Wrap Up 2010
Wrap Up 2010
Kelompok : B5
Ketua : Yayu Puji Astuti (1102010295)
Sekretaris : Nawar Najla Mastura (1102010204)
1. Malen Saga Imartha (1102009164)
2. Mauliadanti Rizdana (1102010157)
3. Melyanti Lestari (1102010163)
4. Mochammad Adam Eldi (1102010169)
5. Muhammad Iqbal Ramadhan (1102010182)
6. Nabila (1102010197)
7. Nadya Hasnanda (1102010201)
8. Tamimiah A’ini (1102010277)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2012/2013
SKENARIO 3
PERDARAHAN PERVAGINAM
Seorang wanita umur 35 th berobat ke poliklinik kebidanan dengan keluhan keluar darah
dari vagina, dan berbau. Pasien mempunyai tiga orang anak, terkecil umur 6 tahun. Dari
pemeriksaan sensorium komposmentis dan vital sign dalam batas normal. Haid teratur, tiap
bulan, lama 7 hari. Dokter meminta perawat untuk mempersiapkan dan mendampingi
pemeriksaan.
Pemeriksaan perut, inspeksi, palpasi dan perkusi dalam batas normal. Begitupula vulva
tidak ada kelainan. Inspekulo: dinding vagina dalam batas normal, servik membesar
berbenjol, berdarah. Vaginal toucher: servik membesar, berbenjol, contact bleeding (+),
uterus sebesar telor bebek, mobile, ovarium tidak membesar. Untuk menegakkan
diagnosis, dokter melakukan pemeriksaan penunjang.
Kata - Kata Sulit
Kontak Seksual
Bedah, CA CERVIX
Kemoterapi,
Radioterapi
Seorang wanita 35 th menderita infeksi virus HPV yang disebabkan oleh kontak seksual
sehingga menyebabkan serviks membesar dan terdapat benjolan. Diperiksa dengan vaginal
toucher, pap smear, USG, biopsi, petanda tumor, dan CT scan didapatkan hasil yang
menunjukkan bahwa pasien menderita ca cervix. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah
bedah, kemoterapi, radioterapi, dan terapi suportif.
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Kanker Serviks
1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Epidemiologi
1.4. Klasifikasi (Staging)
1.5. Patofisiologi
1.6. Manifestasi Klinis
1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.8. Tatalaksana
1.9. Komplikasi
1.10. Pencegahan
1.11. Prognosis
Kanker serviks adalah keganasan primer dari serviks uteri (kanalis servikalis dan
atau porsio). Jenis yang paling umum adalah jenis epitelias squamous, adenoma, dan jenis
campuran. (Priyanto dan Nuranna, 2006)
1.2. Etiologi
Infeksi HPV (Human Papilloma Virus) resiko tinggi merupakan faktor etiologi kanker
serviks. Pendapat ini juga ditunjang oleh berbagai macam penelitian. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer (IARC)
terdapat 1.000 sampel dari 22 negara serta didapatkan adanya infeksi HPV pada sejumlah
99,7% kasus kanker serviks. Penelitian meta-analisis yang meliputi 10.000 kasus
didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 dan
35. Penelitian kasus kontrol dengan 2.500 kasus karsinoma serviks dan 2.500 perempuan
yang tidak menderita kanker serviks sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV pada penelitian
tersebut dengan pemeriksaan PCR. Total prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker
serviks jenis karsinoma sel skuamosa adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada
penderita kanker serviks jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%. Penelitian
pada NIS II atau III mendapatkan infeksi HPV yang didominasi ole tipe 16 dan 18.
Progresifitas menjadi NIS II atau III setelah menderita HPV berkisar 2 tahun. (Andrijono,
2007)
Hubungan Seksual
Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual. Beberapa
bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko penyakit
ini. (Iman Rasidji, 2009)
Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita
yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker
serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa
maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena
kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun
jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks. (Iman
Rasidji, 2009)
Karakteristik Partner
Riwayat Ginekologis
Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil
di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat
meningkatkan resiko. (Iman Rasidji, 2009)
Dietilstilbesterol (DES)
Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan DES in-utero telah
dibuktikan. (Iman Rasidji, 2009)
Agen Infeksius
Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual
seperti Human Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Simpleks Virus Tipe 2 (HSV 2).
(Benedet 1998; Nuranna 2005)
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Human Papilloma Virus (HPV)
sebagai penyebab neoplasia servikal. Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai
sejak seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang
menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. (Iman Rasidji, 2009)
Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi HPV serviks
dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang;
serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. (Iman Rasidji, 2009)
HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia ringan yang sering regresi. HPV tipe
16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia berat yang jarang regresi dan seringkali progresif
menjadi karsinoma insitu. Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang
menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). (Iman Rasidji, 2009)
Seorang wanita dengan seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan
menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan hilang dalam waktu
6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap HPV risiko-tinggi yang berperan. Dua
puluh persen sisanya berkembang menjadi NID dan sebagian besar, yaitu 80%, virus
menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu, yang berperan adalah
cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi virus tidak menghilang dan terjadi
infeksi yang persisten. NIS akan bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3,
dan pada akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah tidak
berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa
menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3
atau karsinoma invasif. (Iman Rasidji, 2009)
Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasi di Belanda, interval antara NIS 1
dan kanker invasif diperkirakan 12,7 tahun dan kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-
tinggi sampai terjadinya kanker adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping
terkait dengan infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPV-
specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya perubahan genom dari
sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor onkogen E6 dan E7 dari HPV berperan dalam
ketidakstabilan genetik sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. (Iman Rasidji, 2009)
Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi
keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan
fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan
terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa
kontrol. (Iman Rasidji, 2009)
Virus Herpes Simpleks
Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum didemonstrasikan pada sel
tumor, teknik hibridisasi insitu telah menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik
pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah
diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. (Iman Rasidji,
2009)
Diperkirakan, 90% pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari 60% pasien dengan
neoplasia intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus. (Iman Rasidji,
2009)
Lain-lain
Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker serviks.
Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan
tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung. (Iman Rasidji,
2009)
Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab kanker serviks dan
hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan
adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi
mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari
merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari
mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel
skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan. (Iman
Rasidji, 2009)
Kontrasepsi Oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan
kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak
semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan
seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu
studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang
terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan
skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi lebih lanjut kemudian
memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral. (Iman
Rasidji, 2009)
Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam faktor risiko
kanker serviks. (Iman Rasidji, 2009)
Etnis dan Faktor Sosial
Wanita di kelas sosio-ekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih
besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh
hubungan seksual dan akses ke sistem pelayanan kesehatan. (Iman Rasidji, 2009)
Di Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks
yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan
pengaruh sosio-ekonomi. (Iman Rasidji, 2009)
Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita kanker
serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam,
bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks. (Iman Rasidji,
2009)
1.3. Epidemiologi
Untuk wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina;
17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens dan
angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di AS. Hal ini
karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih sering
dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat kanker
serviks pada 2006. (Imam Rasjidi, 2009)
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim setiap
tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker
serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di
Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta 1977, kanker
serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.
(Imam Rasjidi, 2009)
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di
antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIB-
IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi
ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus. (Nuranna, 2005)
Umur seorang penderita berada pada kisaran 30-60 tahun, terbanyak adalah 45-50 tahun.
Periode laten dari fase pre-invasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun.
Hanya dari 9% dari wanita berusia < 35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif
pada saat terdiagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat pada wanita dibawah usia 35
tahun. Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, telah disepakati secara nasional untuk
melakukan program deteksi dini (pelacakan) setiap wanita (satu kali) setelah melewati usia
30 tahun dan menyediakan sarana penanganannya, untuk berhenti setelah usia 60 tahun.
Yang penting dari deteksi dini adalah cakupannya. Bahkan direncanakan akan ada
pelatihan tenaga sukarelawati untuk mengenali bentuk porsio yang mencurigakan untuk
dapat di pap smear oleh dokter atau bidan di puskesmas atau puskesmas keliling
sebagaimana disarankan oleh WHO. Salah satu etiologinya adalah HPV (Human
Papilloma Virus), maka kanker serviks memiliki beberapa faktor resiko yang umumnya
terkait dengan suatu pola penyakita akibat hubungan seksual. Dengan demikian dapat
disimpulkan penyimpangan pola seksual merupakan faktor resiko yang sangat berperan.
Faktor lain yang dianggap merupakan faktor resiko anatara lain faktor hubungan seksual
pertama kali pada usia muda, faktor kebiasaan merokok, dan pemakaian kontrasepsi secara
hormonal (Priyanto & Nuranna, 2006).
Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%. Relative 1 dan 5 years
survival masingmasing sebesar 88% dan 73%. Apabila dideteksi pada stadium awal,
kanker serviks invasif merupakan kanker yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR
sebesar 92% untuk kanker lokal. (Imam Rasjidi, 2009)
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial
ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis
histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari
penderita. (Imam Rasjidi, 2009)
Secara Makroskopis
1. Stadium Preklinis
Tidak dapat dibedakan dengan servisitis kronis
2. Stadium Permulaan (Early Stage)
Sering tampak lesi di sekitar ostium eksternum
3. Stadium Setengah Lanjut (Mid Stage)
Telah mengenai sebagian besar atau seluruh bibir posio
4. Stadium Lanjut (Late Stage)
Terjadi pengerusakan dari jaringan serviks, sehingga tampaknya seperti ulkus
dengan jaringan yang rapuh dan mudah berdarah (neovaskularisasi)
Dari gambaran makroskopis:
2. Tipe nodular: berasal dari serviks uteri/ostium eksterna tumbuh ke dalam canalis
servikalis, berbentuk nodular/bongkahan menginvasi ke dalam, serviks menjadi
kasar, dan bisa terdapat invasi ke parametrium.
3. Tipe kembang kol: dari ostium eksterna serviks uteri ke dalam vagina dengan
bentuk kembang kol, cepat, kaya akan pembuluh darah, rapuh, mudah berdarah,
nekrosis dan sering infeksi.
Secara Mikroskopis
1. Displasia
Displasia ringan dapat terjadi pada sepertiga bagian basal epidermis. Displasia
berat terjadi pada 2/3 epidermis hampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma
insitu.
2. Stadium Karsinoma Insitu
Pada karsinoma insitu terjadi perubahan sel epitel pada seluruh lapisan epidermis
menjadi sel skuamosa.
3. Stadium Karsinoma Mikroinvasif
Pada karsinoma mikroinvasif, selain terjadi perubahan derajat pertumbuhan yang
semakin meningkat sel tumor juga menembus membrana basalis dan terdapat
invasi tumor < 5 mm dai membran basalis, biasanya tumor ini masih
asimptomatik, sering ditemukan tidak sengaja pada skrining kanker.
Jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90%
merupakan karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak
5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari
skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri
berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau
kecil serta bulat seta mempunyai batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel
basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari
epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus
(Notodiharjo, 2002). Klasifikasi histologik kanker serviks ada beberapa, di antaranya :
1. Skuamous carcinoma
• Keratinizing
• Verrucous
2. Adeno carcinoma
• Endocervical
• Endometroid (adenocanthoma)
• Serous
• Intestinal
3. Mixed carcinoma
• Adenosquamous
• Mucoepidermoid
• Glossy cell
• Adenoid cystic
4. Undifferentiated carcinoma
5. Carcinoma tumor
6. Malignant melanoma
• Lymphoma
1.5. Patofisiologi
Penularan HPV terjadi terutama melalui kontak kulit-ke-kulit. Sel basal epitel skuamosa
berlapis mungkin terinfeksi oleh HPV. Jenis sel lain tampaknya relatif resisten. Hal ini
diasumsikan bahwa siklus replikasi HPV dimulai dengan masuknya virus ke dalam sel-sel
dari lapisan basal epitel. Infeksi HPV dari lapisan basal memerlukan abrasi ringan atau
microtrauma epidermis.
