Di susun oleh :
Nama : Eli Yatul Hana Pratiwi
NIM : 108117080
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran aktif orang tua pada anak pra sekolah tentang toilet training
adalah orangtua harus mulai melatih kemampuan anaknya untuk buang air
kecil dan buang air besar ke toilet. Orang tua harus sabar dan mengerti
kesiapan anak untuk memulai pengajaran menggunakan toilet. Orang tua
juga harus memiliki dukungan positif kepada anak agar anak berhasil
dalam melakukan toilet training. ( Dalam Komunitas et al., 2017)
Suksesnya toilet training tergantung pada kesiapan pada diri anak dan
keluarga terutama ibu, seperti kesiapan fisik yaitu kemampuan anak sudah
kuat dan mampu. Demikian juga dengan kesiapan psikologis dimana setiap
anak membutuhkan suasana yang nyaman dan aman agar anak mampu
mengontrol dan berkonsentrasi untuk BAB atau BAK. Mengajarkan toilet
training dibutuhkan metode atau cara yang tepat sehingga mudah
dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang tepat akan mempengaruhi
keberhasilan orangtua dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak.
Ketika ibu memberikan penjelasan dengan cara yang baik, kemungkinan
besar anak akan mudah menerima apa yang disampaikan oleh ibu,
begitupun sebaliknya. Orang tua yang mempunyai tingkat pengetahuan
yang baik tentang toilet training akan menerapkan sesuai dengan
kemampuan dan kesiapan sang anak. Sebaliknya pada orang tua yang
kurang dalam pengetahuan tentang toilet training akan menerapakan tidak
sesuai dengan usia serta kemampuan anak, hal ini dapat menimbulkan
kecemasan, stres dan muncul rasa marah jika melihat anak tidak mampu
melakukan toilet training. ( Dalam Ners & Indonesia, 2016) dampak yang
paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau
aturan yang ketat dari orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu
kepribadian anak yang cenderung bersifat retentive dimana anak cenderung
bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat terjadi apabila orang tua
sering memarahi anak pada saat buang air besar atau buang air kecil atau
melarang anak untuk buang air besar atau buang air kecil saat bepergian
karena sukar mencari toilet. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan
dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian
eksprensif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-
gara, emosional dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
B. Rumusan masalah
Bagaimana hubungan pengetahuan orang tua dengan kebiasaan dan
kedisiplinan toilettraining pada anak usia prasekolah di Sidanegara.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus :
D. Hasil Penelitian
N Penulis Judul Jenis dan Desain Variabel Analisis Data Hasil Penelitian
o Tahun Penelitian Penelitian /
Responden
1. Chori Tingkat Pengetahuan Penelitian 41 Responden Analisis bivariat dengan Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
Elsera 2016 Berhubungan dengan deskriptif chi square adalah tingkat pengetahuan responden
Sikap Ibu dalam Toilet kuantitatif dengan baik. Sikap responden sebagian besar
Training pada Toddler pendekatan cross mendukung toilet training. Ada hubungan
sectional antara tingkat pengetahuan dengan sikap
ibu dalam toilet training pada anak usia
toddler di Desa Glodogan Kecamatan
Klaten Selatan. Kesimpulan
2. Johninsi P. HUBUNGAN penelitian ini 40 orang Alat ukur yang Hasil penelitian menunjukan ada
Mendur PERAN ORANG bersifat survey digunakan adalah hubungan antara peran orang tua dan
Julia Rottie TUA DENGAN analitik dengan kuisioner, data yang kemampuan toilet training. Di mana
Yolanda KEMAMPUAN pendekatan cross diperoleh menggunakan berdasarkan uji chi square diperoleh nilai
Bataha TOILET TRAINING sectional uji chi square dengan p= 0,001% yang berarti nilai p lebih kecil
Program PADA ANAK PRA tingkat kemaknaan (α) dari nilai (α) = 0,05.
