Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Makalah ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana kehidupan dan keadaan suku
pribumi indonesia, khususnya suku amungme di tanah papua yang masih ada sampai
saat ini.

Dengan demikian makalah ini dibuat dengan harapan menambah pengetahuan


tentang keberadaan suku-suku yang ada di bumi nusantara indonesia. Sekaligus mencari
solusi untuk mempertahankan suku-suku tersebut, Dewasa ini mulai tidak diperhatikan
keadaannya oleh pemerintah dan terancam keberadaannya.

1.2. Permasalahan

Mencari permasalahan dan solusi tentang suku amungme di daerah pedalaman


papua. Menyangkut organisasi sosial dalam tata negara, hukum pidana dan hukum
perdata suku amungme. Hukum Tata Negara yaitu menyangkut organisasi sosial, bentuk
kepemimpinan dan cara mereka memimpin kelompoknya .Hukum perdata berkenaan
dengan perkawinan dan hak waris sedangkan Hukum Pidana terkait pembunuhan,
pencurian dan pemerkosaan.

Mulai terancamnya keberadaan suku amungme akibat PT freeport menjadi


permasalah tak kunjung selesai. Pemerintah belum menemukan solusi untuk
menyelesaikan konflik di papua. Suku amungme (papua) mengalami kerugian besar
sejak datangnya PT freeport. PT freeport mengexplorasi sumber daya alam besar-
besaran sehingga limbah yang dihasilkan merusak keadaan alam di sekitar wilayah
papua, khususnya di daerah Suku amungme.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Suku Amungme

Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang tinggal di
dataran tinggi provinsi Irian Jaya Papua Indonesia.

Suku Amungme adalah salah satu suku bangsa di Papua yang bertempat tinggal di
beberapa lembah luas di Kabupaten Timika dan Kabupaten Puncak Jaya. Sebagian lagi
menetap di lembah Beoga serta daratan rendah di Agimuga dan Kota Timika.
Nama Amunge berasal dari dua kata yang memiliki makna yang berbeda yaitu “amung”
yang berarti utama, “mee” yang artinya manusia. Orang Amungme meyakini bahwa
mereka adalah keturunan pertama dari anak sulung bangsa Indonesia.
Perilaku dan watak masyarakat Amungme identik dengan alam tempat mereka hidup.
Mereka mengganggap diri sebagai penakluk , penguasa, serta pewaris alam dari tangan
Nagawan Into (Tuhan). Kerasnya alam pegunungan membuat karakter masyarakat
Amungme menjadi keras, tidak kenal kompromi, adil, dan jantan. Mereka juga selalu
melakukan penuh persiapan dengan segala aktifitas.
Bahasa daerahnya Suku Amungme ada dua, yaitu Amung-kal yang digunakan oleh
orang Amungme yang hidup di bagian sebelah selatan, dan Damal-kal untuk orang
Amungme yang hidup di bagian sebelah utara. Mata Pencaharian Suku Amungme
umumnya berburu binatang karena di tunjang faktor alam dengan berbagai jenis fauna
seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk, burung kakaktua, dan lain
sebagainya.
2.2. Organisasi Sosial Suku Amungme
Organisasi sosial yang aktif seiring perkembangan zaman dan perkembangan suku
amungme adalah lemasa, Lemasa sendiriadalah salah satu Lembaga Adat Suku
Amungme yang berkedudukan di Timika Papua.Lemasa ini didirikan pada tahun 1994,
berdasarkan SK yang dikeluarkan Alm. JP. Matondang, pada saat itu beliau menjabat
sebagai Bupati Kabupaten Fak-Fak. Pendiri-pendiri Lembaga ini para Ibu-Ibu dan
remaja pada saat itu,mayoritas tidak bersekolah. Lembaga ini bagian dari perjuangan
masyarakat Amungme guna keluar dari penindasan dan diskriminasi yang sangat kental.
Terutama tindakan-tindakan tidak wajar dari ABRI, saat itu. Setelah Lembaga ini
berdiri telah mematahkan kekuatan] militer indonesia yang paling di takuti di tanah
Papua. Pada saat itu Papua masih dikenal sebagai DOM (Daerah Operasi militer).
Di Indonesia, sebelum mahasiswa menyatakan reformasi, orang Papua sudah
mereformasi melalui LEMASA, dengan mengusut beberapa kasus pelanggaran HAM di
Timika dan menghentikan kekerasan militer di Timika bahkan imbasnya sampai di
seluruh pelosok Papua. Tujuan mendirikan lembaga adat tersebut adalah untuk
memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Amungme. Pergantian pemimpin LEMAS
dilakukan 4 kali.
Terakhir pemilihan direktur LEMASA pada awal tahun 2007, dan Saudara Yan
Onawame terpilih sebagai direktur LEMASA, pemilihan ini melalui musyawarah luar
biasa LEMASA. Dalam muslub LEMASA tersebut menghasilkan 48 resolusi yang akan
dan sedang diperjuangkan oleh direktur terlpilih baru. Masyarakat Amungme
mengharapkan direktur terpilih baru bisa memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat
Amungme.
2.3. Bentuk Kepemimpinan

Terdapat beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang,


dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh
garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan
situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan
tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

2.4. Hukum Pidana Suku Amungme

hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana atau
perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda
lain yang harus ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu
bisa bernilai miliaran rupiah. Denda seperti itu jelas lebih berat bila dibandingkan
dengan putusan di pengadilan negeri (PN).

"Di sini, kasus pembunuhan misalnya. Mereka selalu menyebut dalam bahasa
adat,’ganti rugi kepala manusia’ atau mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah.
Jika tidak dalam bentuk uang, diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi
menyangkut kasus asusila. Pihak pelaku harus mampu menunjukkan kepada keluarga
wanita bahwa ia berani berbuat dan berani juga bertanggungjawab," kata Panji.

Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara
adat.Kadang-kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak
keluarga korban menolak untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban
tetap berusaha agar diselesaikan secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku
menghendaki kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri. Adapun Karel Beanal, Wakil
Ketua Lembaga Adat Suku Amungme Mimika mengatakan, masyarakat lebih tertarik
menyelesaikan semua kasus di melalui hukum adat karena masyarakat menilai hukum
adat lebih adil dan dipahami semua warga.

Hukum adat sejak nenek moyang telah diterapkan di kalangan masyarakat dan mereka
tahu bagaimana cara mengambil keputusan di dalam musyawarah adat itu. Dalam
pelaksanaan hukum positif banyak terjadi penyelewengan dan pembohongan terhadap
masyarakat kecil terutama di pengadilan. Masyarakat kecil, tidak berduit, selalu menjadi
korban ketimbang mereka yang berduit. Dalam hal ini, warga Mimika selalu tak
berdaya ketika berhadapan dengan sang pengadil di PN Mimika. "Korupsi sampai
miliaran bahkan triliunan rupiah oleh para pejabat dibiarkan. Kalau sampai ke
pengadilan pun dibebaskan.
Sementara masyarakat kecil yang mencuri ayam satu ekor dihukum sampai enam bulan
penjara. Putusan itu sangat menyiksa masyarakat kecil yang selalu bergantung pada
sumber daya alam dan dari perjuangan sendiri," kata Beanal.

2.5 hukum perdata suku amungme

a. Pembagian tanah
Mengenai pembagian tanah dan penguasaan atas sumber daya alam lainnya telah
berjalan secara turun-temurun, baik dalam tataran keluarga maupun antarmarga.
Misalnya, hak pembagian tanah atau sumber daya alam lainnya yang dibagikan dari
marga kepada keret-keret yang ada dalam marga tersebut. Dari keret, nantinya akan
dibagikan lagi kepada keluarga-keluarga yang ada di dalam keret. Setelah itu,
dibagikan kepada individu-individu di dalam keluarga, terutama yang telah menikah.

