Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

MASA DISENTEGRASI
(1000-1250M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas, dinasti mencapai keemasan
di tengah berbagai tantangan politik yang berhasil diatasi dengan baik,
memantapkan posisi mereka sebagai pemimpin yang kuat. Namun, periode
sesudahnya ditandai oleh penurunan kekuasaan, di mana khalifah menjadi lemah
dan kehidupan mewah memicu gangguan dalam pemerintahan. Kekuasaan
kemudian jatuh ke tangan tentara Turki, mengakibatkan dinasti Abbasiyah
mengalami keruntuhan secara bertahap. Persaingan antara golongan Arab dan
Persia, serta masuknya unsur Turki, semakin memperburuk kondisi politik. Meskipun
berusaha mempertahankan kekuasaan, Bani Abbas akhirnya kehilangan kendali,
dan munculnya dinasti-dinasti kecil menandai permulaan masa disintegrasi dalam
sejarah politik Islam.

A. DINASTI DINASTI YANG MEMERDEKAKAN DIRI DARI BAGHDAD


Disintegrasi politik dalam sejarah Islam dimulai pada masa Bani Umayyah, tetapi
perbedaan mendasar terlihat antara pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas.
Wilayah kekuasaan Bani Umayyah mencakup sebagian besar wilayah Islam,
sementara Bani Abbas tidak diakui di Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir secara
nominal. Banyak daerah tidak benar-benar dikuasai oleh khalifah, tetapi oleh
gubernur provinsi dengan hubungan nominal melalui pembayaran upeti. Bani Abbas
mungkin puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu dan lebih
fokus pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada ekspansi politik.
Seiring waktu, beberapa provinsi mulai lepas dari kendali Bani Abbas, baik dengan
pemberontakan pemimpin lokal atau gubernur yang semakin kuat. Ini menyebabkan
beberapa daulat
seperti Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko untuk merdeka sepenuhnya,
sementara yang lain seperti Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan tetap
mempertahankan hubungan nominal sampai wibawa khalifah memudar, lalu mereka
melepaskan diri atau bahkan mencoba menguasai khalifah sendiri.
Keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan,
bersamaan dengan kedatangan pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer
di provinsi-provinsi yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan
militer Abbasiyah mengalami kemunduran, dan penguasa Abbasiyah mulai
mengandalkan tentara Turki dengan sistem perbudakan baru. Namun,
pengangkatan anggota militer Turki ini kemudian menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah. Selain itu, fanatisme kebangsaan muncul dalam bentuk gerakan
syu'ubiyah pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, yang
memberikan inspirasi terhadap gerakan politik dan menambah masalah keagamaan.
Para khalifah terlihat tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan
aliran keagamaan tersebut, bahkan beberapa terlibat dalam konflik tersebut.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1. Yang berbangsa Persia
a.Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
b. Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
c. Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d. Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
e. Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/932-1055 M).
2. Yang berbangsa Turki:
a. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
b. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
c. Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M).
d. Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1) Seljuk Besar atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqhrul
Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah
selama sekitar 93 tahun (429- 522H/1037-1127 M).
2) Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).
3) Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/1094-1117 м).
4) Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117- 1194 M).
5) Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M).
3. Yang berbangsa Kurdi:
a. Al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 М).
b. Abu Ali, (380-489 H/990-1095 М).
c. Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 М).
4. Yang berbangsa Arab10
a. Idrisiyah di Marokko, (172-375 H/788-985 М).
b. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
c. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
d. Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M)
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929.1002 M).
f. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
g. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1095 M).
h. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
5. Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a. Umawiyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode
ini adalah persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki, serta
latar belakang keagamaan yang beragam, antara yang berlatar belakang Syiah dan
Sunni. Hal ini menyebabkan banyak daerah memerdekakan diri karena persaingan
internal dan kelemahan dalam pemerintahan sentral.
1. Wilayah luas Abbasiyah sulit dikomunikasikan dengan pusat, rendahnya saling
percaya di pemerintahan.
2. Ketergantungan khalifah pada profesionalisasi angkatan bersenjata sangat tinggi.
3. Keuangan negara sulit karena biaya tentara bayaran besar, kesulitan memaksa
pengiriman pajak saat kekuatan militer menurun.