1. Biologi molekuler
Kanker serviks adalah salah satu contoh terbaik yang dapat dipahami bagaimana
infeksi virus dapat menyebabkan keganasan. Mekanisme molekuler infeksi HPV
onkogenik disajikan pada Gambar 1. HPV tipe risiko tinggi dapat dibedakan dari tipe HPV
risiko rendah dari struktur dan fungsi dari produk E6 dan E7. Dalam lesi jinak yang
disebabkan oleh HPV, DNA virus terletak extrachromosomally dalam nukleus. Dalam
neoplasia intraepithelial derajat tinggi dan kanker invasif, DNA HPV umumnya
terintegrasi ke dalam host genom. Integrasi DNA HPV mengganggu atau menghapus
daerah E2, yang mengakibatkan kehilangan ekspresinya. Ini mengganggu fungsi E2 -yang
biasanya mengatur penurunan transkripsi dari gen E6 dan E7- dan mengarah ke
peningkatan ekspresi gen E6 dan E7. Fungsi E6 dan E7 produk selama infeksi HPV
produktif untuk merusak pengaturan jalur pertumbuhan sel dan memodifikasi lingkungan
seluler dalam rangka memfasilitasi replikasi virus. Produk gen E6 dan E7 men-deregulasi
siklus pertumbuhan sel hospes dengan mengikat dan menonaktifkan dua protein penekan
tumor: tumor suppressor protein (p53) dan produk gen retinoblastoma (PRB). Produk
HPV, gen E6 mengikat p53 dan mentargetkannya untuk degradasi cepat. Akibatnya,
kegiatan normal p53 yang mengatur penangkapan G1, apoptosis, dan perbaikan DNA
dibatalkan. Protein E6 HPV risiko rendah tidak mengikat p53 pada tingkat yang terdeteksi
dan tidak berpengaruh pada stabilitas p53 in vitro. Produk HPV, gen E7 mengikat PRB
dan pengikatan ini mengganggu kompleks antara PRB dan faktor transkripsi selular E2F-1,
mengakibatkan pembebasan E2F-1, yang memungkinkan transkripsi gen yang produknya
diperlukan bagi sel untuk memasuki fase S dari siklus sel. Produk gen E7 juga dapat
bergaul dengan protein mitotically interaktif seluler lainnya seperti cyclin E. Hasilnya
adalah stimulasi seluler sintesis DNA dan proliferasi sel. E7 protein dari jenis HPV risiko
rendah mengikat PRB dengan penurunan afinitas. Selanjutnya, produk gen E5
menginduksi peningkatan aktivitas protein kinase mitogen-aktif, sehingga meningkatkan
respon seluler terhadap pertumbuhan dan faktor diferensiasi. Hal ini menyebabkan terus
menerus proliferasi dan diferensiasi sel hospes yang melambat.
Inaktivasi p53 dan protein PRB dapat menimbulkan peningkatan tingkat proliferasi
dan ketidakstabilan genomik. Akibatnya, sel hospes mengakumulasi semakin banyak
kerusakan DNA yang tidak bisa diperbaiki, menyebabkan tranformasi sel-sel kanker.
Selain efek onkogen diaktifkan dan ketidakstabilan kromosom, mekanisme potensial yang
berkontribusi terhadap transformasi termasuk metilasi virus dan sel DNA, aktivasi
telomerase, dan faktor hormonal dan immunogenetic.
2. Sejarah alami kanker serviks
Patogenesis kanker serviks diawali dengan infeksi HPV dari epitel serviks selama
hubungan seksual. Meskipun persentase yang tinggi dari perempuan muda yang aktif
secara seksual terkena infeksi HPV, hanya persentase yang sangat kecil yang terus
berkembang menjadi kanker serviks. Beberapa penelitian berpikiran bahwa kebanyakan
wanita berhasil menghapus infeksi HPV, mungkin melalui aksi dari sistem kekebalan
tubuh yang kompeten. Kira-kira, 90% dari lesi regresi spontan dalam 12 sampai 36 bulan.
Faktor-faktor lain seperti predisposisi genetik, frekuensi reinfeksi, variasi intratypic
genetik dalam jenis HPV, koinfeksi dengan lebih dari satu jenis HPV dan kadar hormon
juga dapat mempengaruhi kemampuan untuk membersihkan infeksi HPV.
Bukti pentingnya sistem kekebalan tubuh inang dalam mencegah perkembangan
serviks penyakit berasal dari analisis infeksi HPV pada wanita positif human
immunodeficiency virus (HIV). Infeksi HPV dengan jenis virus yang berisiko tinggi,
infeksi HPV persisten dan kehadiran lesi intraepitel skuamosa lebih umum dalam
kelompok immunocompromised daripada pada wanita imunokompeten. Respon imun
seluler hospes dimediasi oleh sel T sitotoksik dan memerlukan interaksi epitop virus
dengan molekul histocompatibility kelas I. Sebuah respon imun humoral juga
memperkuat, tetapi tingkat lokal HPV-spesifik imunoglobulin G (IgG) dan IgA jaringan
tidak berkorelasi dengan pembersihan virus. Namun, tingkat sistemik HPV-spesifik IgA
memiliki telah berkorelasi dengan pembersihan virus. Sebaliknya, tingkat sistemik HPV-
IgG spesifik telah terdeteksi lebih sering pada pasien dengan infeksi HPV persisten.
