Anda di halaman 1dari 4

APLIKASI THEORY Carolyn L. Wiener dan Marylin J.

Dodd : trajectory illness dalam


keperawatan

Penerapan theory of illness trajectory pada pasien kanker

Kanker merupakan penyakit yang sering ditakutkan sebagian besar orang sebagai penyakit yang tidak
ada akhirnya, ancaman baru, dan pasien senantiasa merasa dalam keadaan tidak pasti. Situasi teringkar,
kecemasan, dan penerimaan adalah reaksi emosional pasien yang dianggap normal dengan diagnosa
penyakit kanker. Perasaan keraguan muncul ketika peristiwa yang akan dijalani memiliki banyak
kemungkinan dan pertanyaan , yang berhubungan dengan resiko dan keuntungan dari  pengobatan
penyakit kanker. Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam baik fisik maupun psikologisnya
misalnya harga diri, gambaran diri, dan identitas ego. Dikatakan oleh Mishel (2006) bahwa sikap
seseorang pada penyakitnya, ditentukan oleh persepsi ketidakpastian mereka yang didukung dengan
pengetahuan masing-masing individu.

1. Ketidakpastian Temporary
Ketidakpastian yang pertama pada pasien kanker adalah ketidakpastian temporary.
Ketidakpastian ini timbul dikarenakan ketidakpastian terhadap prognosis penyakit, bagaimana
cara penyembuhannya, serta bagaimana perubahan yang terjadi dalam kehidupannya di masa
yang akan datang. Pasien merasa cemas akan situasi penyakit yang dihadapinya mulai dari putus
harapan, tidak lagi melihat sinar cerah, muncul pengingkaran, ancaman terhadap kelangsungan
hidup, dan kemungkinan cacat atau kehilangan fungsi tubuh. Penerimaan pasien dapat
dipengaruhi secara negatif oleh keluhan penyakit yang mengancam, stadium sangat lanjut dari
kanker, kurangnya dukungan karena kurangnya komunikasi antara dokter atau para pemberi
pelayanan, masalah-masalah didalam keluarga, atau kesulitan didalam hubungan dengan orang
tercinta. Terkadang informasi tentangpenyakit pasien tidak dijelaskan secara rinci,
prosedur pengobatan yang dijalani dan perawatan setelah tindakan pengobatan sehingga ada
ketidakpastian akan apa yang terjadi jika pengobatandilakukan (Neuman, 2012).
Sikap pasien terhadap penyakit kanker dan pengobatannya juga bisa disebabkan oleh beberapa
hal. Kemampuan kognitif pasien tentang penyakit kanker dan pengobatannya berbeda.
Pencarian informasi oleh tiap-tiap pasien berbeda-beda sehingga persepsi mereka pun
berbeda. Kurangnya pengetahuan dan informasi pasien mengenai penyakit, tidak jelasnya
diagnosis, prognosis, dan gejala-gejala yang akan muncul setelah pengobatan kanker juga
menjadi penyebab persepsi ketidakpastian mengenai hasil pengobatan yang akan dijalani
(Madeo, al., 2012). Ketika melakukan terapi pengobatanpun, pasien kanker akan mengalami
perasaan ketidakpastian terhadap lama pengobatan yang harus dijalaninya dan
keberhasilan/penyembuhan yang didapat setelah pengobatan. Begitu juga kejadian tak terduga
pada efek samping pada treatment kanker dan gangguan hubungan sosial pasien dengan
kerabat sekitar membuat ketidakpastian pada pasien penyakit kanker tersebut.
Peran struktur internal dalam diri manusia dan struktur eksternal seperti dukungan sosial dari
keluarga, lingkungan sosial, dan para pemberi pelayanan kesehatan menjadi peran yang