2018 SEKOLAH DI TK = 0,05.
GMIM SION
SENTRUM
SENDANGAN
KAWANGKOAN
SATU
3. Iwan HUBUNGAN penelitian yang 95 orang analisis univariat dan Hasil uji statistik menunjukan angka Sig.
Shalahuddi PENGETAHUAN digunakan adalah bivariat melalui (2-tailed) 0,000, nilai ini lebih kecil
n, Sandra DENGAN SIKAP metode deskriptif daripada batas kritis α = 0,05 (0,000 <
Pebrianti, IBU DALAM korelasi dengan 0,05) dan Correlation Coefficient
Indra PENERAPAN pendekatan cross (koefisien korelasi) menunjukan angka
Maulana TOILET TRAINING sectional. 0,674, dengan keputusan terdapat
2018 PADA ANAK USIA hubungan yang kuat antara tingkat
TODDLER DI DESA pengetahuan dengan sikap penerapan
MAJASARI GARUT toilet training.
4. Sherly Pengetahuan Ibu Penelitan ini 41 responden Analisis data univariat Hasil penelitan menunjukkan ada
Vermita Berhubungan dengan merupakan studi dan bivariate hubungan yang signifikan antara
Warlenda, Pelaksanaan Toilet kuantitatif analitik pengetahuan ibu (p = 0,00) dengan
Rini Novita Training pada Anak dengan pendekatan pelaksanaan toilet training pada anak usia
Sari Usia 3-5 Tahun di Cross Sectional. 3-5 tahun di PAUD Islam Cerliana Kota
Program PAUD Islam Cerliana Pekanbaru Tahun 2016. Diharapkan
2017 Kota Pekanbaru kepada ibu untuk mela?h anak agar BAK
dan BAB ditoilet sejak dini. Diharapkan
kepada pihak sekolah khususnya para
guru untuk mengajarkan toilet training
sejak dini pada anak dengan menghindari
penggunaan diapers.
5. Dikdik Meningkatkan Metode penelitian 20 orang dianalisis secara Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pramono, Kedisiplinan Anak yang digunakan kuantitatif dan kualitatif melalui latihan pembiasaan penggunaan
Anni Usia Dini Melalui adalah metode toilet dengan baik dapat meningkatkan
Risnawati Latihan Pembiasaan penelitian tindakan kedisplinan anak usia dini di KB Al-
Penggunaan Toilet di kelas Hidayah Insan Mandiri Kabupaten
KB Al-Hidayah Insan Bandung sebesar 85%..
Mandiri Kabupaten
Bandung
BAB II
1. Tinjauan Pustaka
2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik dibagi menjadi 2 jenis, yaitu motorik kasar dan
motorik halus. Keterampilan motorik kasar anak usia prasekolah bertambah
baik, misalnya anak sudah dapat melompat dengan satu kaki, melompat dan
berlari lebih lancar serta dapat mengembangkan kemampuan olahraga
seperti meluncur dan berenang (Muscari, 2005).
Perkembangan motorik halus menunjukkan perkembangan utama yang
ditunjukkan dengan meningkatnya kemampuan menggambar, misalnya
pada usia 3 tahun, anak dapat membangun menara dengan 9 atau 10 balok,
membuat jembatan dari 3 balok, meniru bentuk lingkaran, dan menggambar
tanda silang (Muscari, 2005). Fase usia ini anak tetap beresiko pada cedera
meskipun tidak terlalu rentan seperti anak toddler, namun orang tua dan
orang dewasa lainnya harus tetap menekankan tindakan keamanan. Anak
usia prasekolah ini mendengarkan orang dewasa, mampu memahami serta
memperhatikan tindakan pencegahan karena anak usia ini merupakan
pengamat yang cermat dan meniru orang lain sehingga orang dewasa perlu
“melakukan apa yang mereka ajarkan” tentang masalah keamanan
(Muscari, 2005).
3. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif (berpikir) sudah mulai menunjukkan
perkembangan. Anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah,
tampak sekali kemampuan anak belum mampu menilai sesuatu berdasarkan
apa yang mereka lihat. Anak membutuhan pengalaman belajar dengan
lingkungan dan orang tuanya (Hidayat, 2007). Berdasarkan teori Kognitif
Piaget (1969 dalam Muscari, 2005) menyatakan bahwa pada usia ini anak
memasuki tahap berpikir praoperasional karena tahapan ini dimulai dari
usia 2 tahun sampai 7 tahun. Tahapan ini memiliki dua fase yakni
prakonseptual dan intuitif, yaitu :
a. Fase prakonseptual (usia 2-4 tahun) yakni anak membentuk konsep yang
kurang lengkap dan logis dibandingkan dengan konsep orang dewasa.
Anak membuat klasifikasi yang sederhana, menghubungkan satu kejadian
dengan kejadian yang simultan (penalaran transduktif misalnya semua
wanita yang berperut besar pasti hamil) dan anak menampilkan pemikiran
egosentrik. Wong (2008) menyatakan bahwa egosentrisme merupakan ciri
yang menonjol pada tahap ini dalam perkembangan intelektual, hal ini
bukan berarti egois atau berpusat pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan
untuk menempatkan diri di tempat orang lain. Selain itu, pada usia ini
pemikiran mereka didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau
alami.
b. Fase intuitif (usia 4-7 tahun) yakni anak mulai menunjukkan proses
berpikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah benar, tetapi tidak
dapat mengatakan/mengetahui alasan untuk melakukannya), mampu
membuat klasifikasi, menjumlahkan, menghubungkan objek- objek, dan
mampu menginterpretasikan objek dan peristiwa dari segi hubungan mereka
atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut serta mulai menggunakan
banyak kata yang sesuai, tetapi kurang memahami makna sebenarnya,
misalnya anak usia 3 tahun rata-rata telah mengucapkan 900 kata, berbicara
kalimat dengan tiga atau empat kata, dan berbicara terus menerus (Muscari,
2005 dan Wong, 2008).
4. Perkembangan Psikoseksual
Freud (1905 dalam Wong, 2008) menyatakan bahwa anak usia
prasekolah termasuk ke dalam tahap falik dimana kepuasan anak berpusat
pada genitalia dan masturbasi sehingga genitalia menjadi area tubuh yang
menarik dan sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis
kelamin perempuan dan laki-laki dengan mengetahui adanya perbedaan alat
kelamin. Anak sering meniru ibu atau bapaknya untuk memahami identitas
gender, misalnya dengan menggunakan pakaian ayah dan ibunya (Supartini,
2004).
Banyak anak yang melakukan masturbasi pada usia ini untuk kesenangan
fisiologis dan membentuk hubungan yang kuat dengan orang tua lain jenis,
tetapi mengidentifikasi orang tua sejenis. Anak usia prasekolah merupakan
pengawas yang cermat tetapi kemampuan interpretasinya buruk sehingga
anak dapat mengenali tetapi tidak dapat memahami aktivitas seksual.
Apabila anak menanyakan tentang seks maka orang tua harus menjawab
pertanyaan mengenai seks dengan sederhana dan jujur, hanya memberikan
informasi yang anak tanyakan dan penjelasan lebih rincinya dapat diberikan
nanti serta sebelum menjawab pertanyaan anak, orang tua harus
mengklarifikasi kembali apa yang sebenarnya ditanyakan dan dipikirkan
anak tentang subjek spesifik (Muscari, 2005). Anak usia prasekolah ini
mengalami fase yang ditandai dengan kecemburuan dan persaingan
terhadap orang tua sejenis dan cinta terhadap orang tua lain jenis, yang
disebut sebagai konflik Odipus. Tahap ini biasanya berakhir pada akhir
periode usia prasekolah dengan identifikasi kuat pada orang tua sejenis
(Freud, 1905 dalam Muscari, 2005).
5. Perkembangan Psikososial
Berdasarkan teori Psikososial Erikson (1963 dalam Muscari, 2005)
menyatakan bahwa krisis yang dihadapi anak usia antara 3 dan 6 tahun
disebut “inisiatif versus rasa bersalah”, yakni anak berupaya menguasai
perasaan inisiatif dengan dukungan orang tua dalam imajinasi dan aktivitas
karena orang terdekat anak usia prasekolah adalah keluarga. Wong (2008)
menyatakan bahwa tahap inisiatif ini berkaitan dengan tahap falik Freud
dan dicirikan dengan perilaku yang instrusif dan penuh semangat, berani
berupaya, dan imajinasi yang kuat. Anak-anak mengeksplorasi dunia fisik
dengan semua indera dan kekuatan mereka. Mereka membentuk suara hati
dan tidak lagi hanya dibimbing oleh pihak luar, terdapat suara dari dalam
yang memperingatkan dan mengancam.