Sejarah alami kanker serviks adalah proses penyakit yang berkesinambungan yang
berlangsung secara bertahap dari neoplasia serviks intraepithelial ringan (CIN) ke derajat
neoplasia yang lebih parah (CIN CIN 2 atau 3) dan akhirnya menjadi kanker invasif. Hal
ini masuk akal bahwa infeksi HPV risiko tinggi terjadi pada awal kehidupan, dapat
bertahan, dan dalam hubungannya dengan faktor-faktor lain yang mempromosikan
transformasi sel, dapat menyebabkan bertahap perkembangan penyakit lebih parah. Sebuah
model untuk pengembangan kanker serviks disajikan dalam gambar 2. Displasia ringan
dan sedang berhubungan dengan replikasi virus terus dan peluruhan virus, dan sebagian
besar lesi ini secara spontan regresi. Perkembangan menjadi lesi derajat tinggi (CIN 2/3)
dan akhirnya kanker invasif biasanya terkait dengan konversi dari genom virus dari bentuk
episomal ke bentuk terintegrasi, bersama dengan inaktivasi atau penghapusan daerah E2
dan ekspresi dari gen produk E6/E7. Beberapa peneliti telah mengkorelasikan tipe HPV
dengan derajat CIN yang berbeda dan telah menyimpulkan bahwa CIN CIN 1 dan 2/3
adalah proses yang berbeda, dengan CIN 1 menunjukkan diri terbatas infeksi menular
seksual HPV dan CIN 2 atau CIN 3 menjadi satu-satunya prekursor kanker serviks.
Perkembangan kanker umumnya terjadi selama periode 10 sampai 20 tahun. Beberapa lesi
menjadi kanker lebih cepat, kadang-kadang dalam waktu dua tahun.
Lesi Pra Kanker Kanker
Pada umumnya secara limfogen melalui pembuluh getah bening menuju 3 arah :
Ke arah fornices dan dinding vagina
Ke arah korpus uterus
Ke arah parametrium dan dalam tingkatan yang lanjut menginfiltrasi
septum rektovaginal dan kandung kemih.
Melalui pembuluh getah bening dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat
menyebar ke kelenjar iliak luar dan kelenjar iliak dalam (hipogastrika). Penyebaran
melalui pembuluh darah (bloodborne metastasis) tidak lazim. Karsinoma serviks
umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi immunologik tubuh
penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrana
basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor masih belum terlihat dalam
pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari membrana basalis,
atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah
invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis
belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik
(tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen melalui
kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices vagina,
korpus uterus, rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat
menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium
akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak,
obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut
melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati ,
ginjal, tulang dan otak.
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dahulu disebabkan karena perdarahan-
perdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh karena obstruksi
ureter di tempat ureter masuk ke dalam kandung kencing.
Penyebaran karsinoma serviks terjadi melalui 3 jalan yaitu perkontinuitatum ke
dalam vagina, septum rektovaginal dan dasar kandung kemih. Penyebaran secara limfogen
terjadi terutama paraservikal dalam parametrium dan stasiun-stasiun kelenjar di pelvis
minor, baru kemudian mengenai kelenjar para aortae terkena dan baru terjadi penyebaran
hematogen (hepar, tulang).
Mengenali tanda-tanda pada fase prakanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang
khas. Namun, kadang bisa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari vagina ini
makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan
Perdarahan setelah sanggama (post coital bleeding) yang kemudian berlanjut
menjadi perdarahan yang abnormal.
Timbulnya perdarahan setelah masa menopause.
Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan
dapat bercampur dengan darah.
Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul.
Bila nyeri terjadi di daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi
hidronefrosis. Selain itu, bisa juga timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.
Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki,
timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rektum),
terbentuknya fistel vesikovaginal atau rektovaginal, atau timbul gejala-gejala
akibat metastasis jauh.
a. Anamnesis
b.Pemeriksaan Fisik
Status pasien :
ii.Tanda-tanda metastase di paru seperti: sesak napas, batuk darah.
c.Pemeriksaan Ginekologi
Pada pemeriksaan makroskopis/inspekulo mungkin tidak ditemukankelainan porsio
pada lesi tingkat prakanker dan kadang hanya
menunjukkan gambaran khas seperti leukoplakia, erosi, ektropion atau servisitis.
Tetapitidak demikian halnya pada tingkat lanjut dimana porsio terlihat benjol-benjol
menyerupai bunga kol (pertumbuhan eksofitik) atau mungkin juga ditemukan fistula
rektovaginal ataupun vesikovagina. Pada keadaan ini porsio mudah sekali berdarah karena
kerapuhan selsehingga pada pemeriksaan ginekologi dianjurkan mulai dengan
pemeriksaan inspekulo yang dilanjutkan dengan pemeriksaan vagina bimanual untuk
eksplorasi vagina.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Pap smear
Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik atau sikat
untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim. Kemudian sel-sel
tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat menyingkapkan apakah ada infeksi,
radang, atau sel-sel abnormal. Menurut laporan sedunia, dengan secara teratur melakukan
tes Pap smear telah mengurangi jumlah kematian akibat kanker serviks.
Pap smear test adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil
dari leher rahim dan kemudian dilihat dibawah mikroskop. Ketelitiannya melebihi 90%
bila dilakukan dengan baik. Untuk deteksi tumor ganas bahan
diambil dengan spatel Ayre atau dengan kapas lidi dari dinding samping vagina dan dari
serviks. Bahan dari kanalis servikalis agak kedalam diambil dengan kapas lidi atau dengan
Cytobrush. Kemudian dibuat sediaan hapus dikaca benda yang bersih dan segera
dimasukkan kedalam botol khusus (cuvette) berisi etil alkohol 95%. Setelah sekitar satu
jam, kaca benda dikeluarkan dan dalam keadaan kering dikirim ke laboratorium.
Dilaboratorium sediaan dipulas menurut Papanicolau.
Kelas I : Berarti negatif (tidak ditemukan sel-sel ganas)
Kelas III : Ada sel-sel atipik yang sugestif tetapi tidak diagnostik untuk keganasan →
displasia (ringan,sedang,berat)
Kelas IV : Positif, ditemukan beberapa sel atipik → KIS
Kelas V : Positif, ditemukan banyak sel atipik → Kanker
1.Usia
2.Jumlah anak
3.Tahap/tingkat displasia
1.Elektro-koagulasi
2.Krioterapi (bedah beku)
3.Vaporisasi laser
4.Konisasi (memotong bagian yang sakit dalam bentuk kerucut) dengan pisau atau laser.
