Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah dapat dibagi menjadi tiga periode yaitu;
1. Periode keemasan ( 750 – 950 M),

2. Periode disintegrasi (950 – 1050 M)


3. Periode kemunduran dan kehancuran ( 1050 – 1258 M).
Periode masa keemasan Bani Abbas hanya terjadi pada periode pertama. Setelah itu
dinasti ini mulai menurun terutama di bidang politik. Semua itu disebabkan umat Islam tidak
mengamalkan syariat Islam dengan sepenuhnya tetapi mereka hanya mengikut kepentingan
pribadi semata.
Akhirnya dengan tidak amanahnya penguasa saat itu dan tidak berpegang teguh pada
ajaran Islam. Maka munculah disintegrasi dan munculnya dinasti-dinasti baru dalam sejarah
peradaban Islam.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Ummayah. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari persoalan politik, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas
dari genggaman penguasa dinasti Abassiyah.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbasiyah menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah dan kondisi ekonomi yang buruk juga
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
Dalam makalah ini permasalahan yang akan dibahas yaitu masa disintegrasi dan
munculnya dinasti-dinasti baru pada masa dinasti Abbasiyah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses kelahiran Dinasti-dinasti baru pada masa Khilafah Bani Abbas ?
2. Bagaimanakah sejarah, silsilah para raja, kemajuan yang dicapai, serta kemunduran dan
kehancuran dinasti-dinasti tersebut ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses kelahiran Dinasti-dinasti baru pada masa Khilafah Bani Abbas
2. Untuk mengetahui sejarah, silsilah para raja, kemajuan yang dicapai, serta kemunduran dan
kehancuran Dinasti-dinasti baru pada masa Khilafah Bani Abbas
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Kelahiran Dinasti-Dinasti Baru Pada Masa Khilafah Bani Abbas


Disintegrasi adalah suatu keadaan yang terpecah dari kesatuan yang utuh menjadi
terpisah-pisah. Sedangkan menurut Wikipedia disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu
padu yang menghilangnya keutuhan atau persatuan serta menyebabkan perpecahan. 1 Dalam
makna ini disintegrasi dapat diartikan sebagai sebuah proses terjadinya perpecahan suku,
golongan maupun komunitas yang menjadi bagian-bagian kecil dan terpisah dari induknya.
Semenjak pemerintahan Harun ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194 H). Dikatakan pada
saat itu terjadinya masa keemasan bani Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-
benih disintegrasi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-rasyid telah mewariskan
tahta kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H) dan kepada
puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur
Khurasan.
Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-
amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Ma’mun harus berusaha
memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang
Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya al-Amin dan
mengklaim khalifah pada tahun 813 H. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya
melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi
lainnya.
Pada masa kekhalifaan al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M) juga terjadi disintegrasi
yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirakan oleh Thahir, dia adalah
mantan guberner Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena
membantu merebut kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada
Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya
untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai

1
Definisi 'disintegrasi'". Wikipedia Bahasa Indonesia” (https://id.wikipedia.org/wiki/Disintegrasi). Diakses tanggal
18 April 2019 | Pkl 20:53
gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa
gubernur besar.2
Sejarah mencatat lahirnya dinasti-dinasti baru pada masa Khilafah Bani Abbas terjadi
akibat lemahnya pemerintah pusat dalam mengatur dan mengendalikan negara. Masa
kemunduran terjadi sejak periode kedua. Namun demikian faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat
berkembang. Dalam sejarah kekuasaan bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para
menteri cederung berperang sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka
akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Sehingga terjadi ketidakpuasan serta sikap kecewa yang dialami oleh sebagian
kalangan elit politik setingkat Gubernur yang memiliki pengaruh kuat di wilayahnya
melakukan berbagai macam pemberontakan kepada pemerintah pusat.
Selain itu, juga akibat terjadinya proses perebutan kekuasaan yang tidak sehat.
Sehingga yang terjadi perpecahan di dalam pihak negara sendiri. Karena ketidak stabilan
dalam Istana membuat negara saat itu kehilangan wibawa dan pengaruhnya sehingga dari
situ muncullah berbagai gerakan yang akhirnya berusaha memisahkan diri dari negara.
Dan munculnya fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyyah (kebangsaan).
Gerakan ini yang kemudian banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik,
disamping persoalan-persoalan keagamaan. Tetapi khalifah saat itu tidak menyadari akan
bahayanya politik dari fanatisme kebangsaan, sehingga dengan berbagai problem yang
melanda negara serta semangat akan kebangsaan atau golongan masing-masing tinggi
akhirnya munculah dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekhalifahan Islam yang
kemudian disebut dengan dinasti-dinasti kecil.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor penting yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbas sehingga banyak munculnya dinasti-dinasti kecil di
Baghdad, adalah :
1) Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.

