Anda di halaman 1dari 27

Referat

Dengue Shock Syndrome


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :

Vadhilla Safitri, S.Ked


150611032

Preseptor :
dr. Sri Mutia, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA ACEH UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

referat yang berjudul “Dengue Shock Syndrome” sebagai salah satu tugas dalam

menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak

terhingga kepada dr.Sri Mutia, Sp.PD sebagai pembimbing yang telah

meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti KKS di

bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh

Utara.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan

referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan

saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga

referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Batam, Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................ ii
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 Definisi............................................................................................ 4
2.2 Epidemiologi................................................................................... 4
2.3 Etiologi............................................................................................ 4
2.4 Patofisiologi..................................................................................... 6
2.5 Patogenesis....................................................................................... 8
2.6 Manifestasi Klinis........................................................................... 11
2.7 Diagnosis........................................................................................ 14
2.8 Pemeriksaan Penunjang.................................................................. 15
2.9 Tatalaksana..................................................................................... 18
2.10 Komplikasi..................................................................................... 20
2.11 Prognosis........................................................................................ 21
BAB 3. KESIMPULAN..................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan

Aedes Albocpictus.1 Virus Dengue memiliki 4 jenis serotype: DEN-1, DEN-2,

DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap

serotype yang bersangkutan, namun tidak untuk serotipe lainnya, sehingga

seseorang dapat terinfeksi demam Dengue 4 kali selama hidupnya. Indonesia

merupakan Negara yang endemis untuk Demam Dengue maupun Demam

Berdarah Dengue.2

Pada umumnya penderita DBD (Demam Berdarah Dengue) akan

mengalami fase demam selama 2-7 hari, fase pertama: 1-3 hari ini penderita akan

merasakan demam yang cukup tinggi 40oC, kemudian pada fase kedua penderita

mengalami fase kritis pada hari ke 4- 5, pada fase ini penderita akan mengalami

turunnya demam hingga 37oC dan penderita akan merasa dapat melakukan

aktivitas kembali (merasa sembuh kembali) pada fase ini jika tidak mendapatkan

pengobatan yang adekuat dapat terjadi keadaan fatal, akan terjadi penurunan

trombosit secara drastis akibat pemecahan pembuluh darah (pendarahan). Di fase

yang ketiga ini akan terjadi pada hari ke 6-7 ini, penderita akan merasakan demam

kembali, fase ini dinamakan fase pemulihan, di fase inilah trombosit akan

perlahan naik kembali normal kembali.1

Gejala yang akan muncul ditandai seperti demam mendadak, sakir kepala,

nyeri belakang bola mata, mual dan manifestasi perdarahan seperti mimisan atau

1
2

gusi berdarah serta adanya kemerahan di bagian permukaan tubuh pada

penderita.1

Sampai saai ini DBD masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat

dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi

antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota

keluarga dan berkurang usia harapan dalam keluarga, kematian anggota keluarga

dan berkurangnya usia harapan hidup msyarakat. Dampak ekonomi langsung

adalah biaya pengobatan yang cukup mahal, sedangkan dampak tidak langsung

adalah kehilangan waktu kerja dan biaya lain yang dikeluarkan selain pengobatan

seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan sakit.1

Mengingat obat untuk membunuh virus Dengue hingga saat ini belum

ditemukan dan vaksin untuk mencegah DBD masih dalam tahap uji coba, maka

cara yang dapat dilakukan sampai saat ini adalah dengan memberantas nyamuk

penular (vektor). Pemberantasan vektor ini dapat dilakukan pada saat masih

berupa jentik atau nyamuk dewasa.1

Infeksi sekunder dengan serotipe virus Dengue yang berbeda dari

sebelumnya merupakan faktor resiko terjadinya manifestasi Deman Berdarah

Dengue yang berat atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Namun sampai saat ini

mekanisme respons imun pada infeksi oleh virus dengue masih belum jelas,

banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue

antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri.

Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan

(environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah


3

hujan, angin, kelembaban, musim); Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas,

perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vektor

penular penyakit juga ikut berpengaruh.3


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi

kriteria DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS

adalah kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit

infeksi virus dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.3,4,5

2.2 Epidemiologi

DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47

tahun terakhir. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58

kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Peningkatan dan penyebaran kasus

DBD tersebut dapat disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,

perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan

distribusi penduduk dan factor epidemiologi yang lainnya.1

2.3 Etiologi

Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. Terdapat 4

serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. keempatnya ditemukan

di Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan

menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi

yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat

memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.

Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4

serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di

4
5

berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia,pengamatan virus dengue yang

dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat

serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan

serotipe yang dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang

berat.3,4,5

Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes

aegypti dan A. albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada

penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.

Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit

manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar

liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum

dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus

dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan

transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh

nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya

(infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari

(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari

manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang

sedang mengalami viremia,yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah

demam timbul.3,4

• Virus

Virus dengue (DEN) adalah small single-stranded RNA virus yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan


6

virus dengan diameter 30 nm terdiri atas asam ribonukleast rantai tunggal dengan

berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan

DEN-4. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan di Indonesia namun yang

paling banyak adalah DEN-3.

• Vektor

Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

yang terinfeksi, khususnya Ae. aegypti. Nyamuk ini merupakan spesies tropikal

dan subtropikal yang menyebar luas di dunia. Perindukan nyamuk Aedes terjadi

dalam bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng yang berisi air dan tempat

penampungan air lainnya). Sehingga nyamuk yang belum matur dapat ditemukan

pada tempat-tempat tersebut.

• Host

Inkubasi virus dengue terjadi dalam 4-10 hari. Setelah masa inkubasi

tersebut infeksi oleh virus dengue dapat menyebabkan spektrum penyakit yang

luas, walaupun sebagian besar infeksi asimptomatik atau subklinis. Virus dengue

masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menghisap darah

manusia. Selama fase akut virus dapat ditemukan dalam darah. Respon imun

humoral dan selular berkontribusi dalam melawan virus ini dengan membentuk

antibodi netralisasi dan mengaktifkan limfosit CD4+ dan CD8+.

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi

peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma

ke dalam ruang ekstra vaskuler, sehingga akan menimbulkan hemokonsentrasi


7

dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun mencapai 20% pada

kasus berat yang diikuti efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Jika

penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan

cepat dan menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada

Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Syok Syndrome (DSS) yang akan

melibatkan 3 faktor yaitu: (1) perubahan vaskuler; (2) trombositopenia; dan (3)

kelainan koagulasi.6

Setelah virus Dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak

didalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang

berlangsung 5-7 hari. Respon imun humoral atau seluler muncul akibat dari

infeksi virus ini. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada

infeksi Dengue primer antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder kadar

antibodi yang ada telah meningkat.6

Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar

demam pada hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai minggu ketiga

dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat

pada demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat

pada hari kedua. Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat ditegakkan

dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima, sedangkan pada infeksi

sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG

dan IgM yang cepat.6

Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan

pada sebagian besar kasus Demam Berdarah Dengue. Trombosit mulai menurun
8

pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit

secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai

pada 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi

trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 6

Gangguan hemostasis melibatkan perubahan vaskuler, pemeriksaan

tourniquet positif, mudah mengalami memar, trombositopenia dan koagulopati.

DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, Disseminated

Intravaskular Coagulation (DIC) dapat dijumpai pada kasus yang berat dan

disertai syok dan secara potensial dapat terjadi juga pada kasus DBD tanpa syok.

Terjadinya syok yang berlangsung akut dapat cepat teratasi bila mendapatkan

perawatan yang tepat dan melakukan observasi disertai pemantauan perembesan

plasma dan gangguan hemostatis.6

2.5 Patogenesis

Patogenesis Demam Berdarah Dengue sampai saat ini masih kontrovesial

dan belum dapat diketahui secara jelas. Terdapat dua teori yang dikemukakan dan

paling sering dianut adalah : Virulensi virus dan Imunopatologi yaitu Hipotesis

Infeksi Sekunder Heterolog (The Secondary Heterologous Infection). Teori

lainnya adalah teori endotel, endotoksin, mediator, dan apoptosis.7

• Virulensi Virus

Virus Dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan empat serotip

(DEN 1, 2, 3, 4). Terdiri dari genom RNA stranded yang dikelilingi oleh

nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam nukleat untuk bereplikasi,

sehingga mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus untuk


9

mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus berperan

melalui kemampuan virus untuk:

a. Menginfeksi lebih banyak sel,

b. Membentuk virus progenik,

c. Menyebabkan reaksi inflamasi hebat,

d. Menghindari respon imun mekanisme efektor.

