Anda di halaman 1dari 8

Nama : Syahria Nartika

Nim : 194110311
Kelas : 2A
Mata Kuliah : Ilmu Penyakit Tropis Pada Wanita
Dosen Pembimbing : Dr. Winanda, MARS

1. TB pada Kehamilan

Penyakit Tuberculosis (TBC) atau TB telah lama dikenal sebagai salah satu dari 10
penyakit penyebab kematian terbesar di Indonesia. Dilansir dari depkes.go.id, Menteri
Kesehatan (Menkes) RI Nila Moeloek mengungkapkan, jumlah kasus tuberkulosis di
Indonesia merupakan tertinggi kedua di dunia, setelah India. Inilah satu dari skian banyak
alasan mengapa pemerintah menjadikan penyakit AIDS, TBC, dan malaria sebagai program
prioritas pembangunan kesehatan Indonesia.

a. Pemeriksaan TB pada Ibu hamil


Saat hamil, dokter akan memberi sejumlah tes rutin untuk memeriksa masalah
kesehatan yang mungkin menimbulkan masalah bagi ibu atau bayi. Salah satunya, adalah
TB. Dokter spesialis paru akan melakukan pemeriksaan (screening) terhadap penyakit ini
sejak awal kehamilan. Namun, mengingat bahaya risikonya pada ibu hamil dan janin,
dokter mungkin akan membuat pengecualian terhadap pemeriksaan X-ray atau rontgen.
Dilansir dari tuberculosis.autoimuncare.com, penanganan TB pada ibu hamil harus sangat
diperhatikan, tidak hanya pada masa kehamilan tetapi juga harus dilanjutkan pada
periode menyusui. Jika tim medis tidak melakukakan perawatan tepat untuk penyakit
menular yang menyerang paru-paru ini, dampaknya sangat berbahaya bagi ibu dan bayi,
termasuk risiko kematian.
b. Tipe-tipe TB
Ada dua tipe TB, yaitu TB laten dan TB aktif. Pada kasus tuberculosis laten,
seseorang bisa mengidap TB tanpa menyadarinya. Kondisinya sangat berbeda dengan TB
aktif. Saat mengidap tuberculosis aktif, pasien TB akan memiliki gejala batuk selama
berminggu-minggu, penurunan berat badan, muntah darah, dan berkeringat di malam
hari. Meskipun TB aktif membutuhkan penanganan yang lebih serius, tapi keduanya tidak
dapat disepelekan. Baik TB aktif maupun TB laten dapat menyebabkan dampak yang
fatal pada bayi. Bayi dari ibu yang mengidap TBC, dikhawatirkan bisa mengalami risiko
berikut ini.
- Bayi terlahir prematur.
- Berat badan di bawah berat badan bayi normal yang terlahir dari ibu yang sehat.
- Dalam kasus yang langka, bayi bisa terlahir dalam kondisi mengidap TBC.
- Bayi terjangkit TBC setelah dilahirkan. Hal ini bisa terjadi jika ibu mengidap TBC
aktif dan tidak mendapatkan perawatan yang intens.
c. Pengobatan TB selama kehamilan
Ibu hamil yang mengidap TB, mungkin khawatir akan keselamatan janinnya jika ia
mengonsumsi obat. Padahal, kondisi akan jauh lebih buruk bagi ibu dan bayi jika
membiarkan TB tidak diobati. Dilansir dari webmd.com, menurut riset dokter, belum ada
bukti otentik yang menunjukkan dampak obat TB pada janin yang belum lahir. Dokter
pun tidak akan meresepkan obat yang berpotensi mengakibatkan cacat janin pada ibu
hamil. Contohnya, dokter akan meresepkan obat tablet dengan dosis aman yang
disesuaikan untuk ibu hamil, tetapi pemberian obat seperti streptomisin dalam bentuk
suntikan, akan dihindari oleh dokter karena suntikan ini berisiko mengakibatkan cacat
bawaan pada trimester 1. Obat-obatan yang sering disebut sebagai standar obat lini
pertama ini, juga akan disesuaikan dengan jenis TB yang diidap oleh ibu hamil.
2. Epidemiologi TB dan Gejala Klinis TB secara Umum
a. Epidemologi Tuberculosis
Penyakit tuberculosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri Mycobacterium tuberculosis ditemukan
pada tahun 1882 pertama kali oleh Robert Koch. Bakteri tuberculosis masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernafasan menuju kedalam bagian paru-paru, kemudian menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran linfa, dan
saluran pernafasan atau penyebaran langsung ke bagian atau organ lainnya. Terdapat dua
kondisi yang dapat dijumpai dalam tuberkulosis paru pada manusia, yaitu:
- Tuberkulosis primer: bila penyakit tuberkulosis muncul dan langsung menginfeksi
manusia
- Tuberkulosis paska primer: bila penyakit tuberkulosis timbul setelah beberapa waktu
seseorang terkena infeksi dan sembuh. Bakteri tuberkulosis dapat ditemukan dalam
dahak penderita yang menjadi sumber penularan (Notoatmodjo, 2007).

Bakteri ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan yang biasa disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri TB dapat
bertahan hidup beberapa jam di udara, tempat yang gelap dan lembab selama berbulan-
bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari. Dalam jaringan, tubuh kuman ini dapat
bersifat dormant (tertidur lama selama beberapa tahun) (Aditama 2006).

Bakteri tuberculosis ini mati pada tingkat pemanasan 100˚C selama 5- 10 menit atau
pada tingkat pemanasan 60˚C selama 30 menit, dan dengan alcohol 70- 95% selama 15-
30 detik Masa inkubasi penyakit tuberculosis yaitu selama 3-6 bulan (Widyono, 2008).
Bakteri Tuberkulosis menular melalui udara dari orang ke orang. Bakteri TB berada di
udara ketika seseorang dengan penyakit TB mengalami batuk, bersin, berbicara dan
bernyanyi. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif. Orang
terdekat yang berada disekitarnya ketika bernapas dapat menghirup bakteri TB yang
keluar ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara ataupun bernyanyi dan terhisap ke
dalam paru-paru serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain dan menjadi terinfeksi.

Namun tidak selalu langsung terinfeksi, orang tersebut harus menghabiskan waktu
yang cukup lama dalam kontak dekat dengan orang yang terinfeksi TB untuk dapat
menangkap bakteri TB dan menjadi terinfeksi kuman TB (CDC: Tuberculosis (TB)
Disease, 2016). Selain menginfeksi orang dewasa, infeksi tuberkulosis dapat menginfeksi
bayi dan anak (TB milier).TB anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak umur 0-14
tahun (Kemenkes RI, 2013).

TB pada anak merupakan transmisi terbaru dan berkelanjutan bakteri TB. Anak-anak
paling mungkin untuk terinfeksi TB oleh kontak terdekat, seperti anggota keluarga.
Anak-anak dapat mengembangkan penyakit TB pada usia berapa pun, tetapi TB yang
paling sering menjangkit anak anak yaitu pada usia 1 sampai 4 tahun. Anak-anak bisa
sakit dengan penyakit TB segera setelah terinfeksi bakteri TB, atau mereka bisa sakit di
kemudian hari ketika terjadi pelemahan sistem imunitas sehingga bakteri TB kembali
aktif dan berkembangbiak di dalam tubuh. Jika tidak diobati, kuman TB akan terus
menetap di dalam tubuh seumur hidup dan memungkinkan untuk dapat menginfeksi
anak-anak mereka kelak (CDC: TB in Children, 2013).