2
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011), hal. 112.
2) Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3) Penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
daripada politik dan ekspansi.
B. Silsilah Para Raja Dinasti-Dinasti Baru Pada Masa Khilafah Bani Abbas
a. Berikut dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan bani Abbas di
bagian timur kota Baghdad :
1. Dinasti Thahiriyah (200 H-259 H / 820 M-872 M)
Pendiri Dinasti Thahiriyah adalah Thahir ibnu al-Husain (776 s.d 822 M).
Wilayah kekuasaannya di sekitar Khurasan, termasuk Transoxania, dengan ibukota di
Merv.Sejarah pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perselisihan antara
alAmin dan al-Makmun, keduanya adalah putra Harun al-Rasyid. Dalam perselisihan
tersebut, Thahir yang dikenal sebagai ahli perang, berada di pihak al-Makmun.Ketika
peperangan melawan al-Amin ini pasukan yang dipimpin oleh Thahir mengalami
kemenangan, sehingga al-Makmun dikukuhkan menjadi khalifah Abbasiyah.
Dengan kemenangan tersebut Thahir mendapat jabatan menjadi gubernur di
kawasan timur Baghdad. Jabatan ini dipegangnya selama dua tahun. Pada tahun 207
H Thahir meninggal dengan tiba-tiba karena penyakit demam yang dideritanya. Ada
pula yang menyebutkan bahwa ia meninggal karena keracunan. Sebelum meninggal,
ia sudah mulai menghapus nama al-Makmun (khalifah) dalam khutbah-khutbah
jumat, ini berarti bahwa kekuasaan Thahir ini lepas dari Abbasiyah, walaupun
kenyataannya tidak melepaskan diri secara total.
Kepemimpinan Thahir kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama
Thalhah bin Thahir (w.213H/828 M). Thalhah berupaya meningkatkan hubungan
kerja sama dengan pemerintahan pusat. Ini artinya bahwa Dinasti Thahiriyah pada
realitasnya masih memiliki hubungan baik dengan pemerintahan pusat Bani
Abbasiyah. Pengganti Thalhah adalah Abdullah bin Thahir, ia adalah saudara Thalhah
sendiri. Pengangkatan khalifah yang ketiga kalinya ini menunjukkan betapa kuatnya
dominasi keluarga Thahir dalam pemerintahan, sehingga kekuasaannya diserahkan
secara turun-temurun.
Kemajuan yang Dicapai
Kemajuan Dinasti Thahiriyah terjadi pada masa kepemimpinan Abdullah ibnu
Thahir, yaitu khalifah ketiga dinasti ini. Ia adalah penguasa yang memiliki pengaruh
yang besar. Pengaruh besar itu tampak pada upaya-upaya yang dilakukannya, antara
lain meningkatkan kerja sama dengan pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah,
terutama dalam kaitannya dengan upaya meredam para pemberontak, juga
melaksanakan perjanjian dengan baik, memberikan hak-hak Bani Abbas sebagai
keluarga penguasa, memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan keamanan,
dan meningkatkan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak. Abdullah
ibnu Thahir juga berhasil menjadikan kota Nishapur menjadi pusat peradaban Islam
yang patut diperhitungkan.
Kemunduran dan Kehancuran
Pasca pemerintahan Abdullah ibnu Thahir, kekuasaan Dinasti Thahiriyah mulai
mengalami penurunan. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muhammad bin Jabir,
wilayah Khurasan mengalami kemunduran yang nampak jelas, dan bersamaan itu
pula muncul sebuah kekuatan baru dari Dinasti Shaffar di wilayah Sijistan, dan
selanjutnya wilayah Khurasan pun dapat dikuasai oleh Dinasti Shaffariyah. Dan
dengan jatuhnya kekuasaan Thahiriyah yang ada di Wilayah Khurasan ini maka
berakhir pula pemerintahan Dinasti Thahiriyah.3
2. Dinasti Samaniyah (203 H/819 M-395 H/1005 M)
Wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah meliputi daerah Khurasan (Irak) dan
Transoxania (Uzbekistan) yang terletak di sebelah timur Bagdad. Ibu kotanya adalah
Bukhara. Dinasti Samaniyah didirikan oleh Ahmad bin Asad bin Samankhudat,
keturunan seorang bangsawan Balkh (Afganistan Utara).4
Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara
berurutan,yaitu;

1. Ahmad I ibn Asad ibn Saman (Gubernur Farghana) 204 H/819 M


2. Nash I ibn Ahmad, (semula Gubernur Samarkand) 250 H/864 M
3. Ismail I ibn Ahmad 279 H/892 M
4. Ahmad II ibn Ismail 295 H/907 M

3
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011),h.173-174
4
Abdul Salam, Sains dan Dunia Islam. (Bandung: Perpustakaan Islam ITB, 1983), h. 230.
5. Al-Amir as-Sa’id Nashr II 301 H/914 M
6. Al-Amir al-Hamid Nuh I 331 H/943 M
7. Al-Amir al-Mu’ayyad Abdul Malik I 343 H/954 M
8. Al-amir as-Sadid Manshur I 350 H/961 M
9. Al-Amir ar-Ridha Nuh II 365 H/976 M
10. Mansur II 387 H/997 M
11. Abdul Malik II 389 H/999 M
12. Ismail II Al-Muntashir 390-395H/1000-1005 M
Kemajuan-kemajuan yang dicapai
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail.
Kemajuan yang dicapai pada masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti
Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas wilayahnya hingga Tabaristan,
Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri terjamin.5
Dinasti ini memiliki peran yang cukup berarti bagi perkembangan Islam, baik
dari aspek politik maupun aspek kebudayaan. Dalam aspek politik, misalnya mereka
telah mampu memelihara tempat atau pusat yang strategis bagi daulat Islam di timur,
mengembangkan kekuasaan Islam sampai ke wilayah Turki. Sedangkan dalam aspek
kebudayaan, misalnya di istana Dinasti Samaniyyah di Bukhara ini menjadi tempat
menetapnya para ulama serta merupakan kiblatnya para pujangga.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti
yang digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka
perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat memuncak di tangan daulat
Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu itu.
Tokoh atau pelopor yang sangat berpengaruh dibidang filsafat dan ilmu pengetahuan
pada dinasti ini adalah Ibn Sina, selain beliau juga muncul para pujangga dan
ilmuwan dibidang kedokteran, astronomi dan filsafat yang sangat terkenal, seperti
Al-Firdausi, Ummar Kayam, Al-Bairuni dan Zakariya Ar- Razi.6 Dinasti ini juga
telah berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik, sehingga kehidupan