mendukung dalam mengatasi ketidakpastian.
Peran perawat dalam hal ini adalah memberikan informasi yang sebenar-benarnya tentang
apapun yang pasien ingin ketahui terkait penyakit kanker dan pengobatannya, senantiasa
mendampingi pasien dalam waktu-waktu yang dianggap sulit oleh pasien, memberikan support
mental dalam masa perawatannya, serta memaksimalkan peran dan dukungan moral dari
keluarga selama proses penyembuhan pasien kanker tersebut.
2. Ketidakpastian Identitas
Sebuah ketidakpastian identitas ini bersumber dari kegagalan tubuh dan kesulitan membaca
tubuh dalam membuat pembentukan konsep diri. Pada pasien kanker saat pertama kali
mendapati diagnosanya adalah kanker sebagai sebuah kejutan. Ada perasaan ilusif, shock,
sesuatu yang tidak nyata, perasaan kaget, kesal, ketakutan, rasa tidak berdaya dan kesulitan
untuk percaya  bahwa mereka sakit parah. Sehingga pasien mencoba untuk mendorong
mengeluarkan pikiran tersebut, tetapi faktanya itu adalah “aku”.(Missel, Pedersen, Hendriksen,
Tewes, & Adamsen, 2015). Kegelisahan dan depresi yang terjadi terus menerus akan berakibat
pemikiran yang negative tentang kanker. Sehingga identifikasi awal akan memfasilitasi
intervensi yang akan ditargetkan. Intervensi pencegahan harus fokus pada pengurangan
ruminasi dan memberikan dukungan emosional.(Lam et al., 2013). Perawat merupakan bagian
penting dari manajemen ketidakpastian. Perawat dapat menyesuaikan intervensi untuk
memenuhi kebutuhan spesifik seseorang. Penanganan ketidakpastian identitas berbeda
tergantung fase yang dialami. Misalnya, saat menangani ketidakpastian di fase akut atau krisis,
intervensi mungkin berbeda dengan fase stabil.
3. Ketidakpastian Tubuh
Ketidakpastian pada penderita kanker juga meliputi ketidakpastian pada tubuh. Ketidakpastian
pada tubuh meliputi perubahan yang berhubungan dengan penyakit dan perawatan berpusat di
kemampuan seseorang yang tampil dalam kegiatan yang melibatkan penampilan, fungsi
fisiologis, dan respon terhadap pengobatan pada penderita kanker. Menurut Desen (2008),
banyak terapi yang dilakukan terhadap kanker, diantaranya kemoterapi yang umumnya
digunakan untuk terapi sistemik dan kanker dengan metastasis klinis ataupun subklinis. Pada
kanker stadium lanjut secara lokal, kemoterapi sering menjadi satu satunya metode pilihan yang
efektif. Fakta lain dari pengobatan kemoterapi pada pasien kanker yaitu tidak selektif kerjanya.
Dampak dari terapi itu beberapa sel-sel normal/ sehat yang memiliki aktifitas pembelahan yang
tinggi seperti sel-sel sumsum tulang, akar rambut, kulit, kelenjar kelamin akan terhambat
(Sutandio , 1999). Dampak rambut rontok dapat menyebabkan ketidakpastian tubuh pada
pasien. Bagaimana koping pasien agar dapat tetap produktif dengan penampilan tubuhnya yang
telah berubah dari keadaan sebelumnya, akan sangat ditentukan oleh support system yang
adekuat.
Dari keseluruhan ketidakpastian yang ada,peran perawat bertugas untuk menjembatani dan
mengkomunikasikan pentingnya peningkatan support system bagi pasien.
APLIKASI THEORY Middle Range Theory : Georgene Eakes, Burke &
Hainsworth “Chronic sorrow” dalam keperawatan

Chronic Sorrow adalah suatu keadaan kesenjangan yang terjadi berkepanjangan yang


diakibatkan oleh proses kehilangan. Chronic Sorrow dapat terjadi secara berkala dan
bisa kambuh lagi secara berkala pula serta berpotensi menjadi progresif. Bagaimana
suatu proses kehilangan dapat memicu terjadinya dukacita, ada andil persitiwa pemicu
yang menghubungkan kedua hal ini (Alligood, 2014). Menurut Bredow&Peterson
(2013) Chronic Sorrow adalah kejadian periodik yang bisa disebabkan oleh berbagai hal.
Hal tersebut adalah kesedihan yang bersifat permanen dan pervasif atau munculnya
perbedaan yang didapat karena akibat dari proses kehilangan atau disebut juga
disparitas. Proses kehilangan yang actual atau simbolik yang mungkin disertai dengan
ketidakpastian kapan kejadian kehilangan ini akan berakhir adalah penyebab
fenomena Chronic Sorrow ini. Seseorang dapat memunculkan gejala Cronic Sorrow-nya
jika ada pemicu serta dapat mengendalikan jika mampu melaksanakan managemen
pada fenomena Chronic Sorrow yang dialami.

Chronic Sorow merupakan suatu respon normal yang ketika seseorang mengalami
kehilangan atau disabilitas karena mengalami penyakit, (Isaksson & Ahlström, 2008).
Pada kasus Chronic Sorrow paling umum ditemukan pada individu yang
mengalami masalah kronik yang berbeda dengan hal yang lumrah seperti
perkembangan, personal, dan sosial,(Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998). Pada kasus
dengan amputasi kaki, yang menjadi pemicu ternjadinya chronic sorrow  adalah
perkembangan kelanjutan dan masalah sosial. Dengan dilakukan amputasi, akan merasa
tidak lagi memiliki harapan untuk berkembang dan melakukan kegiatan dan merasa
lingkungan sosial tidak akan mampu menerimanya (ditunjukan dengan pernyataan
tidak ingin sekolah). Hal ini sesuai dengan pernyataan Eakes, at all bahwa orang yang
merasakan Chronic sorrow enggan bersosialisasi akibat kehilangan yang dia miliki
karena merasa tidak mampu mengikuti standar dari lingkungan social. Dalam proses
pengelolaan perasaan ini diperlukan strategi baik internal maupun eksternal. Strategi
perawatan diri berupa tindakan, kognitif, interpersonal, dan emosional merupakan
strategi internal. Salah satu bentuk strategi yang dapat mencegah munculnya Chronic
Sorrow yang diakibatkan karena proses kehilangan adalah dengan menyibukkan diri
dan melakukan kegiatan yang menyenangkan. Berusaha berpikir positif dan tidak
mencoba untuk melawan kondisi yang ada adalah koping kognitif yang paling sering
digunakan. Hal ini dikemukanan oleh para ahli diThe Nursing Consortium for Research
on Chronic Sorrow (NCRCS) yang merupakan projek penelitian Georgene Gaskill Eakes
dan Mary Lermann Burke. Sedangkan strategi eksternal dalam penanganan Chronic
Sorrow adalah tindakan intervensi yang diberikan oleh professional kesehatan.
 Tenaga professional keperawatan membantu klien dengan meningkatkan
kenyamanan melalui kehadiran dan perasaan empati, guru-ahli, serta caring dan
kompetensi (Alligood, 2014).
 Intervensi yang bisa diberikan oleh tenaga kesehatan professional bertujuan
untuk membangun metode managemen eksternal klien agar menjadi optimal.
Ketika memulai intervensi, perawat harus mengubah cara pandang klien
akan Chronic Sorrow. Chronic Sorrow bukan merupakan respon yang normal
melainkan adalah situasi yang siginifikan disebabkan oleh kehilangan, sehingga
kondisi ini membutuhkan intervensi.
 Perawat juga harus mengkaji apakah klien pernah mengalami proses kehilangan
di waktu yang lampau. Seorang klien yang pernah mengalami proses kehilangan
di masa lampau tentunya mempunyai pengalaman bagaimana dulunya ia
mengatasi rasa kehilangannya.
 Peran perawat selanjutnya mengembangkan kemampuan yang ada atau yang
sudah ada pada klien dalam menguatkan manajemn internal klien untuk
menanggulangi Chronic Sorrow yang dialami. Menurut Bredow&Peterson (2013)
bahwa mekanisme koping personal yang merupakan manajemen internal dapat
dikaji, dikuatkan dan didukung. Tindakan yang dilakukan perawat adalah
menghadirkan empati yang dicirikan dengan beberapa tindakan yakni
memberikan waktu untuk mendengarkan, menawarkan bantuan, berfokus pada
perasaan, dan mengakui setiap individu memiliki keunikan tersendiri yang
tentunya membantu seorang caregiver dalam merawat klien.
 Keberhasilan perawat dalam mengatasi Chronic Sorrow pada klien juga didukung
oleh keluarga. Menurut Nielsin (2013) keluarga utama bertugas menelusuri
makna baru dan memahami akan kondisi anggota keluarga yang mengalami
Chronic Sorrow didalam ketidakpastian kapan proses kehilangan itu akan
berakhir. Padah sesungguhnya koping keluarga terdekat sangat mempengaruhi
perubahan status kesehatan klien tersebut.
 Peran perawat dalam teori ini adalah menunjukkan rasa empati dan
memberikan support system agar klien tidak jatuh dalam keadaan depresi,
sehingga klien mampu melakukan manajemen koping baik manajemen koping
internal maupun eksternal yang melibatkan klien, perawat, dokter, psikolog atau
tenaga kesehatan lainnya serta dukungan dari orang-orang terdekat.

Anda mungkin juga menyukai