Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI NUSANTARA

DOSEN PENGAMPU

Dr. Patmawati, S.Ag., M.Pd

DISUSUN OLEH

Nama :
Shafiah NIM:
12014008

PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB, DAN DAKWAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan Lagi Maha
Penyayang, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah
melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga saya mampu menyelesaikan penyusunan
makalah pada mata perkuliahan Sejarah Peradaban Islam ini.

Penyusunan makalah sudah saya lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari
banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu saya pun tidak lupa
mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu saya dalam rangka
menyelesaikan makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, saya sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka dari
itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para pembaca yang ingin
memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya saya Shafiah, selaku penyusun, sangat berharap semoga dari makalah yang
sederhana ini bisa bermanfaat dan juga besar keinginan saya bisa menginspirasi para pembaca
untuk mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-makalah
berikutnya.

Shafiah,

Pontianak, 3 Februari 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di seluruh dunia. Pada saat
ini diperkirakan bahwa jumlah umat Muslim mencapai 207 juta orang, sebagian besar menganut Islam
aliran Suni. Jumlah yang besar ini mengimplikasikan bahwa sekitar 13% dari umat Muslim di seluruh
dunia tinggal di Indonesia dan juga mengimplikasikan bahwa mayoritas populasi penduduk di
Indonesia memeluk agama Islam (hampir 90% dari populasi Indonesia). Namun, kendati mayoritas
penduduk beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam yang berdasarkan pada hukum-hukum
Islam.
Proses Islamisasi di Indonesia (atau tepatnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Indonesia) telah berlangsung selama berabad-abad dan terus berlanjut hingga saat ini. Islam menjadi
sebuah kekuatan yang berpengaruh melalui serangkaian gelombang dalam berjalannya sejarah
(gelombang-gelombang ini yaitu perdagangan internasional, pendirian berbagai kesultanan Islam
yang berpengaruh, dan gerakan-gerakan sosial) yang akan dijelaskan lebih lanjut dengan detail di
bawah ini.
Namun, juga benar bahwa penerapan agama Islam di Indonesia pada saat ini memiliki
karakter yang beragam karena setiap wilayah memiliki sejarah tersendiri yang dipengaruhi oleh
sebab-sebab yang unik dan berbeda-beda. Mulai dari akhir abad ke-19 sampai saat ini, Indonesia -
secara keseluruhan - memiliki sejarah umum yang lebih seragam karena para penjajah (dan
dilanjutkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia) menetapkan dasar-dasar nasional di
wilayahnya. Proses unifikasi ini juga membuat agama Islam di Indonesia - dalam proses yang lambat
- semakin kehilangan keanekaragamannya. Namun, hal ini bisa dipandang sebagai perkembangan
yang logis dalam proses Islamisasi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia?
2. Seperti apa cara Islamisasi di Indonesia?
3. Kerajaan-Kerajaan Islam apa yang ada di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Islam di Indonesia
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di negara ini, perkembangan agama Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-
pelabuhan Indonesia. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina. (2) Adanya komunitas-
komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing,
juga makam-makam Islam. (3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Tentang masuknya Islam di Indonesia semula diduga bahwa yang membawa dan
memperkenalkan Islam di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak saat itu,
perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan
Nusantara. Tetapi, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum
berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan
faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.
Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah
lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri
asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia, dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India
seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan
pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya
kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur
Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara.
Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab
dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan
atas negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifahan Baghdad
pada tahun 1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum
Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara. Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan
bagi pelayaran ke timur.
Faktor lain bagi pesatnya perkembangan Islam ialah mundurnya perkembangan agama Hindu
dan Budha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan
politiknya. Abad ke-13 M, ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai
contoh, ditandai dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis
di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan rongrongan dua kerajaan Hindu Jawa–
Kediri dan Singasari–disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini
dua kali diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan
terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat riwayatnya.
B. Tiga Lingkaran Pusat Peradaban
Faktor yang menyebabkan Islam berkembang pesat ialah penempatan pusat-pusat lingkaran
peradaban di tiga titik yang tepat, yaitu istana, pesantren, dan pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan
berperan di bidang politik dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang
terlibat langsung dalam birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula
kitab sejarah ditulis sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang
pendidikan, dan merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan
pengajian agama di lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota ataupun di pedesaan, begitu pula
tema-tema pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.
Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin
menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara. Lembaga yang semula bersifat
kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya
tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh menjadi lembaga universal yang menerima guru dan
murid tanpa memandang latar belakang suku dan daerah asal. Pada masa itulah, pesantren atau dayah
mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai
tingkatan dan antardaerah.
Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah
pemukiman para saudagar, kaum terpelajar, dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang
berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai
etnik dan ras yang berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, serta bertukar pikiran tentang masalah
perdagangan, politik, sosial, dan keagamaan. Di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami
dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di
tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka
berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah
didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren
untuk disalin, disadur, atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi
penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama. Tentu
saja, tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan saling
berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium dan
emporium Islam.
Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia
berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa
dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan
kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota.
Dengan begitu, istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat
peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan
istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat
pemukiman para saudagar, perajin, dan cendekiawan yang disebut pasar atau bazar.
Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin efektif
berfungsi ketika proses Islamisasi memasuki tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional dan
filosofis dari konsep tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan, Islam tidak
cukup diterima secara formal atau berdasarkan aspek legallistik formal. Jika itu yang ditekankan,
maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam di dalam jiwa, pikiran, dan pandangan hidup
penduduk Nusantara.