5
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 105
6
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h.151
masyarakatnya sangat tentram, hal terjadi karena dinasti ini tidak pernah lepas
hubungan dengan pemerintah pusat di Baghdad.
Masa-masa Kemunduran
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibnu Ismail,
anak dari Ismail. Belum lama memerintah lalu ia terbunuh, dan digantikan oleh
putranya Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para tokoh Samani merasa
khawatir, sementara itu masih ada paman bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad,
penguasa Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania. Lalu tokoh
Samani menyampaikan permohonan kepada khalifah al-Muktadir, agar didatangkan
pemerintahan dari Khurasan, tetapi khalifah bersikeras menolaknya.
Pada pertengahan abad kesepuluh, terlihat Dinasti Samaniyyah menunjukkan
tanda-tanda ketidakstabilan. Serangkaian revolusi istana memperlihatkan bahwa
kelas militer dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan sentralisasi administratif
para amir, dan berupaya memegang kendali, pemberontakan-pemberontakan di
Khurasan melepaskan provinsi itu dari otoritas langsung Bukhara. Maka tidaklah
sulit bagi Qarakhaniyyah dan Ghazwaniyah untuk mengambil alih wilayah-wilayah
Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini. Dan pada tahun 1005 M Ismail al-
Muntasir terbunuh dalam pelariannya.7
3. Dinasti Safariyah (253 H/867 M-900 H/1495 M)
Dinasti shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yng paling lama berkuasa
di dunia Islam.Pendiri dinasti ini adalah Ya’qub ibnu al-Lais al-Shaffar. Nama
Shaffariyah sendiri diambil dari nama pekerjaan pendirinya, Ya’qub ibnu al-Lais,
yaitu sebagai tukang barang-barang kuningan/tembaga. Sejak kecil ia tekuni
pekerjaan ini di perusahaan ayahnya. Dan sejak ayahnya meninggal dunia dan
perusahaan itu dikelola oleh dia dan adiknya, Amr ibnu al-Lais, perusahaan ini
semakin merosot. Karena itulah, kemudian ia dan adiknya masuk ke dalam kelompok
penyamun. Sekalipun Ya’qub adalah seorang penyamun, tetapi ia dermawan, ia
gemar membantu orang-orang yang tertindas, dan merampok hanya pada orang-orang
hartawan yang hidup dari hasil pemerasan juga. Sedangkan orang-orang yang
dianggap baik tidak diganggunya. Lambat laun kelompoknya menjadi pasukan yang

7
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011),h.183-184
besar, teratur dan mempunyai disiplin tinggi, yang semakin hari semakin
mengharumkan namanya
Ketika Ya’qub sudah mulai kuat, pada tahun 253 H/867 M, ia memulai
gerakannya. Ia melakukan perluasan wilayah ke Sijistan dan Punjab dan pada tahun
yang sama ia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa. Pada tahun itu pula ia
dapat merebut benteng Herat bagian utara, perbatasan wilayah Khurasan. Ia
meneruskan untuk menguasai wilayah Makran (Balukhistan) dan wilayah Fars.
Benteng Kirman telah dikuasai sebelum penaklukan wilayah tersebut. Wilayah
kekuasaan dinasti Safariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran.
Kemajuan yang Dicapai
Dinasti Safariyah di bawah kepemimpinan Amr bin Lais berhasil melebarkan
wilayah kekuasaannya sampai ke Afganistan Timur. Pada masa itulah kekuasaan
dinasti Safariyah mencapai puncakknya.
Kemunduran dan Kehancuran
Dengan meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di tangan
Amr, ia menerima kekuasaan atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena
sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia
pun akhirnya diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap
berusaha memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang saat
itu secara formal berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi
sesungguhnya yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini lebih kuat dari
pada Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu Ahmad
dari Bani Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap. Akhirnya semua hasil
penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam
kekuasaannya. Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya
kurang mendapatkan perhatian oleh para sejarawan. Ketiga penerus itu adalah Thahir
ibnu Muhammad (900-909 M), al-His ibnu Ali (909-910 M), dan al-Mua’addil ibnu
Ali (910911 M). Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan
dalam pemerintahan.Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti
Shaffariyah.Setelah penguasa terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia,
berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di Sijistan.8
4. Dinasti Buwaihi (333 H/945 M-447 H/1005 M)
Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi meliputi Irak dan Iran. Dinasti ini
dibangun oleh tiga bersaudara, yaitu Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi, dan
Ahmad bin Buwaihi. Perjalanan dinasti Buwaihi dapat dibagi dalam dua periode.
Periode pertama merupakan periode pertumbuhan dan konsolidasi, sedangkan
periode kedua adalah periode defensif, khususnya di wilayah Irak dan Iran Tengah.
Dinasti Buwaihi mengalami perkembangan pesat ketika Dinasti Abbasiyah di
Bagdad mulai melemah. Dinasti Buwaihi mengalami kemunduran dengan adanya
pengaruh Tugril Beg dari Dinasti Saljuk. Peninggalan dinasti ini antara lain berupa
observatorium di Bagdad dan sejumlah perpustakaan di Syiraz, Al-Rayy, dan Isfahan
(Iran).9
Selama periode Buwaihi, tercatat beberapa Amirul Umara yang memerintah di
Baghdad, yaitu :
1. Mu’iz ad-Daulah tahun 945 M
2. ‘Izz ad-Daulah Bakhtiyar tahun 967 M
3. Adud ad-Daulah tahun 978 M
4. Samsan Ad-Daulah tahun 983 M
5. Sharaf Ad-Daulah tahun 987 M
6. Baha ad-Daulah tahun 989 M
7. Sulthan ad-Daulah tahun 1012 M
8. Musharif ad-Daulah tahun 1020 M
9. Jajal Ad-Daulah tahun 1025 M
10. Imaduddin Abu Kalijar tahun 1044 M
11. Al-Malik ar-Rahim tahun 1045-1055 M
5. Dinasti Saljuk (469 H/1077 M-705 H/1307)
Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku
bangsa Guzz dari Turki yang menguasai Asia barat daya pada abad ke-11 dan