5.Histerektomi: operasi pengangkatan seluruh rahim
Hasil pemeriksaan sitologi Pap smear normal dan Hasil pemeriksaan sitologi Pap smear
abnormal :
Pap Smear dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada masa haid. Waktu yang baik
untuk pemeriksaan adalah beberapa hari setelah selesai menstruasi. Persiapan pasien untuk
melakukan Pap Smear adalah tidak sedang haid, tidak coitus 1 – 3 hari sebelum
pemeriksaan dilakukan dan tidak sedang menggunakan obat – obatan vaginal.
Pemeriksaan tes Pap dilakukan setelah 2 tahun aktif dalam aktifitas seksual.
Interval penapisan. Wanita dengan tes Pap negatif berulang kali diambil setiap 2
tahun, sedang wanita dengan kelainan atau hasil abnormal perlu evaluasi lebih
sering.
Pada usia 70 tahun atau lebih tidak diambil lagi dengan syarat hasil 2 kali negatif
dalam 5 tahun terakhir.
2. Thin Prep
Metode Thin prep lebih akurat dibanding Pap smear. Jika Pap smear hanya
mengambil sebagian dari sel-sel di serviks atau leher rahim, maka Thin prep akan
memeriksa seluruh bagian serviks atau leher rahim. Tentu hasilnya akan jauh lebih akurat
dan tepat.
ThinPrep Test, sel-sel yang telah diambil tidak diletakkan dan diratakan di preparat
kaca, tetapi dimasukkan ke dalam tabung yang berisi cairan yang berfungsi menstabilkan
dan menjaga kondisi sel-sel tersebut agar pada saat diperiksa akan tetap sama dengan
kondisi saat diambil. Prosedur ini memastikan agar sebanyak mungkin sel dapat disimpan
untuk dibawa laboratorium pemeriksaan dan dalam kondisi sangat baik.
3. Uji Colposcopy
Jika pada saat pap smear ditemukan ketidaknormalan pada serviks, maka langkah
selanjutnya adalah dilakukan colposcopy. Colposcopy adalah suatu pengujian yang
memungkinkan dokter untuk melihat serviks (leher rahim) lebih dekat dengan
menggunakan sebuah alat bernama colposcope.
Cara ini merupakan cara penilaian sel invito dengan pembesaran 200 kali karena
abnormalitas pada neoplasma yang terlihat dengan pembesaranumumnya terlihat pada inti
sel. Maka inti sel harus diwarnai terlebihdahulu dengan biru tolvidin 1%. Dalam 20-30
detik inti sel akanmengambil zat warna. Zat warna yang tersisa dibersihkan dengan
larutangaram fisiologik dan pemeriksaan dapat segera dimulai dengan menyentuhujung
alat ke serviks. Colposcope akan dimasukkan ke dalam vagina dan kemudian gambar yang
ditangkap oleh alat tersebut akan ditampilkan pada layar computer atau televisi. Dengan
cara seperti ini, kondisi yang terjadi dalam leher rahim akan sangat jelas terlihat.
1. IVA
IVA yaitu singkatan dari Inspeksi Visual dengan Asam asetat. Metode pemeriksaan
dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan asam asetat. Kemudian diamati apakah
ada kelainan seperti area berwarna putih. Jika tidak ada perubahan warna, maka dapat
dianggap tidak ada infeksi pada serviks. Anda dapat melakukan di Puskesmas dengan
harga relatif murah. Ini dapat dilakukan hanya untuk deteksi dini. Jika terlihat tanda yang
mencurigakan, maka metode deteksi lainnya yang lebih lanjut harus dilakukan.
5. Tes Schiller
Tes Schiller atau tes pengecatan dengan yodium ialah tes yang digunakanuntuk
mengenal kanker serviks lebih dini. Tes ini didasarkan pada sifatepitel serviks
yang berubah menjadi berwarna coklat gelap atau tua jika terkena larutan yodium.
8.Konisasi
Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa
sehingga yang keluarkan berbentuk kerucut (konus), dengan kanalis servikalis sebagai
sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan
kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi. Jika
karena suatu hal pemeriksaan kolposkopi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan tes
Schiller. Pada tes ini digunakan pewarnaan dengan larutan lugol (yodium 5g, kalium
yodida 10g, air 100 ml) dan eksisi dilakukan di luar daerah dengan tes positif (daerah yang
tidak berwarna oleh larutan lugol).
Tumor yang sudah lanjut mudah dikenal. Lain halnya dengan tumor stadium dini, lebih-
lebih tumor yang belum memasuki jaringan dibawah epitel (preinvasive carcinoma,
karsinoma in situ). Oleh karena itu, di beberapa negara pemeriksaan sitologi vaginal
merupakan pemeriksaan rutin pada setiap perempuan hamil, yang kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan biopsi apabila diperoleh hasil yang mencurigakan.
Diagnosis karsinoma in situ dalam kehamilan sangat sulit karena dalam kehamilan dapat
terjadi perubahan-perubahan pada epitel serviks, yang secara mikroskopis hampir tidak
dapat dibedakan dari tumor tersebut. Untuk membuat diagnosis yang pasti perlu dilakukan
pemeriksaan yang teliti berulang kali, bahkan kadang-kadang kepastian baru diperoleh
setelah bayi lahir. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh esterogen dalam
kehamilan sifatnya reversibel, sedang karsinoma in situ ada setelah bayi lahir. Apabila
terrdeteksi pada pemeriksaan prenatal, maka diagnosisnya lebih dini:
Biopsi punch dari lesi serviks yang luas. Namun, masih kontroversi, apakah masih
dilakukan bila telah ada bukti kanker serviks invasif dari pemeriksaan kolposkopi, dan
apakah dilakukan pada semua lesi servikal yang dapat dideteksi dengan kolposkopi.
Evaluasi kolposkopi.
Biopsi kerucut (cone biopsy), dilakukan pada keadaan khusus (trimester kedua dan
diagnosis tidak dapat ditegakkan berdasarkan pemerksaan lain).