Perkembangan inisiatif ini diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan
melalui kemampuan inderanya. Anak mengembangkan keinginan dengan
cara eksplorasi terhadap apa yang ada disekelilingnya. Hasil akhir yang
diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai prestasi,
arahan dan tujuan (Supartini, 2004 dan Wong, 2008).
Perasaan bersalah akan timbul pada anak apabila anak tidak mampu
berprestasi sehingga merasa tidak puas atas perkembangan yang tidak
tercapai (Supartini, 2004). Perasaan bersalah pun muncul ketika orang tua
membuat anak merasa bahwa imajinasi dan aktivitasnya tidak dapat di
terima. Ansietas dan ketakutan terjadi ketika pemikiran dan aktivitas anak
tidak sesuai dengan harapan orang tua (Muscari, 2005).
Hubungan anak dengan orang lain semakin meluas pada masa ini. Anak
tidak saja menjalin hubungan dengan orang tua, tetapi juga dengan kakek-
nenek, saudara kandung, dan guru-guru di sekolah. Anak perlu melakukan
interaksi yang teratur dengan teman sebaya untuk membantu
mengembangkan keterampilan sosial (Muscari, 2005).
6. Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak usia prasekolah sudah menunjukkan
adanya rasa inisiatif, konsep diri yang positif serta mampu mengidentifikasi
identitas dirinya (Hidayat, 2007). Supartini (2004) menjelaskan bahwa anak
usia ini secara psikologis mulai berkembang superego, yaitu anak mulai
berkurang sifat egosentrisnya (Supartini, 2004). Kohlberg (1968 dalam
Wong, 2008) menyatakan bahwa usia ini termasuk ke dalam tahap
prakonvensional, yakni anak-anak mengintegrasikan label baik/buruk dan
benar/salah yang terorientasi secara budaya dalam konsekuensi fisik atau
konsekuensi menyenangkan dari tindakan mereka. Awalnya anak-anak
menetapkan baik atau buruknya suatu tindakan dari konsekuensi tindakan
tersebut. Mereka menghindari hukuman dan mematuhi tanpa
mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan bahwa perilaku
yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri
(dan terkadang kebutuhan orang lain). Unsur- unsur keadilan, memberi dan
menerima serta pembagian yang adil juga terlihat pada tahap ini, namun hal
tersebut diinterpretasikan dengan cara yang sangat praktis dan konkret tanpa
kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan (Wong, 2008). Perasaan bersalah
muncul pada tahap ini dan penekanannya adalah pada pengendalian
eksternal. Standar moral anak usia ini adalah apa yang ada pada orang lain,
dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau
mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005)
g. Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan individu. Apabila
penghasilan individu cukup besar maka individu tersebut akan mampu menyediakan
atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.
h. Sosial Budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.
2. Kebiasaan Toilettraining
a. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008) kebiasaan adalah sesuatu
yang biasa dikerjakan dan dilakukan secara berulang untuk hal yang sama. Kebiasaan
toilettraining adalah sebuah usaha pembiassaan mengontrol buang air kecil ( BAK )
dan buang air besar ( BAB ) secara teratur dan benar. Latihan ini membutuhkan
kematangan otot - otot pada daerah pembuangan kotoran ( anus dan ssaluran kemih ).
Hal ini di biasakan di mulai anak pada waktu umur 15 bulan karena akan berpengaruh
pada perkembangan moral anak dan selanjutnya.
b. Penatalaksanaan
Toilet training merupakan salah satu usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol dan melakukan buang air kecil dan buang air besar. . Salah satu aspek
perkembangan yang umum dalam periode pra sekolah adalah pengajaran ke toilet
sehingga anak sudah mampu menahan kandung kemih (Rudolph, 2007 dalam
(Shalahuddin et al., 2018). Usia 4-5 tahun adalah usia prasekolah, pada usia
prasekolah perkembangan fisik lebih lambat dan relatif menetap. Pada usia 4-5 tahun
anak sudah bisa mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil dan
mampu menahannya serta mampu menyampaikan perasaan ini kepada orang tuanya
karena kontrol volunter dari spingter ani dan urethra dicapai pada waktu anak dapat
berjalan dan biasanya terjadi antara usia 18-24 bulan (Nursalam, 2005 dalam
(Megaswara, 2015).
Hal ini sesuai dengan pendapat ( Alim 2016 dalam Pramono et al., 2018)), disiplin
adalah pengajaran bimbingan atau dorongan yang dilakukan oleh orang dewasa yang
tujuannya menolong anak-anak belajar hidup sebagai makhluk sosial dan untuk
mencapai pertumbuhan serta perkembangan mereka yang seoptimalnya. Disiplin
Menurut Wyckoff, disiplin adalah proses belajar yang mempengaruhi kepada
ketertiban dan mengendalikan diri (Wyckoff:1997). Jadi, disiplin akan membantu
anak untuk mengembangkan kontrol dirinya (Suryadi, 2007:75 dalam Di et al., 2017).
Usia 7-12 bulan merupakan tahap awal perkembangan disiplin walaupun masih
sederhana yang bentuknya masih berupa pola keteraturan pada kehidupan sehari-
hari, seperti pelatihan pembuangan secara teratur atau toilet training, pola makan dan
pola tidur.
Faktor dari dalam ini berupa kesadaran diri yang mendorong seseorang untuk
menerapkan disiplin pada dirinya.
Faktor dari luar ini berasal dari pengaruh lingkungan, yang terdiri dari lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
a. Lingkungan keluarga
Faktor keluarga ini sangat penting terhadap perilaku anak dalam mempengaruhi
tingkat kedisiplinan anak, karena keluarga disini merupakan lingkungan yang paling
dekat pada diri seseorang dan tempat pertama kali seseorang berinteraksi. Keluarga
sebagai lingkungan pertama kali sebelum anak mengenal dunia yang lebih luas, maka
sikap dan perilaku seisi keluarga terutama kedua orang tua sangat mempengaruhi
pembentukan kedisiplinan pada anak dan juga serta tingkah lakuorang tua dan
anggota keluarga lainnya akan lebih mudah dimengerti anak apabila perilaku tersebut
berupa pengalaman langsung yang bisa di contoh oleh anak.
b. Lingkungan sekolah
Selain lingkungan keluarga, maka lingkungan sekolah merupakan faktor lain yang
juga mempengaruhi perilaku siswa termasuk kedisiplinannya, di sekolah seorang
siswa berinteraksi dengan siswa lain, dengan para guru yang mendidik dan
mengajarnya serta pegawai yang berada di lingkungan sekolah, sikap, perbuatan dan
perkataan guru yang dilihat dan didengar serta dianggap baik oleh siswa akan masuk
dan meresp dalam hatinya.
c. Lingkungan masyarakat
Pertumbuhan dan
Berhasil
perkembangan anak usia
prasekolah (3-6 tahun) :
Gagal
- Pertambahan BB dan
TB
Kebiasaan Mengompol
- Melakukan toilet
( enuresis )
training secara
mandiri
Kurangnya kepedulian
orang tua terutama
ibu
Faktor yang
mempengaruhi :
Pengetahuan
- Usia ibu tentang Faktor - faktor yang
- Pengalaman Toilettraining mempengaruhi :
- Tingkat
Pendidikan a. Faktor endogen
- Pekerjaan - Jenis kelamin
- Keyakinan - Sifat fisik
- Fasilitas - Inteligensi
- Penghasilan - Bakat
- Sosial Budaya - Kepribadian
b. Faktor eksogen
- Lingkungan
Faktor yang - Pendidikan
mempengaruhi : - Sosial ekonomi
1. Faktor dari dalam - Susunan saraf pusat
2. BAB
FactorIII
dari luar : - Agama
a. Lingkungan - Persepsi
- Emosi
keluarga BAB III
b. Lingkungan - Kebudayaan
sekolah METODE PENELITIAN
c. Lingkungan
1. Kerangka Konsep
masyarakat
Kedisiplinan
toilettraining
Kerangka konsep ini menjelaskan faktor- faktor yang berdasarkan kerangka
teori dalam tinjauan pustaka. Pengetahuan orang tua sebagai variabel
independen, kebiasaan dan kedisiplinan toilettraining sebagai variabel
dependen, dikarenakan faktor-faktor tersebut saling berhubungan dan
diketahui berpengaruh terhadap pelaksanaan toilet training, dimana
kebiasaan dan kedisiplinan toilettraining dapat mempengaruhi seorang anak
dalam BAB dan BAK secara baik dan teratur dan faktor-faktor tersebut
dapat diamati sedangkan faktor-faktor lain tidak diamati karena
keterbatasan waktu, dana dan lain-lain.
2. Hipotesis
Ada hubungan pengetahuan orang tua dengan kebiasaan toilettraining pada
anak usia prasekolah (3-6 tahun).
3. Variabel Penelitian
Variabel merupakan karakteristik yang melekat pada populasi bervariasi antara
satu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu penelitian, missal jenis
kelamin, berat badan, kadar Hb. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel
independent dan dependent. Variabel independent yang dimaksud yaitu :
Pengetahuan orang tua tentang toilettraining. Variabel dependent adalah
kebiasaan toilettraining dan kedisiplinan toilettraining.
4. Definisi Operasional
Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang
menjelaskan bagaimana caranya menentukan variabel dan mengukur suatu
variabel, sehingga definisi operasional ini merupakan suatu informasi ilmiah
yang akan membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang
sama (Setiadi, 2007 dalam Anak et al., 2017)).
Identifikasi Variabel, Definisi Operasional, Cara, Hasil, Skala, dan Skor pengukuran.
sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek
kali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu yang bersamaan) serta
pada studi ini tidak ada follow up (Setiadi, 2007 dalam Anak et al.,
2017)
3. Kriteria sampel
a.) Kriteria Inklusi
Riyanto ( 2011 ) menjelaskan bahwa kriteria inklusi merupakan karakteristik umum
subjek penelitian pada populasi target dan sumber.
Dalam penelitian ini kriteria inklusi yang ditetapkan adalah sebagai berikut :
Riyanto ( 2011 ) menjelaskan bahwa kriteria ekslusi merupakan kriteria dari subjek
penelitian yang tidak boleh ada, dan jika subjek mempunyai kriteria ekslusi maka
subjek harus dikeluarkan dari penelitian. Dalam penelitian ini kriteria ekslusi yang
ditetapkan adalah sebgai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Anak, P., Prasekolah, U., & Rw, D. I. (2017). HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN
PERILAKU IBU DALAM MENERAPKAN TOILET TRAINING DENGAN
KEBIASAAN MENGOMPOL.
Di, G., Mutiara, R. A., & Banda, B. (2017). ISSN 2355-102X Volume I Nomor 1.
September 2014 | 41. I(September), 41–50.
Komunitas, J. K., Islam, P., Kota, C., Warlenda, S. V., & Sari, R. N. (2017).
Pengetahuan Ibu Berhubungan dengan Mother ’ s Knowledge Related to Toilet
Training Implementation at 3-5 Years Old Age Children in Islamic. 3(7), 105–
109.
Ners, J., & Indonesia, M. (2016). Tingkat Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap
Ibu dalam Toilet Training pada Toddler in Toddler Toilet Training. Tingkat
Pengetahuan Berhubungan Dengan Sikap Ibu Dalam Toilet Training Pada
Toddler in Toddler Toilet Training, 4(1), 35–38.
Pramono, D., Risnawati, A., & Siliwang, I. (2018). JURNAL OBSESI : JURNAL
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Research & Learning in Early Childhood
Education Meningkatkan Kedisiplinan Anak Usia Dini Melalui Latihan
Pembiasaan Penggunaan Toilet di KB Al-Hidayah Insan Mandiri Kabupaten
Bandung Corresponding author : Dikdik Pramono. 2(1), 64–69.
Shalahuddin, I., Pebrianti, S., Maulana, I., Keperawatan, F., Padjadjaran, U., & Garut,
K. (2018). TOILET TRAINING PADA ANAK USIA TODDLER DI DESA
MAJASARI GARUT Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia , Vol . 5
No . 2 , Agustus 2018 Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia , Vol .
5 No . 2 , Agustus 2018. 5(2), 59–64.