Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA DINASTI BANI


UMAYYAH

DOSEN PENGAMPU

Dr. Patmawati, S.Ag., M.Pd

DISUSUN OLEH
Nama :
Shafiah
NIM:
12014008

PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB, DAN
DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan
Lagi Maha Penyayang, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga saya mampu
menyelesaikan penyusunan makalah pada mata perkuliahan Sejarah Peradaban Islam ini.

Penyusunan makalah sudah saya lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan


dari banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu saya pun
tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu saya
dalam rangka menyelesaikan makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, saya sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek
lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah
ini.

Akhirnya saya Shafiah, selaku penyusun, sangat berharap semoga dari makalah
yang sederhana ini bisa bermanfaat dan juga besar keinginan saya bisa menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada
makalah-makalah berikutnya.

Shafiah,

Pontianak, 27 Januari 2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bani Abbas mencapai masa keemasannya hanya pada periode pertama. Setelah itu
dinasti ini mulai menurun terutama di bidang politik. Ini disebabkan karena para penguasa
cenderung memilih untuk hidup mewah. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari
pendahulunya.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Ummayah. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari persoalan politik, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas
dari genggaman penguasa Abass.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang
politik. Kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
Dalam makalah ini permaslahan yang akan dibahas yaitu masa disintegrasi (1000-
1250 M) diantaranya membahas tentang dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari
Baghdad, perebutan dari kekuasaan di pusat pemerintahan Abbasiyah dan kondisi
perkembangan intelektual dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan masalah yang akan
kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa penyebab terjadinya disintegrasi?
2. Bagaimana perkembangan intelektual dalam Islam pada masa disintegrasi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masa Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh
menjadi terpisah-pisah.
Benih-benih disintegrasi mulai muncul pada saat penurunan tahta dari Harun ar-
Rasyid. Harun ar-Rasyid telah mewariskan tahta kekhalifahan pada putra tertuanya yaitu Al-
Amin dan pada putranya yang lebih muda yaitu Al-Ma’mun. Setelah wafatnya Harun ar-
Rasyid, Al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya
sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer
Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan
dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun
akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya dan megklaim khalifah pada tahun 813 H,
namun perang sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah
melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan
munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirikan oleh Thahir, dia adalah mantan gubernur
Khurasa dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu merebut
kekuasaan Al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji
jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan
kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya
pemerintahan dikuasi oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur barat.

B. Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad


Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani
Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan
pemerinatahan bani Abbas. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya
sampai masa keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu. Dengan pembayaran upeti. Alasanya,
pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran
mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara diantaranya
pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh
kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko.
Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukanya semakin bertambah
kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.
Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada
mulanya patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah
mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar
mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan,
bahkan diantara mereka ada yang berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal
abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin
yang memiliki kekuasaan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-
benar independen.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :
1. Yang berbangsa Persia :
a. Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b. Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
c. Samaniyah di Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d. Sajiyyah di Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)
e. Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)
2. Yang berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b. Ikhsyidiyahdi Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c. Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3. Yang berbangsa Kurdi
a. Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
b. Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)
c. Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)
4. Yang berbangsa Arab
a. Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)
b. Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
c. Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
5. Yang mengaku dirinya sebagai khalifah
a. Umawiyah di spanyol
b. Fathimiyah di mesir
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini,
sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah :
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit dilakukan.
2. Dengan profesionalitas angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keungan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran
sangat besar.

C. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan


Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-
pemerintahan Islam sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pemimpin
setelah ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan
dengan jiwa kerakyatan yang berkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi
dalam Islam. Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat diantara kaum Muhajirin
dan Anshar di balai kota bani Sa’idah di Madinah. Akan tetapi, karena pemahaman
keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu
dapat diselesaikan dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Usman dna mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan
secara zalim. Namun, dibalik alasan itu, menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah
yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia
berambisi besar untuk dapat menduduki kursi khalifah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu
asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat
menggantikan posisi Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khalifah itu pula,
Muawiyah, gubernur Damaskus, memberontak. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk
menjatuhkannya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama
juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan
Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Mukhtar.
Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama
di awal berdirinya. Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan
politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua,
pada periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah
kekuasaan bani Buwaih.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Ummayah memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz
ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah-tengah kota dengan nama Dar
al-Mamlakah. Dengan kekuatan militer Bani Ummayah, beberapa dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari Baghdad dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Jasa Bani
Buwaih juga terlihat dalam pembanguan kanal-kanal, masjid-masjid beberapa rumah sakit
dan sejumlah bangunan umum lainnya.
Kekuatan politik bani Buwaih tidak bertahan lama. Kekuasaan bani Buwaih akhirnya
jatuh ke tangan Saljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat
khalifah Abbasiyah. Dinasti Saljuk berasal dari kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah
Turkistan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Saljuk berkuasa, paling tidak
kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama dirampas orang-
orang Syi’ah.
Dinasti Saljuk diakui sebagai dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat ketika
itu. Diantara jasa-jasanya antara lain :
1. Memperluas masjid al-Haram dan masjid Nabawi
2. Pembangunan rumah sakit di Naisabur
3. Pembangunan gedung peneropong bintang
4. Pembangunan sarana pendidikan.
Di bawah pemerintahan Malik Syah kekuasaan Saljuk mencapai puncaknya, wilayah
kekuasaan terbentang luas dari Kasygar. Setelah kematian Malik Syah, sejumlah perang
antara putra-putranya ditambah berbagai kerusuhan telah melemakan otoritas Saljuk dan
mengakibatkan hancurnya pemerintahan.

