Anda di halaman 1dari 16

TIJARAH

1. PENGERTIAN MUDHARABAH

Pembiayaan Mudharabah merupakan akad pembiayaan antara


bank syariah sebagai shahibul mal dan nasabah sebagai mudharib untuk
melaksanakan kegiatan usaha, dimana bank syariah memberika modal
sebesar 100% dan nasabah menjalankan usahanya. Hasil usaha atas
pembiayaan mudharabah akan dibagi dengan nisbah bagi hasil yang
telah disepakati pada saat akad.

Pembiayaan mudharabah adalah kerjasama antara seorang


partner yang memberikan uang kepada partner lain untuk diinvestasikan
ke perusahaan komersial. Pihak bank (Shohibul Mal) berkewajiban
memeberikan dana sepenuhnya kepada nasabah ( Mudharib ) dan
Mudharib hanya mengelola usaha yang sudah ditentukan oleh pihak
bank. Pembagian keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan
pada awal akad, sedangkan jika terjadi kerugian akan ditanggung oleh
pemilik modal.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemilik


modal ( Shihabul Mal) meyerahkan modalnya sepenuhnya kepada
pedagang atau pengusaha ( Mudharib ) untuk digunakan dalam aktivitas
perdagangan atau usaha. Keuntungan atas usaha akan dibagi hasilnya
berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam akad.

Mudharabah berasal dari kata dharb, yang secara etimologis


berarti bepergian atau berjalan. Al-Qur’an tidak secara langsung
menunjukan arti dari mudharabah tersebut. Namun secara implisit, kata
dasar dha-ra-ba yang merupakan kata dasar mudharabah disebutkan di
dalam AlQur’an sebanyak lima puluh delapan kali.1

1
Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Dan Interpretasi Kontemporer
tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91

3
Wahbah Zuhayli menjelaskan salah satu arti dari mudharabah
adalah melakukan perjalanan di muka bumi (al-sir fi al-ardh).2 Istilah
mudharabah dapat disebut juga dengan qiradh/muqaradhah. Hal ini
dikarenakan istilah mudharabah lebih dikenal dan dipergunakan oleh
penduduk Irak yang mayoritas mengikuti mazhab Hanafi dan Hambali.
Sedangkan qiradh merupakan istilah yang sering dipergunakan oleh
penduduk Hijaz yang mayoritas mengikuti mazhab Maliki dan Syafi’i.
Tetapi pada dasarnya pengertian dari kedua istilah tersebut mempunyai
makna yang serupa.

Di dalam fikih muamalah, terminologi mudharabah diungkapkan


oleh ulama mazhab, yang diantaranya sebagai berikut:

Menurut mazhab Hanafi, mudharabah adalah suatu bentuk


perjanjian dalam melakukan kongsi untuk mendapatkan keuntungan
dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.

Sementara menurut mazhab Maliki, mudharabah adalah


penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang
ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang
tersebut disertai dengan sebagian imbalan dari keuntungan usahanya.

Menurut Mazhab Syafi’i, definisi mudharabah yaitu pemilik


modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan
dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama
antara keduanya.

Sedangkan menurut mazhab Hambali, mudharabah adalah


penyerahan barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu
kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian
tertentu dari keuntungannya.3

2
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu.(Jakarta:Gema Insani,2007)
3
Muhammad, Etika Bisnis Islam. (Yogyakarta: AMP YKPN, 2004), hlm. 82-83

4
Selain empat mazhab di atas, pendapat lainnya mengenai
mudharabah diungkap juga oleh Ibn Rusyd, Sayyid Sabiq dan
Abdurrahaman Al-Jaziri. Menurut Ibn Rusyd dalam kitab “Bidayat al-
Mujtahid wa Nihayat alMuqtashid”, Ibn Rusyd menyamakan istilah
mudharabah dengan qiradh atau muqaradhah, ketiga istilah tersebut
mempunyai makna yang sama sebagai perkongsian modal dan usaha. Di
dalam kitab tersebut Ibn Rusyd tidak terlalu banyak membahas
mengenai definisi mudharabah karena telah dibahas secara lengkap oleh
ulama lain khususnya imam mazhab.

Menurut Sayyid Sabi, mudharabah adalah akad antara kedua


belah pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang
kepada pihak lain untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua
sebagaimana kesepakatan.

Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziri mendefinisikan mudharabah


sebagai akad antara dua orang yang berisi kesepakatan bahwa salah
seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif, dan
keuntungan usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik modal
dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui
bersama.4

2. DASAR HUKUM MUDHARABAH, RUKUN DAN SYARAT


MUDHARABAH

A. Landasan Hukum
Adapun landasan hukum syariah dari pembiayaan Mudharabah
seperti yang tertera dalam Al- Quran dan Al- Hadits, yaitu:

4
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. (Jakarta: Al-I’itishom, 2008)

5
1. Al- Quran Surah Al- Baqarah ayat 198

‫ض ُت ْم‬ْ ‫ْس َع َل ْي ُك ْم ُج َنا ٌح أَنْ َت ْب َت ُغوا َفضْ اًل ِمنْ َر ِّب ُك ْم ۚ َف إِ َذا أَ َف‬
َ ‫َلي‬
ُ‫ت َف ْاذ ُكرُوا هَّللا َ عِ ْن دَ ْال َم ْش َع ِر ْال َح َر ِام ۖ َو ْاذ ُك رُوه‬ ٍ ‫ِمنْ َع َر َفا‬
‫ين‬َ ِّ‫َك َما َهدَا ُك ْم َوإِنْ ُك ْن ُت ْم ِمنْ َق ْبلِ ِه َلم َِن الضَّال‬
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu
telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.5

Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah (2):283

yang artinya: “...maka jika sebagian kamu mempercayai


sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah tuhannya...”.

2. Al- Hadits

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bin abdul Muthalib jika ia


memberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah
dengan mensyaratkan agar tidak dibawa mengarungi laut
, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak
yang berparu- paru basah. Jika menyalahi peraturan
tersebut, maka yang bersangkutan harus bertanggung
jawab akan dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat nya
tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW
pun memperbolehkannya.” (HR. Thabrani)

6
B. Rukun dan Syarat Mudharabah

Berikut adalah rukun mudharabah menurut jumhur ulama:


1. Pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu pemilik dana
(shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib);
2. Modal (Ra’sul Maal);
3. Usaha yang dijalankan (al-‘amal);
4. Keuntungan (ribh); dan
5. Pernyataan ijab dan kabul (sighat akad)

Sedangkan syarat mudharabah berkaitan dengan rukunnya, yaitu


sebagai berikut:

1. Pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah


disyaratkan harus memiliki kemampuan untuk dibebani
hukum/cakap hukum (mukallaf) untuk melakukan kesepakatan,
dalam hal ini pemilik modal (shahibul maal) akan memberikan
kuasa dan pengelola modal (mudharib) menerima kuasa
tersebut, karena di dalam akad mudharabah terkandung akad
wakalah/kuasa.

2. Modal (Ra’sul Maal) dalam akad mudharabah harus


memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Modal harus berupa alat tukar (uang);
b. Modal harus dapat diketahui sehingga mudah untuk diukur;
c. Modal harus dalam bentuk tunai; dan
d. Modal harus dapat dipindahkan/diserahkan dari pemilik
modal (shahibul maal) kepada pengelola modal (mudharib).

3. BIAYA PENGELOLAAN MODAL MUDHARABAH

7
Modal Mudharabah Modal dalam akad mudharabah adalah
berupa uang, menurut jumhur ulama modal dalam akad mudharabah
tidak boleh dalam bentuk barang, karena sifat harganya yang mudah
berubah (fluktuatif), sehingga hal ini akan mempengaruhi hasil
keuntungan yang didapat karena tidak dapat dipastikan jumlahnya
(majhul), sehingga bagi hasil yang diperoleh dari keuntungan tersebut
untuk masingmasing pihak akan menjadi tidak jelas.
Namun beberapa ulama memperbolehkan modal usaha
mudharabah dapat bentuk inventori/barang, hal ini merujuk kepada
pendapat yang disampaikan oleh Imam Malik, menurutnya modal usaha
mudharabah dapat dalam bentuk barang dan tidak diharuskan dalam
bentuk uang tunai.
Oleh karena itu, barang dagangan dapat menjadi modal dalam
akad mudharabah baik yang sama jenisnya atau berbeda jenisnya.
Sedangkan Ibn Rusyd menyatakan bahwa para ahli fikih telah
bersepakat membolehkan modal mudharabah dalam bentuk alat tukar
(uang) karena uang memiliki nilai yang dapat dijadikan sebagai alat
transaksi. Berdasarkan hal tersebut, Ibn Rusyd tidak memperbolehkan
penggunaan alfulus (mata uang lokal) karena al-fulus tidak memenuhi
syarat sebagai alat transaksi di tingkat negara.
Ibn Rusyd tidak memperbolehkan penggunaan barang sebagai
modal karena sifatnya yang sulit untuk ditaksir dan terdapat
ketidakpastian pada nilai barang (modal) sehingga dikhawatirkan akan
menimbulkan perselisihan diantara kedua pihak.6