B. PEREBUTAN KEKUASAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN


Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, yang berbeda dengan masa
sebelumnya dalam sejarah Islam. Setelah kematian Nabi Muhammad, terjadi
pertentangan pendapat antara Muhajirin dan Anshar, yang diselesaikan dengan
pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah. Pertumpahan darah pertama karena
perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ketika Ali
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Pemberontakan tersebut
dipicu oleh ambisi Abdullah ibn Zubair dan Muawiyah untuk menduduki kursi
khilafah, yang menyebabkan banyak korban termasuk kematian Ali sendiri.
Pada masa Ali dan Bani Umayyah, pemberontakan bertujuan untuk merebut
kursi khilafah. Hal yang sama terjadi pada pemerintahan Bani Abbas, termasuk
pemberontakan Bani Hasyim yang berhasil mendirikan khilafah Abbasiyah.
Meskipun pada awal berdirinya Bani Abbas mengalami perebutan kekuasaan,
namun pada periode berikutnya, tidak ada upaya langsung untuk merebut jabatan
khilafah. Khalifah dianggap jabatan keagamaan yang sakral, sementara kekuasaan
didirikan oleh dinasti-dinasti kecil yang merdeka di daerah-daerah. Tentara Turki
berhasil mengambil alih kekuasaan, membuat khalifah hanya sebagai boneka dalam
tangan mereka.
Bani Buwaih, awalnya dari Dailam, mengambil kekuasaan atas Abbasiyah pada
abad ke-10. Ali, Hasan, dan Ahmad, tiga bersaudara, bergabung dengan pasukan
Mardawij ibn Zayyar dan kemudian menguasai daerah-daerah di Persia. Mereka
mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah dan menaklukkan Baghdad,
memindahkan pusat pemerintahan dari Syiraz. Bani Buwaih, penganut Syiah,
menundukkan khalifah dan memerintah dengan kekuasaan absolut, memicu
kerusuhan antara Sunni dan Syiah. Meskipun pusat kekuasaan ada di Baghdad,
kontrol sebenarnya masih di Syiraz. Dengan kekuatan militer, Bani Buwaih
mengendalikan kembali beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan
diri.
Pada masa pemerintahan Bani Buwaih, terjadi kemajuan yang signifikan dalam
bidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, dan pembangunan infrastruktur. Mereka
memberikan perhatian yang serius terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusastraan, yang tercermin dari munculnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Farabi,
Ibn Sina, dan Al-Farghani. Selain itu, mereka juga aktif dalam pembangunan
infrastruktur seperti kanal, masjid, rumah sakit, dan bangunan umum lainnya, serta
memajukan sektor ekonomi seperti pertanian, perdagangan, dan industri.
Namun, kekuasaan politik Bani Buwaih tidak berlangsung lama. Setelah generasi
pertama, keturunan mereka terlibat dalam pertikaian internal untuk memperebutkan
kekuasaan pusat, yang mengakibatkan kemunduran dan kehancuran pemerintahan
mereka. Pertentangan internal antara keturunan Bani Buwaih sendiri menjadi faktor
utama dalam menyebabkan kemunduran tersebut. Perebutan jabatan amir al-umarā
antara keturunan Bani Buwaih menunjukkan kompleksitas politik internal yang
mempengaruhi stabilitas dan wibawa pemerintahan. Konflik antara golongan yang
berasal dari Dailam dengan keturunan Turki juga menyebabkan ketidakstabilan
dalam tubuh militer, yang pada akhirnya mengganggu stabilitas pemerintahan Bani
Buwaih.
Kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Buwaih disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor eksternal meliputi serangan dari luar seperti serbuan
Bizantium ke dunia Islam dan munculnya dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri
dari kekuasaan pusat di Baghdad. Perebutan kekuasaan dalam negeri juga
berperan dalam kejatuhan Bani Buwaih, seperti kasus Arselan al-Basasiri yang
merampas kekuasaan dari Al-Malik Al-Rahim.
Dinasti Seljuk, yang berasal dari kabilah-kabilah kecil di wilayah Turkistan,
akhirnya merebut kekuasaan dari Bani Buwaih. Mereka berhasil memperkuat
kembali kedudukan khalifah Abbasiyah, terutama dalam bidang agama. Setelah
merebut kekuasaan, Baghdad tidak lagi dijadikan pusat pemerintahan, melainkan
Naisabur dan kemudian Ray dipilih sebagai pusat pemerintahan mereka. Dinasti
Seljuk mengalami masa kejayaan di bawah beberapa pemimpin seperti Alp Arselan
dan Maliksyah, namun kemudian mengalami kemunduran politik karena konflik
internal dan tekanan dari dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri.