D. Perang Salib
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp
Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan
tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj,
al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang
Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada
tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa
Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana.
Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat
Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama
Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa
Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara
Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh
kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan
tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I
dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea
dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka
juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin
III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib
melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.)
dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya
adalah Raymond.

2. Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali
Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M.
Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut
kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat
direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib
kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja
Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib
untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh
Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II
sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan
perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti
Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara
salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh
Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip
Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat
tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian
dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina.
Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan
Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan
bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.

3. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki
Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat
penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat,
sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum
muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam
perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun
1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika
Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat
direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang
berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam
terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara
Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah
di Baghdad.

E. Sebab-sebab Kemunduran Bani Abbasiyah


Keruntuhan bani Abbasiyah banyak disebabkan oleh kelemahan dari kalangan mereka
sendiri, antara lain kekurang percayaan khalifah terhadap warga negara menjadi tentara
seperti dari Turki, hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijaksanaan
khalifah, akan tetapi bahkan perkembangan selanjutnya orang Turki dapat menguasai
jabatan-jabatan pemerintahan di Baghdad, kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah.
Pada abad ke-13 tenaga intelektual dan hasil-hasil yang tiada taranya itu dihancurkan
oleh bangsa Mongol pada waktu mereka menguasai Baghdad dan para penduduk banyak
yang dibunuh.
Beberapa faktor lain yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah :
1. Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Ummayah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Budak-budak bangsa Turki
dan Persia dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji.
Oleh Bani Abbas mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah
mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Kekuasaan berada di tangan orang-
orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode
ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2. Kemerosotan ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersama
kemunduran di bidang politik. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat, diperingankannya pajak dan banyak dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi bayar upeti. Sedangkan, pengeluaran membengkak
antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis
pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
3. Konflik keagamaan
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik anatara muslim dan
zindiq atau ahlus sunnah dengan syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf.
Aliran mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Dengan didukung
penguasa aliran asy’ariyah tumbuh subur dan berjaya.
4. Ancaman dari luar
Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kahlifah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode yang
menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam
sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang
setelah Paus Urbanus II.

F. Perkembangan Intelektual dalam Masa Disintegrasi


Pada masa disintegrasi yang dimulai dengan berdirinya dinasti Thahiriyah,
perkembangan intelektual mengalami perkembangan yang cukup berarti. Ini terbukti dengan
munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya, baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu
filsafat dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
1. Ilmu Sastra
Muncul tokoh-tokoh seperti :
a. Abdul ‘Alla al-Ma’arry, seorang penyair filosuf.
b. Pujangga Proza Shabi, bekerja dibeberapa administrasi pemerintah.
c. Shahib Ibnu Ubbad, pujangga yang pernah menjabat materi di masa Fakhrud Daulah.
Dia terkenal seorang syi’ah yang sangat fanatik.
d. Ulama penyair, Abu Bakar Khuwarizmi
e. Penyair pengarang Badie’uz Zaman Hamdani
f. Pengarang penyair Ibnu ‘Amied.
2. Ilmu Filsafat dan Kedokteran
Muncul tokoh-tokoh seperti :
a. Muhammad ibn Zakaria ar-Razi, seorang filosofi dari kedokteran yang terkenal.
b. Ali ibn Abbas al-Majusi, dokter pribadi dari ‘Adhudud Daulah dan sekaligus
pengarang dari buku “Kamil as-Shina’at”.
3. Hukum dan Politik
Tokohnya dalam bidang ini adalah Imam Mawardi, seorang pengarang ilmu politik yang
sangat aktif, penulis dari “Al-Ahkam as-Sulthaniyah” tentang hukum pemerintah.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa disintegrasi merupakan suatu keadaan yang
terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Disintergasi muncul akibat
adanya perpecaan dalam pemerintah Bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak akhir
pemerintahan Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat
putranya yaitu Al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah
persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.
Tapi walaupun begitu perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan
perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada
bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam
bidang hukum dan politik.

DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah
Islamiyah II). Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1998.

Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2012.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.
Diza Dinazad, Masa Disintegrasi, dalam http://dizadinazad.blogspot.com/2015/05/masa-
disintegrasi.html, diakses pada tanggal 27 Januari 2021.

Anda mungkin juga menyukai