8
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 276
9
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 277.
akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah,
Palestina, dan sebagian besar Iran. Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas
menandai awal kekuasaan suku bangsa Turki di kawasan Timur Tengah hingga abad
ke-13.
Dinasti Saljuk dibagi menjadi lima cabang, yaitu Saljuk Iran,Saljuk Irak, Saljuk
Kirman, Saljuk Asia Kecil dan Saljuk Suriah. Dinasti Saljuk didirikan oleh Saljuk bin
Duqaq dari suku bangsa Guzz. Akan tetapi, tokoh yang dipandang sebagai pendiri
Dinasti Saljuk yang sebenarnya adalah Tugril Beq. Ia berhasil memperluas wilayah
kekuasaan dinasti berhasil memperluas wilayah kekuasaan dinasti Saljuk dan
mendapat pengakuan dariDinasti Abbasiyah. Dinasti Saljuk melemah setelah para
pemimpinnya meninggal atau ditaklukkan oleh bangsa lain.10
Berikut dapat dilihat nama-nama para pemimpin Dinasti Saljuk sesuai dengan
bagian wilayah tertorialnya :
1. Ruknud dunya wad-din Tughril I ( 429/1038 ) wilayah Saljuk Raya
2. ‘adud ad-daulah Alb Arslan 455/1063
3. Jalal ad-Daulah Malik Syah I 465/1072
4. Nashiruddin Mahmud I 485/1092
5. Ruknuddin Berkiyaruq 487/1094
6. Mu’izuddin Malik Syah II 498/1105
7. Ghiyatsuddin Muhammad I 498/1105
8. Mu’izuddin Sanjar 511-552 / 1118-1157 ( wilayah Persia Timur ) Setelah
511/1118 Sultan Agung keluarga Saljuk
9. Mughitsuddin Mahmud II 511/1118 ( wilayah Iraq dan Persia Barat)
10. Ghiyatsuddin Daud 525/1134
11. Ruknuddin Tughril II 526/1132
12. Ghiyatsuddin Mas’ud 529/1134
13. Mu’inuddin Malik Syah III 547/1152
14. Ruknuddin Muhammad II 548/1153
15. Ghiyatsuddin Sulaiman Syah 555/1160
16. Mu’izuddin Arslan 556/1161

10
Ibid., h. 278.
17. Ruknuddin Tughril III (Khawarazm Syah) 571-590 / 1176-1194
18. Taj Ad-Daulah Tutusy 471/1078 (wilayah Saljuk Syiria)
19. Ridwan 488-507/1078-1104 ( wilayah Aleppo)
20. Duqaq ( wilayah Damaskus ) Kemudian digantikan oleh Atabeg Tughtigin
21. Alp Arslan al-Akhras 507/1113 ( wilayah Aleppo )
22. Sultan Syah 508/511 Aleppo
23. Imaduddin Qawurd 433/1041 ( wilayah Saljuk Kirman)
24. Kirman Syah 465/1073
25. Husayn 467/1074
26. Ruknud daulah Sultan Syah 467/1074
27. Muhyiddin Turan Syah 477/1085
28. Baha’uddin Iran Syah 490/1097
29. Muhyiddin Arslan Syah I 495/1101
30. Mughitsuddin Muhammad I 537/1142
31. Muhyiddin Tughril Syah 551/1156
32. Bahram Syah 565/1170
33. Arslan Syah II 570/1175
34. Turan Syah II 572/1176
35. Muhammad II 579/1183
36. Sulaiman bin Qultumisy 470/1077 Saljuk Rum
37. Era peralihan pemerintahan 479/1086
38. Qilich Arselan 485/1092
39. Malik Syah 500/1107
40. Ruknuddin Mas’ud I 510/1116
41. Izuddin Qillich Arslan II 551/1156
42. Ghiyatsuddin Kay-Khuzraw I 588/1192 (Memerintah I)
43. Ruknuddin Sulaiman II 592/1196
44. Izuddin Qillich Arslan III 600/1204
45. Ghiyatsuddin Kay-Khuzraw I 601/1204 (Memerintah yang ke-2)
46. Izzuddin Kay Ka’us I 607/1210
47. Alauddin Kay Kubadh I 616/1219
48. Ghiyatsuddin Kay-Khuzraw II 634/1237
49. Izzuddin Kay Ka’us II 644/1246
50. Kay Kaus II & Ruknuddin Qillich Arslan IV 646/1248 Dua bersaudara
51. Kay Kaus II & Ruknuddin Qillich Arslan IV & Kay Qubad II 647/1249 (3
bersaudara bergabung)
52. Qilich Arslan IV 655/1257
53. Ghiyatsuddin Kay-Khuzraw III 663/1265
54. Ghiyatsuddin Mas’ud II 681/1282 (Memerintah I )
55. Alauddin Kay Qubadh 683/1284
56. Mas’ud II 683/1284 ( Memerintah II )
57. Kay Qubadh III 692/1293 ( Memerintah II )
58. Mas’ud II 693/1294 ( Memerintah III )
59. Kay Qubadh III 700/1301 Memerintah III
60. Mas’ud II 702/1303 Memerintah IV
61. Kay Qubadh III 704/1305 Memerintah IV
62. Ghiyatsuddin Mas’ud III 707/1307
b. Berikut Dinasti-Dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan Dinasti Bani
Abbas dibagian barat kota Bagdad :
1. Dinasti Idrisiyah (171 H/789 M-314 H/926 M)
Wilayah kekuasaan dinasti Idrisiyah adalah Magribi (Maroko). Dinasti ini
didirikan oleh Idris I bin Abdullah, cucu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan merupakan
Dinasti pertama yang beraliran Syi’ah, terutama di Maroko dan Afrika Utara. Sultan
Idrisiyah yang terbesar adalah Yahya IV (292 H/905 M-309 H/922 M) yang berhasil
merestorasi Volubilis, kota Romawi menjadi kota Fez. Dinasti Idrisiyah berperan
dalam menyebarkan budaya dan agama Islam ke bangsa Barbar dan penduduk asli.
Kemajuan Yang Dicapai
Dalam perkembangannya dinasti ini sempat mengukir peradaban yang maju di
masanya. Idris ibnu Abdullah memilih Maroko sebagai basis kekuatannya dengan
beberapa alasan. Pertama, Bangsa Barbar di Maroko menerima kehadirannya dengan
tangan terbuka. Kedua, Maroko cukup kondusif untuk mendirikan kekuasaan yang
otonom. Dinasti ini runtuh setelah ditakludkan oleh dinasti Fatimiyah pada tahun 374
H/985 M. Dinasti Idrisiyah antara lain meninggalkan Masjid Karawiyyin dan Masjid
Andalusia yang didirikan pada 244 H/859 M.11 Dan peradaban luar biasa yang diukir
oleh dinasti ini adalah pendirian Universitas Qarawiyyun yang megah dan terkenal.12
Kemunduran dan Kehancuran
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Idrisiyah terjadi ketika dinasti ini dipimpin
oleh Muhammad al-Muntashir, beberapa wilayah kekuasaan dinasti ini mengalami
perpecahan sehingga sangat rentan akan serangan dari luar. Selain itu juga terdapat
ancaman serius yang datang dari kelompok khawarij Rustamiyah yang berkuasa di
Aljazair bagian barat meskipun pada akhirnya dapat dikalahkan. Dan bahaya yang lain
adalah ancaman dari dinasti baru yang lebih besar yaitu Dinasti Fathimiyah. Akhirnya
pada tahun 985 M Dinasti Fathimiyah berhasil mengambil alih kekuasaan akibat
semakin melemahnya kekuatan dinasti Idrisiyah.13
2. Dinasti Aghlabiyah (184 H/800 M-296 H/909 M)
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim ibn al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun
itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun al-Rasyid sebagai
imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom
yang besar.
Dinasti Aglabiyah berkuasa kurang lebih satu abad, mulai dari tahun 800-909 M.
Nama Dinasti Aglabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim
bin al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah. Pada tahun
800 M. Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun
ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah
seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh
Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk
menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini
dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Bagdad, sehingga
Aglabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.
Para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai
berikut :

11
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 300.
12
Andi Syahraeni, “Dinasti dinasti Kecil Bani Abbasiyah”, (Jurnal Rihlah Vol. IV , nomor 1/2016), h, 95
13
Andi Syahraeni, “Dinasti dinasti Kecil Bani Abbasiyah”, (Jurnal Rihlah Vol. IV , nomor 1/2016), h, 96
1. Ibrahim I ibn al-Aghlab (800-812 M)
2. Abdullah I (8l2-817 M)
3. Ziyadatullah (817-838 M)
4. Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M)
5. Muhammad I(841-856 M)
6. Ahmad (856-863 M)
7. Ziyadatullah II (863- M)
8. Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M)
9. Ibrahim II (875-902 M)
10. Abdullah II (902-903 M)
11. Ziyadatullah III (903-909 M)

Kemajuan yang Dicapai

Terdapat beberapa kemajuan yang dicapai Dinasti Aghlabiyah yang mampu


memberikan kontribusi kepada peradaban Islam. Kemajuan tersebut meliputi:

1) Kemajuan di bidang Politik


Salah satu kemajuan Dinasti Aghlabiyah yang terkenal adalah kemajuan dan
ketangguhan militernya. Armada laut dinasti ini mampu menjelajah pulau-pulau di
laut tengah dan pantai-pantai Eropa. Dinasti yang semula hanya memilki wilayah
kegubernuran telah mencuat kekuasaannya hingga ke Eropa, Sisilia, pulau-pulau
yang berdekatan dengan Tunisia, kota-kota Pantai Italia dan kota Roma serta
Pantai Yugoslavia. Kesuksesan yang diraih dinasti ini dalam menaklukkan
berbagai wilayah tersebut, di antaranya adalah semangat egalitarianisme, dengan
tidak membeda-bedakan antara orang Arab dengan orang Barbar.14
Di samping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah semangat jihadnya
untuk mengembangkan Islam. Hal ini terbukti dengan adanya kebijakan
Ziadatullah I yang menunjuk seorang faqih mazhab Maliki yang juga penyusun
kitab Asadiyat, sebagai komandan perang. Ulama besar yang berpengaruh ini
kemudian mengumandangkan jihad melawan orang-orang kafir. Semangat

14
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 161
pasukan Islam dalam jihad ini sangatlah tinggi dikarenakan pimpinan mereka
adalah orang yang alim dalam beragama.
2) Kemajuan di bidang Kebudayaan
Kesetabilan bidang ekonomi dan iklim politik yang kondusif
menyebabkandinasti Aghlabiyah mampu membangun beberapa kota menjadi kota
yang megah, di antaranya adalah kota Tunisia dan Sisilia, selain itu guna
mengimbangi masjid-masjid di timur dibangunlah masjid Qairawan yang megah.
Pada masa pemerintahan Ziadatullah dibangun 10.000 benteng pertahanan di
Afrika Utara dengan konstruksi dan arsitektur yang megah pula. Kota Sisilia yang
dikuasai Dinasti Aghlabiyah ini merupakan wilayah transformasi ilmu dan
kebudayaan Arab dan Islam ke wilayah Eropa lewat jalur tengah.
3) Kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan
Dinasti Aghlabiyah juga mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
Hal ini dibuktikan dengan keberadaan kota Qairawan, sebagai pusat penting bagi
perkembangan mazhab Maliki yang menggantikan kota Madinah.15
Di kota ini pula lahir sejumlah intelektual Islam terkemuka mazhab Maliki, di
antaranya adalah Sahnun pengarang kitab Mudawwanat, Yusuf ibnu Yahya, Abu
Zakaria al-Kinani dan Isa ibnu Muslim. Karya-karya mereka tentang mazhab
Maliki tersimpan dengan baik di masjid Qairawan. Meskipun dinasti ini bukan
termasuk dinasti yang besar, akan tetapi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
agama serta kontribusinya terhadap peradaban Islam tampak nyata.
4) Kemajuan di bidang Perekonomian
Di bidang ekonomi, pemerintahan Dinasti Aghlabiyah mendapatkan
pemasukan dari beberapa sektor, yaitu sektor pertanian, perdagangan, dan
industri.Dinasti ini membangun bendungan untuk irigasi, dan juga
mengembangkan perkebunan anggur dan kurma. Sementara itu untuk memajukan
bidang perdagangan, dibangunlah jalan-jalan dan angkutan serta lalu lintas
perdagangan. Untuk mengembangkan sektor industri, Bani Aghlabiyah mendirikan
manufaktur alat-alat pertanian, pengolahan emas, perak, dan lain-lain.Kemajuan

