Anda di halaman 1dari 10

Tugas Pengantar Farmasi Klinik

NAMA : MARIASTI RAHIM


NIM : 201702045
KELAS : FARMASI 3B

1. Pengertian farmasi klinik


Jawaban :
a. Clinical reseources and audit group (1996) mendefinisikan farmasi
klinik sebagai “ A discipline concered with the the application of
pharmaceutical expertise to help maximmise drug efficacy and
minimize drug toxicity in individual patients”.
b. Farmasi klinik didefinisikan sebagai suatu keahlian khas ilmu
kesehatan yang bertanggung jawab untuk memastikan
penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan
pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi
terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan
pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur. Dapat
dirumuskan tujuan farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek
terapeutik obat, meminimalkan resiko/toksisitas obat,
meminimalkan biaya obat (Siregar, 2004).

2. Sejarah perkembangan farmasi klinik


Jawaban :
Istilah farmasi klinik mulai dikenal masyarakat pada tahun 1960-an
pertama kali di Amerika, karena adanya penekanan fungsi farmasis
untuk dapat bekerja secara langsung bersentuhan dengan pasien.
Pada tahun ini farmasi klinik merupakan dapat diartikan sebagai suatu
ilmu yang fokus kepada pelayanan kefarmasian, munculnya ilmu
farmasi ini karena ditemui suatu kejadian berupa ketidakpuasan pasien
pada norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu, sehingga
memungkinkan keharusan adanya kebutuhan yang meningkat
terhadap tenaga kesehatan professional yang memiliki pengetahuan
komperehensif mengenai pengobatan.
Pada tahun 1960-an di Amerika kefarmasian bersifat pada
pelayanan kesehatan yang sangat terpusat pada dokter, dimana
hubungan farmasis dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasis
klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi obat tahun
1965 yang diselenggarakan Carnahan House dan didukung oleh
American Society Of Hospital Pharmacity (ASHP) pada saat itu
disajikan proyek percontohan yang diselenggarakan oleh University
OF California. Penyatuan antara pemberian informasi obat dengan
pemantauan terapi pasien dengan farmasis di rumah sakit mengawali
suatu konsep baru dalam pelayanan kefarmasian oleh para anggota
delegasi konferensi yang disebut dengan farmasi klinik (Dipiro, 2002).
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai
“bapak ilmu kedokteran”, belum dikenal adanya profesi farmasi.
Seorang dokter yang mendiagnosa penyakit, juga sekaligus berperan
sebagai seorang “ apoteker” yang menyiapkan obat, dan melakukan
dispensing obat ke pasien. Semakin lama masalah penyediaan obat
semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga
dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri atau seorang yang
professional.
Secara histori, perkembangan dalam profesi kefarmasian di
Inggris khususnya pada abad ke-20, dapat dibagi menjadi beberapa
periode:
a. Periode Tradisional (sebelum 1960) Pada periode tradisonal fungsi
seorang apoteker hanya sebatas menyediakan, membuat dan
mendistribusikan produk yang dianggap berkhasiat sebagai obat-
obatan. Tenaga farmasis memang dibutuhkan tetapi hanya sebagai
peracik obat saja. Saat periode ini berlangsung terjadi
perkembangan industri yang sangat pesat tak terkecuali industri
farmasi. Oleh karena itu, periode ini mulai goyah. Pembuatan obat
oleh industri farmasi secara besar-besaran menyebabkan
pergeseran fungsi farmasi menjadi semakin menyempit. Apoteker
tidak lagi meracik obat pada saat melayani resep dokter tetapi obat
yang tertulis di dalam resep sudah bentuk sediaan jadi.
b. Periode Transisional (1960-1970) Beberapa perkembangan dan
kecenderungan tahun 1960-1970 antara lain:
1. Ilmu kedokteran cenderung semakin spesialistisKemajuan
dalam ilmu kedokteran sangat pesat, khususnya dibidang
farmakologi. Banyak obat-obatan baru yang menyebabkan
dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya. Pada era ini banyak
bermunculan ilmu diagnosis, alat diagnosis, penyakit penyakit
baru sehingga memberatkan profesi dokter. Oleh sebab itu, satu
profesitidak dapat lagi menangani semua ilmu pengetahuan
yang sedang berkembang pesat.
2. Perkembangan obat-obatan baru yang berkembang
pesatTerdapat keuntungan dari segi terapi membawa masalah-
masalah tersendiri dan meningkatnya masalah baru terkait
obat-obatan antaralain efek samping obat, teratogenesis,
interaksi obat-obat, interaksi obat-makanan, dan interaksi obat-
uji laboratorium.
3. Meningkatnya biaya kesehatan dari sektor publik. Hal ini
dikarenakan penggunaan teknologi yang semakin canggih,
meningkatnya permintaan pelayanan kesehatan secara
kuantitatif maupun kualitatif, serta meningkatnya jumlah
penduduk lansia dalam struktur demografi di negara-negara
maju, seperti Inggris. Pemerintah membuat berbagai kebijakan
untuk meningkatkan efektivitas biaya (cost effectiveness).
4. Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
farmasi bermutu tinggi serta tuntutan pertanggungjawaban
peran dokter dan apoteker, sampai gugatan atas setiap
kekurangan atau kesalahan obat.Kecenderungan-
kecenderungan tersebut menyebabkan perubahan fungsi
apoteker menjadi semakin sempit. Banyak yang
mempertanyakan perananan apoteker yang overtained dan
underutilized, yaitu pendidikan tinggi akan tetapi tidak
dimanfaatkan sesuai dengan pendidikannya. Situasi ini melatar
belakangi adanya perkembangan farmasi bangsal
(wardpharmacy) atau farmasi klinik (clinical pharmacy).
c. Periode Masa Kini
Pada periode ini terjadi perluasan paradigma dari drug oriented
menuju patient oriented, yaitu orientasi beralih kepada pasien.
Apoteker ditekankan kemampuannya dalam memerikan pelayanan
pengobatan yang rasional. Perubahan yang signifikan terlihat
dengan ikut sertanya tenaga farmasi yangterlibat interaksi langsung
dengan pasien. Karakteristik pelayanan farmasi klinik di rumah sakit
adalah :
1. Berorientasi kepada pasien.
2. Terlibat langsung di ruang perawatan rumah sakit (bangsal).
3. Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pegobatan
dimulai dan memberikan informasi bila diperlukan.
4. Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum
pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat
atau pengobatan.
5. Bertanggungjawab atas semua saran atau tindakan yang
dilakukan.
6. Menjadi mitra dan pendamping dokter.