DIAGNOSIS BANDING
Servisitis
Karsinoma endometrium
Penyakit radang panggul
Vaginitis
Karsinoma uterine
Karsinoma vagina
1.8. Tatalaksana
Tiga jenis utama dari pengobatan untuk kanker serviks adalah operasi, radioterapi, dan
kemoterapi.
Biopsi Cone. Selama operasi ini, dokter menggunakan scalpel untuk mengambil selembar
jaringan serviks berbentuk cone dimana abnormalitas ditemukan.
Loop electrosurgical excision procedure (LEEP). Teknik ini menggunakan lintasan
kabel untuk memberikan arus listrik, yang memotong seperti pisau bedah , dan mengambil
sel dari mulut serviks
Bila ukuran tumor < 4cm: radikal histerektomi ataupun radioterapi dengan/tanpa
kemoterapi
Bila ukuran tumor >4cm: radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin, histerektomi,
ataupun kemo berbasis cisplatin dilanjutkan dengan histerektomi
3. Kanker serviks stadium lanjut (IIB-IVA) dapat diobati dengan radioterapi dan
kemo berbasis cisplatin.
Faktor-faktor lain yang mungkin berdampak pada keputusan pengobatan Anda termasuk
usia Anda, kesehatan Anda secara keseluruhan, dan preferensi Anda sendiri. Seringkali
cukup bijak untuk mendapatkan pendapat kedua (second opinion) yang memberikan Anda
perspektif lain dari penyakit Anda.
Ada beberapa jenis operasi untuk kanker serviks. Beberapa melibatkan pengangkatan
rahim (histerektomi), yang lainnya tidak. Daftar ini mencakup jenis operasi yang paling
umum untuk kanker serviks.
Cryosurgery
Sebuah probe metal yang didinginkan dengan nitrogen cair dimasukkan ke dalam vagina
dan pada leher rahim. Ini membunuh sel-sel abnormal dengan cara membekukan mereka.
Cryosurgery digunakan untuk mengobati kanker serviks yang hanya ad adi dalam leher
rahim (stadium 0), tapi bukan kanker invasif yang telah menyebar ke luar leher rahim.
Bedah Laser
Sebuah sinar laser digunakan untuk membakar sel-sel atau menghapus sebagian kecil dari
jaringan sel rahim untuk dipelajari. Pembedahan laser hanya digunakan sebagai
pengobatan untuk kanker serviks pra-invasif (stadium 0).
Konisasi
Sepotong jaringan berbentuk kerucut akan diangkat dari leher rahim. Hal ini dilakukan
dengan menggunakan pisau bedah atau laser tau menggunakan kawat tipis yang
dipanaskan oleh listrik (prosedur ini disebut LEEP atau LEETZ). Pendekatan ini dapat
digunakan untuk menemukan atau mengobati kanker serviks tahap awal (0 atau I). Hal ini
jarang digunakan sebagai satu-satunya pengobatan kecuali untuk wanita dengan kanker
serviks stadium dini yang mungkin ingin memiliki anak. Setelah biopsi, jaringan
(berbentuk kerucut) diangkat untuk diperiksa di bawah mikroskop. Jika batas tepi dari
kerucut itu mengandung kanker atau pra-sel kanker, pengobatan lebih lanjut akan
diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh sel-sel kankernya telah diangkat.
Histerektomi
Histerektomi sederhana: Rahim diangkat, tetapi tidak mencakup jaringan yang berada di
dekatnya. Baik vagina maupun kelenjar getah bening panggul tidak diangkat. Rahim dapat
diangkat dengan cara operasi di bagian depan perut (perut) atau melalui vagina. Setelah
operasi ini, seorang wanita tidak bisa menjadi hamil. Histerektomi digunakan untuk
mengobati beberapa kanker serviks stadium awal (I). Hal ini juga digunakan untuk stadium
pra-kanker serviks (o), jika sel-sel kanker ditemukan pada batas tepi konisasi.
Histerektomi radikal dan diseksi kelenjar getah bening panggul: pada operasi ini,
dokter bedah akan mengangkat seluruh rahim, jaringan di dekatnya, bagian atas vagina
yang berbatasan dengan leher rahim, dan beberapa kelenjar getah bening yang berada di
daerah panggul. Operasi ini paling sering dilakukan melalui pemotongan melalui bagian
depan perut dan kurang sering melalui vagina. Setelah operasi ini, seorang wanita tidak
bisa menjadi hamil. Sebuah histerektomi radikal dan diseksi kelenjar getah bening panggul
adalah pengobatan yang umum digunakan untuk kanker serviks stadium I, dan lebih jarang
juga digunakan pada beberapa kasus stadium II, terutama pada wanita muda.
Trachelektomi
Sebuah prosedur yang disebut trachelectomy radikal memungkinkan wanita muda tertentu
dengan kanker stadium awal untuk dapat diobati dan masih dapat mempunyai anak.
Metode ini melibatkan pengangkatan serviks dan bagian atas vagina dan meletakkannya
pada jahitan berbentuk seperti kantong yang bertindak sebagai pembukaan leher rahim di
dalam rahim. Kelenjar getah bening di dekatnya juga diangkat. Operasi ini dilakukan baik
melalui vagina ataupun perut.
Ekstenterasi Panggul
Selain mengambil semua organ dan jaringan yang disebutkan di atas, pada jenis operasi
ini: kandung kemih, vagina, dubur, dan sebagian usus besar juga diangkat. Operasi ini
digunakan ketika kanker serviks kambuh kembali setelah pengobatan sebelumnya. Jika
kandung kemih telah diangkat, sebuah cara baru untuk menyimpan dan membuang air
kecil diperlukan. Sepotong usus pendek dapat digunakan untuk membuat kandung kemih
baru. Urine dapat dikosongkan dengan menempatkan sebuah tabung kecil (disebut kateter)
ke dalam lubang kecil di perut tersebut (disebut: urostomi). Atau urin bisa mengalir ke
kantong plastik kecil yang ditempatkan di bagian depan perut.