15
Andi Syahraeni, “Dinasti dinasti Kecil Bani Abbasiyah”, (Jurnal Rihlah Vol. IV , nomor 1/2016), h, 97-98
ekonomi ini menjadikan pemerintahan Dinasti Aghlabiyah dengan segenap
penduduknya hidup dengan relatif makmur.
Kemunduran dan Kehancuran
Setelah Bani Aghlabiyah berkuasa selama satu setengah abad, badai kehancuran
mulai mengancam, lambat laun dinasti ini mengalami tangga penurunan tepatnya pada
abad ke-IX. Kemunduran ini terjadi di bidang politik, yang disebabkan oleh gencarnya
propaganda orang-orang Syi’ah yang dimotori Abu Abdullah al-Syi’i atas perintah
Ubaidillah al-Mahdi, pendiri dinasti Fathimiyah. Kuatnya pasukan yang dibentuk
kelompok Syi’ah dari sekte Ismailiah ini kemudian mampu menggulingkan Dinasti
Aghlabiyah pada tahun 909 M, yang pada saat itu diperintah oleh Ziadatullah II, dan
sekaligus menandai berdirinya dinasti baru dan terkenal bernama Dinasti Fathimiah.
Artinya, Dinasti Aghlabiyah juga berakhir di tangan Dinasti Fathimiyah. 16
3. Dinasti Thuluniyah di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M)
Awal berdirinya dinasti ini tidak bisa dilepaskan dari seorang tawanan perang
Turki yang kemudian dijadikan sebagai pengawal istana al-Musta’in, namanya
Bayakbek. Pada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh al-Mu’tazz,
Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’tazz dan meninggalkan al-
Musta’in.Setelah penggulingan berhasil, ternyata al-Mu’tazz memberikan jabatan
penting bagi mereka yang telah berjasa dalam penggulingan tersebut. Bayakbek adalah
salah satu orang yang berjasa, sehingga ia menerima jabatan penting tersebut yakni
menjadi gubernur Mesir. Oleh Bayakbek jabatan itu tidak dipegangnya tetapi
diberikan kepada anaknya Ibnu Thulun, yang kemudian ia mendirikan Dinasti
Thuluniyah pada abad IX M.
Pada tahun 254 H Ibnu Thulun secara resmi diangkat sebagai gubernur Mesir.
Selanjutnya, Ibnu Thulun melepaskan diri dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Bahkan,
ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat, Aleppo, dan Antiokia. Karena itu
ia kemudian tidak hanya menjadikan Mesir sebagai suatu wilayah yang merdeka, akan
tetapi juga berkuasa atas wilayah Syam. Ia lalu membangun armada laut tangguh yang
berpangkalan di Akka (Acre) sebagai upaya pengontrolan dan pengawasan wilayah-
wilayah kekuasaannya.

16
Andi Syahraeni, “Dinasti dinasti Kecil Bani Abbasiyah”, (Jurnal Rihlah Vol. IV , nomor 1/2016), h, 98-99
Kemajuan yang Dicapai
Dinasti Thulun mencatat berbagai prestasi, antara lain sebagai berikut:
1) Mendirikan bangunan-bangunan megah, seperti rumah sakit Fustat, masjid
Ibnu Thulun, dan istana khalifah yang kemudian dijadikan sebagai peninggalan
sejarah Islam yang sangat bernilai.
2) Memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di pulau Raufah yang sangat
membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir.
3) Berhasil membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat
kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dari seluruh pelosok dunia
Islam.
Kemunduran dan Kehancuran
Dinasti Thulun adalah sebuah dinasti Islam yang masa pemerintahannya paling
cepat berakhir. Sepeninggal Khumarawaih, situasi memanas yaitu setelah Abu Asakir
al-Jaisy menggantikan ayahnya yang disebabkan oleh peristiwa pembunuhannya
terhadap pamannya yaitu Mudhar ibnu Ahmad ibnu Thulun. Hal inilah yang memicu
gencarnya perlawanan antara pihaknya dengan para fuqaha dan qadhi yang pada
akhirnya ke-amir-an Jaisy dibatalkan. Lalu diangkatlah Abu Musa Harun sebagai amir
yang baru dalam usia 14 tahun. Tampaknya dengan usia yang relatif belia ini
menyebabkan Harun kurang cakap dalam mengendalikan suasana yang semakin kacau
itu. Sementara itu di Syam sendiri, pemberontakan yang dilakukan oleh Qaramithah
juga tidak berhasil dipadamkan. Segera setelah Harun kalah, kepemimpinannya
diambil alih ke tangan khalifah Syaiban bin Thulun. Namun semakin rapuhnya
pertahanan Dinasti Thuluniyah akhirnya dinasti ini mengakhiri masa pemerintahannya
diusia 38 tahun sejak kemunculannya dan berakhir ketika dikalahkan oleh pasukan
Dinasti Abbasiyah di era khalifah al-Muktafi.17
4. Dinasti Ikhsidiyah (323 H- 357 H / 934 M-967 M)
Tidak berselang lama setelah berakhirnya Dinasti Thuluniyah, muncul lagi dinasti
baru di Mesir yang masih keturunan Fraghanah dengan nama Dinasti Ikhsidiyah yang
berpusat di Fustat.18 Dinasti ini lahir diawali dengan pengangkatan seorang gubernur

17
Ibid, h, 99-100
18
Ibn Sa’id, Al-Mughrib Fi Hula Al-Maghrib, (Leiden: 1899) h. 5
yang memiliki kekuasaan dan hak otonom penuh yang kemudian dikelola bersama
keluarga dan keturunannya.
Pendiri dinasti ini adalah seorang militer Turki yang telah lama mengabdi kepada
khalifah Abbasiyah yang bernama Muhammad ibnu Tughji.19 Karena keberhasilannya
meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir,maka ia
dianugerahi gelar al-Ikhsyid. Berkat keberhasilannya tersebut, khalifah menjadi
simpati kepadanya.Bahkan karena kecakapannya, ada salah seorang pangeran Romawi
yang bernama Romanus, menyatakan rasa kagum dan hormat kepadanya.
Kemajuan yang Dicapai
Setelah Dinasti Ikhsidiyah berdiri dan mengalami perkembangan, al-Ikhsyid
meninggal dunia. Kemudian kepemimpinan beralih kepada anaknya yang bernama
Unujur dan Ali. Kedua pengganti al-Ikhsyid ini masih anak-anak, sehingga
pemerintahan dinasti ini diserahkan kepada Abu al-Misk Kafur. Di masa pemerintahan
Kafur inilah Dinasti Ikhsidiyah mencapai kegemilangan. Salah satu kehebatan Kafur
adalah ia dapat memadamkan pemberontakan Dinasti Fathimiyah di sepanjang pantai
utara Afrika. Bukan hanya itu saja, serangan dari Dinasti Hamdaniyah di Suriah Utara
juga dapat dipadamkan. Kegemilangan Dinasti Ikhsidiyah lebih tampak pada kekuatan
militernya.Wilayah-wilayah yang pernah ditaklukkan oleh Dinasti Ikhsidiyah adalah
Syam, Palestina, Makkah, dan Madinah. Kafur juga membangun istana yang terkenal
dengan sebutan Bustan al-Kafur di Raudah. Dan pada saat kekuasaan dinasti ini pula
muncul beberapa intelektual Muslim ternama antara lain Abu Ishak al-Marwazi, Hasan
ibnu Rasyid al-Misri, Muhammad ibnu Walid al-Tamimi, dan al-Mutanabbi.
Kemunduran dan Kehancuran
Seperti raja-raja lainnya, penguasa Ikhsidiyah terutama sebagai pendiri dinasti,
menghabiskan uang negara dengan boros dan berlebihan demi kesenangan orang-
orang dekatnya. Diceritakan bahwa jatah harian untuk dapur Muhammad mencakup
seratus ekor domba, limaratus unggas, seribu burung dara dan seratus guci gula-
gula.Ketika diungkapkan secara puitis kepada Kafur bahwa gempa bumi yang sering
terjadi pada masa itu adalah disebabkan tarian hura-hura yang dilakukan bangsa Mesir,
orang Abisinia yang yang berbangga hati menghadiahkan uang seribu Dinar kepada

19
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 167
penyair yang “Ahli Seismograf” itu. Tanda-tanda kemunduran Dinasti Ikhsidiyah
dimulai setelah Kafur meninggal dunia. Sepeninggal Kafur kekhalifahan digantikan
oleh Ahmad, cucu Muhammad ibnu Tughji. Di zaman Ahmad, Ikhsidiyah mengalami
fase kemunduran dan kehancuran. Selama periode kekuasaannya, dinasti Ikhsidiah
tidak memberikan kontribusi apapun bagi kehidupan seni dan sastra di Mesir maupun
Suriah.Selain itu, tidak ada karya-karya publik yang lahir dari tangan mereka.
Refresentasi terakhir dinasti ini adalah seorang anak lelaki berusia sebelas tahun, Abu
Al-Fawaris Ahmad, pada masanya propaganda Syi’ah Fathimiyah dilakukan secara
gencar oleh Jauhar al-Saqily Qa’id al-Muiz Lidnillah al-Fatimi yang berhasil
mempengaruhi masyarakat Mesir, sehingga pada tahun 969 kehilangan kekuasaan atas
negerinya dan menyerah kepada jendral tenar dari dinasti Fatimiyah, Jawhar. Sehingga
pada akhirnya dinasti ini resmi telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah pada tahun
358 H.
5. Dinasti Hamdaniyah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M)
Ke wilayah utara, Ikhsidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu dinasti
Hamdaniyah yang Syiah.Dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia utara
dengan Mosul sebagai ibu kotanya (929-991), mereka merupakan keturunan Hamdan
Ibnu Hamdun dari suku Taghlib.20 Gerakan keluarga Hamdani ini sebenarnya sudah
ada pada masa khalifah al-Mu’tadhid, yang waktu itu tampil dengan aksi menentang
khalifah Abbasiyah. Gerakan ini gagal dan akibatnya beberapa anggota keluarganya
ditangkap.Namun akhirnya khalifah Abbasiyah membebaskan mereka, setelah al-
Husain ibnu Hamdan menangkap tokoh khawarij Harun al-Syari. Ketika bani
Abbasiyah diperintah khalifah al-Muqtadir, nasib keluarga Hamdani mengalami
perubahan, keluarga ini banyak memperoleh penghargaan dari khalifah, diantaranya
adalah Abu alHaija’ Abdullah ibnu Hamdan dijadikan gubernur Mousul (Irak) pada
tahun 292 H, sedangkan Sa’id pada tahun 312 H juga diangkat menjadi gubernur
Nahawand.
Kemudian dua putera dari Abu al-Haija’ menjadi penguasa Dinasti Hamdaniyah.
Kedua putranya tersebut adalah Muhammad al-Hasan ibnu Abdullah yang bergelar
Nashir al-Daulat dan Abu al-Mahasin ibnu Abdullah yang bergelar Saif al-

20
Ibid, h, 101
Daulat.Nashir al-Daulat diangkat sebagai pengganti ayahnya, di tangannya inilah
keluarga Hamdaniyah memiliki kekuasaan otonom di Mousul. Sedangkan, Saif al-
Daulat berkuasa di Aleppo (Suriah), dan ia dikenal sebagai pendiri Dinasti
Hamdaniyah di wilayah Aleppo. Hal ini berarti, Dinasti Hamdaniyah memiliki
perbedaan dengan dinasti kecil yang lain, kalau dinasti kecil lain hanya berpusat pada
satu tempat, tetapi pemerintahan Dinasti Hamdaniyah berpusat pada dua tempat, yaitu
cabang Mousul dan cabang Aleppo. Meskipun Aleppo merupakan bawahan Mousul,
namun pada kenyataannya sering terlihat kedinastian Aleppo lebih mendominasi, lebih
kuat, dan tidak bergantung kepada Mousul.
Kemajuan yang Dicapai
Prestasi gemilang yang telah diukir oleh Dinasti Hamdaniyah lebih tampak pada
wilayah politiknya. Dinasti ini mampu memainkan peran penting sebagai pagar betis
untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang ketika itu berada pada
tahap kemunduran.Bahkan, Dinasti Hamdani ini sebagai suatu kekuatan, yang mampu
menahan pasukan Romawi untuk merebut seluruh wilayah Suriah. Pasukan Hamdani
cukup kuat dalam mempertahankan wilayah Islam. Disamping bidang tersebut Dinasti
Hamdaniyah jugamenaruh perhatiannya yang cukup besar terhadap dunia intelektual.
Hal ini terbukti di masa dinasti ini muncul sejumlah nama-nama intelektual Muslim,
yakni al-Farabi, al-Isfahani, dan alFiras. Meskipun dinasti ini bukanlah dinasti yang
besar, tetapi pencapaiannya jelas nampak.
Kemunduran dan Kehancuran
Meninggalnya Saif al-Daulat pada tahun 976 M, menyebabkan kepemimpinannya
beralih kepada putranya yaitu Sa’ad al-Daulat Syarif I yang kemudian secara berturut-
turut dipegang oleh Sa’d Daulat Sa’d, Ali II, Syarif II. Berbeda dengan Saif al-Daulat,
para penggantinya ini kurang memiliki kecakapan dalam memimpin, terutama dalam
mengimbangi kekuatan-kekuatan asing yang besar waktu itu yaitu Bani Buwaihi,
Romawi, dan Fathimiyah.Akhirnya, pada tahun 1004 Mdinasti Hamdaniyah berhasil
dikuasai oleh Dinasti Fathimiyah. Syaif Al-Daulah mencapai kemasyurannya dalam
sejarah Arab terutama karena perhatian dan sokongannya yang besar dalam bidang
pendidikan dan dalam skala yang lebih kecil, karena aksinya membangkitkan kembali
semangat perlawanan terhadap musuh-musuh Islam dari kalangan Kristen setelah
sekian lama tidak dilakukan oleh para penguasa muslim. Setelah memapankan
posisinya di Suriyah Utara, pedang dinasti Hamdaniyah dimulai pada tahun 947 mulai
mengadakan serangan reguler setiap tahun ke Asia Kecil, hingga saat kematiannya dua
puluh tahun kemudian, tidak satu tahunpun terlewatkan tanpa peperangan melawan
Yunani. Awalnya keberuntungan berpihak pada Sayf. Dia berhasil merebut Mar’asy
diantara kota-kota perbatasan lainnya.Tetapi kepemimpinan cemerlang Nicephorus
Phocas dan Jhon Tzimisces, yang keduanya kelak menjadi Kaisar, berhasil
menyelamatkan Bizantium.Pada tahun 961 Nicephorus berhasil merebut Aleppo,
kecuali benteng pertahanannya. Di kota itu ia membunuh tak kurang dari sepuluh ribu
pemuda, membinasakan seluruh tawanan dan menghancurkan istana Sayf Al-Dawlah.
Pada awal masa kekuasaan Kaisar itu, dua belas ribu orang Banu Habib dari keturunan
Nashibin, sepupu-sepupu Hamdaniyah pergi meninggalkan pemukimannya karena
beban pajak yang terlalu tinggi, lantas memeluk agama Kristen dan bergabung dengan
bangsa Bizantium menyerang kawasan muslim.
6. Dinasti Fatimiyah (909 M-1171 M)
Wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Fatimiyah dilatar belakangi oleh melemahnya Dinasti Abbasiyah.
Abdullah al-Mahdi mendirikan dinasti Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan
Abbasiyah. Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin
Abi Thalib dan Fatimiyah binti Rasulullah.
Dinasti Fatimiyah mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan al-Aziz.
Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiyah, yang ditandai
dengan berdirinya Masjid Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam
dan ilmu pengetahuan. Dinasti Fatimiyah berakhir setelah al-Adid, khalifah terakhir
Dinasti Fatimiyah, jatuh sakit. Shalahuddin al-Ayyubi, wazir dinasti Fatimiyah
menggunakan kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah,
al-Mustahdi. Peninggalan dinasti ini meliputi antara lain Masjid al-Azhar yang
sekarang terkenal dengan Universitas al-Azhar, bab al-Futut (benteng Futuh), dan
Masjid al-Ahmar di Cairo, Mesir.21
Adapun daftar nama khalifah Dinasti Fathimiyah di Mesir adalah sebagai berikut :

21
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), h. 270.
1. Ubaidillah Al-Mahdi (909-934 M)
2. Al-Qaim (934-946 M)
3. Al-Mansur (946-953 M)
4. Al Muiz Lidinillah (953-975 M)
5. Al-Aziz Billah (975-996 M)
6. Al-Hakim Biamrillah (966-1021 M)
7. Al-Zafir (1021-1036 M)
8. Al-Mustansir (1035-1094 M)
9. Al-Musta’li (1094-1101 M)
10. Al-Amir (1101-1130 M)
11. Al-Hafiz (1130-1149)
12. Al-Zafir (1149-1154 M)
13. Al-Fa’iz (1154-1160 M)
14. Al-Adid (1160-1171 M)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu yang menghilangnya keutuhan atau
persatuan serta menyebabkan perpecahan. Masa disintegrasi diawali dengan adanya
kemunduran dinasti Abbasiyah. Kemunduran yang dialami didasari oleh dua faktor yaitu
faktor eksternal yang terdiri dari; kemewahan hidup di kalangan penguasa, perebutan
kekuasaan, dan konflik keagamaan. Serta faktor internal berupa; banyaknya pemberontakan,
dominasi bangsa Turki, dan dominasi bangsa Persia.
Penyebab munculnya dinasti-dinasti kecil dalam Islam antara lain pudarnya kharisma
istana, ketidakjelasan mekanisme politik dan administrasi negara, kemerosotan serta
munculnya berbagai pemberontakan membawa peluang baru otonomisasi dan disintegrasi
wilayah-wilayah provinsi yang dikepalai oleh seorang gubernur. Serta berbagai faktor lain.
Dinasti-dinasti yang muncul terbagi menjadi dua bagian, dinasti di barat Baghdad dan di
timur Baghdad.
1. Dinasti di barat Baghdad antara lain: Idrisiyah, Aghlabiyah, Fatimiyah, Thuluniyah,
Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
2. Dinasti di timur Baghdad antara lain: Thahiriyah, Saffariyah, dan Samaniyah, Buwaihi,
Saljuk.
B. Saran
Pada pembuatan makalah ini, kami sadar masih banyak kesalahan di dalamnya. Oleh
karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna menjadi
evaluasi bagi kami untuk makalah ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UIN Malang Press
Definisi 'disintegrasi'". Wikipedia Bahasa Indonesia”
(https://id.wikipedia.org/wiki/Disintegrasi). Diakses tanggal 18 April 2019 | Pkl 20:53
WIB
Fu’adi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta: Teras
Munir Amin, Samsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.
Salam, Abdul. 1983. Sains dan Dunia Islam. Bandung: Perpustakaan Islam ITB
Syukur, Fatah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011
Syahraeni, Andi. (2016). Dinasti dinasti Kecil Bani Abbasiyah. Jurnal Rihlah Vol. IV , nomor 1
Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai