Anda di halaman 1dari 20

TRAUMA KEPALA

CLINICAL SCIENCE SESSION

Oleh :
Doni Aprialdi C11050165
Lusi Sandra H C11050171
Cynthia Dyliza C11050173

Pembimbing :
Ahmad Adam, dr., Sp.BS

SUB BAGIAN BEDAH SARAF


RS. DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2006
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup

serius, sekalipun dengan adanya sistem pengobatan modern pada abad 21.

Kebanyakan pasien dengan trauma kepala (75-80 %) adalah trauma kepala ringan,

sementara sisanya terbagi secara merata antara sedang dan berat.

Hampir 100% dari orang-orang dengan trauma kepala berat dan sekitar dua

per tiga dari orang-orang dengan trauma kepala sedang akan mengalami disability

yang permanen, dan tidak akan kembali ke keadaan seperti sebelum terjadi trauma.

Insidensi terjadinya trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sekitar

180-220 kasus per 100.000 populasi (atau sekitar 600.000 kasus yang terjadi setiap

tahunnya), dan sekitar 10 % dari kasus-kasus tersebut adalah fatal, dan memerlukan

perawatan intensif di rumah sakit.

Banyak mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala, dan

penyebab yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (seperti tabrakan,

pejalan kaki yang tertabrak motor, kecelakaan sepeda), jatuh, trauma ketika

berolahraga, dan trauma penetrasi. Pada daerah pinggiran (suburban atau rural),

kecelakaan kendaraan bermotor terjadi pada lebih dari setengah kasus trauma kepala.

Sementara untuk daerah dengan populasi lebih dari 100.000 penduduk, jatuh dan luka

penetrasi adalah penyebab yang paling umum. Sedangkan rasio terjadinya trauma

kepala antara pria dan wanita adalah 2:1, dan prevalensi terbanyak ditemukan pada

usia < 35 tahun.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan

non kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang

menyebabkan terjadinya kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang

permanen atau sementara, dengan disertai berkurangnya atau perubahan tingkat

kesadaran.

Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan

cenderung untuk bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan.

Seringkali, trauma/cedera otak disamakan dengan trauma kepala.

2.2 Patofisiologi

Penanganan yang tepat dari trauma kepala membutuhkan pemahaman akan

patofisiologi dari trauma kepala. Otak mempunyai beberapa hal yang

membedakannya dengan sistem organ lain. Perbedaan yang paling penting adalah

bahwa otak dilapisi tulang tengkorak, yang merupakan kontainer yang kaku dan tidak

elastis. Karena otak dilapisi oleh sebuah kontainer inelastis, hanya peningkatan yang

kecil dari volume kompartemen intrakranial yang masih dapat ditolerir sebelum

tekanan akhirnya meningkat secara dramatis. Konsep ini diperkenalkan oleh Monro-

Kellie, yang menyatakan bahwa volume intrakranial total adalah tetap karena adanya

struktur inelastik dari tulang tengkorak. Volume intrakranial (V i/c) adalah sam dengan

jumlah dari seluruh komponennya, yaitu:

Vi/c = V (otak) + V (cairan serebrospinal) + V (darah)

2
Volume darah serebral intravaskuler adalah sekitar 10 %, dan cairan

serebrospinal adalah < 3 %. Ketika trauma kepala yang signifikan terjadi, edema

serebral seringkali muncul, yang akan meningkatkan volume relatif dari otak. Karena

volume intrakranial adalah tetap, tekanan dalam kompartemen ini akan meningkat,

kecuali terjadi beberapa mekanisme kompensasi, seperti penurunan pada volume satu

dari komponen intrakranial yang lain. Hal ini berhubungan erat dengan konsep

intracranial compliance, yang diartikan sebagai perubahan dari tekanan karena

perubahan volume.

Compliance = perubahan volume / perubahan tekanan

Compliance ini didasarkan atas indeks tekanan volume (PVI) pada

kompartemen intrakranial. PVI menggambarkan perubahan pada tekanan intrakranial

yang terjadi ketika sejumlah kecil cairan masuk ke dalam kompartemen intrakranial.

Secara singkat, otak mempunyai compliance yang sangat terbatas dan tidak bisa

mentolerir peningkatan volume yang signifikan yang dapat berasal dari difusi edema

serebral atau dari suatu lesi luas seperti hematoma. Setiap pengobatan yang rasional

terhadap trauma kepala adalah berdasarkan konsep doktrin Monro-Kellie dan

bagaimana intervensi tertentu mempengaruhi compliance intrakranial. Ketika volume

dari setiap komponen intrakranial menurun, maka tekanan intrakranial pun akan

menurun.