Pada konteks farmasi klinik seorang apoteker adalah ahli


pengobatan dalam terapi. Bertugas melakukan evaluasi pengobatan
dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien
maupun tenaga kesehatan lain. Apoteker merupakan sumber utama
infomasi utama terkait dengan pengobatan obat yang aman, tepat, dan
cost effectivness.
Pada tahun 1990 muncul istilah pharmaceutical care karena
adanya perubahan terkait pelayanan kefarmasian (Helper dan Strans,
1990). Istilah ini jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi
asuhan kefarmasian yaitu suatu pelayanan yang berpusat pada pasien
dan berorientasi terhadap keberhasilan terapi pasien. Dengan
demikian adanya istilah ini memposisikan seorang apoteker ikut serta
bertanggung jawab terhadap pengobatan pasien bersama profesi
kesehatan lain.
Pada tahun 2000 organisasi profesi farmasi klinik di Amerika yaitu
American College of Clinical Pharmacy (ACCP) mempublikasikan
sebuah makalah “A vision of pharmacy’s future roles, responsibilities,
and manpower needs in the United States”. ACCP menetapkan suatu
visi bahwa apoteker akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan
dalam terapi obat yang maksimal untuk pencegahan dan
penyembuhan penyakit (ACCP, 2008).
Profesi apoteker semakin kuat dengan adanya publikasi tersebut dan
disesuaikan dengan kurikulum pendidikan farmasi klinik untuk
menghasilkan apoteker yang ahli dibidangnya.Di Indonesia farmasi
klinik berkembang pada tahun 2000 diawali dengan beberapa apoteker
yang belajar farmasi klinik di beberapa institusi di luar negeri. Konsep
farmasi klinik belum bisa diterima sepenuhnya pada saat itu karena
muatan sains dalam pendidikan farmasi masih sangat besar, maka
dari itu perkembangan farmasi klinik di Indonesia relatif lambat.
Pada tahun 2001 Universitas Gajah Mada (UGM) telah
mencantumkan ilmu-ilmu yang dipelukan dalam penerapan farmasi
klinik, seperti patofisologi penyakit dan farmakoterapi dengan adanya
minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas. Bersamaan dengan itu
adanya restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan dimana
dibentuk Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
dengan Direktorat Bina Farmasi klinik dibawahnya, yang
mengakomodasikan pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu
pelayanan kesehatan utama.

3. Fungsi dan peran farmasi klinik

Jawaban :

Fungsi farmasi klinik (Depkes RI, 2006);