Penelitian terakhir memperkirakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan

virulensi virus dalam hal kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target.

Perbedaan manifestasi klinis demam dengue, DBD dan Dengue Syok syndrome

mungkin disebabkan oleh varian-varian virus dengue dengan derajat virulensi

yang berbeda-beda.

1. Teori Imunopatologi

Hipotesis infeksi sekunder oleh virus yang heterologous (secondary

heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua

kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai risiko

yang lebih besar untuk menderita Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok

Dengue. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenali virus lain

yang telah menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi

yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membrane sel leukosit, terutama

makrofag. Antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi oleh

tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), yaitu

suatu proses yang akan meningkatkan infeksi sekunder pada replikasi virus
10

dengue di dalam sel mononuklear yaitu terbentuknya komplek imun dengan virus

yang berkadar antibodi rendah dan bersifat subnetral dari infeksi primer. Komplek

imun melekat pada reseptor sel mononukleus fagosit (terutama makrofag) untuk

mempermudah virus masuk ke sel dan meningkatkan multiplikasi. Kejadian ini

menimbulkan viremia yang lebih hebat dan semakin banyak sel makrofag yang

terkena. Sedangkan respon pada infeksi tersebut terjadi sekresi mediator vasoaktif

yang mengakibatkan terjadinya keadaan hipovolemia dan syok.

2. Teori Endotoksin

Syok pada DBD menyebabkan iskemia usus, yang kemudian

menyebabkan translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Endotoksin

sebagai komponen kapsul luar bakteri gram negative akan mudah masuk ke dalam

sirkulasi pada keadaan iskemia berat. Telah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya

bahwa endotoksin berhubungan erat dengan kejadian syok pada Demam Berdarah

Dengue. Endotoksinemia terjadi pada 75% Sindrom Syok Dengue dan 50%

Demam Berdarah Dengue tanpa syok.

3. Teori Mediator

Makrofag yang terinfeksi virus Dengue mengeluarkan sitokin yang disebut

monokin dan mediator lain yang memacu terjadinya peningkatan permeabilitas

vaskuler dan aktivasi koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi kebocoran

vaskuler dan perdarahan.

4. Teori Apoptosis

Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologis yang merupakan

reaksi terhadap beberapa stimuli. Akibat dari apoptosis adalah fragmentasi DNA
11

inti sel, vakuolisasi sitoplasma, peningkatan granulasi membran plasma menjadi

DNA subseluler yang berisi badan apoptotik.

5. Teori Endotel

Virus Dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan

menyebabkan pengeluaran sitokin dan kemokin. Sel endotel yang telah terinfeksi

virus Dengue dapat menyebabkan aktivasi komplemen dan selanjutnya

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan dilepaskannya

trombomodulin yang merupakan pertanda kerusakan sel endotel. Bukti yang

mendukung adalah kebocoran plasma yang berlangsung cepat dan meningkatnya

hematokrit dengan mendadak.

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang

mempengaruhi dayatahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

virulensi virus sehingga dapat bersifat simptomatik, atau berupa demam yang

tidak khas (undifferentiated fever), demam dengue (DD),demam berdarah dengue

(DBD) atau sindrom syok dengue (SSD).5

Masa inkubasi dalam tubuh manusia selama 4-6 hari (rentang 3-14 hari)

timbul gejala prodromal yang tidak khas berupa nyeri kepala, tulang belakang,

dan merasa lemas.