Konsep lain yang penting pada patofisiologi trauma kepala adalah konsep

tekanan perfusi serebral (CPP). CPP diartikan sebagai perbedaan antara tekanan rata-

rata arterial (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP).

CPP = MAP – ICP

Pada prakteknya, CPP adalah tekanan pada pengiriman darah ke otak. Pada

individu yang menderita hipertensi jangka panjang dengan otak yang tidak mengalami

3
trauma, aliran darah serebral (CBF) adalah konstan pada kisaran MAP 50-150 mmHg.

Hal ini terjadi karena autoregulasi dari arteriol, yang akan berkonstriksi atau

berdilatasi sesuai dengan kisaran tekanan darah untuk mempertahankan jumlah aliran

darah ke otak yang konstan.

Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih dari 150 mmHg, arteriol tidak

sanggup untuk mengatur dan aliran darah menjadi sepenuhya bergantung pada

tekanan darah, disebut dengan pressure-passive flow. CBF tidak akan konstan lagi

tetapi bergantung dan proporsional terhadap CPP. Maka, ketika MAP turun hingga di

bawah 50 mmHg, otak beresiko untuk terjadi iskemi karena insufisiensi aliran darah,

sementara jika MAP lebih besar dari 160 mmHg akan menyebabkan peningkatan

CBF yang akan menghasilkan peningkatan ICP. Sistem autoregulasi bekerja dengan

baik pada otak yang tidak traumatik, sementara pada otak yang traumatik terjadi

gangguan. Sebagai hasilnya, pressure-passive flow terjadi pada dan di sekitar area

yang mengalami trauma, dan mungkin, meluas ke otak yang mengalami trauma.

Trauma kepala dibagi menjadi dua, trauma kepala primer dan trauma kepala

sekunder. Trauma kepala primer diartikan sebagai trauma awal pada otak sebagai

hasil langsung dari trauma. Hal ini merupakan trauma struktural awal yang

disebabkan oleh impact pada otak, dan seperti bentuk trauma neural yang lain, pasien

sembuh secara perlahan. Sedangkan trauma kepala sekunder adalah trauma subsekuen

apapun pada otak setelah terjadi kerusakan awal. Trauma kepala sekunder ini dapat

berasal dari hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan ICP, atau sebagai hasil biokimia

dari perubahan fisiologi yang diawali oleh original traumanya. Pengobatan dari

trauma kepala secara langsung adalah untuk mencegah atau meminimalisasikan

trauma kepala sekunder.

4
Peningkatan ICP mungkin berasal dari trauma otak awal atau dari trauma

sekunder terhadap otak. Pada orang dewasa, ICP normal adalah sekitar 0-15 mmHg.

Sementara pada anak-anak, batas atas dari nilai normal ICP adalah lebih rendah,

sekitar 10 mmHg. Peningkatan ICP akan menghasilkan penurunan CPP dan

penurunan CBF, yang mana, jika cukup berat, akan berakibat pada iskemi serebral.

Peningkatan ICP yang berat adalah berbahaya, karena akan meningkatkan resiko

terhadap iskemi, dan ICP yang tidak terkontrol akan menyebabkan herniasi. Herniasi

melibatkan pergerakan dari otak melewati struktur dural, yang akan berakibat pada

trauma serebral yang fatal dan ireversibel.

2.3 Keadaan Klinis

Trauma kepala bisa dibedakan menjadi 2 kategori besar, trauma kepala

tertutup dan trauma kepala penetrasi. Keadaan klinis dari pasien dengan trauma

kepala sangatlah bervariasi. Glasgow Coma Scale (GCS) yang dikembangkan oleh

Jennet dan Teasdale sering digunakan untuk menggambarkan tingkat kesadaran

pasien trauma kepala. GCS dibagi menjadi 3 kategori, pembukaan mata (E), respon

motorik (M), dan respon Verbal (V). Skor adalah merupakan hasil penjumlahan dari

ketiga kategori tersebut, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum 3.

Skor GCS = E + M + V

5
Glasgow Coma Scale

Eye Opening

Score ≥ 1 Year 0-1 Year

4 Spontaneously Spontaneously

3 To verbal command To shout

2 To pain To pain

1 No response No response

Best Motor Response

Score ≥ 1 Year 0-1 Year

6 Obeys command

5 Localizes pain Localizes pain

4 Flexion withdrawal Flexion withdrawal

Flexion abnormal
3 Flexion abnormal (decorticate)
(decorticate)

Extension
2 Extension (decerebrate)
(decerebrate)

1 No response No response

Best Verbal Response

Score > 5 Years 2-5 Years 0-2 Years

Oriented and Appropriate


5 Cries appropriately
converses words

Disoriented and Inappropriate


4 Cries
converses words

Inappropriate Inappropriate
3 Screams
words; cries crying/screaming

Incomprehensible
2 Grunts Grunts
sounds

1 No response No response No response

6
2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

2.4.1 Anamnesis

I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)

II. Keluhan utama, dapat berupa :

- Penurunan kesadaran

- Nyeri kepala

III.Anamnesis tambahan :

- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)

- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang terkena, dan

tingkat keparahan yang mungkin terjadi)

Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :

a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)

- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)

b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi selaput

dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera

tumpul.

