Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petugas farmasi yang tidak hanya

beroirentasi kepada obat namunjuga kepada pasien dan bertujuan meningkatkan kualitas

terapi obat. Aktifitas farmais klinik terpusat kepada pasien, bekerjasama dan berkolaborasi

antar profesi dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan

(hepler,2004;Miller,1981) dalam Restriyani (2016).

Farmasi klinik bertujuan mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan maslaah

terkait obat. Tuntutan masyarakat terkait pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit

mengharuskan perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug

oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi kepada pasien ( patient oriented) dengan

filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care) (Prayitno,2003).

Pelayanan farmasi klinikpun terbukti efektif dalam menangani terapi pada pasien.

Selain itu, pelayanan tersebut juga efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan dan

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal itu terutama diperoleh dengan melakukan

pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat. Pelayanan ini terbukti dapat menurunkan

angka kematian di Rumaah Sakit secara signifikan (Ika Wati,2010).

Disisi lain, pada farmasi klinik, apoteker didefinisikan terlihat dalam merawat pasien

pada semua fase perawatan kesehatan. Mereka harus memiliki pengetahuan yang mendalam

tentang obat yang terintegrasi dengan pemahaman yang mendasar dari biomedis, farmasi,

kehidupan sosial, dan ilmu klinis. Apoteker klinis berpedoman pada bukti terapi, ilmu
berkembang, teknologi terbaru, dan prinsip-prinsip hukum, etika, sosial, budaya, ekonomi,

serta prifesional yang relefan (ACCP, 2008).

Di Indonesia, berdasarkan Permenkes No.72 Tahun 2016 tentang standart pelayanan

kefarmasian di Rumah Sakit merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada

pasien dalam rangka meningkatkan efek terapi dan meminimalkan resiko terjadinya efek

samping jarena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup

pasien (quality of life ) terjamin.

Pelayanan farmasi klinis yang harus diselenggarakan menurut Permenkes No.72

Tahun 2016 diantaranya adalah: pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat

penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visitel,

Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi

Pengguanaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam

Darah (PKOD).

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian farmasi klinik?

2. Bagaimana sejarah farmasi klinik?

3. Bagaimana peran farmasi klinik di Rumah Sakit?

I.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian farmasi klinik.

2. Mengetahui sejarah farmasi klinik.

3. Mengetahui apa saja aktivitas farmasi klinik.


4. Mengetahui apa saja peran farmasi klinik di Rumah Sakit.

I.4 Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada seluruh tenaga

kesehatan, bahwa dalam pemberian obat ke pasien dan melakukan informasi obat ke pasien

adalah tugas dari seorang tenaga kefarmasian.


BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian farmasi klinik

Farmasi klinik merupakan ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk

memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien. Bertujuan untuk

meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik adalah untuk

memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya pengobatan, serta

menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin dibutuhkan dengan

adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Tenaga

farmasi yang bekerja di rumah sakit dan komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai

pengobatan dan dimanapun terjadi peresepan ataupun penggunaan obat). Harus memiliki

kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas. Dimana

melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien

yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur.

Farmasi klinik merupakan perluasan peran profesi petuga sfarmasi yang tidak hanya

berorientasi kepada obat namun juga kepada pasien dan bertujuan untuk meningkatkan

kualitas terapi obat. Aktifitas farmasi klinik terpusat kepada pasien, bekerja sama, dan

berkolaborasi antar profesi dengan dokter dan perawat dalam tim pelayanan kesehatan

(Hepler, 2004; Miller,1981) dalam (Restriani, 2016).

 Tujuan Farmasi Klinik

1. Memaksimalkan efek terapeutik (ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan obat,

ketepatan pengaturan dosis, evaluasi terapi)


2. Meminimalkan resiko (Meminimalkan resiko yang terjadi pada pasien,

meminimalkan masalah efek samping, dosis, interaksi dan kontra indikasi).

3. Meminimalkan biaya

4. Menghormati pilihan pasien (keterlibatan pasien dalam proses pengobatan akan

menentukan keberhasilan terapi).

II.2 Sejarah Farmasi Klinik

Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, dengan

penekanan pada fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu

farmasi klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, dimana

munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan

pada saat itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional

yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya

farmasi klinik dimulai dari University of Michigan dan University of Kentucky pada tahun

1960an (Miller, 1981).

Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu

Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang Dokter yang mendiagnosa

penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin

lama penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya. Sehingga

dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri.

Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi

antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Buku

Pharmaceutical Handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut

semua aspek obat meliputi isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan

penggunaan serta sebagai sumber informasi obat.


2..1 Periode Lama/Tahap Tradisional

Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat dan

mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek

sebagai peracik obat. Periode ini mulai goyah saat terjadi revolusi industri dimana terjadi

perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri farmasi. Ketika itu sediaan

obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah besar-besaran. Dengan beralihnya

sebagian besar pembuatan obat oleh industri maka fungsi dan tugas farmasi berubah. Dalam

pelayanan resep dokter, farmasis tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat. Karena obat

yang tertulis di resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien.

2..2 Periode masa kini

Pada periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi

berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih pada pasien.

Farmasis ditekankan pada kemampuan pemberian pelayanan pengobatan rasional. Terjadi

perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di Rumah Sakit, yaitu

dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat langsung dalam pengobatan

pasien.

Karakteristik pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit adalah :

1. Berorientasi kepada pasien.

2. Terlibat langsung di ruang perawatan di Rumah Sakit (Bangsal).

3. Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi

informasi bial diperlukan.

4. Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai,

atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan.


5. Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan.

6. Menjadi mitra dan pendamping dokter.

Dalam sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli

pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan

rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis

merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan penggunaan obat yang aman, tepat

dan cost effective.

II.3 Farmasi Klinik di Indonesia

Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun

2000an, dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di

berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi

klinik oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit merupakan salah satu faktor lambatnya

perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.

Masih dianggap asing atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi

menyiapkan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit, kemudian ikut masuk ke bangsal

perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan

rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama

ini terkesan kurang meyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini

kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen

dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan

ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang

berbicara tentang penyakit dan pengobatan.


Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, telah

mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik seperti

patofisiologi, farmakoterapi, dll. Dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.

Bersamaan denga itu, mulai tahun 2001, banyak pelayanan kefarmasian di Indonesia.

Saat itu terjadi restrukturisasipada organisasi Departemen Kesehatan di mana dibentuk

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Dengan Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian sebagai

salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap peluang

itu, Fakultas Farmasi menjadi salah satu pioner dalam pendidikan farmasi klinik. Disisi lain,

beberapa sejawat farmasis Rumah Sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan

farmasi klinik, walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan

farmasi klinik serta merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari

harapan. Perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang

kebijakan dan masyarakat luas bahwa adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien

akan benar-benar meningkatkan outcome terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika

gerakan farmasi klinik ini dimulai.

II.4 Peran Farmasi Klinik di Rumah Sakit

a. Pengkajian pelayanan dan resep

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,

pengkajian resep, penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat,

pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur

pelayanan resep, dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat

(medication error). Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada

pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, antar ruang
perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan

primer dan sebaliknya.

Tujuan pengkajian pelayanan dan resep untuk menganalisa adanya masalah

terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter

penulis resep.

b. Penelusuran riwayat penggunaan obat

Penelusuran riwayat penggunaan obat adalah proses untuk mendapatkan

informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang

digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam

medik/pencatatan penggunaan obat pasien.

c. Pelayanan informasi obat (PIO)

PIO adalah kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat

yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang diberikan kepada

dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar

rumah sakit.

Pelayanan Informasi Obat (PIO) adalah salah satu untuk mengurangi ketidak

patuhan tersebut. Pasien membutuhkan informasi, petunjuk, dan peringatan agar

mereka memiliki pengetahuan untuk menerima dan mengikuti pengobatan serta

mendapat keterampilan untuk menggunakan obat dengan tepat. Dalam beberapa studi,

kurang dari 60% pasien telah memahami bagaimana menggunakan obat yang mereka

terima. Informasi harus diberikan yang jelas, menggunakan bahasa umum dan meminta

pasien untuk mengulang kata-kata yang diucapkan petugas oleh dirinya sendiri terkait

beberapa informasi inti, untuk memastikan bahwa informasi teah dipahami

(WHO,1994).
Dalam memberikan informasi terkait obat, apoteker harus memberikan

informasi obat untuk pasien yang akurat dan komprehensif. Informasi terapi obat juga

diinformasikan untuk profesional kesehatan, pasien, dan perawat pasien yang sesuai.

Tanggapan terhadap permintaan informasi obat umum dan pasien spesifik harus

disediakan secara akurat dan tepat waktu oleh apoteker dan harus ada penilaian untuk

memastikan kualitas tanggapan yang diberikan (ASHP, 2013).

 Kegiatan yang dilakukan pada PIO meliputi:

1. Menjawab pertanyaan.

2. Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter.

3. Menyediakan informasi bagi komite/subkomite farmasi dan terapi.

4. Sehubungan dengan penyusunan formularium rumah sakit.

5. Bersama dengan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS)

melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.

6. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan

lainnya.

7. Melakukan penelitian.

d. Konseling

Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan

pasien/keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk memberikan

kesempatan kepada pasien/keluarga pasien mengeksplorasikan diri dan membantu

meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran sehingga pasien/keluarga

pasien memperoleh keyakinan akan kemampuannya dalam penggunaan obat yang

benar termasuk swamedikasi. Tujuan umum konseling adalah meningkatkan

keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi, meminimalkan risiko efek samping,


meningkatkan cost effectiveness dan menghormati pilihan pasien dalam menjalankan

terapi.

Apoteker harus dipartisipasi dalam konseling pasien. Apoteker harus

membantu untuk memastikan bahwa semua pasien diberikan informasi yang memadai

tentang obat yang mereka terima untuk membantu pasien berpartisipasi dalam

keputusan perawatan kesehatan mereka sendiri dan pendorong kepatuhan terhadap

pengobatan.

Kegiatan konseling pasien harus dikoordinasiakan dengan keperawatan,

medis, dan staf klinis lainnya yang diperlukan. Materi terkait obat yang

dikembangkan oleh layanan lain dan departemen serta sumber komersial harus

ditinjau oleh staf farmasi (ASHP, 2013).

Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,

meminimalkan Resiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) dan

meningkatkan cost – effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan

penggunaan obat bagi pasien (patient safety).

Secara khusus konseling obat ditujukan untuk :

 Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien

 Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien

 Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan

penyakitnya

 Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan

 Mencegah atau meminimalkan maslah terkait obat

 Meningkatkan kemampuan pasien memcahkan masalahnya dalam hal terapi

 Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan


 Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat

mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.

e. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi

klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi

obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional,

dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan

lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit atas

permintaan pasien yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (home

pharmacy care). Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan

diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi

obat dari rekam medis atau sumber lain.

Studi lain menunjukkan kegiatan visite pada farmasi klinik berhasil

menurunkan angka kesalahan pengobatan. Kegiatan pendampingan apoteker saat

visite dokter efektif menurunkan 86% tingkat kesalahan peresepan yang ditemukan

(11,31%). Jumlah rekomendasi yang diberikan oleh apoteker berpengaruh signifikan

terhadap jumlah kesalahan peresapan di ruang perawatan intensif (Turnodiharjo,

Hakim, dan Kartika Wati Ningsih, 2016).

Studi ini selaras dengan sebuah studi di Massachusetts General Hospital,

Boston, yang mengatakan partisispasi farmasis dalam kunjungan ke bangsal

perawatan ICU dapat mengurangi hingga 60% kejadian efek samping obat yang

disebabkan oleh kesalahan dalam perintah pengobatan (Ika Wati, 2010).


f. Pemantauan terapi obat (PTO)

PTO adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi

obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Tujuan pemantauan terapi obat

adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko ROTD.

Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko mengalami masalah

terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respon pasien yang

snagat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut

menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan

efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

Kegiatan dalam PTO menurut permenkes NO.58 tahun 2014 meliputi :

1. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, Reaksi

Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

2. Pemberian rekomendasi penyelesaian maslah terkait obat

3. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat

g. Monitoring efek samping obat (MESO)

MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respons terhadap obat yang

tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada

manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek samping obat adalah

reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang benar adalah dicatat pada

lembar MESO

h. Evaluasi penggunaan obat (EPO)

EPO merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstrukturi dan

berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.


BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Farmasi Klinik merupakam suatu disiplin ilmu farmasi yang menekankan fungsi

farmasis untuk memberikan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) kepada pasien.

Bertujuan untuk meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik

adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan resiko, meminimalkan biaya

pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini disiplin ilmu tersebut semakin

dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian yang berorientasi

pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di Rumah Sakit dan komunitas , harus memiliki

kompetensi yang dapat mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas.

III.2 Saran

Pada umumnya seorang farmasi klinik masih kurang peduli dalam memberikan

pemahaman kepada pasiennya mengenai obat, tata cara penggunaan dan indikasi obat.

Sehingga farmasi klinik wajib memberikan pemahaman lebih mengenai obat yang telah

diberikan kepada pasiennya.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System.

Aslam M dkk, 2003. Clinical Pharmacy : Menuju pengobatan Rasional dan Penghargaan

Pilihan Pasien

Ikawati Z, 2010. Pelayanan Farmasi Klinik

Miller 1981., Ekorudianta 2015.

Asalam M, Tan CK, Prayitno A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju Pengobatan

Rasional dan Penghargaan atas Pilihan Pasien. 1st ed. Jakarta: PT. Gramedia.

Badan POM RI. 2012. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga
Kesehatan. Jakarta: Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT

Anda mungkin juga menyukai