Anda di halaman 1dari 5

Antara Aku dan Anjing Itu

Published on March 11, 2016 in Cerita Pendek by Gunawan Tri Atmodjo

Saat orang-orang berkata selesai, justru segalanya baru dimulai. Orang-orang menganggap
kematian akan mengakhiri sebuah kehidupan. Bila hidup bahagia maka kematian menjadi akhir
yang menyesakkan, tapi bila hidup menderita maka kematian menjadi pamungkas yang
melegakan. Tapi, ini semua tak berlaku bagiku. Kematian jasad manusiaku adalah awal dari
kehidupanku sebagai anjing. Ya, aku moksa sebagai anjing pelacak.

Di lembar kehidupan baru ini, aku terlahir sebagai anjing berjenis doberman pinscher dengan
bulu hitam kecokelatan. Selain bentuk fisik yang kokoh, karunia terbesar dalam hidupku adalah
indra penciuman yang sangat tajam. Endusanku akurat dalam radius yang cukup jauh. Aku dapat
memilah bau yang telah tertimbun berhari-hari. Konsentrasiku sangat tinggi terhadap suatu
aroma.

Begitulah, aku merasa lebih berguna saat ini dibanding kehidupanku dulu sebagai lelaki papa
dari sebuah negeri kaya. Dengan menjadi anjing pelacak, aku dapat mengurai jejak kejahatan
yang berusaha dihapus manusia. Terkadang, aku membantu menemukan kebenaran yang sulit
diterima akal sehat.

Aku dipiara oleh seorang tuan berwajah murung. Tuanku ini adalah orang penting di Dinas
Intelijen Negara. Meski tergolong orang penting, beliau tidak begitu dikenal publik. Sosoknya
tak terdeteksi media massa. Beliau menyimpan berbagai rahasia vital dari orang-orang penting
pemangku kekuasaan di negeri ini. Dan karena pengetahuan berharga inilah, beliau sebenarnya
ikut mengatur jalannya pemerintahan negara dari balik layar. Rahasia-rahasia penting itu
digunakan beliau beserta kolega-koleganya sebagai senjata untuk menekan pihak-pihak
pengambil keputusan agar membuat kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka.

Beliau memperlakukanku dengan penuh kasih sayang. Segala kebutuhanku dicukupinya.


Makananku adalah suplemen pilihan dengan asupan gizi yang terjaga dan terencana. Bahkan,
untuk urusan buang kotoranku pun, beliau menggaji dua orang untuk mengurusinya.

Setiap hari aku diajak berkeliling kompleks perumahan, baik oleh beliau maupun asistennya.
Kegiatan jalan-jalan santai ini berguna untuk melemaskan kakiku dan menyegarkan
pandanganku. Sebisa mungkin aku dihindarkan dari kejenuhan karena terlalu banyak
menghabiskan waktu di teralis baja. Menurut dokter hewan, kejenuhan akan menjadikanku lebih
buas dan bisa menyerang siapa saja tanpa sebab yang jelas.

Tentu semua perlakuan istimewa ini ada sebabnya. Aku adalah salah satu anjing pelacak terbaik
di negeri ini. Aku memiliki indra penciuman yang lebih tajam dibanding kebanyakan anjing
pelacak milik kepolisian. Tetapi, aku hanya ditugaskan untuk mengendus kematian
mencurigakan orang-orang penting di negara ini.

Suatu ketika pernah ada seorang menteri yang terbunuh di hotel berbintang. Ia terbunuh di sela-
sela rapat penting dengan tingkat kerahasiaan tinggi. Karena kadar rahasia yang sangat genting
bila sampai bocor, maka dibentuklah tim khusus untuk mengungkap kematian ini. Dan,
tuankulah yang ditunjuk sebagai kepala dari tim rahasia ini. Dengan serta-merta pula, aku jadi
bagian dari tim. Aku difokuskan untuk mengakrabi bau tubuh asing yang tertinggal di sekitar
mayat. Tak butuh waktu lama, fakta segera terungkap. Skandal murahan terkuak. Ternyata
menteri itu dibunuh pelacur yang disewanya di jeda rapat rahasia. Bau tubuh dan aroma parfum
pelacur yang kasar dan menyengat memudahkanku menemukannya. Ceceran darah masih
melekat di payung yang digunakan pelacur itu untuk memukuli kepala menteri dengan bertubi-
tubi hingga mati.

Kami menemukannya sekitar tiga jam setelah kejadian dan tentu saja aku adalah pahlawan utama
dalam pemecahan kasus ini. Dari bibir pelacur itu, terlontar pembelaan yang mengejutkan.
Ternyata pembunuhan itu adalah bentuk perlawanannya terhadap kesadisan seksual yang hendak
ditimpakan oleh si menteri kepadanya. Dan benar, setelah digeledah, di tas menteri itu ditemukan
perlengkapan seks menyimpang seperti tali, pisau, cambuk kecil, dan bola penyumpal mulut.
Hasil investigasi ini disampaikan kepada presiden yang hanya bisa geleng kepala karena malu.
Lalu presiden berkata, “Bereskan semuanya.” Dan, tim dengan cekatan membereskannya. Pihak
hotel dibungkam. Pelacur dieksekusi mati tanpa sidang di tempat lengang di pinggir kota. Dan,
di media massa akan muncul berita bahwa menteri itu meninggal tiba-tiba karena serangan
jantung mendadak.

Kasus terselesaikan dengan tuntas. Aku dapat pulang dan menikmati kehidupan nyaman di
kandang. Beginilah kehidupan keduaku berlangsung. Segalanya berjalan menyenangkan. Hanya
dengan modal indra penciuman yang kuperoleh secara cuma-cuma sejak lahir, segala
kemewahan kudapat. Tidak seperti ketika menjadi manusia yang perlu bersusah payah untuk
bahagia, pada kehidupan kedua ini segalanya mudah.

***

Tak ada yang lebih terkutuk dibanding menjalani hidup sebagai anjing. Itulah kepercayaan yang
kuamini setelah menjalani delapan tahun hidup sebagai anjing peking. Sepanjang hidup yang
celaka. Kuhabiskan seluruh waktuku untuk mengibaskan ekor, memekarkan bulu, dan merawat
diri di salon anjing. Segala atribut mulia keanjingan yang tersemat padaku mulai dari salah satu
ras anjing tertua di dunia hingga lambang penyebaran agama Buddha dari Tibet ke Tiongkok,
yang merupakan daerah asal Dinasti Tang leluhurku, tak mampu mengentaskanku dari
kesedihan. Aku menjalani kebahagiaan semu, tanpa cinta, tanpa berkelamin dengan anjing
betina. Aku telah dikebiri. Nafsu seksualku dihabisi dan hidupku telah diarahkan sebagai hiasan
dan hiburan.

Aku adalah langganan juara kontes kecantikan anjing. Meski aku jantan, tapi kuku-ku bercat
ungu, kepalaku berpita, dan leherku berkalung merah jambu. Sebuah kombinasi warna ajaib
dengan buluku yang bersemu abu-abu. Jadilah aku anjing jantan yang kemayu. Foto diriku yang
menyedihkan tapi dianggap orang-orang memesona sering dijadikan sampul majalah hewan
piaraan. Aku begitu dipuja oleh sekelompok manusia. Aku dikasihi tuanku hampir setara dengan
anak istrinya. Bahkan, aku tak diizinkan sering-sering berjalan dengan kakiku sendiri. Aku
punya kereta khusus yang ditarik manusia dengan kehati-hatian yang menakjubkan. Aku kadang
bersepatu yang harganya jauh lebih mahal daripada kebanyakan sepatu manusia.

Tapi tetap saja, jika dapat memilih, aku akan berhenti menjadi anjing peking dan menjadi
manusia, meski manusia yang miskin harta. Maka kujelang kematianku sebagai anjing yang lucu
dengan segumpal doa agar diberi kesempatan menjadi manusia.