1. Demam Dengue

Gejala klasik ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik

(saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot,

tulang, atau sendi, mual, muntah,dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk


12

makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2hari ) kemudian

menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-

6atau ke7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga

ditemukan ptekie. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue

yang disertai dengan perdarahan seperti: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan

saluran cerna, hematuri, dan menoragi.9

2. Demam Berdarah Dengue

Bentuk klasik ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai

dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot,

tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Biasanya ditemukan juga nyeri

perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Bentuk perdarahan yang

paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan

perdarahan pada bekas suntikan intravena. Kebanyakan kasus, petekie halus

ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang

biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi

lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada

fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4

cm di bawah arcus costae kanan. Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase

demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai

dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus

dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara,

pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.9


13

3. Sindrom Syok Dengue

Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3

sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian

jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar

mulut, nadi cepat-lemah, tekanan darah <20 mmHg, hipotensi, pengisian kapiler

terlambat dan produksi urin yang berkurang. Kebanyakan pasien masih tetap sadar

sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Bila terlambat diketahui atau

pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai

penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna. infeksi

(pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi

klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. Pada masa

penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari,kadang-kadang ditemukan

sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik

apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan.9


14

2.7 Penegakan Diagnosis

a. Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya:10

Dengue probable :

• Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue

• Demam disertai 2 dari hal berikut :

- Mual, muntah

- Ruam

- Sakit dan nyeri

- Uji torniket positif

- Lekopenia

- Adanya tanda bahaya

• Tanda bahaya adalah :

- Nyeri perut atau kelembutannya

- Muntah berkepanjangan

- Terdapat akumulasi cairan

- Perdarahan mukosa

- Letargi, lemah

- Pembesaran hati > 2 cm

- Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat

Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma

tidak jelas)

b. Kriteria dengue berat:10


15

• Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi

cairan dengan distress pernafasan.

• Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi

• Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran,

gangguan jantung dan organ lain) Untuk mengetahui adanya kecenderungan

perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang

mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini

sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Deteksi Antigen

Produk gen NS1 merupakan glikoprotein yang dihasilkan oleh semua

flavivirus dan penting untuk replikasi dan viabilitas virus. Selama replikasi virus,

NS1 terlokalisir dalam organel sel. Protein NS1 di- sekresikan oleh sel mamalia,

tetapi tidak oleh sel-sel serangga. Bentuk protein sekresi berupa heksamer, yang

terdiri dari subunit dimer. Glikosilasi protein ini diyakini pen- ting untuk sekresi.

Antigen NS1 muncul awal pada hari pertama setelah serangan demam dan

menurun ke tingkat tidak terdeteksi setelah 5-6 hari. Protein NS1 merupakan

antigen yang memperbaiki dan saling melengkapi, serta juga menghasilkan respon

humoral yang sangat kuat. Penelitian telah banyak didedikasikan untuk kegunaan

NS1 sebagai alat diagnosis infeksi virus dengue, karena disekresikannya protein

ini11

b. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)

Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering
16

dipakai dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini:12

- Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat

menunjukan tipe virus yang menginfeksi

- Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini

baik digunakan pada studi seroepidemiologi.

- Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer

serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga

keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )

c. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )

Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh

karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga

periksa yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi

komplemen fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun ).12

d. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )

Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus

dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction

Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang

terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan

dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan

bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang

cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.(12)


17

e. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)

Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak

sekali dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam

serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :12

1. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti

oleh IgG.

2. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan

diagnosis yang tepat.

3. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.

4. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.

5. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi.

Untuk memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk

itu uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk

pengelolaan kasus.

6. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan

uji mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama

dengan uji HI.

f. IgG Elisa

Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI

,hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue

IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar

di pasaran. Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer
18

antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali

kelipatan atau lebih).12

2.9 Tatalaksana

Bila kita berhadapan dengan sindroma syok Dengue maka hal pertama

yang harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena

itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka

kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita

DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita

DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat

termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda - tanda renjatan dini, dan

penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan kristaloid

adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga

diberikan oksigen 2-4 liter/ menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus

dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD,

kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.12

Pada fase awal , cairan kristaloid di guyur sebanyak 10 - 20 m l / k g BB

dan di evaluasi setelah 15 - 30 menit . Bila renjatan telah teratasi (ditandai

dengan TD sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi

nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba

hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan

dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap

stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit

kemudian keadaan tetap stabil pemvberian cairan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila


19

24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil

serta diuresis cukup maka pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika

reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai

dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan

hipervolemi edeme paru atau gagal jantung dapat terjadi). 12 Pengawasan dini

kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dlam waktu

48 jam pertama sejak terjadinya renjatan (karena selain proses patogenesis

penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja

yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena

untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan

pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,

frekuensi jantung, dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium

kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/jam.

Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat

dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal

pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan

kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB dan kemudian dievaluasi

setelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma

masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihna, tetapi bila

nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka

pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang

sesuai kebutuhan.12 Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus

mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulamula


20

diberikan dengan tetesan cepat 10-20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30

menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan

dilakukan pemasangan katetar vena sentral dna pemberian koloid dapat ditambah

hingga jumlahmaksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 m/hari) dengansasaran

tekanan vena sentral 15-18 cm H2O. bila keadaan tetap belum teratasi harus

diperhatikan dan dilakukan koreksi maka dapat diberikan obat inotropic/

vasopressor.12

2.10 Komplikasi

Pada penderita demam dengue yang disertai syok, setelah demam

berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk.

Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu

kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat

danlemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20

mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih

rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase kritis

syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok

timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal,

dannyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan

petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal yang hebat.13

Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis

buruk. Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi demam dengue,

yaitu pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita,

penggantian dini plasma secara efektif dengan memberikan cairan


21

yangmengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma, memberikan hasil

yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari mulai hari

ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan inilah

yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan atau mendapatkan

pemberiancairan intravena.13

2.11 Prognosis

Prognosis infeksi dengue tergantung tingkat keparahan penyakit dan

komplikasi yang muncul. Kematian sering terjadi jika terdapat perdarahan yang

berat, syok yang tidak dapat teratasi, efusi pleura dan ascites yang berat dan

kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan infeksi

sekunder yang terjadi selama perjalanan penyakit. Kematian terjadi pada kasus

berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf,kardiovaskuler,

pernapasan, darah, dan organ lain.13


BAB 3
KESIMPULAN

DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47

tahun terakhir. Terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari tahun 1968 yaitu 58

kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Sindrom renjatan dengue (dengue

shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda

renjatan atau syok dapat berakibat fatal. Kegawat daruratan DBD dinyatakan

sebagai salah satu masalah kesehatan global.

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya

tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Keadaan

tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka

akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah

maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan

kematian.

Pengobatan DSS bersifat suportif. Resusitasi cairan merupakan terapi

terpenting. Tatalaksana berdasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa

perembesan plasma dan perdarahan. Deteksi dini terhadap adanya perembesan

plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok.

Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikanmerupakan kunci

keberhasilan pengobatan. Penegakkan diagnosis DBD secara dini dan

pengobatan yang tepat dan cepat akan menurunkan angka kematian DBD.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. Infodatin situasi DBD di

Indonesia. Jakarta: KEMENKES RI. 2015.

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014. Panduan

Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer: Demam

Dengue. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014.

3. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.

BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis

PenyakitDalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006

4. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan

Kesehatan.Departemen Kesehatan RI. 2005

5. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology

Reviews. 1998.Vol 11, No 3 ;480-496

6. Candra Aryu. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan

Faktor Resiko Penularan. Aspirator Vol. 2 Tahun 2010: 110-119.

7. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.

New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.

8. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division

of Vector Borne and Infectious Diseases.Atlanta : 2009

9. Cook GC. Manson's Tropical Diseases. 22th Edition. United Kingdom :Elsevier

Health Sciences. 2008.

23
24

10. Pusat Data Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Buletin

Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Volume 2. Jakarta:

KEMENKES RI. 2010.

11. Sekaran SD, Lan EC, Mahesawarappa KB, Appanna R, Subramaniam G.

Sensitivity of dengue virus NS- 1detection in primary and secondary infections.

African Journal of Microbiology Research Vol. 3. 2009; (3):105-110.

12. Syafiqah NBMY. Demam Berdarah Dengue. Bali: Udayana. 2018.

13. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division

of Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009

Anda mungkin juga menyukai