C. Saluran dan Cara-cara Islamisasi di Indonesia


Lebih rinci lagi, dari tiga lingkaran peradaban yang menjadi saluran berkembangnya Islam di
Indonesia adalah apa yang dijelaskan oleh Uka Tjandrasasmita. Menurut dia ada enam saluran, yang
penulis ringkaskan keterangannya sebagai berikut:
A). Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 hingga ke 16
membuat pedagang-pedagang muslim turut ambil bagian dalam mengislamisasi bangsa Indonesia,
apalagi yang terlibat dalam perdagangan seperti ini adalah para raja, hingga Islam sangat cepat
berkembang.
B). Saluran Perkawinan.
Saat itu orang Muslim dikenal sebagai saudagar yang kaya, maka tak heran banyak warga
pribumi khususnya para wanita yang tertarik untuk menjadi istri mereka. Dan tentu sebelum
nikah, mereka diislamkan dulu, hingga kemudian Islam semakin meluas lewat keturunan mereka.
Saluran Tasawuf
Tokoh-tokoh ahli tasawuf adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syekh Lemah Abang, dan
Sunan Panggung di Jawa. Mereka mengajarkan Islam dengan dicampur ajaran yang sudah dikenal
luas oleh masyarakat Indonesia saat itu yaitu agama Hindu.
C). Saluran Pendidikan
Contohnya adalah pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta
Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang diundang ke Maluku
untuk mengajarkan agama Islam.
D). Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukkan wayang.
Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia
tidak pernah meminta upah pertunjukkan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya
mengucapkan kalimat syahadat.
E). Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya
memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di
daerah ini.

D. Bukti Peradaban Islam di Barus


Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, kota Barus dikenal sebagai daerah awal
masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks
pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi.
Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang
bekerja sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus,
telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan
multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak,
Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan
tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan
sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan
berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat
maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di
sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau
pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasihat raja, adipati, atau
penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan
ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan
damai.
Sejarawan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan
bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak
awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut
laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu
Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara.
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang
Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini
membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M.

E. Ternyata Islam masuk Nusantara ketika Rasulullah masih hidup


Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa
Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasulullah menerima
wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal
pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin
Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara
terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M
telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatra (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak
Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatra sudah terdapat
sebuah perkampungan Islam.
Kemudian disebutkan bahwa, perjalanan dari Sumatra sampai ke Mekkah pada abad itu,
dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan
waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat
adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah
perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5
hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula
membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat
Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. a..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan
Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat
menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal
sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati,
amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah
menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
Sedangkan Nusantara menjadi Islam keseluruhan pada abad 17, karena pada saat itu semua
pemimpin dan tokoh masyarakat di kepulauan Nusantara sudah memeluk Islam. Dari catatan sejarah,
pemimpin masyarakat yang paling akhir memeluk Islam adalah Gowa Tallo. Ini terjadi pada tahun
1605 bertepatan dengan abad 17. Pada saat itu, VOC memang sudah masuk ke sebagian wilayah
Nusantara tapi belum bisa mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaannya. VOC pertama kali datang
ke Nusantara pada tahun 1596 dengan mendarat di Banten.

F. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia


A). Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Sumatra
a). Samudera Pasai
Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan
abad ke 13 M. sebagai dalil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya. Bukti
berdirinya kerajaan ini adalah nisan kubur, yang diketahui bahwa raja pertamanya meninggal
bulan Ramadhan tahun 696 H, atau sekitar tahun 1297 M. Malik al-Saleh adalah raja pertama
sekaligus pendirinya. Kerajaan ini berlangsung tahun 1524 M.
b). Aceh Darussalam
Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas
puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun
kota Aceh Darussalam. Kerajaan ini berlangsung hingga masuk abad-18 M.
B). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
a). Demak
Saat posisi Raja Majapahit melemah, penguasa-penguasa Islam di pesisir ingin
membentuk pusat kekuasaan yang independen. Maka di bawah Sunan Ampel Denta, Wali
Songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak dengan
gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.
Pemerintahan dia berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Dan pemerintahan Demak berakhir dengan dibunuhnya Prawoto oleh Aria Penangsang dari
Jipang (Bojonegoro) pada tahun 1549.
b). Pajang
Kerajaan Pajang terletak di daerah Kartasura sekarang, dan ia dipandang sebagai
pewaris kerajaan Islam Demak. Diperintah oleh Jaka Tingkir setelah ia berhasil membunuh
Aria Penangsang. Kekuasan dan kebesarannya tidak lama dan kemudian diambil alih oleh
kerajaan Mataram. Jaka Tingkir adalah penguasa Pajang pertama, ia berasal dari Pengging,
lereng Gunung Merapi, sekaligus menantu dari Sultan Trenggono, raja Demak ketiga.
Riwayat Pajang berakhir tahun 1618 yang dihancurkan oleh Mataram, atas ulah
pemberontakan mereka.
c). Mataram
Awal dari kerajaan Islam Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang
meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk
menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang tersebut di atas. Sebagai hadiah
atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang
menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian. Senapati anaknyalah yang menjadi Sultan
Mataram yang pertama. Runtuhnya Keraton Mataram adalah karena pemberontakan para
ulama pada tahun 1677 M dan 1678 M yang dipimpin oleh Raden Kajoran. Pemberontakan
ini sebagai wujud keprihatinan atas maraknya pembunuhan terhadap para ulama dan santri
oleh Amangkurat I. Disebutkan 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh tanpa dosa.
d). Cirebon
Didirikan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Menjadi kerajaan Islam
pertama di Jawa Barat.
e). Banten
Disebutkan, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan
ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Langkah Sunan Gunung Jati setelah Banten masuk
Islam, adalah menduduki pelabuhan Sunda, tahun 1552, kemudian pelabuhan-pelabuhan Jawa
Barat lainnya. Setelah kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada
putranya, Hasanuddin.
C). Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi
Kerajaan-kerajaan Islam juga mulai tumbuh di luar Jawa seperti di Kalimantan, kerajaan-
kerajaan itu adalah:
- Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
- Kutai di Kalimantan Timur
- Kemudian berakhir pada kerajaan terakhir yaitu yang berada di Maluku, dan Sulawesi (Gowa-
Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu).

BAB III
PENUTUP
Demikian secara singkat pemaparan peradaban Islam di Indonesia, yang tentu tidak menutup
kita untuk hanya mengetahuinya dari tulisan yang sangat singkat ini. Banyak hal lain yang juga sangat
penting untuk dimengerti, supaya kita bisa berbangga atas perjuangan pendahulu kita yang melewati
onak duri dan jalan yang berliku namun berakhir dengan kejayaan. Semoga Allah memberikan
balasan yang terbaik kepada pendahulu kita yang berjuang menyampaikan risalah Islam kepada
manusia. Dan pada akhirnya mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan dari penulisan ini.
Wallahu A’lam bish Shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Yatim MA, Drs Badri.1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers
Guillot Claud dkk..2008. Barus Seribu Tahun Yang Lalu. Jakarta: Gramedia
Hariwijaya, S.S,,M.Si,. 2007. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani
Islam Masuk ke Nusantara saat Rasulullah SAW masih hidup dalam www.kebunhikmah.com/article-
detail.php?artid=181
Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah, dalam http://www.sabili.or.id dan
http://www.eramuslim.or.id
Qur’an Riyadhul, Peradaban Islam di Indonesia dalam https://riyadhulquran.com/2015/11/peradaban-
islam-di-indonesia/ diakses pada tanggal 3 Februari 2021

Anda mungkin juga menyukai