Menurut ulama Hanafiah dan ulama Hanabilah, modal dalam


akad mudharabah tidak diperbolehkan dalam bentuk tabur yakni emas
dan perak yang belum dibuat menjadi perhiasan dan dalam bentuk
6
Thabrani Abdul Mukti, Mudharabah Perspektif Averroes (Ibn Rusyd), (Pamekasan:
Jurnal Iqtishadia Vol.1 No.1 Juni 2014), hlm 7-12

8
nuqrah yaitu potongan emas yang berbentuk perhiasan dikarenakan
mempunyai kedudukan yang sama dengan barang dagangan. Dalam
riwayat lain, ulama Hanafiah berpendapat bahwa modal dalam akad
mudharabah diperbolehkan dalam bentuk tabur dan nuqrah. 7

4. TINDAKAN SETELAH MATINYA PEMILIK MODAL

Jika pemilik modal yang wafat, menurut jumhur ulama, akad


tersebut batal. Bila mudharabah telah batal, pengelola modal tidak
berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola bertindak
menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik
modal telah meninggal dunia dan tanpa izin para ahli warisnya, maka
perbuatan ini dianggap ghasab. Ia wajib menjamin
(mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan,
keuntungannya dibagi dua.

5. MUSAQAH

A. Pengertian Musaqah
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang
oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara
terminologi, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara
pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu
dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat.

7
Mubarok Jaih, Hasanudin, Fikih Muamalah (Akad Syirkah dan Mudharabah),
(Bandung:Simbiosa Rekatama Media 2017), hlm 167

9
Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau
mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw. :

“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan


kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari
penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil
tanamannya” (HR Muslim).”

B. Rukun Musaqah
1. Dua orang/Pihak yang melakukan transaksi
2. Tanah yang dijadikan objek musaqah
3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
4. Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah
5. Shighat (ungkapan) ijab dan kabul

C. Syarat Musaqah
1. Baligh dan berakal
2. Tanah diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah
akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik
tanah
3. Hasil yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka
bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik
dibagi dua,tiga, dan sebagainya
4. Lamanya perjanjian harus jelas aga terhindar dari ketidakpastian
5. Objek musaqah harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai
buah. Menurut ulama Hanafiyah, objeknya adalah pepohonan
yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur, dan
terong. Menurut ulama Malikiyah adalah tanaman keras dan
palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur. Menurut

10
ulama Hanabilah adalah tanaman yang buahnya boleh
dikonsumsi. Menurut ulama Syafi’iyah adalah hanya boleh
kurma dan anggur saja.

D. Berakhirnya Akad Musaqah


1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis
2. Salah satu pihak meninggal dunia. Jika petani yang wafat, maka
ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum
dipanen. Jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan
petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak meninggal
dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih untuk
meneruskan atau menghentikannya.
3. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh
melanjutkan akad. Uzur yang dimaksudkan diantaranya adalah
petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil
tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak
memungkinkan dia untuk bekerja.

6. MUZARAAH

a) Pengertian
Menurut bahasa, al-muzara’ah diartikan wajan ٌ‫ ُمفَا َعلَة‬dari
ُ Xَ‫( ا ِإل ْنب‬menumbuhkan).
ُ ْ‫زَر‬X‫ اَل‬yang sama artinya dengan ‫ات‬X
kata ‫ع‬
Muzara’ah dinamai pula dangan mukhabarah dan muhaqalah.
Orang irak memberikan istilah muzara’ah dengan istilah al-
qarah.
Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua,
sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan
benihnya ditanggung pemilik tanah.

11
Hanafiyah, muzara’ah ialah:

ِ ْ‫ج ِمنَ ْاألَر‬


‫ض‬ ِ ‫ْض ْال َخ‬
ِ ‫ار‬ ِ ْ‫َع ْق ٌد َعلَى ال َّزر‬
ِ ‫ع بِبَع‬
“akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang
keluar dari bumi.”8

Imam Syafi’i mendefenisikan :


‫ْض َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو ْالبَ ْذ ُر ِمنَ ْال َعا ِم ِل‬ ِ ْ‫َع َم ُل اأْل َر‬
ِ ‫ض بِبَع‬
“pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil
pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap
tanah.”9

Dapat dijelaskan bahwa muzara’ah merupakan kerjasama


antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian
bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama,
sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila
bibit disediakan sipekerja, maka kerjasama ini disebut al-
mukhabarah.

b) Landasan Hukum Muzara’ah


Abu Yusuf dan Muhammad (Sahabat Imam Abu
Hanifah), Imam Malik, Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Zhahiri
berpendapat bahwa muzara’ah dibolehkan. Hal itu didasarkan
pada hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Ibn Umar
bahwa Nabi saw bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan
setengah dari sesuatu yang dihasilkan dari tanaman, baik buah-
buahan maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, muzara’ah dapat

8
Dr.H. Hendi Suhendi hal : 153-154
9
Abdul Rahman Ghazali dkk Hal :114 lain

12
dikategorikan perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga
kebutuhan pemilik dan pekerja dapat dipenuhi. Tidak jarang
pemilik tidak dapat memelihara tanah, sedangkan si penggarap
mampu memeliharanya dengan baik, tetapi tidak memiliki tanah.
Dengan demikian dibolehkan sebagai mana dalam mudharobah.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih
adalah sebagai berikut:
1) Segala keperluan untuk memelihara tanaman
diserahkan kepada penggarap.
2) Pembiayaan atas tanaman dibagi antara
penggarap dan pemilik tanah.
3) Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan
kesepakatan waktu akad. Antara lain didasarkan
pada hadis :
)‫اَ ْل ُم ْسلِ ُموْ نَ ِع ْن َد ُشرُوْ ِط ِه ْم (رواه الحاكم عن أ نس و عا ءشه‬
Artinya : kaum muslimin berdasarkan syarat
diantara mereka (HR.Hakim dari Anas
dan Siti Aisyah)
4) Menyiram atau menjaga tanaman, disyaratkan
akan dilakukan bersama, hal itu haris dipenuhi.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan,
penggaraplah yang paling bertanggung jawab
menyiram atau menjaga tanaman.
5) Dibolehkan menambah penghasilan dari
kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6) Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum
diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan
apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada
waktu.

13
Oleh Syekhul Islam Ibni Taimiyyah berkata; Muzara’ah
merupakan asal dari al-ijarah (mengupah atau menyewa orang),
dikarenakan dalam kedu masing-masing pihak sama-sama
merasakan hasil yang diperoleh dan menanggung kerugian yang
terjadi.

7. MUKHABARAH

a. Pengertian Mukhabarah

Dalam kamus mukhabarah ialah kerja sama pengolahan


pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang
benihnya berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik
tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi
menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.

Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara muzara’ah dan


mukhabarah:

‫ ةُ ِه َي‬X‫ َو ْال ُمزَ ا َر َع‬. ‫ ِل‬X‫ذ ُر ِمنَ ْال َعا ِم‬Xْ Xَ‫ا َو ْألب‬XXَ‫ ُر ُج ِم ْنه‬Xْ‫ْض َما يَح‬ ِ ْ‫اَ ْل ُمخَ بَ َرةُ ِه َي َع َم ُل ْاالَر‬
ِ ‫ض بِبَع‬
‫ك‬ ِ ِ‫اَ ْل ُمخَابَ َرةُ َولَ ِك َّن ْالبَ ْذ َرفِ ْيهَا يَ ُكوْ نُ ِمنَ ْال َمال‬.

"Mukhabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang


dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun
muzara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya berasal
dari pemilik tanah."

Dapat dipahami dari pemaparan di atas bahwa mukhabarah dan


muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah

14
antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama,
yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk
dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila modal berasal dari
pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik
tanah disebut muzara’ah.10

Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada


perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan
kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.

b. Landasan Hukum Mukhabarah

Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan


muzara’ah, dari sabda Nabi saw :