Seorang anak dapat terinfeksi bakteri TB pada dasarnya dengan cara yang sama
sebagai orang dewasa, yaitu menghirup bakteri TB yang ada di udara sebagai 9 hasil dari
pelepasan bakteri TB ke udara oleh seseorang yang memiliki TB BTA positif. Setelah
bakteri TB dihirup dan mencapai paru-paru, selanjutnya bakteri TB berkembangbiak dan
kemudian menyebar melalui pembuluh getah bening ke kelenjar getah bening di
dekatnya. Beberapa anak berada pada risiko yang lebih besar terkena TB daripada anak
yang lain yaitu seorang anak yang tinggal dirumah yang sama dengan seseorang yang
didiagnosis mengidap TB BTA positif, seorang anak berusia kurang dari 5 tahun, seorang
anak dengan infeksi HIV, seorang anak dengan gizi buruk (CDC: Tuberculosis (TB)
Disease, 2016).

Daya penularan dari orang dengan TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan di parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
tinggi daya penularan dari orang dengan TB tersebut. Tingkat pajanan percikan dahak
sangat mempengaruhi besar risiko tertular TB. Selain itu, faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang terinfeksi TB adalah imunitas tubuh yang rendah, infeksi
HIV/AIDS, dan malnutrisi atau gizi buruk (Depkes RI, 2006).

Dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia menyebutkan


bahwa faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, dan daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah
65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien
TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17% (Kemenkes RI(2013).

b. Gejala Klinis TB
Manifestasi TB sangat bervariasi pada masing-masing kasus karena TB kadang-
kadang tidak menimbulkan gejala (asimtomatik). Manifestasi TB secara 10 klinis dapat
terjadi dalam beberapa fase diawali dengan fase asimtomatik dengan lesi yang hanya
dapat dideteksi secara radiologic kemudian berkembang menjadi lisis yang jelas
kemudian semakin memburuk (Notoadmodjo, 2007). Gejala klinis pasien tuberkulosis
paru menurut Depkes RI (2007), adalah :
- Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih
- Dahak bercampur darah
- Batuk berdarah
- Sesak napas
- Badan lemas
- Nafsu makan menurun
- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik
- Demam meriang lebih dari satu bulan.

Seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka bila sudah memiliki keluhan-
keluhan tersebut. Pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan foto rontgen dan pemeriksaan
dahak (pemeriksaan mikroskopis) (Widoyono, 2008).

Gejala sistemik/umum TB anak menurut Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak


(2013) adalah sebagai berikut:

- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
- Demam lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai
dengan gejalagejala umum lain.
- Batuk lama ≥ 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
- Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh kembang.
- Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
- Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan dasar
diare.
- Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya bersifat multiple
yaitu paling sering muncul di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha.

Tuberkulosis pada anak sulit untuk dilakukan diagnosis sehingga sering terjadi
overdiagnosis ataupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala
utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis tuberkulosis pada
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan oleh dokter
dengan parameter: uji tuberkulin, berat badan/ keadaan gizi, demam tanpa sebab yang
jelas, batuk, pembesaran kelenjar limfe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan
tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks (Kemenkes RI, 2013).

3. Terapi Tuberkulosis dan TB MDR

a. Terapi TB

Pengobatan TB hingga sembuh membutuhkan waktu sekitar 6 bulan hingga 2 tahun


dengan melakukan beberapa terapi. Yakni:

- Pengobatan Kombinasi 

Ini merupakan penggunaan berbagai macam obat untuk memastikan bakteri tidak
menjadi kebal terhadap antibiotik yang sedang dikonsumsi. Terapi ini biasanya
melibatkan empat macam obat antibakteri yang dikonsumsi selama dua bulan. Jika
diperlukan bisa diperpanjang hingga diperoleh hasil tes. Jika terbuki terdapat
kekebalan obat, kombinasi pengobatan harus diubah.

- Pengobatan Pengawasan Langsung atau DOT (Direct Observed Therapy)

Perawatan ini dilakukan dengan mengawasi pasien secara ketat oleh dokter yang
datang setiap kali mereka mengkonsumsi obat. Kunjungan khusus ini membantu
memastikan bahwa semua dosis antibiotik yang diresepkan telah dikonsumsi.
- Terapi Tuberkulosis Laten

Pada kasus tuberkulosis laten, terapi TB dilakukan dengan:

Antibiotik : Orang dengan TB laten hanya memerlukan satu tipe antibiotik pada
satu waktu. Antibiotik yang biasanya diresepkan termasuk isoniazid (6-9 bulan) dan
rifampin (4 bulan).

Terapi gabungan: Untuk TB Laten, paling banyak dua tipe obat dapat
dikonsumsi bersamaan. Pengobatan Pengawasan Langsung juga dapat dilakukan.

b. Memahami Kondisi TB MDR dan Cara Mengendalikannya


TB MDR atau multidrug-resistant tuberculosis adalah jenis tuberkulosis yang kebal
terhadap 2 obat antituberkulosis paling kuat, yaitu isoniazid dan rifampisin. Pada tahun
2018, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan WHO memperkirakan terdapat
sekitar 23.000 penderita TB MDR di Indonesia.
Penularan tuberkulosis antarmanusia dan penanganan yang tidak tepat bisa memicu
bakteri penyebab tuberkulosis untuk mengembangkan daya tahannya terhadap obat
antituberkulosis yang diberikan.
Namun, bukan berarti kondisi ini tidak dapat diobati sama sekali. Melalui
penanganan yang tepat, penderita TB MDR dapat sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Penyebab Terjadinya TB MDR: Ada berbagai faktor yang bisa menyebabkan
terjadinya kekebalan atau resistensi kuman terhadap obat tuberkulosis atau TB MDR,
antara lain:

 Penderita TB tidak menyelesaikan pengobatan hingga tuntas


 Pemberian obat yang salah, baik jenis obat, dosis, dan lama pengobatan TB
 Kualitas obat yang buruk
 Kurangnya ketersediaan obat TB

TB MDR juga lebih berisiko terjadi pada seseorang yang sebelumnya pernah terkena
TB, sistem kekebalan tubuh yang lemah, kontak dengan penderita TB MDR, dan berasal
dari daerah dengan kasus TB resisten obat yang tinggi.
Cara Mengendalikan TB MDR: Pengendalian kasus TB MDR di Indonesia diawali
dengan penemuan kasus terduga TB resisten obat. Seseorang diduga menderita TB
resisten obat jika memiliki kondisi sebagai berikut:

 Penderita TB gagal pengobatan


 Kuman TB masih positif setelah 3 bulan pengobatan
 Penderita TB yang kembali berobat setelah lalai berobat (loss to follow-up)
 Penderita TB dengan HIV yang tidak menunjukkan respons terhadap pengobatan TB

Jika mendapati kondisi di atas, Anda perlu segera ke dokter untuk mendapat
pemeriksaan lanjutan. Setelah dokter melakukan pemeriksaan dan Anda dinyatakan
menderita TB MDR, Anda perlu segera mulai menjalani pengobatan. Lamanya
pengobatan dapat berkisar antara 19–24 bulan.

Namun pada kondisi tertentu, seperti pada TB MDR tanpa komplikasi atau pada TB
MDR yang belum mendapatkan pengobatan lini kedua, WHO merekomendasikan
program pengobatan yang lebih singkat, yaitu 9–12 bulan.

Gejala TB umumnya akan membaik dalam beberapa bulan setelah pengobatan.


Namun, penderita TB MDR harus selalu menjalani evaluasi dan pemantauan ketat selama
masa pemulihan dan menjalani pengobatan hingga tuntas.

Tenaga medis juga harus mengikuti semua langkah penanganan TB yang telah
ditentukan, serta memastikan penderita yang diduga TB segera didiagnosis dan
mendapatkan panduan perawatan yang benar.

Guna mencegah TB MDR, pemerintah mendorong seluruh pemberi pelayanan TB di


semua fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan TB sesuai standar dan
meningkatkan kewaspadaan melalui penemuan kasus secara dini dan memastikan
pelayanan TB yang berkualitas.

Anda mungkin juga menyukai