Anda di halaman 1dari 9

1.

Kajian Singkat Demokrasi, seputar teori dan fakta


 MARCH 13, 2013  BY NONE
Pengertian demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno. Istilah ini dicetuskan di Athena pada abad
ke 5 SM. Demos berarti rakyat. Cratos artinya kekuasaan (berkuasa, pemerintahan). Kamus
besar bahasa indonesia menyebutkan Demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan
yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya; pemerintahan
rakyat. Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan
dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap
pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
 

Demokrasi awal dan teokrasi

Demokrasi memang lahir lebih awal, yaitu abad ke 5 SM. Adapun sekularisme lahir sesudah
abad ke 14 M. Namun, demokrasi itu ternyata sudah tidak diterapkan lagi, karena tidak
bertahan lama setelah kelahirannya. Ini dibuktikan bahwa setelah negara kota Athena, tidak
ditemukan lagi satu negarapun yang menerapkan sistem ini. Sebagai gantinya, muncullah
pemerintahan monarki yang berkolaborasi dengan Gereja, yang disebut dengan teokrasi atau
yang juga disebut dengan negara agama.

Teokrasi abad pertengahan (pergolakan rohaniawan gereja-raja dengan para filosof-


pemikir)

Sampai abad bertengahan terjadi pergolakan konsep teokrasi ini. ada dua kubu yang saling
berseberangan. Si satu sisi ada para rohaniawan Kristen yang diperalat oleh para raja dan
kaisar. Mereka dijadikan perisai (badan legitimasi) untuk mengeksploitasi dan menzalimi
rakyat atas nama agama serta menghendaki agar segala urusan tunduk dibawah peraturan
agama. Di sisi lain, ada para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama serta
menolak otoritas para rohaniawan. Ini terjadi karena selama dominasi gereja 300 ribu ilmuan
yang dibunuh, bahkan 32 ribu ilmuan dibakar hidup-hidup karena tidak sesuai dengan doktrin
gereja.

Lahirnya konsep sekularisme (demokrasi modern)


Para rohaniawan kristen membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan
gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia
terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah
stabil selama ratusan tahun tidak digugat.

Sebaliknya, para filosof dan pemikir menawarkan konsep sekularisme, yang intinya rekyat
tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik, selanjutnya konsep
sekularisme ini mengeluarkan 3 teori:

1. Liberalisme yang menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah
rakyat sendiri.
2. Kapitalisme yang menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan.
Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi,
sementara pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja.
3. Demokrasi yang menyerahkan kedaulatan kepada manusia (rakyat).
Saat aturan agama ditolak tentu manusia butuh aturan baru, di sinilah kemudian demokrasi
digali kembali dari lubang kuburnya setelah terkubur puluhan abad. Demokrasi menjadi
pilihan ideal, karena itu memang sistem yang menyerahkan segala sesuatu kepada keinginan
manusia. Itulah mengapa dikatakan bahwa demokrasi (modern) lahir dari akidah sekularisme.
Akidah sekularisme sendiri adalah “jalan tengah” (kompromi) yang bersifat pragmatis, bukan
hasi pemikiran yang memuaskan akal dan menentramkan hati.

ILUSI DEMOKRASI

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?

Presiden abraham Lincoln (1860-1856) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from teh
people, by the people, for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun,
hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B.
Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di AS pada tahun itu adalah “From
company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan, dan untuk
perusahaan).

Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada ditangan segelintir rakyat, yakni
pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-
olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi bila perubahan yang dikehendaki adalah daulat
rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu (ilusi). Yang berdaulat dan berkuasa dalam
demokrasi adalah para pemilik modal.

 
Demokrasi memberikan Kemuliaan dan kebahagiaan rakyat? (secara teori)

Sebagian kaum Muslim berkata bahwa itu adalah konsep demokrasi Barat. Di dalam Islam,
kata mereka, kedaulatan berada di tangan rakyat (suara mayoritas), bukan ditangan pemilik
modal. Ini jelas pernyataan yang keliru dan penyesatan. Pasalnya, jika dikatakan kedaulatan
berada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di sistem demokrasi, maka demokrasi telah
merampas hak Allah SWT untuk membuat hukum dan menyerahkan pada hawa nafsu
manusia. Padahal Allah-lah Pembuat hukum (QS. al-An’am [6] : 57).

Bahkan jika seseorang secara sadar dan terang terangan menolak satu saja hukum syariah
Islam, menolak dalam arti mengingkari kewajiban akan berhukum dengan hukum Allah
tersebut, maka ia bisa termasuk kategori orang yang kafir (lihat: QS al-Maidah [5]: 44).
Adakah sejatinya kebahagiaan dan kemuliaan yang akan diperoleh dari suatu pembangkangan
kepada Allah SWT?