َ ‫وْ ت‬Xَ‫رَّحْ َمن ل‬X‫ ِد ال‬Xْ‫ا َعب‬Xَ‫ا أَب‬Xَ‫هُ ي‬Xَ‫ت ل‬


‫ ِذ ِه‬Xَ‫ر ْكتَ ه‬Xَ ُ ‫ رٌو فَقُ ْل‬X‫ا َل َع ْم‬Xَ‫ ق‬,ُ‫ر‬Xِ‫انَ يُ َخب‬X‫س أَنَّهُ َك‬ ِ ‫ع َْن طَا ُو‬
ْ‫ال أَي‬X
َ َ‫ اب ِة فَق‬Xَ‫لم نَهَى َع ِن ْال ُمخ‬X‫ه وس‬X‫لى هّللا عَلي‬X‫ص‬ َ ‫ى‬ َّ ِ‫ْال ُمخَابَ َرةَ فَا ِءنَّهُ ْم يَ ْز ُع ُموْ نَ أَ َّن النَّب‬
َ‫ه‬X ‫لم لَ ْم يَ ْن‬XX‫ه وس‬XX‫ي صلى هّللا علي‬ َّ َ‫س أ‬
َّ ‫نن النَّب‬ ٍ ‫ك يَ ْعنِى ا ْبنَ َعبَّا‬ َ ِ‫ أَ ْخبِرْ نِى أَ ْعلَ ُمهُ ْم بِ َذال‬: ‫َع ْمرٌو‬
ُ ُ ْ
)‫َع ْنهَا إِنَّ َما قَا َل يَ ْمنَ ُح أَ َح ُد ُك ْم أَخَاهُ َخ ْي ٌر لَهُ ِم ْن أ ْن يَأ ُخذ َعلَ ْيهَا خَ رْ جًا َم ْعلوْ ًما (رواه مسلم‬
َ

“Dari Thawus ra bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata :


lalu aku katakan kepadanya :ya Abu Abdurrahman, kalau
engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanati mereka mengatakan
bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus
berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang
sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas
bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau
berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih
baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu”. (HR.Muslim)
10
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta : Rajawali, hlm 25

15
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzara’ah yaitu mubah atau
boleh dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberi dan
mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.

1. Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhobarah

Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun muzara’ah adalah ijab


dan kabul yang menujukan keridhaan diantara keduanya.

Dan Secara rinci rukunnya yakni ;

a. tanah,
b. perbuatan pekerja,
c. modal,
d. alat-alat untuk menanam.11

Adapun syaratnya;

1.1 Syarat yang menyangkut orang yang berakad ialah keduanya harus
sudah baligh dan berakal.
1.2 Syarat menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas dan dapat
menghasilkan.
1.3 Syarat yang menyangkut tanah;
a. Menurut adat dikalangan petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanahnya tandus dan tidak memungkinkan
dapat ditanami maka akad muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian
itu maka akad muzara’ah tidak sah.

11
Hendi Suhendi hlm:158

16
1.4 Syarat menyangkut hasil panen ;
a. Pembagian panen masing-masing pihak harus jelas
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa
boleh ada pengkhususan
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan, misalnya ½, 1/3, atau ¼,
sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan
dikemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan
jumlah tertentu secara mutlak, seperti 1 kwintal untuk pekerja,
atau 1 karung, karena kemungkinan hasil panen jauh dibawah itu
atau melampaui itu.12
1.5 Syarat menyangkut jangka waktu yang disesuaikan adat setempat.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah),
berpendapat bahwa Muzara’ah memiliki beberapa syarat yang
berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad), tanaman,
tanah yang ditanami, sesuatu yang dikeluarkan dari tanah, tempat
akad, alat bercocok tanam, dan waktu bercocok tanam.13

9. FATWA DSN-MUI

a. Fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang


Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
b. Akad Muzara'ah adalah akad kerjasama usaha pertanian antara
pemilik lahan dan pengelola (penggarap), di mana benih
tanaman berasal dari pemilik lahan; hasil pertanian dibagi antara
pemilik dan penggarap sesuai nisbah yang disepakati.
c. Akad Mukhabarah adalah akad kerjasama usaha pertanian antara
pemilik lahan dan pengelola (penggarap), di mana benih

12
Azam, Abdul Aziz Muhammad, 2010. Fiqh Muamalah Sistem Transasi Dalam Islam, Jakarta :
Amzah. Hlm. 49
13
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah, Jakart: Raja Grafindo Persada.

17
tanaman berasal dari penggarap lahan; hasil pertanian dibagi
antara pemilik dan penggarap sesuai nisbah yang disepakati.
d. Akad Musaqah adalah akad kerjasama antara pemilik lahan dan
penggarap dalam rangka pemeliharaan tanaman agar tumbuh
dan berbuah secara baik yang hasilnya dibagi antara pemilik
dengan penggarap sesuai nisbah yang disepakati.

18

Anda mungkin juga menyukai