Radioterapi adalah pengobatan dengan sinar berenergi tinggi (seperti sinar-X) untuk
membunuh sel-sel kanker ataupun menyusutkan tumornya. Sebelum radioterapi dilakukan,
biasanya Anda akan menjalani pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah Anda
menderita Anemia. Penderita kanker serviks yang mengalami perdarahan pada umumnya
menderita Anemia. Untuk itu, transfusi darah mungkin diperlukan sebelum radioterapi
dijalankan.
Pada kanker serviks stadium awal, biasanya dokter akan memberikan radioterapi (external
maupun internal). Kadang radioterapi juga diberikan sesudah pembedahan. Akhir-akhir
ini, dokter seringkali melakukan kombinasi terapi (radioterapi dan kemoterapi) untuk
mengobati kanker serviks yang berada antara stadium IB hingga IVA. Yaitu, antara lain
bila ukuran tumornya lebih besar dari 4 cm atau bila kanker ditemukan telah menyebar ke
jaringan lainnya (di luar serviks), misalnya ke kandung kemih atau usus besar.
Efek Samping Radioterapi . Ada beberapa efek samping dari radioterapi, yaitu:
- Kelelahan
- Sakit maag
- Mual
- Muntah
- Menopause dini
Brachytherapy telah digunakan untuk mengobati kanker serviks sejak awal abad ini.
Pengobatan yang ini cukup sukses untuk mengatasi keganasan di organ kewanitaan. Baik
radium dan cesium telah digunakan sebagai sumber radioaktif untuk memberikan radiasi
internal
Kemoterapi dapat menyebabkan efek samping. Efek samping ini akan tergantung pada
jenis obat yang diberikan, jumlah/dosis yang diberikan, dan berapa lama pengobatan
berlangsung. Efek samping bisa termasuk:
- Sariawan
- Kelelahan
- Menopause dini
1. Pasca operatif
- Gangguan berkemih
- Fistula ureter atau kandung kemih
- Emboli paru
- Obstruksi saluran cerna
- Trauma syaraf
2. Pasca kemoteraphy
- Sakit maag dan muntah (dokter bisa memberikan obat mual/muntah)
- Kehilangan nafsu makan
- Kerontokan rambut jangka pendek
- Sariawan
- Meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi (kekurangan sel darah putih)
- Pendarahan atau memar bila terjadi luka (akibat kurang darah)
- Sesak napas (dari rendahnya jumlah sel darah merah)
- Kelelahan
- Menopause dini
- Hilangnya kemampuan menjadi hamil (infertilitas)
3. Pasca radiotheraphy
- Kelelahan
- Sakit maag
- Sering ke belakang (diare)
- Mual
- Muntah
- Perubahan warna kulit (seperti terbakar)
- Kekeringan atau bekas luka pada vagina yang menyebabkan senggama
menyakitkan
- Menopause dini
- Masalah dengan buang air kecil
- Tulang rapuh sehingga mudah patah tulang
- Rendahnya jumlah sel darah merah (anemia)
- Rendahnya jumlah sel darah putih
- Pembengkakan di kaki (disebut lymphedema)
1.10. Pencegahan
Pencegahan memiliki arti yang sama dengan deteksi dini atau pencegahan sekunder, yaitu
pemeriksaan atau tes yang dilakukan pada orang yang belum menunjukkan adanya gejala
penyakit untuk menemukan penyakit yang belum terlihat atau masih berada pada stadium
praklinik. Program pemeriksaan atau skrining yang dianjurkan untuk kanker serviks
(WHO) : skrining pada setiap wanita minimal satu kali pada usia 35-40 tahun. Jika fasilitas
tersedia, lakukan tiap 10 tahun pada wanita usia 35-55 tahun. Jika fasilitas tersedia lebih,
lakukan tiap 5 tahun pada wanita usia 35-55 tahun. Ideal atau optimal, lakukan tiap 3 tahun
pada wanita usia 25-60 tahun. (Imam Rasjidi, 2009)
Secara umum, kasus kanker mulut rahim dan kematian akibat kanker mulut rahim bisa
dideteksi dengan mengetahui adanya perubahan pada daerah mulut rahim dengan cara
pemeriksaan sitologi menggunakan tes Pap. American College of Obstetrician and
Gynecologists (ACOG), American Cancer Society (ACS), dan US Preventive Task Force
(USPSTF) mengeluarkan panduan bahwa setiap wanita seharusnya melakukan tes Pap
untuk skrining kanker mulut rahim saat 3 tahun pertama dimulainya aktivitas seksual atau
saat usia 21 tahun. Karena tes ini mempunyai risiko false negatif sebesar 5-6%, Tes Pap
yang kedua seharusnya dilakukan satu tahun pemeriksaan yang pertama. Pada akhir tahun
1987, American Cancer Society mengubah kebijakan mengenai interval pemeriksaaan Tes
Pap tiap tiga tahun setelah dua kali hasil negatif. (Imam Rasjidi, 2009)
Saat ini, sesuai dengan American College of Obstetry and Gynecology dan National
Cancer Institute, dianjurkan pemeriksaan Tes Pap dan panggul setiap tahun terhadap
semua wanita yang aktif secara seksual atau yang telah berusia 18 tahun. Setelah wanita
tersebut mendapatkan tiga atau lebih Tes Pap normal, tes dapat dilakukan dengan frekuensi
yang lebih jarang sesuai dengan yang dianjurkan dokter. Diperkirakan sebanyak 40%
kanker serviks invasif dapat dicegah dengan skrining pap interval 3 tahun. (Imam Rasjidi,
2009)
IVA
IVA merupakan tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 2%) dan
larutan iosium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah
dilakukan olesan. Tujuannya adalah untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia
sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. IVA tidak direkomendasikan pada
wanita pascamenopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak kanalis
servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo. IVA positif bila ditemukan
adanya area berwarna putih dan permukaannya meninggi dengan batas yang jelas di
sekitar zona transformasi. (Imam Rasjidi, 2009)
Pencegahan Primer
Menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan
mengurangi risiko kanker serviks secara signifikan. (Imam Rasjidi, 2009)
Vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien bisa mengurangi infeksi Human Papiloma
Virus, karena mempunyai kemampuan proteksi > 90%. Tujuan dari vaksin propilaktik dan
vaksin pencegah adalah untuk mencegah perkembangan infeksi HPV dan rangkaian dari
event yang mengarah ke kanker serviks. (Imam Rasjidi, 2009)
Sebagai tambahan, prevelansi tinggi infeksi HPV mengindikasikan bahwa akan butuh
beberapa dekade untuk program imunisasi yang sukses dalam usaha mengurangi insiden
kanker serviks. (Imam Rasjidi, 2009)
Pencegahan Sekunder
Hasil tes Pap yang negatif sebanyak tiga kali berturut-turut dengan selisih waktu
antarpemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien
(atau partner hubungan seksual yang level aktivitasnya tidak diketahui), dianjurkan untuk
melakukan tes Pap tiap tahun. (Imam Rasjidi, 2009)
Pasien yang memulai hubungan seksual saat usia < 18 tahun dan wanita yang mempunyai
banyak partner (multipel partner) seharusnya melakukan tes Pap tiap tahun, dimulai dari
onset seksual intercourse aktif. Interval sekarang ini dapat diturunkan menjadi setiap 6
bulan untuk pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat
penyakit seksual berulang. (Imam Rasjidi, 2009)
1.11. Prognosis
Menurut T.C. Krivak et.al pada tahun 2002, ketahanan hidup penderita pada kanker
serviks stadium awal setelah histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis bergantung
pada 5 faktor, yaitu :
1. Status KGB
Penderita tanpa metastasis ke KGB, memiliki 5-year survival rate (5-YSR) antara 85-90%.