Demokrasi menyelesaikan beragam masalah?

Seperti telah banyak dipahami, inti dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat, yang
perwujudannya tampak dapa dua perkara. Pertama, dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan. Kedua, dalam pemilihan pemimpin. Dengan kewenangan (wakil) rakyat
menyususn peraturan perundang-undangan dan memilih pemimpin , diyakini bahwa
peraturan perundangan yang dihasilak akan selaras dengan kepentingan rakyat, dan
pemimpin yang terpilih akan benar-benar bekerja demi rakyat. Namun, yang terjadi tidaklah
demikian.

Untuk bisa menjadi anggota parlemen dan menjadi penguasa baik di level negara maupun di
level distrik (propinsi dan kota/kabupaten) diperlukan biaya yang tidak sedikit. Nah,
kebutuhan akan dana yang besar inilah yang kemudian menjadi pangkal timbulnya masalah.
Ambil contoh Amerika Serikat. Di negara yang dianggap sebagai kampiunnya demokrasi,
dalam Pemilu baru lalu, untuk biaya kampanye, Obama dikabarkan menghabiskan paling
sedikit 800 juta USD (sekitar Rp 7,2 triliun). Rivalnya, Mitt Romney juga menghabiskan
jumlah kurang lebih sama. Keadaan serupa terjadi di Indonesia. Pasangan Sukarwo dan
Saifullah dalam Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, misalnya, secara resmi
menyatakan telah menghabiskan dana Rp 1,3 triliun untuk pencalonannya sebagai gubernur
Jawa Timur. Bila untuk pencalonan sebagai gubernur saja dihabiskan dana segitu besar, yang
dikeluarkan oleh calon presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp
1,5 triliun.

Lalu untuk anggota legislatif (caleg), biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Wakil ketua
DPR dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, dalam penelitian untuk desertasi doktoralnya
mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta.
Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu dari pemilu ke pemilu
cenderung meningkat. Biaya caleg tahun 2009, misalnya, naik 3,5 lipat dibanding tahun
2004. Untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka miliaran.

Pertanyaannya, dari mana semua dana itu diperoleh? Di AS, hampir 80 persen dana sebanyak
itu disumbang oleh para pengusaha. Di indonesia tidaklah berbeda. Kondisi ini tentu
memberikan implikasi serius. Pertama, kebijakan pemerintan yang dibentuk melalui proses
politik seperti itu pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha
yang telah mendukungnya. Kedua, peraturan perundangan yang dihasilkan oleh anggota
parlemen, terutama yang berkaitan dengan ekonomi, juga akan cenderung berpihak kepada
pemilik modal. Itu dilakukan sebagai konpensasi atau sebagai jalan untuk mendapatkan dana
guna mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Akhirnya, mereka menjadikan
kedudukan dankewenangan yang mereka miliki itu sebagai alat untuk memperoleh uang
karena gaji resmi yang diterima jauh dari kebutuhan.

Oleh karena itu, bisa dimengeti bila kemudian banyak kepala daerah dan anggota parlemen
tersangkut perkara korupsi. DPR bahkan dinilai sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Pusat
Pelapuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69, 7 persen
anggota DPR terindikasi korupsi. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota
DPR Kabupaten/Kota tersangkut kasus korupsi. Lalu 17 dari 33 gubernur yang ada, dan 148
walikota/bupati juga menjadi tersangka korupsi.

Akhirnya, demokrasi semakin jauh dari realisasi politik “demi kepentingan rakyat”. Para
pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tak heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh
pemerintah lebih cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya yang
tidak lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan sehingga
yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin tersisih.

Keadaan inilah yang menimbulkan ketimpangan ekonomi di berbagai negara di dunia. Di AS,
misalnya, dari tahun 1980 hingga 2005, 80 persen kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1 persen
penduduk. Dari tahun 1979 hingga tahun 2007 pendapatan rata-rata 1 persen terkaya orang
naik 272 persen dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD. Pada kurun waktu yang sama,
pendapatan rata-rata 20 persen penduduk AS termiskin hanya naik 13 persen dari 15.500
USD ke 17.500 USD.

Di Indonesia kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang mengukur tingkat
kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat
Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal
pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.
Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari
42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen
masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011).
Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 Triliun (71,3 miliyar USD) atau
setara dengan kekayaan 60 persen penduduk atau 140 juta orang.

Dalam konteks global, terjadi pula kecenderungan peningkatan ketimpangan kekayaan.


Hingga tahun 2010, sebanyak 0,5 persen penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6
persen kekayaan global; 8 persen penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3 kekayaan
global. Sebaliknya, 68,4 persen penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki 4,2 persen
kekayaan global. Maka tak heran, dalam demo yang marak yang terjadi di berbagai Negara
Barat menyusul krisis ekonomi yang tak kunjung surut, mereka membawa spanduk
berbunyi: “Capitalism in not working”, “Capitalism is merely for 1% we are the 99%”.

