Faktor-faktor risiko terjadinya dermatitis secara umum antara lain predisposisi
genetik, sosioekonomi, polusi lingkungan, jumlah anggota keluarga5. Sedangkan faktor-
faktor pencetus terjadinya dermatitis secara umum antara lain alergen, bahan iritan,
infeksi, faktor psikis dan lainlain.
Faktor-faktor yang umum terkait dengan dermatitis yaitu:
1. Suhu dan Kelembaban
Lingkungan terdapat beberapa potensial bahaya yang perlu diperhatikan seperti
kelembaban udara dan suhu udara. Kelembaban udara dan suhu udara yang tidak
stabil dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak. Kelembaban rendah
menyebabkan pengeringan pada epidermis.
2. Usia
Kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit
kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit
ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih
mudah terkena dermatitis. Kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40
tahun. Pada usia tersebut, sel kulit lebih sulit menjaga kelembapannya karena
menipisnya lapisan basal. Produksi sebum menurun tajam, hingga banyak sel mati
yang menumpuk karena pergantian sel menurun.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam hal penyakit kulit perempuan dikatakan lebih
berisiko mendapat penyakit kulit dibandingkan dengan pria. Dibandingkan dengan
pria, kulit wanita memproduksi lebih sedikit minyak untuk melindungi dan menjaga
kelembapan kulit, selain itu juga kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria sehingga
lebih rentan untuk menderita penyakit dermatitis, terlihat dari beberapa penelitian.
4. Ras
Faktor individu yang meliputi jenis kelamin, ras dan keturunan merupakan pendukung
terjadinya dermatitis. Ras Manusia adalah karakteristik luar yang diturunkan secara
genetik dan membedakan satu kelompok dari kelompok lainnya. Bila dikaitkan
dengan penyakit dermatitis, ras merupakan salah satu faktor yang ikut berperan untuk
terjadinya dermatitis. Kulit putih lebih rentan terkena dermatitis dibandingkan dengan
kulit hitam.
5. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya

11
Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan berbagai cara
diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat keluarga,
aspek pekerjaan atau tempat kerja, sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-
obatan tertentu) dan riwayat penyakit sebelumnya.