Bila didapatkan metastasis ke KGB maka 5-YSR antara 20-74%, bergantung pada jumlah,
lokasi, dan ukuran metastasis.
2. Ukuran Tumor
Penderita dengan ukuran tumor < 2 cm angka survivalnya 90% dan bila > 2 cm angka
survival-nya menjadi 60%. Bila tumor primer > 4 cm, angka survival turun menjadi 40.
Analisis dari GOG terhadap 645 penderita menunjukkan 94,6% tiga tahun bebas kanker
untuk lesi yangtersembunyi; 85,5% untuk tumor < 3 cm; dan 68,4% bila tumor > 3 cm.
Penderita dengan invasi kanker ke parametrium memiliki 5-YSR 69% dibandingkan 95%
tanpa invasi. Bila invasi disertai KGB yang positif maka 5-YSR turun menjadi 39-42%.
4. Kedalaman Invasi
Invasi < 1 cm memilki 5-YSR sekitar 90% dan akan turun menjadi 63-78% bila > 1 cm.
1. Stadium 0
2. Stadium 1
Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi 2, IA dan IB. dari semua wanita yang
terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium
IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker
pada limfonodi mereka.
3. Stadium 2
Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. dari semua wanita yang
terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70 - 90%..
Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%.
4. Stadium 3
5. Stadium 4
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab persoalan di atas.Yakni untuk
menjaga kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan yang mengarah dosa dan
kekejian.
Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di
tempat sepi.Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang rambu-
rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam.Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang
sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi
dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara
pria dan wanita telah diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah
yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang
pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita).
Dalam hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan
kaum lelaki untuk lebih berhati-hati dalam masalah wanita.
"Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang sahabat dari Anshar
bertanya,"Bagaimana pendapat engkau tentang saudara ipar, wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab,"Saudara ipar adalah maut (petaka).”
Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan mengumbar aurat dan
perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran
perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan agamanya.
Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis, akan tetapi Islam pun
menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis, baik antara lelaki dengan lelaki lainnya,
maupun antara sesama wanita.
"Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang
lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang lain)". [HR
Muslim]
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka
menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya.Meski hanya
sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal
persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan.
“Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki
melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian
pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar
masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan.Inilah kewajiban
semua orang”.
Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter wanita
yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke seorang
dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.
Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk
menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan.Selama mendatangkan maslahat,
seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang
keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh
pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslimah yang
mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.Allah Ta`ala menyebutkan
dalam firman-Nya surat al-An'âm/6 ayat 119:
"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)"
Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti
rambu-rambu yang wajib untuk ditaati.Tidak berlaku secara mutlak.Keberadaan mahram
adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa
harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau
suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau
ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bâz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh
yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat
wanita, meskipun sudah ada perawat wanita –umpamanya- maka keberadaan suami atau
wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari
kecurigaan.
DAFTAR PUSTAKA
Campion M. Preinvasive disease. In: Berek Js, Hacker NF. Practical gynecologic
oncology. 3rd Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 271-315
Cotran RS, Kumar V, Robbins SL. 1996. Pathologic Basis of Disease 5th Ed. WB
Saunders Co.
Jong WD, Syamsuhidayat R. 2002. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. EGC. Jakarta
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2003.Robbins Basic Pathology, 7 th ED. Saunders
Wolfgang A Schulz. 2005. Molecular Biology of Human Cancer. Springer.
Kusuma F, Moegni EM. Penatalaksanaan Tes Pap Abnormal. Cermin Dunia Kedokteran
2001; 133:19-22
Mary Calvagna, MS. Diagnosis of Cervical Cancer. American Cancer Society website.
Available at: http://www.cancer.org. Last reviewed April 2007.
Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran
2001;133:9-14
Wright TC, Kurman RJ, Ferenzy A. Precancerous lesions of the cervix. In: Kurman RJ.
Ed. Blaustein’s pathology of the female genital tract. 4th ed. New York: Springer-Verlag,
1994;229-277
Zuhroni. 2010. Pandangan Islam terhadap Masalah Kedokteran dan Kesehatan. Universitas
YARSI. Jakarta
http://almanhaj.or.id/content/2883/slash/0
http://lhiezainternisti.blogspot.com/2009/12/pandangan-islam-dalam-pelayanan.html