KONSEP-KONSEP DEMOKRASI

Kebebasan Beragama

Dalam demokrasi seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama. Mereka juga
bebas untuk berpindah-pindah abama (baca: murtad); agama seolah menjadi sesuatu yang
tidak prinsip sehingga seolah menjadi permainan.

Ini terjadi karena dalam demokrasi semua agama itu sama sehingga manusia tidak boleh
dibeda-bedakan atas dasar agamanya. Dengan pandangan yang rusak ini, perilaku yang
menyimpang bagi sebagian kaum Muslim –misalnya Muslimah tidak masalah menikah
dengan laki-laki kafir- ditoleransi dengan alasan toh semua agama itu sama.

Kebebasan ini juga menyebabkan berkembangnya ajaran/aliran sesat. Bahkan sampai tahun
2007, jumlahnya telah mencapai 250 aliran.

Kebebasan Berpendapat

Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan
bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-harom. Tidak aneh, dalam demokrasi kita
mendapati banyak pendapat yang dipaka untuk ‘menghujat’ Islam; seperti bahwa Islam
adalah ajaran Muhammad (Mahammadanisme), bukan syariah Allah; al-Qur’an adalah
produk budaya, tidak sakral; Islam memblehkan perkawinan sejenis; jilbab itu budaya arab,
kewaiban memakai jilbab itu hanya pada saat shalat; dll. Inilah pandangan-pandangan liberal.
Jelas ini bertentangan dengan Islam.

Di Belanda, tahun 2004, Theo van Gogh membuat film yang melecehkan Islam. Masih di
Belanda, Geert Wilders, anggota Parlemen Belanda dari Partai Kebebasan, juga menghina
Islam melalui berbagai Pernyataan, tulisan dan film yang dia buat.

Kita tentu juga masih ingat ketika surat kabar Jyllands Posten memuat kartun Nabi saw.
diterbuitkan pada 30 September 2005. Jyllands Posten adalah surat kabar terbesar di
Denmark. Gambar kartun Nabi Muhammad saw. tersebut dibuat oleh Kurt Westergaard. Dua
tahun kemudian, yakni 2007, muncul kartunis lain dari Negara Swedia, yakni Lars Vilks,
menggambar Nabi Muhammad saw. sebagai satwa haram. Kemudian setelah itu muncul film
Innocence of Muslims, sebuah video yang dibuat oleh Sam Bacile.

Di Amerika Serikat, dua tahun lalu, dalam rangka peringatan Tragedi WTC 9/11, sekte kecil
agama kristen di Florida, pimpinan Pastor Terry Jones dari Gereja World Outreach Center,
membakar al-Quran. Pada bulan Oktober lalu film kartun South Park juga menampilkan
sosok Nabi saw. dalam salah satu episodenya.

Ironinya, semua serangan terhadap Islam dan kaum muslim di Barat terjadi dengan alasan
demokrasi dan kebebasan. Contoh, editor Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier mengatakan,
“Kami pikir mungkin akan ada rasa hormat yang lebih kuat untuk pekerjaan satir kami, hak
kami untuk mengejek. Kebebasan untuk memilki tawa yang baik adalah sama pentingnya
dengan kebebasan berbicara.”

Semua itu menampakkan dengan jelas kepada kita bahwa demkrasi selalu menerapkan
standar ganda, khususnya untuk Islam dan kaum Muslim. Dengan dalih kebebasan, Barat
beramai-ramai melecehkan ajaran Islam dan menghina Rasulullah saw.

Di sisi lain, mereka melarang tulisan atau propaganda yang menyerang Yahudi dan Israel
dengan dalih anti-Semit. Jika terikat Islam dan kaum Muslim, maka demokrasi dan
kebebasan berpendapat bahkan kebebasan beragama, tiba-tiba saja menjadi tidak ada.

Kebebasan Kepemilikan

Kebebasan ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki harta (modal) sekaligus
mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di indonesia, pihak asing bahkan
memberikan kebebasan untuk menguasai sumber daya alam milik rakyat. “Sudah lama kita
tak pernah jaya dengan hasil alam sendiri. Padahal kita kaya SDA. Sedikitnya 69 persen SDA
kita telah dikuasai oleh asing selama puluhan tahun. SDA itu seluruhnya berakhir dalam
surat-surat kontrak (konsensus) dengan pihak asing. Itu sebabnya, kita tetap miskin”.
Demikian dikatakan Aktivis HAM Usman Hamid.

Tambang batu bara dan minyak di Kalimantan, tambang emas di Papua, serta perkebunan di
Sumatera semestinya sanggup memperkaya bangsa kita. Nyatanya, semua hasilnya justru
dibawa kabur ke luar negeri, dinikmati oleh kaum kapitalis.

Ide kebebasan kepemilikan yang dijadikan sebagai tolak ukur perbuatan mengakibatkan
lahirnya para kapitalis yang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan
industrinya dan membutuhkan pasar-pasar  konsumtif untuk memasarkan produk-produk
industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu
sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta benda mereka,
sekaligus menghisap darah mereka dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan
seluruh nilai nilai agama, akhlak dan kemanusiaan.

Hal ini bisa kita lihat dari salah satu alasan mengapa Prancis menyerang negara Mali di
Afrika adalah karena faktor ekonomi, yakni kekayaan negara Mali. Mali adalah negeri yang
kaya bahan tambang berupa emas, phospat, kaolin, bauksit, besi uranium, dan banyak
lainnya. Tidak mengherankan kalau Eropa khususnya Prancis dan Amerika saling berebut
kekayaan alam Mali.

Kebebasan Bertingkah Laku

Kebebasan bertingkah laku telah menjadikan perempuan sebagai ajang eksploitasi


Kapitalisme melalui perhelatan Miss Universe, Miss World dan sejenisnya. Perempuan hanya
dianggap sebagai komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Kebebasan semacam
ini sama artinya dengan melegitimasi kemaksiatan. Pacaran, misalnya, merupakan kebebasan
berperilaku yang harus dilindungi.

Kebebasan ini juga lahirkan perilaku seks yang menyimpang. Kita bisa melihat bagaimana
sekarang manusia sudah tidak malu lagi memperkenalkan dirinya di hadapan umum sebagai
pasangan homo/lesbi dan juga waria yang merupakan perilaku lebih rendah dari binatang.

Bahkan Inggris menjadi negara ke 11 yang menyetujui pernikahan sejenis. Parlemen inggris
telah menyetujui pernikahan sejenis; 400 orang anggota parlemen mendukung 175 menolak.
Sepuluh negara lain adalah Belanda (2001), Belgia (2003), Spanyol (2005), Kanada (2005),
Afrika Selatan (2006), Norwegia, Swedia, (2009) Portugal (2010), Islandia (2010), Argentina
(2010) (Huffingtonpost.com)
Kebebasan berprilaku juga menyuburkan kejahatan tindakan susila. Harian The
Guardian(10/1) menambahkan protret rusak negara kampiun demokrasi Inggris. Berdasarkan
sebuah studi dilaporkan hampir satu dari lima wanita di inggris dan Wales menjadi korban
serangan seksual sejak berusia 16 tahun. Studi ini juga menunjukkan ada sekitar 473 ribu
orang dewasa yang menjadi korban kejahatan seksual setiap tahun, termasuk didalamnya ada
60 ribu sampai 95 ribu korban perkosaan.

DEMOKRASI DALAM KACAMATA ISLAM

Demokrasi merupakan Ideologi buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari


kehidupan (sekular), kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem
Islam karena tidak berdasar kepada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada
rakyat. Kebrukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan
kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-An’am [6]: 116).

Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur
bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena
konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran
demokrasi ini dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut Aqidah
Islam, yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]:
57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sengguh bertentangan secara frontal dengan
Islam. Memberikan hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS
al-Ma’idah [5]: 44).

Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara


demokrasi dan sistem Islam, antara lain:

1. Dari segi sumber: demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal
manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan
kepada Rasul-Nya Muhammad saw.
2. Dari segi asas: demkrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari
kehidupan). Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah
Islam dalam segala bidang (QS 2: 208).
3. Dari segi standar pengambilan pendapat: demokrasi menggunakan standar mayoritas
(mutlak). Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas.
Rinciannya: (a) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah
dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (b) jika materinya menyangkut aspek-
aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (c) jika materinya
menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang
paling tepat, bukan suara mayoritas. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwasyura berbada dengan demokrasi.
4. Dari segi ide kebebasan: demokrasi menyerukan empat jenis kebebasan. Kebebasan
adalah tidak adanya keterikatan dengan apapun pada saat melakukan aktivitas.
Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru
mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.
 

Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam sesunggunya
merupakan sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum
Islam, baik secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim
diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi.
Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam.

Demokrasi bukalah jalan bagi umat Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja
menyampurkan yang haq dengan batil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah
[2]: 45). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan
dipropagandakan.

Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam dalam Institusi Khilafah. Inilah jalan
sahih bagi umat Islam untuk mendapatkan kesejahtaraan dan keadilan. Karena itu, segera
tinggalkan demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah, Insya Allah.

Anda mungkin juga menyukai