E. Penanganan Dermatitis
Berbagai jenis dermatitis memerlukan upaya terapetik masingmasing, sesuai
dengan jenisnya. Secara umum prinsip terapinya adalah serupa dan pengobatan
utamanya adalah dengan preparat kortikosteroid (KS). Penanganan dimulai dengan
pemastian adanya dermatitis, kemudian sedapat mungkin menghindari faktor pencetus
dan atau faktor pemberat kelainan. Kondisi klinis lesi perlu diperhatikan hal ini penting
karena prinsip dasar dermatoterapi yang telah dikenal sejak lama perlu diterapkan yakni
lesi yang ‘basah’ harus diterapi secara ‘basah’ dan sebaliknya lesi ‘kering’ diterapi secara
‘kering’.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah suatu obat yang pemilihan jenisnya juga
ditentukan oleh kondisi klinis kelainan. Upaya pertama adalah menghindari bahan-bahan
yang bersifat iritan (misalnya deterjen dan sabun tertentu), karena cenderung
mengakibatkan kulit menjadi lebih kering, yang menambah keluhan rasa gatal. Upaya
berikutnya adalah penggunaan KS sebagai antiinflamasi. Kadang-kadang diperlukan
preparat kombinasi antara KS dengan antibiotika ataupun KS dengan antimikotik. Pada
beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan pengobatan sistemik (steroid, antihistamin
maupun antibiotika) sesuai dengan kebutuhan.
Cara penangan bisa bisa di lakukan dengan Higiene perorangan. Higiene adalah
usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap
kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan
kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin
pemeliharaan kesehatannya.
Higiene perorangan termasuk ke dalam tindakan pencegahan primer yang spesifik.
Higiene perorangan menjadi penting karena higiene perorangan yang baik akan
meminimalkan pintu masuk (portal of entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan
pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit. Higiene perorangan yang tidak
baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit, salah satunya penyakit kulit.
Tindakan yang termasuk dalam Higiene perorangan sebagai berikut:
1. Kebiasaan Mandi
12
Manusia perlu mandi untuk menghilangkan bau, debu, dan sel-sel kulit yang
sudah mati. Mandi bermanfaat untuk memelihara kesehatan, menjaga kebersihan,
serta mempertahankan penampilan agar tetap rapi. Setelah mandi, manusia
biasanya merasa segar, bersih, dan santai. Membersihkan diri seluruh tubuh
menggunakan air yang bersih. Idealnya saat musim panas mandi 2 kali pagi dan
sore.
2. Pakaian
Sebaiknya pakaian terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat karena
produksi keringat menjadi banyak. Produksi keringat yang tinggi berguna untuk
menghilangkan ekstra volume saat beraktifitas. Sebaiknya, pakaian agak longgar
di daerah dada. Demikian juga dengan pakaian dalam, agar tidak terjadi iritasi
(lecet) pada daerah sekitarnya akibat lochea . Mencuci pakaiansecara teratur
dengan sabun dan keringkan di sinar matahari merupakan salah satu cara untuk
mencegah terhindar dari penularan penyakit kulit seperti kudis atau koreng.
Pakaian yang telah di pakai selama 12 jam, harus di cuci jika akan di gunakan
kembali.
3. Kebiasaan Menggunakan Handuk
Penggunaan handuk merupakan salah salah satu bagian dari PHBS karena handuk
di gunakan untuk mengeringkan badan setelah mandi dari sisa-sisa air yang masih
menepel di kulit. Handuk juga dapat menjadi media transmisi penularan penyakit
serta tempat kuman dan bakteri jika handuk tidak sering diganti atau sering
menjemurnya di tempat yang lembab. Beberapacara yang dapat di gunakan untuk
menjaga kebersihan handuk sebagai berikut :
a. Jemur handuk di tempat yang kering dan terkena matahari, agar tidak
lembab dan tidak mudah ditumbuhi jamur
b. Ganti handuk setiap pemakaian 2-3 hari untuk mencegah handuk berbau dan
mencegah tumbuhnya bakteri.
c. Pisahkan handuk dengan cucian lain
d. Cuci handuk dengan air biasa atau air hangat hingga suhu 60 derajat Celcius
e. Setrika handuk dengan temperatur sedang dan simpan pada tempat tertutup
yang kering.
f. Kebiasaan Mencuci Sprei
Sprei sebagai alas tempat tidur harus selalu dijaga kebersihannya. Agar kita
terhindar dari segala penyakit. Gunakan sprei yang dapat menyerap keringat.
13
Untuk menjaga kebersihan sprei harus di cuci minimal 2 minggu sekali. Agar
sprei tidak menjadi lembab dan menjadi sarang kuman dan bakteri. Saat
mencuci sprei sebaiknya menggunakan sabun dan langsung di jemur di
bawah terik sinar matahari agar kuman yang terdapat dalam sprei dapat mati
karena panas sinar matahari.

14
BAB III
KESIMPULAN
A. Saran
Dengan adanya kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) maka penulis ingin
menyampaikan sebagai saran dan masukan, untuk rekan siswa jurusan Keperawatan agar
lebih meningkatkan pengetahuan, sehingga dapat memadukan secara sistematis antara
program pendidikan dengan program keahlian yang di peroleh melalui dunia kerja.
B. Kritik
Dalam kegiatan Prakerin kepada guru pembimbing agar selalu memantau kegiatan prakerin anak
didinya. Waktu prakerin hendaknya ditambah agar siswa dapat mendalami pengalaman kerja tersebut
dengan baik dan dapat mengerti secara keseluruhan bukan hanya dapat mengenal akan tetapi juga dapat
mendalami isi materi yang telah diberikan pada saat prakerin.

15
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim 2003.Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia: Jakarta.

 Anonim. 2006.Pedoman Pelayanan Farmasi di Puskesmas. Departemen Kesehatan RI: Jakarta

 Anief,Moh. 2007. Ilmu Meracik Obat – Teori dan Praktik. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

 Anonim. 2008. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia: Jakarta.

 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, 2007, Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Di Daerah Kepulauan,

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

 Instruksi Kerja Pengelolaan Obat di Apotek Tahun 2012 Puskesmas I Denpasar Selatan

 Instruksi Kerja Pengelolaan Obat di Gudang Obat Tahun 2012 Puskesmas I Denpasar Selatan

 Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas,Jakarta

 Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tentang Pusat

Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

 Presiden Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tentang

Kesehatan, Jakarta, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

16
LAMPIRAN-LAMPIRAN
(Gambar Cek Tanda-Tanda Vital)

17
18

Anda mungkin juga menyukai