C.PERANG SALIP
Peristiwa yang sangat signifikan dalam ekspansi Alp Arselan adalah Pertempuran
Manzikert pada tahun 1071 M, di mana pasukannya yang hanya berjumlah 15.000
prajurit berhasil mengalahkan pasukan Romawi yang berjumlah 200.000 orang.
Keberhasilan ini memicu permusuhan dan kebencian dari pihak Kristen terhadap
umat Islam, yang kemudian memicu Perang Salib. Rasa benci ini semakin
diperdalam ketika Dinasti Seljuk merebut Bait Al-Maqdis pada tahun 1076 M dari
Dinasti Fatimiyah Mesir, dan mengeluarkan aturan yang mempersulit umat Kristen
untuk melakukan ziarah ke tempat tersebut. Seruan dari Paus Urbanus II pada tahun
1095 M menjadi pemicu terjadinya Perang Salib, yang terdiri dari tiga periode.
Pada periode pertama, sekitar 150.000 orang Eropa, terutama dari Prancis
dan Norman, berangkat ke Konstantinopel dan kemudian ke Palestina pada musim
semi tahun 1095 M. Dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond, mereka
berhasil mencapai kemenangan besar, menguasai beberapa kota penting seperti
Nicea, Edessa, dan Antiochea, serta berhasil menduduki Bait Al-Maqdis dan
mendirikan kerajaan-kerajaan Latin di Timur. Mereka terus melakukan ekspansi,
menguasai kota-kota penting lainnya seperti Akka, Tripoli, dan Tyre.
Periode kedua, dimulai ketika Nuruddin Zanki merebut kembali beberapa
kota yang sebelumnya direbut oleh pasukan Salib, seperti Aleppo, Hamimah, dan
Edessa. Paus Eugenius III kemudian menggema Perang Salib kedua, yang diikuti
oleh Raja Louis VII dari Prancis dan Raja Conrad II dari Jerman. Namun, mereka
dihadang oleh pasukan Nuruddin Zanki dan tidak berhasil merebut Damaskus.
Setelah kematian Nuruddin pada tahun 1174 M, kepemimpinan perang diambil alih
oleh Salahuddin Al-Ayyubi, yang berhasil merebut kembali Yerusalem pada tahun
1187 M, mengakhiri kekuasaan kerajaan Latin di sana selama 88 tahun.
Periode ketiga, Perang Salib dipimpin oleh Raja Jerman Frederick II, yang
mencoba merebut Mesir sebelum Palestina, tetapi usahanya tidak berhasil. Mesir
kemudian direbut kembali oleh kaum Muslimin di bawah kepemimpinan Al-Malik Al-
Shalih pada tahun 1247 M, dan Palestina kembali dikuasai oleh kaum Muslimin di
bawah dinasti Mamluk. Akka berhasil direbut kembali oleh kaum Muslimin pada
tahun 1291 M di bawah kepemimpinan mereka. Perang Salib tidak hanya terjadi di
Timur, tetapi juga di Spanyol di mana umat Islam terusir dari sana. Meskipun umat
Islam berhasil mempertahankan wilayah mereka dari tentara Salib, namun mereka
mengalami kerugian besar dan melemah secara politik. Hal ini menyebabkan pecah
belah di antara umat Islam, dengan banyak dinasti kecil memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.

D.SEBAB SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS


Berakhirnya pemerintahan dinasti Seljuk di Baghdad dan khilafah Abbasiyah
menandai awal periode baru dalam sejarah Islam, yang ditandai oleh kelemahan
politik yang signifikan. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Abbasiyah
tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari berbagai kondisi yang
terkait satu sama lain.
Pertama, adanya persaingan antara bangsa di dalam khilafah Abbasiyah.
Meskipun dinasti tersebut didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-
orang Persia, ketegangan antara bangsa Arab dan Persia terus terjadi. Bangsa
Persia ingin mendirikan dinasti mereka sendiri, sementara bangsa Arab merasa
superior di dalam khilafah. Hal ini mengakibatkan konflik internal dan dorongan
untuk memperoleh kekuasaan di antara bangsa-bangsa yang berbeda.
Kedua, kemerosotan ekonomi Abbasiyah turut berperan dalam kemunduran politik
mereka. Pada awalnya, khilafah tersebut kaya akan pendapatan dari pajak, tetapi
ekonomi mereka mulai menurun seiring dengan menyusutnya wilayah kekuasaan,
meningkatnya pengeluaran untuk gaya hidup mewah khalifah, dan adanya korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil juga menyebabkan terganggunya perekonomian, dan
sebaliknya, kemerosotan ekonomi melemahkan kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
Ketiga, terdapat konflik keagamaan yang memperdalam perpecahan dalam
masyarakat Islam. Fanatisme kebangsaan sering kali berhubungan dengan
fanatisme keagamaan, yang menyebabkan konflik antara berbagai aliran dan
kelompok dalam Islam. Perbedaan pandangan mengenai masalah teologis dan
keagamaan memperdalam perpecahan dalam masyarakat Islam, yang berdampak
negatif pada stabilitas politik.
Terakhir, Ancaman dari luar, seperti Perang Salib dan serangan tentara Mongol,
juga ikut menyebabkan kelemahan dan keruntuhan Abbasiyah. Perang Salib
menelan banyak korban dan memicu semangat perlawanan di wilayah Islam,
sementara serangan tentara Mongol, terutama oleh Hulagu Khan, membawa
kehancuran besar bagi kekuasaan Islam. Kedua ancaman tersebut memperburuk
kondisi politik dan ekonomi Abbasiyah, yang pada akhirnya menyebabkan
kemunduran mereka.
Secara keseluruhan, faktor-faktor tersebut saling terkait dan berkontribusi terhadap
kemunduran pemerintahan Abbasiyah, yang pada akhirnya mengakhiri masa
kejayaan Islam pada periode tersebut.
BAB V
ISLAM DI SPANYOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP
RENAISANS DI EROPA
Setelah masa keemasan Islam berakhir dan Islam memasuki masa kemunduran,
Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan ini tidak hanya terlihat
dalam bidang politik dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan
Islam, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintahan Islam di
Spanyol memiliki peran penting dalam kemajuan Eropa, karena banyak ilmu
pengetahuan yang diambil dari Islam Spanyol. Pada masa keemasan Islam, Spanyol
merupakan pusat peradaban Islam yang penting, dan banyak orang Kristen Eropa
belajar di perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi "guru" bagi orang Eropa,
dan kehadiran Islam di Spanyol menarik perhatian para sejarawan.

A. MASUKNYA ISLAM KE SPANYOL


Dalam proses penaklukan Spanyol oleh kaum Muslim, peran tiga tokoh utama
sangat penting. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn
Nushair. Tharif berperan sebagai perintis, memimpin pasukan melintasi selat
Maroko-Eropa, dan mencapai kemenangan tanpa perlawanan yang signifikan.
Kemudian, Musa ibn Nushair mengirim pasukan di bawah komando Thariq ibn
Ziyad, yang terkenal karena berhasil mengalahkan Raja Roderick dan menaklukkan
kota-kota penting seperti Cordova, Granada, dan Toledo. Sebelum menaklukkan
Toledo, Thariq meminta tambahan pasukan dari Musa, sehingga jumlah pasukannya
menjadi 12.000 orang, walaupun masih jauh lebih sedikit dari pasukan Gothic yang
berjumlah 100.000 orang.
Pasukan Thariq ibn Ziyad berhasil membuka jalan bagi penaklukan lebih lanjut
di Spanyol, sementara Musa ibn Nushair ikut berperan dalam pertempuran untuk
membantu Thariq. Bersama-sama, mereka berhasil menaklukkan sejumlah kota
penting di Spanyol, termasuk Toledo, setelah mengalahkan penguasa Gothic.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz, pasukan
Muslim melanjutkan penaklukan ke daerah sekitar pegunungan Pyrenees dan
Prancis Selatan, tetapi usaha ini tidak berhasil.
Faktor eksternal yang menguntungkan bagi penaklukan Islam di Spanyol
meliputi kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang buruk di negeri itu pada waktu itu.
Spanyol terpecah menjadi beberapa negeri kecil, dengan penguasa Gothic yang
tidak toleran terhadap penganut agama lain, terutama Yahudi. Kondisi ekonomi yang
sulit dan kemerosotan kesejahteraan masyarakat disebabkan oleh situasi politik
yang kacau. Hal ini terutama terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, yang
mengakibatkan keruntuhan kerajaan Gothic. Konflik internal antara penguasa,
dukungan dari pihak Yahudi, dan kurangnya semangat perang dari pasukan
Roderick juga berkontribusi pada kesuksesan penaklukan Islam.
Faktor internal yang mendukung penaklukan Islam mencakup kepemimpinan
yang kuat, kesatuan dan kohesi tentara Muslim, serta prinsip-prinsip Islam yang
menekankan toleransi, persaudaraan, dan bantuan sesama. Sikap toleransi agama
dan persaudaraan dari tentara Muslim diterima dengan baik oleh penduduk Spanyol,
yang turut membantu kesuksesan penaklukan tersebut.
B.PERKEMBANGAN ISLAM DI SPANYOL
Sejarah Islam di Spanyol membentang lebih dari tujuh setengah abad, dibagi
menjadi enam periode yang berbeda:
1. Periode Pertama (711-755 M): Pada awalnya, Spanyol diperintah oleh wali
yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah di Damaskus. Namun, stabilitas
politik sulit dicapai karena konflik internal dan eksternal.
2. Periode Kedua (755-912 M): Spanyol dikuasai oleh amir yang tidak tunduk
pada pemerintahan pusat di Baghdad. Dinasti Bani Umayyah didirikan di
Spanyol, meskipun masih ada ancaman dan kerusuhan.
3. Periode Ketiga (912-1013 M): Spanyol mengalami pemerintahan khalifah dan
mencapai puncak kemajuan dan kejayaan budaya di bawah kepemimpinan
Abd Al-Rahman III.
4. Periode Keempat (1013-1086 M): Spanyol terpecah menjadi banyak negara
kecil yang diperintah oleh raja-raja golongan, meskipun kehidupan intelektual
masih berkembang.
5. Periode Kelima (1086-1248 M): Spanyol Islam dikuasai oleh dinasti
Murabithun dan Muwahhidun, tetapi kemudian melemah dan runtuh setelah
kekalahan besar di Las Navas de Tolosa pada tahun 1212 M.
6. Periode Keenam (1248-1492 M): Hanya Granada yang tetap menjadi pusat
kekuasaan Islam di Spanyol di bawah dinasti Bani Ahmar. Namun, pada
tahun 1492 M, kekuasaan Islam di Spanyol berakhir setelah kekalahan
Granada oleh Ferdinand dan Isabella.
Perjalanan panjang ini melibatkan perjuangan politik, budaya, dan agama yang
kompleks, dan akhirnya berujung pada akhir dari keberadaan Islam di Spanyol.
C.KEMAJUAN PERADABAN
Selama lebih dari tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol menyaksikan puncak
kejayaannya yang mencakup berbagai bidang kemajuan:
Kemajuan Intelektual: Spanyol Islam menjadi pusat kemajuan intelektual
dengan kontribusi besar dalam filsafat, sains, fiqih, musik, seni, bahasa, dan sastra.
Tokoh-tokoh terkenal seperti Ibn Bajjah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd, Abbas ibn Farnas,
dan Zaryab adalah contoh dari kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang
terjadi pada masa itu.
Pembangunan Fisik yang Megah: Pembangunan fisik di Spanyol Islam
mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk perdagangan, pertanian, irigasi,
industri, serta pembangunan gedung-gedung megah seperti masjid, istana, kota,
pemukiman, dan taman-taman. Contohnya adalah masjid Cordova, kota Al-Zahra,
Istana Ja'fariyah di Saragosa, tembok Toledo, Istana Al-Makmun, masjid Seville, dan
Istana Al-Hamra di Granada. Kemegahan ini mencerminkan keindahan dan
kemajuan arsitektur serta infrastruktur yang menjadi ciri khas Spanyol Islam pada
masa itu.
Faktor Pendukung Kemajuan: Kemajuan Spanyol Islam didukung oleh
kepemimpinan yang kuat, seperti Abd Al-Rahman Al-Dakhil, Abd Al-Rahman Al-
Wasith, dan Abd Al-Rahman Al-Nashir. Selain itu, toleransi beragama memainkan
peran penting dalam memperkuat peradaban Arab Islam, dengan memberikan hak-
hak khusus bagi penganut agama Kristen dan Yahudi. Masyarakat majemuk Spanyol
Islam juga berkontribusi dalam kemajuan tersebut dengan berbagai komunitas
agama dan bangsa yang bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing-
masing. Meskipun terdapat persaingan politik, hubungan budaya Timur dan Barat
tidak selalu berujung pada konflik, melainkan juga menghasilkan pertukaran
gagasan dan pengetahuan yang memperkaya peradaban tersebut.
Melalui faktor-faktor ini, Spanyol Islam mencapai puncak kemajuan ilmu
pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan, yang mencerminkan peradaban yang
maju dan berkembang pada masa itu.

D. PENYEBAB KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN


Konflik antara Islam dan Kristen terus berlangsung di Spanyol karena
kebangkitan rasa kebangsaan Kristen, kurangnya ideologi pemersatu, dan fokus
pada pembangunan kota dan ilmu pengetahuan yang mengabaikan ekonomi.
Sistem peralihan kekuasaan yang tidak jelas juga memicu ketidakstabilan politik,
sementara keterpencilan Spanyol Islam dari dunia Islam lainnya membuatnya
bergumul sendiri tanpa dukungan, memperburuk situasi.
E. PENGARUH PERADABAN SPANYOL ISLAM DI EROPA
Pengaruh peradaban Islam, terutama melalui pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa
telah membawa dampak signifikan, mulai dari gerakan Averroeisme hingga lahirnya
reformasi, rasionalisme, dan pencerahan di Eropa. Pemuda Kristen Eropa yang
belajar di universitas Islam di Spanyol turut menyebarkan ilmu pengetahuan Islam ke
Eropa melalui penerjemahan karya-karya ilmiah Muslim. Meskipun Islam akhirnya
terusir dari Spanyol, dampaknya terhadap peradaban Eropa tetap terasa melalui
berbagai gerakan penting seperti renaissance, reformasi, rasionalisme, dan
pencerahan.
BAB VI
MASA KEMUNDURAN

A. BANGSA MONGOL DAN DINASTI ILKHAN


Bangsa Mongol, yang berasal dari wilayah pegunungan Mongolia, mengalami
kemajuan yang signifikan di bawah kepemimpinan Jengis Khan. Jengis Khan
berhasil menyatukan berbagai suku Mongol dan suku-suku lainnya menjadi pasukan
terorganisir yang kuat. Setelah menaklukkan wilayah Cina, mereka mengalihkan
perhatian mereka ke wilayah Islam, menguasai banyak kota dan menghancurkan
bangunan-bangunan serta harta berharga di sepanjang jalannya. Jengis Khan
kemudian membagi wilayah kekuasaannya kepada empat putranya.
Salah satu putra Jengis Khan, Chagatai, berhasil merebut kembali beberapa
daerah Islam yang sebelumnya telah ditaklukkan. Kerajaan Khawarizm runtuh
setelah perlawanan yang gigih dan sultan mereka tewas. Kematian Sultan
Khawarizmsyah membuka jalan bagi Chagatai untuk memperluas kekuasaannya
lebih jauh. Tuli Khan, saudara Chagatai, menguasai Khurasan dan kemudian Irak
setelah terjadinya perpecahan di antara kerajaan-kerajaan Islam.
Namun, tindakan kejam Hulagu Khan terhadap Khalifah Al-Mu'tashim Abbasiyah,
termasuk penipuan dan penghancuran Baghdad, mengakhiri kekuasaan Abbasiyah
di kota tersebut. Dinasti Ilkhan kemudian menguasai wilayah-wilayah tersebut, di
mana beberapa raja Ilkhan memeluk agama Islam, termasuk Mahmud Ghazan yang
mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan sastra. Namun, kerajaan Ilkhan
terpecah belah dan akhirnya ditaklukkan oleh Timur Lenk setelah masa
pemerintahan Abu Sa'id.
B. SERANGAN SERANGAN TIMUR LENK
Setelah mengalami kehancuran akibat serangan Mongol di bawah Hulagu
Khan, umat Islam dihadapkan pada malapetaka baru dengan kedatangan Timur
Lenk, keturunan Mongol yang telah memeluk Islam. Meskipun telah masuk Islam,
kekejaman dan kebiadaban tetap menjadi ciri khas dari serangan-serangan Timur
Lenk. Dilahirkan dekat Kesh, Uzbekistan pada tahun 1336 M, Timur Lenk berasal
dari keluarga bangsawan Mongol dan menunjukkan keberaniannya sejak usia muda.
Setelah mengkonsolidasikan kekuasaannya, ia menjadi penguasa tunggal di wilayah
Transoxiana.
Timur Lenk memiliki ambisi besar untuk memperluas kekuasaannya, dan
berhasil menaklukkan berbagai wilayah, termasuk Khurasan, Herat, Afghanistan,
Persia, Fars, dan Kurdistan. Namun, dia terkenal karena kekejamannya dalam
memerintahkan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk yang
memberontak. Di India, dia bahkan memerintahkan pembunuhan lebih dari 80.000
tawanan. Serangan-serangannya juga menyapu daerah-daerah seperti Sivas,
Aleppo, Damaskus, dan Baghdad, menyebabkan kerusakan parah pada bangunan-
bangunan bersejarah dan pembantaian massal.
Meskipun terkenal sebagai penguasa yang kejam, Timur Lenk juga dikenal
sebagai pelindung Islam yang saleh. Dia memberikan dukungan kepada ulama,
ilmuwan, dan seniman, membangun masjid, serta mendukung perdagangan dan
industri. Namun, setelah kematiannya, perebutan kekuasaan antara anak-anaknya
menyebabkan kekacauan dalam kerajaan Timuriyah dan akhirnya menyebabkan
pecahnya kerajaan tersebut, dengan suku-suku Turki lainnya seperti Kara Koyunlu
dan Ak Koyunlu merebut kekuasaan.

C. DINASTI MAMALIK DI MESIR


Mesir selamat dari serangan bangsa Mongol karena berada di bawah
kekuasaan dinasti Mamalik, yang membawa dinamika baru dalam politik Islam
dengan pemerintahan yang didominasi oleh oligarki militer. Berdiri pada tahun 1250
M, dinasti Mamalik didirikan oleh mantan budak yang naik menjadi elit politik Mesir.
Keselamatan Mesir dari serangan Mongol memastikan kelangsungan
perkembangan peradaban, meskipun prestasi dinasti Mamalik masih di bawah masa
kejayaan klasik Islam. Ini bisa disebabkan oleh dominasi tradisional dalam
pemikiran, terutama setelah berkembangnya aliran teologi 'Asy'ariyah dan pengaruh
pemikiran Al-Ghazali yang menekankan pada dimensi keagamaan.
Dinasti Mamalik terbagi menjadi dua periode: Mamluk Bahri (Laut) dan
Mamluk Burji. Pada periode pertama, Mamalik Bahri, terutama di bawah Sultan
Baybars, mengalami perkembangan pesat, memperkuat kekuasaan dan
perekonomian Mesir serta membuka hubungan dagang dengan Eropa. Mesir juga
menjadi tempat pelarian bagi ilmuwan dari serangan Mongol, dan banyak kemajuan
ilmiah terjadi di bawah kekuasaan Mamalik.
Namun, pada periode kedua, Mamalik Burji, solidaritas antara sesama militer
menurun, terutama setelah mereka mengambil alih kekuasaan. Banyak penguasa
Mamalik Burji yang tidak memiliki moral dan tidak mendukung perkembangan ilmu
pengetahuan, sementara kemewahan dan pengeluaran berlebihan menyebabkan
ketidakstabilan ekonomi. Kemunculan Kesultanan Utsmaniyah menjadi tantangan
besar bagi Mamalik, yang akhirnya mengakhiri kekuasaan mereka pada tahun 1517
M.
Meskipun demikian, dinasti Mamalik meninggalkan warisan penting dalam
sejarah Mesir dan dunia Islam, terutama dalam bidang arsitektur, ekonomi, dan ilmu
pengetahuan. Mesir tetap menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan yang
penting di dunia Islam di bawah kekuasaan Mamalik.
BAB VII
MASA TIGA KERAJAAN BESAR
(1500-1800M)
Setelah keruntuhan Khilafah Abbasiyah dan invasi bangsa Mongol serta
Timur Lenk, dunia Islam mengalami kemunduran politik yang signifikan. Pusat-pusat
kekuasaan Islam pecah menjadi beberapa kerajaan kecil yang saling bertempur,
menyebabkan banyak peninggalan budaya dan peradaban Islam mengalami
kerusakan. Namun, kemajuan politik Islam kembali muncul dengan munculnya tiga
kerajaan besar: Kesultanan Usmani di Turki, Kekaisaran Mughal di India, dan
Kekaisaran Safawi di Persia. Di antara ketiganya, Kesultanan Usmani menjadi yang
terbesar dan paling berpengaruh.
A. KERAJAAN USMANI
Kesultanan Usmani, yang didirikan oleh bangsa Turki dari suku Oghuz,
bermula dari Asia Tengah dan berkembang melalui perjalanan sejarah yang panjang,
termasuk konversi ke Islam, perlawanan terhadap Mongol, dan ekspansi ke Eropa.
Dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Ertoghrul dan putranya, Usman, kesultanan ini
mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Al-Fatih dan Sultan
Sulaiman Al-Qanuni. Ekspansinya meliputi wilayah luas dari Asia Tengah hingga
Eropa dan Afrika. Meskipun mengalami kemunduran setelah Sultan Sulaiman
meninggal, kesultanan ini tetap diingat sebagai salah satu kekuatan militer terbesar
dalam sejarah.
Bidang Kemiliteran dan Pemerintahan: Kesultanan Usmani awalnya dikuasai
oleh pemimpin yang kuat, yang memungkinkan ekspansi yang luas. Pembaruan
militer oleh Orkhan, seperti pembentukan pasukan Jenissari, meningkatkan
kekuatan militernya. Selain itu, pemerintahan yang teratur dipimpin oleh sultan dan
struktur pemerintahan yang terorganisir dengan baik mendukung ekspansi mereka.
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya: Kebudayaan Usmani mencerminkan
campuran dari berbagai kebudayaan, termasuk Persia, Bizantium, dan Arab. Mereka
lebih memfokuskan pada aspek militer, tetapi juga memberikan kontribusi pada seni
arsitektur Islam dengan membangun masjid-masjid yang indah.
Bidang Keagamaan: Agama memainkan peran besar dalam masyarakat
Usmani, dengan ulama memiliki pengaruh yang signifikan dalam keputusan
pemerintah. Berbagai tarekat seperti Bektasyi dan Maulawi berkembang pesat,
meskipun kajian ilmu keagamaan cenderung stagnan. Ekspansi kekuasaan Usmani
ke Eropa tidak selalu diikuti dengan perubahan agama di wilayah yang mereka
taklukkan.
B. KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA
Kekaisaran Safawi, muncul sebagai kekuatan baru ketika Kesultanan Usmani
mencapai puncaknya, mengalami pertumbuhan yang pesat. Safawi sering
bertabrakan dengan Usmani dan menjadi pelopor dalam mengangkat Syi'ah sebagai
mazhab negara, yang menjadi dasar bagi pembentukan negara Iran modern.
Asal Usul dan Perkembangan: Dimulai dari tarekat Safawiyah di Ardabil,
Safawi berkembang menjadi gerakan politik di bawah kepemimpinan Safi Al-Din.
Safawi mewujudkan ambisi politiknya di bawah Ismail I, dengan pasukan Qizilbash,
meskipun mengalami kekalahan penting dalam pertempuran melawan Usmani di
Chaldiran. Konflik berlanjut di bawah pemerintahan Tahmasp I dan Abbas I.
Puncak Kemajuan dan Kemunduran: Abbas I berhasil memulihkan kekuasaan
Safawi, mengurangi dominasi pasukan Qizilbash dan mencapai perjanjian damai
dengan Usmani. Dia juga merebut kembali wilayah yang hilang, membuat Safawi
kuat kembali. Safawi juga mencapai kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu
pengetahuan, dan seni, dengan Isfahan menjadi pusatnya. Meskipun mencapai
puncaknya di bawah Abbas I, Safawi kemudian mengalami kemunduran.
C. KERAJAAN MUGHAL DI INDIA
Kekaisaran Mughal, didirikan oleh Zahiruddin Babur, merupakan salah satu
dari tiga kerajaan besar Islam yang menguasai wilayah India. Babur memulai
ekspansinya ke India setelah menaklukkan Samarkand dan Kabul. Setelah
memenangkan Pertempuran Panipat pada tahun 1526, Babur memulai
pemerintahan Mughal di India. Kemudian, pemerintahan dilanjutkan oleh Humayun
dan Akbar, yang dikenal karena politik toleransi universalnya. Pemerintahan Mughal
mencapai puncaknya pada masa Akbar, Jehangir, dan Shah Jahan, tetapi kemudian
mulai merosot setelah masa Aurangzeb. Selama pemerintahan Mughal, terjadi
kemajuan dalam bidang ekonomi, seni, dan budaya, ditandai dengan pembangunan
istana dan masjid-masjid yang indah, serta pengembangan perdagangan dan sastra.
D. PERBEDAAN KEMAJUAN MASA INI DENGAN MASA KLASIK
Pada masa kejayaan tiga kerajaan besar Islam ini, kemajuan umat Islam
cenderung terfokus pada bidang politik, militer, dan seni, terutama dalam arsitektur,
tetapi tidak sebanding dengan kemajuan pada masa klasik Islam. Beberapa faktor
yang menyebabkan perbedaan tersebut termasuk dominasi metode berpikir
tradisional dalam bidang teologi, kritik tajam Al-Ghazali terhadap filsafat pada
masanya, serta popularitas pandangan tasawuf setelahnya; kerusakan infrastruktur
akibat serangan Mongol; dominasi kekuasaan oleh bangsa Turki dan Mongol yang
lebih suka berperang; dan penurunan peran bahasa Arab sebagai bahasa ilmiah dan
faktor persatuan. Oleh karena itu, meskipun terdapat kemajuan dalam bidang politik,
militer, dan seni, kemajuan intele

Anda mungkin juga menyukai