Komplikasi / Penyulit

1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)

2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)

3. Ada sesak nafas, batuk-batuk

4. Muntah atau tidak

5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut

6. Adanya kejang atau tidak

7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)

8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya

7
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)

Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah

mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan

penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.

2.4.2 Pemeriksaan Fisik

1. Primary Survey

A. Airway, dengan kontrol servikal:

Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya

obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur

mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.

- Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas

bebas.

- Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur

- ada obstruksi parsial.

- Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.

 Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut

definitif memerlukan pemasangan selang udara.

 Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau

rotasi pada leher.

 Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan

multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai

kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.

8
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

 Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi

yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.

 Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan

jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan

kanan.

 Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga

pleura.

 Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru

 Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest,

dengan kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada

primary survey.

 Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru

harus dikenali pada secondary survey

Keterangan tambahan :

Gejala tension pneumothoraks :

 Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi,

hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan

distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).

Gejala Flail Chest :

 Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan

abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.

Gejala Open pneumothorax:

 Hipoksia dan hiperkapnia

9
Gejala hematothorax:

 Nyeri dan sesak nafas

 Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan.

Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.

 Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar

atau menghilang.

C. Circulation, dengan kontrol perdarahan

a. Volume darah

 Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti

sebaliknya.

 Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat

mengakibatkan penurunan kesadaran.

 Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan

ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan

ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik.

 Nadi

- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama

- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia

- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik

- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia

- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda

diperlukan resusitasi segera.

b. Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara

penekanan pada luka

10
D. Disability

Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat

kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.

Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU

 A : sadar (Alert)

 V : respon terhadap suara (Verbal)

 P : respon terhadap nyeri (Pain)

 U : tidak berespon (Unresponsive)

Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat

memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada

primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.

Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :

a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)

- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)

- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

- Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing

- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala

- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat

b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)

- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

- Konklusi

- Amnesia pasca trauma

- muntah

11
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,

otorea atau rinorea cairan serebro spinal)

- Kejang

c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)

- Skor GCS 3-8 (koma)

- Penurunan derajat kesadaran secara progresif

- Tanda neurologis fokal

- Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau

trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat

kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma

kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai

terbukti sebaliknya.

E. Exposure

• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi

terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey

Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination),

termasuk reevaluasi tanda vital.

• Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika

belum dilakukan pada primary survey

• Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.

12
2.5 Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1)

Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki

keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel

otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.

Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena

diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering

diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan

hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi.

Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen.

Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan

secepatnya.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan

awal/resusitasi; (2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS

yang tidak adekuat; (4) Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera

multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan

sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,

hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway,

breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat

13
memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan

pelvis.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain

shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang

sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot

flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan

bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi

vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga

perlu segera bantuan pernapasan.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika

penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan

adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang

dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat

fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi

vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,

fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan

chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui

hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan

dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya

dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu

bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat

(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada

penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat

14
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan

intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran

dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada

tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur

tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya

menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan

cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg

untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan

secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat

teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang

dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi

hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila

ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan

resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua

jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat

hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak

akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam

posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat

menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

2.6 Trauma Kepala Khusus

a. Patah Tulang Tengkorak

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Patah

15
tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya

ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa

merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara

otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga. bakteri kadang memasuki

tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta

kerusakan hebat pada otak. sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan

pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

b. Gegar otak dan robekan otak

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya

disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan

pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah

tulang tengkorak. Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI

menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan

kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.

Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan

otak, pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Pengobatan

akan lebih rumit jika cedera otak disertai oleh cedera lainnya, terutama cedera dada.

16
c. Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di

dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa

terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di

dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus

otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis

perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT SCAN atau MRI. Sebagian besar

perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.

Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut

dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau

hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan

pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan

menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan

intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah

satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan

kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara

meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah

merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih

cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga

baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi

beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya

bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.

Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada ct scan darurat.

Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam

17
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan

penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.

Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa

saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural

yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena

venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya

ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan ct

scan dan mri bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada

bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih

lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap

secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala

neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

- sakit kepala yang menetap

- rasa mengantuk yang hilang-timbul

- linglung

- perubahan ingatan

- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

18
19

Anda mungkin juga menyukai