Dan, Yang Mahabaik dan Maha Luar Biasa mengabulkan doaku. Aku terlahir kembali sebagai
manusia. Meski tampangku pemurung, aku bahagia. Aku terlahir sebagai manusia yang cerdas,
berbakat, dan enggan mencuri perhatian. Segala jenis pendidikan kulahap dengan kunyahan
ringan. Jalanku terasa begitu lapang untuk memasuki karier yang kuinginkan yakni mengabdikan
diri di Dinas Intelijen Negara. Seperti begitu akrab dengan nasib baik, promosi demi promosi
kuperoleh dengan mudah. Jenjang karierku melesat dalam waktu singkat.

Sebenarnya karierku ini juga banyak terbantu oleh anjing doberman yang kupiara. Aku
memperolehnya saat pelatihan di Jerman dan tak menyangka jika anjing itu memiliki indra
penciuman yang demikian hebat dan langka. Justru dari seorang kawan aku mendapat informasi
ini. Anjing itu bisa diarahkan menjadi anjing pelacak dan aku mulai melatihnya sendiri.
Ketekunanku berbuah manis, anjing itu menjadi anjing pelacak terhebat di negeri ini.

Aku begitu mencintai anjing itu dan ketika karena kemampuannya, negara memintanya sebagai
aset, dengan segala upaya aku menolaknya. Penolakanku berhasil dengan sebuah kesepakatan
bahwa anjing itu tetap harus dilibatkan tetapi hanya untuk memecahkan kasus-kasus khusus
dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi.

Jadilah anjing itu seperti milik bersama antara aku dan negara. Hal paling menyenangkan dari
kenyataan ini adalah aku masih dapat memeliharanya secara pribadi. Aku dapat menikmati
waktu berkeluarga bersamanya.

Entah kenapa aku selalu menaruh perhatian lebih terhadap anjing itu. Ada kilas ingatan yang
begitu tipis yang mengharuskanku memperlakukan anjing itu secara manusiawi. Aku sangat
ingin ia menjadi anjing yang bahagia karena anjing yang bahagia adalah teman yang baik bagi
manusia. Kuperlakukan anjing itu dengan kemewahan paling puncak yang mungkin dinikmati
oleh seekor anjing. Kuperhitungkan betul asupan makan dan kesehatannya. Tapi tetap tak kuasa
kulawan dalil ilmiah yang mengharuskanku mengebirinya, semata agar anjing itu berkonsentrasi
pada keahliannya dan melupakan nafsu kawin yang bisa membuatnya jadi tak terkendali. Aku
bisa merasakan betapa sakitnya pengebirian ini baginya, tapi tak ada pilihan lain. Aku berusaha
menebus pengebirian ini dengan perlakuan mewah lain yang menurutku dapat mengimpaskan
penderitaannya.

Begitulah, aku dan keluargaku begitu mengasihinya seperti saudara. Kami telah bertahun-tahun
hidup berdampingan. Tak akan pernah kulupakan jasanya terhadap karierku.
Akan tetapi, akhir-akhir ini kulihat anjing itu berlaku agak aneh, terutama pada anak gadisku.
Caranya menunjukkan kasih sayang lewat jilatan terlihat berbeda dengan perlakuannya terhadap
anggota keluarga lainnya. Jilatannya terlihat seperti lelaki yang sedang berahi. Anjing itu senang
menjilati wajah, tengkuk, telinga, dan selangkangan anak gadisku yang hanya tertawa kegelian.
Aku curiga anjing itu sedang berahi meski telah dikebiri.

Aku menjadi lebih waspada terhadap anjing kesayanganku itu.