Untuk wilayah kepemilikan masing-masing marga atau keluarga, juga terdapat


mekanisme yang telah berjalan secara turun-temurun. Misalnya, setiap orang tua atau
yang dituakan dalam marga selalu mengajak dan menunjukkan kepada anak-anak
mereka tentang batas-batas wilayah kepemilikan warga dan keluarga mereka.

Batas-batas tanah secara umum ditandai oleh batas-batas alam, seperti gunung,
sungai, atau lembah. Mekanisme seperti ini terus berlanjut sampai sekarang. Dengan
mekanisme seperti itu setiap marga dan keluarga dalam suku Amungme mengetahui
dengan pasti batas-batas wilayah dan hak milik mereka. Jika ada orang yang
menyerobot atau mengambil tanah begitu saja, dalam pandangan suku Amungme,
orang itu disamakan dengan pencuri. Jika ada warga suku atau marga yang pergi
keluar wilayah adatnya, para tetua adat wajib memberitahukan kepada setiap warga
dalam marga yang bersangkutan bahwa tanah tersebut ada pemiliknya. Hal yang
sama juga disampaikan kepada pendatang yang memasuki wilayah adat satu marga.

Dengan mekanisme demikian, setiap orang yang dituakan tidak mudah


meninggalkan wilayahnya karena ia sangat diperlukan oleh 21 marga untuk
menentukan batas-batas wilayah dan sekaligus mencegah konflik jika terjadi
penyerobotan wilayah oleh marga lain. Pembagian tanah tersebut juga sesuai dengan
klasifikasi marga. Setiap marga pada suku Amungme terbagi dalam tiga bagian, yaitu
(1) marga tertua, (2) tengah, dan (3) bungsu. Klasifikasi marga ini bukan untuk
menunjukkan sikap superioritas atau monopoli atas tanah oleh marga yang lebih tua,
melainkan untuk menimbulkan sikap saling menghargai antarmarga karena mereka
sama-sama mengetahui batas wilayah masing-masing. Dengan demikian, pembagian
tanah tidak menjadi mencolok atau fokus utama dalam klasifikasi ini.

Klasifikasi yang dilakukan tak lain hanya sekadar alat untuk menentukan keturunan
seseorang dalam sebuah marga. Secara umum akibat adanya mekanisme adat di atas,
konflik akibat pembagian tanah dan warisan jarang terjadi.
Orang Amungme juga mengenal sistem sewa tanah. Mereka menyewakan tanah yang
dimiliki secara individual kepada orang lain sesama suku atau kepada suku lain.
Tanah yang disewakan itu boleh dipergunakan untuk berburu atau mencari bahan
makanan. Kompensasi dari penyewaan tanah berupa bagi hasil jika tanah tersebut
dijadikan lahan bercocok tanam atau berburu. Kompensasi dapat pula berupa
pembagian harta kekayaan. Semuanya ini tergantung perjanjian dan diatur secara
adat.

Saat ini keberadaan konsep kepemilikan adat yang berlaku seperti yang telah
diuraikan di atas semakin terancam akibat hadirnya perusahaan-perusahaan
pertambangan, HPH, atau HTI di Papua. Akibatnya, semakin banyak penduduk asli
yang terdesak atau tersingkir dari tanah leluhurnya. Ancaman bagi konsep
kepemilikan adat juga terjadi karena kebanyakan para pengambil kebijakan, baik di
daerah maupun di pusat tidak menghiraukan atau bahkan tidak tahu sama sekali
konsep kepemilikan adat yang ada di Papua, khususnya pada suku Amungme. Kerap
kali kebijakan pemerintah atau perusahaan pertambangan–demi mengejar
keuntungan semata–tidak memperhatikan keberadaan suku Amungme berikut konsep
kepemilikan adat dan kepentingan-kepentingannya. Sikap mengabaikan itulah yang
belakangan ini acap kali memancing protes dan tindakan emosional warga Amungme
di sekitar Freeport.
b. perkawinan
Hukum perdata yang berlaku pada sisitem pernikahan suku amungme Idealnya
perkawinan orang Amungme terjadi secara eksogami paroh dan eksogami klen.
Aturan adat Amungme mengharuskan perkawinan dilakukan antara seorang laki-laki
atau perempuan dari mom menikah dengan dengan seorang laki-laki atau perempuan
dari magai.

