DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH
Nama :
Shafiah
NIM:
12014008
PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB, DAN
DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PONTIANAK 2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan
Lagi Maha Penyayang, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga saya mampu
menyelesaikan penyusunan makalah pada mata perkuliahan Sejarah Peradaban Islam ini.
Tetapi tidak lepas dari semua itu, saya sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek
lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi para
pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan makalah
ini.
Akhirnya saya Shafiah, selaku penyusun, sangat berharap semoga dari makalah
yang sederhana ini bisa bermanfaat dan juga besar keinginan saya bisa menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada
makalah-makalah berikutnya.
Shafiah,
A. Latar Belakang
Bani Abbas mencapai masa keemasannya hanya pada periode pertama. Setelah itu
dinasti ini mulai menurun terutama di bidang politik. Ini disebabkan karena para penguasa
cenderung memilih untuk hidup mewah. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari
pendahulunya.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Ummayah. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari persoalan politik, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas
dari genggaman penguasa Abass.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang
politik. Kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
Dalam makalah ini permaslahan yang akan dibahas yaitu masa disintegrasi (1000-
1250 M) diantaranya membahas tentang dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari
Baghdad, perebutan dari kekuasaan di pusat pemerintahan Abbasiyah dan kondisi
perkembangan intelektual dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan masalah yang akan
kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa penyebab terjadinya disintegrasi?
2. Bagaimana perkembangan intelektual dalam Islam pada masa disintegrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh
menjadi terpisah-pisah.
Benih-benih disintegrasi mulai muncul pada saat penurunan tahta dari Harun ar-
Rasyid. Harun ar-Rasyid telah mewariskan tahta kekhalifahan pada putra tertuanya yaitu Al-
Amin dan pada putranya yang lebih muda yaitu Al-Ma’mun. Setelah wafatnya Harun ar-
Rasyid, Al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya
sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer
Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan
dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun
akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya dan megklaim khalifah pada tahun 813 H,
namun perang sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah
melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan
munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirikan oleh Thahir, dia adalah mantan gubernur
Khurasa dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu merebut
kekuasaan Al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji
jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan
kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya
pemerintahan dikuasi oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur barat.
D. Perang Salib
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp
Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan
tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj,
al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang
Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada
tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa
Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana.
Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat
Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama
Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa
Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara
Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh
kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan
tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I
dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea
dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka
juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin
III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib
melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.)
dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya
adalah Raymond.
2. Periode Kedua
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali
Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M.
Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut
kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat
direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib
kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja
Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib
untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh
Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II
sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan
perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti
Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara
salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh
Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip
Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat
tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian
dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina.
Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan
Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan
bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki
Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat
penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat,
sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum
muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam
perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun
1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika
Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat
direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang
berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam
terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara
Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah
di Baghdad.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa disintegrasi merupakan suatu keadaan yang
terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Disintergasi muncul akibat
adanya perpecaan dalam pemerintah Bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak akhir
pemerintahan Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat
putranya yaitu Al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah
persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.
Tapi walaupun begitu perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan
perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada
bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam
bidang hukum dan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah
Islamiyah II). Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1998.
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra. 2012.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.
Diza Dinazad, Masa Disintegrasi, dalam http://dizadinazad.blogspot.com/2015/05/masa-
disintegrasi.html, diakses pada tanggal 27 Januari 2021.