***

Usiaku kini sudah sembilan tahun. Usia yang terbilang sangat matang untuk anjing jenis
doberman. Bobotku kini 43 kilogram. Berat badan ideal untuk anjing doberman dewasa. Dan aku
adalah anjing. Aku hidup dengan dituntun naluri. Aku tak bisa bohong. Ada yang berdesir hangat
di kelaminku yang buntung ketika melihat anak gadis tuanku itu. Aku ingin menyenggamainya
meski tak tahu dengan apa. Saat kujilati tubuhnya, aku juga tahu bahwa anak gadis tuanku itu
merasakan berahi serupa. Aku dapat mencium bau tubuhnya yang lain. Peluh ingin setubuh.

Aku adalah anjing. Saat berahi memuncak, aku tak dapat berpikir jernih. Aku tak kenal belas
kasih. Aku lupa terima kasih. Ketika berahi meradang dan aku di luar kandang, kuterjang tubuh
anak gadis tuanku itu. Ia menjerit kegelian tapi lama-lama berubah jadi jerit ketakutan yang
membuat seisi rumah menghambur ke arahku.

Tetap kugesekkan kemaluanku yang buntung pada tubuhnya tanpa memedulikan tatapan jijik
tiap orang. Aku melihat kemarahan yang menggila, terutama di mata tuanku. Ia bergegas
mengambil pistol dan mengacungkannya kepadaku.

Tapi aku adalah anjing doberman yang gesit dan terlatih. Responsku terhadap bahaya lebih cepat
daripada manusia.

***

Hidup sebagai anjing memang sebuah kehinaan. Tapi yang lebih hina lagi adalah manusia yang
mati karena dibunuh oleh anjing, apalagi oleh anjing piaraannya sendiri. Takdir menuntunku
mengalami kehinaan ini. Segala reputasi harumku sebagai orang penting di Dinas Intelijen
Negara seakan tak ada artinya.

Semoga kelak aku tak terlahir kembali sebagai anjing atau menjadi manusia dengan nasib hina
seperti ini lagi. Tapi aku tak sempat berdoa, saat anjing doberman piaraanku itu menerjangku,
menjatuhkan pistol yang kuacungkan padanya, lalu taring tajamnya mengoyak urat leherku.

***

“Kau telah membunuh tuanmu sendiri!”

Hal itulah yang terus dikatakan anjing-anjing dalam kerangkeng di sekelilingku terhadapku. Dari
dalam kerangkengku, aku menyangkalnya dan kukatakan bahwa aku sangat menyayangi tuanku.
Anjing-anjing itu tergelak bersama dan mengatakan bahwa banyak saksi mata yang menyaksikan
pembunuhan itu. Masih kata mereka, aku tidak dieksekusi karena kemampuanku masih dapat
digunakan negara. Itulah alasan kenapa kini aku berada di tempat ini setelah sadar dari
pembiusan. Kini aku dikarantina bersama anjing-anjing pelacak lainnya dari berbagai jenis dan
ras. Sekarang, negara adalah tuan besarku.

Aku terus menyangkal pembunuhan yang diejekkan anjing-anjing itu karena aku adalah anjing
yang jujur. Aku tidak mengingat lengkap tiap kejadian. Aku hanya mengingat dengan aroma.
Aku tahu setiap pembunuh dari bau tubuh yang mereka tinggalkan pada mayat. Dan, tak ada bau
tubuhku di mayat tuanku. Jadi jelas bukan aku pembunuhnya. Kukatakan ini semua pada anjing-
anjing itu.

Tapi seekor anjing jenis belgian malinois yang kelihatan sudah renta dengan umur sekitar sebelas
tahun mengajukan pertanyaan yang membuat lidahku beku. “Pernahkah seumur hidupmu kau
mampu mencium bau tubuhmu sendiri, selain pesing kencingmu?”

Sebuah pertanyaan yang telak menampar keyakinanku. Sepanjang hidup memang kuhabiskan
sendirian tanpa berkawan dengan anjing lain, tanpa berkoloni. Aku tak pernah belajar bahwa
seekor anjing pelacak mampu mencium segalanya dalam radius sangat jauh tapi tak pernah
mampu mencium bau tubuhnya sendiri. Aku mulai meragukan kejujuranku.

Solo, 2011-2016

Anda mungkin juga menyukai