2.6 Nasib suku amungme atas kehadiran PT.Freeport.


Nasib buruk yang harus dialami suku Amungme sejak 1967. Secara ekonomi-politik,
dan sosialbudaya mereka telah dilumpuhkan oleh perusahaan multinasional asal
Negara Bagian Lousiana, Amerika Serikat tersebut.
Sepak terjang Freeport yang didukung secara penuh oleh pemerintah Indonesia
mengejawantahan karakteristik perusahaan multinasional yang hanya rakus
menghisap kekayaan alam bumi Indonesia tanpa memperdulikan nasib warga
setempat. Kasus Riau menunjukkan hal yang sama.

Kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional yang menyedot minyak bumi dan


gas alam di sana tidak membuat rakyat Riau menjadi makmur. Bahkan Riau
termasuk salah satu daerah yang relatif terbelakang dan miskin di Indonesia. Padahal,
miliaran dolar AS telah diraup perusahaan-perusahan multinasional dari bumi Riau.

Untuk Freeport, alih-alih memakmurkan warga di sekitar pertambangannya,


kehadiran mereka justru menghancurkan tatanan sosial dan budaya rakyat dan
merusak lingkungan hidup. Yang paling ironis, kehadiran Freeport telah
menyebabkan timbulnya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang
mengakibatkan sebagian warga suku Amungme menjadi pengungsi internal di tanah
mereka sendiri.
Kontrak karya generasi pertama hanya diberikan kepada satu perusahaan, yaitu PT
Freeport Indonesia Company, pada 1967 untuk memulai penambangan tembaga di
Ertsberg, Papua. Dalam kontrak karya generasi pertama itu, Freeport diizinkan
mengimpor seluruh peralatannya, tanpa dikenal penjadualan untuk melakukan
nasionalisasi saham dengan masa konsesi tiga puluh tahun. Dalam Kontrak Karya I
ini, Freeport juga diberi fasilitas tax holiday dan keringanan pajak selama tiga tahun,
tidak dibebani biaya pembebasan atas tanah, serta tidak memiliki kewajiban untuk
menunjang pembangunan dan kesejahteran daerah.1 Dalam seluruh proses kontrak
karya itu, tak satu pun orang Amungme diajak berunding, baik oleh pemerintah
maupun oleh Freeport. Segera setelah persetujuan KK ditandatangani, Freeport
mengontrak Bechtel, perusahaan konstruksi terkemuka asal Amerika Serikat, untuk
membangun seluruh infrastruktur yang dibutuhkan untuk keperluan penambangan.
Bechtel kemudian membuat jaringan jalan darat sepanjang 74 mil mulai dari pantai
ke tempat pertambangan pada ketinggian 3.700 meter. Selain itu, mereka juga
membuat jalan sepanjang 1.100 m melalui pegunungan Cartenzs dan lintasan kawat
trem untuk membawa batu yang mengandung mineral ke lokasi pengolahan
yangberada di ketinggian 2.800 meter dari permukaan laut. Bechtel juga membuat
sambungan pipa untuk membawa konsentrat tembaga dari pabrik ke pelabuhan
Amamapare di Laut Arafuru.
Hal ini juga memperlihatkan ketimpangan pembagian keuntungan antara
Freeport dan pemerintah Indonesia. Kita tidak pernah tahu dengan pasti berapa
sebenarnya keuntungan yang telah diraih Freeport selama ini karena mulai dari
operasi penambangan sampai dengan tahap ditribusi dan pemasaran emas dan
tembaga produksinya dikuasai penuh oleh Freeport. Belum lagi soal dugaan KKN
yang turut mewarnai operasi Freeport yang sangat merugikan negara. Dan suku
Amungme pun harus puas menjadi penonton atas kegiatan pengerukan kekayaan
alam yang dikandung tanah mereka itu.
BAB III

3.1 KESIMPULAN

Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang
tinggal di dataran tinggi provinsi Irian Jaya Papua Indonesia.Suku ini tersebar di beberapa
kabupaten di timika dan puncak jaya provinsi irian jaya,sebagian juga menetap di di lembah
Beoga serta daratan rendah di Agimuga dan Kota Timika. Perilaku suku ini identik
dengan sifat kerasnya,tidak adanya kompromi serta suku ini juga terkenal dengan sifat
adil serta jantannya.Mereka juga menganggap bahwa mereka adalah penakluk ,
penguasa, serta pewaris alam dari tangan Nagawan Into (Tuhan).Bahasa yang biasa
mereka gunakan ada dua,yaitu amung-kal yang biasa digunakan dibagian
selatan,sedangkan damal-kal biasa digunakan dibagian utara.Sedangkan mata
Pencaharian Suku Amungme umumnya berburu binatang karena di tunjang faktor alam
dengan berbagai jenis fauna seperti babi hutan, burung kasuari, burung mambruk,
burung kakaktua, dan lain sebagainya
Untuk organisasi suku ini punya organisasi yang bernama lemasa dimana
organisasi ini berusaha untuk keluar dari diskriminasi dan penindasan yang terjadi
terhadap suku yang amungme.Sedangkan untuk sisitem kepemiminan terdapat beberapa
model kepemimpinan yaitu menagawan,kalwang,dewan adat,wem-wang,dan wem-
mum,untuk menjadi pemimpin tidak haru berasal dari keturunan kepala suku,bahwa dia
bisa,maka dia bisa menjdtapi jika seorang itu mampu dan bisa menunjukkan jika dia
bisa maka dia bisa menjadi kepala suku.

Hukum perdata yang berlaku pada sisitem pernikahan suku amungme Idealnya
perkawinan orang Amungme terjadi secara eksogami paroh dan eksogami klen. Aturan
adat Amungme mengharuskan perkawinan dilakukan antara seorang laki-laki atau
perempuan dari mom menikah dengan dengan seorang laki-laki atau perempuan dari
magai.
Sedangkan untuk sistem pembagian tanah dan penguasaan atas sumber daya
alam lainnya telah berjalan secara turun-temurun, baik dalam tataran keluarga maupun
antarmarga. Misalnya, hak pembagian tanah atau sumber daya alam lainnya yang
dibagikan dari marga kepada keret-keret yang ada dalam marga tersebut. Dari keret,
nantinya akan dibagikan lagi kepada keluarga-keluarga yang ada di dalam keret. Setelah
itu, dibagikan kepada individu-individu di dalam keluarga, terutama yang telah menikah

Sedangkan hukum pidana yang berlaku untuk pembunuhan dan pencurian


adalah ganti rugi berupa materi,yang umumnya berupa hewan baik itu babi/hewan
lainnya yang nilainnya dapat mencapai miliaran.Sedangkan untuk tindak pidana
pemerkosaan pelaku pemerkosaan harus siap bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukannya.
Kritik dan Saran
kurangnya perhatian pemerintah terhadap suku amungme yang keberadaannya
mulai tersingkir di daerahnya sendiri akibat adanya PT. Freeport.
Pemerintah harus lebih mengusahakan untuk mesejahterakan suku amungme.
Daftar Pustaka
www.papua.org/dlib/s123.html
www.id.wikipedia/lemasa.com

Anda mungkin juga menyukai