a. Pengelolaan Perbekalan Farmasi


1) Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah
sakit
2) Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal
3) Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan
yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
4) Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit
5) Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan
ketentuan yang berlaku
6) Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan
persyaratan kefarmasian
7) Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di
rumah sakit.
b. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan
1) Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien
2) Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan
obat dan alat kesehatan
3) Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat
dan alat kesehatan
4) Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat
kesehatan
5) Memberikan informasi kepada petugas kesehatan,
pasien/keluarga
6) Memberi konseling kepada pasien/keluarga
7) Melakukan pencampuran obat suntik
8) Melakukan penyiapan nutrisi parenteral
9) Melakukan penanganan obat kanker
10) Melakukan penentuan kadar obat dalam darah
11) Melakukan pencatatan setiap kegiatan
12) Melaporkan setiap kegiatan
Farmasis klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya Drug
Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) adalah
suatu kejadian atau situasi yang menyangkut terapi obat, yang
mempengaruhi secara potensial atau aktual hasil akhir pasien.
Menurut Koda-Kimble (2005), DRPs diklasifikasikan, sebagai berikut :
a. Kebutuhan akan obat (drug needed)
 Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan
 Problem medis sudah jelas tetapi tidak diterapi
 Obat yang diresepkan benar, tetapi tidak digunakan (non
compliance)
b. Ketidak tepatan obat (wrong/inappropriate drug)
 Tidak ada problem medis yang jelas untuk penggunaan suatu
obat
 Obat tidak sesuai dengan problem medis yang ada
 Problem medis dapat sembuh sendiri tanpa diberi obat
 Duplikasi terapi
 Obat mahal, tetapi ada alternatif yang lebih murah
 Obat tidak ada diformularium
 Pemberian tidak memperhitungkan kondisi pasien
c. Ketidak tepatan dosis (wrong / inappropriate dose)
 Dosis terlalu tinggi
 Penggunaan yang berlebihan oleh pasien (over compliance)
 Dosis terlalu rendah
 Penggunaan yang kurang oleh pasien (under compliance)
 Ketidaktepatan interval dosis
d. Efek buruk obat (adverse drug reaction)
 Efek samping
 Alergi
 Obat memicu kerusakan tubuh
 Obat memicu perubahan nilai pemeriksaan laboratorium
e. Interaksi obat (drug interaction)
 Interaksi antara obat dengan obat/herbal
 Interaksi obat dengan makanan
 Interaksi obat dengan pengujian laboratorium

4. Jelaskan tentang Pharmaceutical Care!

Jawaban :

Pharmaceutical care (kepedulian farmasi)


Kepedulian farmasi adalah penyediaan pelayanan langsung dan
bertanggung jawab yang berkaitan dengan obat, dengan maksud
pencapaian hasil yang pasti dan meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
Uraian kepedulian farmasi, yaitu ; (Setya, 2016).
a. Bertanggung jawab terhadap terhadap pasien yang berkaitan
dengan obat
Farmasi bukan hanya menyediakan obat ke pasien dalam hal
pelaksanaan terapi, tetapi juga memberikan keputusan tentang
penggunaan obat yang tepat bagi pasien, pertimbangan dalam hal
pemilihan obat, dosis, rute dan cara pemberian, pemantauan
terapi obat (follow-up) pelayanan informasi obat, serta konseling
kepada pasien.
b. Pelayanan langsung
Farmasis dalam hal melakukan pelayanan langsung kepada
pasien mengenai penggunaan obat, yaitu dengan metode
wawancara langsung ke pasien kalau pasien dewasa, dan kepada
keluarga pasien apabila pasien anak-anak, farmasis juga menjalin
hbungan yang baik antar tenaga kesehatan baik dokter, perawat,
bidan maupun apoteker lainnya, karena yang menangani satu
pasien bukan hanya satu tenaga kesehatan saja, melainkan
semua tenaga kesehatan yang mempunyai kaitannya dengan
penyakit pasien.
c. Hasil terapi yang pasti dan maksimal
Sasaran kegiatan farmasi klinik salah satunya yaitu tercapainya
efek terapi yang maksimal sehingga mendapatkan dan
meningkatkan Quality Life (kualitas hidup) pasien setelah
penggunaan obat dengan benar dan rasional.
Hasil terapi yang diharapkan pasien yaitu :
1) Kesembuhan pasien
2) Peniadaan atau pengurangan gejala penyakit pasien
3) Menghentikan atau memperlambat penyakit
4) Pencegahan penyakit atau gejala

5. Undang-undang dan permenkes terbaru yang mengatur tentang


standar pelayanan kefarmasian
Jawaban :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Dirumah Sakit
DAFTAR PUSTAKA

American Collage Of Clinical Pharmacy, 2008. The Definition Of Clinical


Pharmacy, Pharmacother, 28(6):816-817
Enti, Setya Rikomah. 2016. Farmasi Klinik. Penerbit Deepublish CV Budi
Utama. Yogyakarta.
Depkes RI 2006, Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
No.1197/MENKES/SK/X/2004,Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian Di Rumah Sakit.
Dipiro, J., Talbert, L.R., Yee, G R., Wells, B.G., Possey, L.M., 2008,
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Apporoach, 7 th
Edition, Micc Grow Hill Medical, Washington Dc, 1026-1226.
Helper, CD., LM. Stand, 1990. Opportunitiesband Responsibilities In
Pharmaceutical Care. American Journal Of Hospital
Pharmacy. Vol.47, hal :533-543
Menteri kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian Dirumah Sakit.
Siregar, C. J. P dan Amalia. L., 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori Dan
Penerapannya, Penerbit Buku Kedokteran Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai