Anda di halaman 1dari 8

Nama :Sri Mustika

Nim :862312019086

Pengertian Disintegrasi

Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-
pisah.

Adapun dalam makalah ini, kami (penulis) akan mencoba membahas tentang disintegrasi yang terjadi
pada kekhalifahan di masa lampau.

2.2. Penyebab Terjadinya disintegrasi

a. Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad

Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani Umayyah. Akan
terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan pemerinatahan bani Abbas. Wilayah
kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhanya, sejajar dengan batas
wilayah kekuasaan Islam. Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama
mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa
bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan
ekspansi.

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman
penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin
lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol
dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukanya semakin
bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.

Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, provinsi-provinsi itu pada mulanya patuh
membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan Khalifah mampu mengatasi
pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari
Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha
menguasai Khalifah itu sendiri.

Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad
kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki
kekuasaan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.

Dinasti dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasyiah,
diantaranya adalah :
1. Yang berbangsa Persia :

a) Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)

b) Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)

c) Samaniyah di Transoxania (261-289 H/873-998 M)

d) Sajiyyah di Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)

e) Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)

2. Yang berbangsa Turki

a) Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)

b) Ikhsyidiyahdi Turkistan (320-560 H/932-1163 M)

c) Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)

d) Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya

3. Yang berbangsa Kurdi

a) Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)

b) Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)

c) Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)

4. Yang berbangsa Arab

a) Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)

b) Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M)

c) Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)

5. Yang mengaku dirinya sebagai khalifah

a) Umawiyah di spanyol

b) Fathimiyah di mesir3

b. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan

Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaiman acara penggantian pemimpin setelah
ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan
yangberkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Setelah nabi wafat,
terjadi pertentangan pendapat diantara kaum muhajirin dan anshar dibalai kota bani Sa’idah di
madinah. Akan tetapi, karena pemahaman keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah,
ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan. dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.

Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan
Ali bin abi thalib. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri. Pemberontakan-pemberontakan yang
muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin
pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti
pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.

Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal
berdirinya. Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah
kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 M-
447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.

c. Konflik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak
sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda
rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa
perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah
dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka.
Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah
di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga
banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah
sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham
Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-
Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya, al-
Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.
Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun.
Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang
memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada
konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam
Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salaf.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah
(813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan
salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah yang rasional
telah menyempitkan horizon intelektual.

d. Perang Salib

Perang Salib ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa
untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang
dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat
kristen yang hendak berziarah ke sana.

Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp
Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan
15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000
orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang
kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut
Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir.
Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana.
Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah
ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa
supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi
dalam tiga periode.

1. Periode Pertama

Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman,
berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey,
Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka
berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan
kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai
Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya,
Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka
menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan
kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.

2. Periode Kedua

Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan
Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya,
Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun
1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus
Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja
Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan
tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus.
Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti
Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali
Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama
88 tahun berakhir.

Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun
menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman,
Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun
1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka
yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina.
Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang
disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke
Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.

3. Periode Ketiga

Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut
Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen
Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah
waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam
perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa
pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik
yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun.
Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah
Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam
terusir dari sana.

2.3. Munculnya tiga kerajaan besar

a. Kesultanan Usmani

Didirikan oleh Usman, putra Artogol dari kabilah Oghuz di Mongol. Awalnya datang ke Turki untuk
meminta suaka politik kepada penguasa Seljuk dari serangan tentara Mongol. Usman dipercaya menjadi
panglima perang Dinasti Seljuk menggantikan ayahnya. Setelah Sultan Alauddin wafat, Usman
mengambil alih kekuasaan, sejak itu berdirilah Dinasti Usmani.
Dinasti Usmani berbentuk kesultanan yang beribukota di Istanbul, Turki. Berasal dari suku bangsa
pengembara yang bermukim di wilayah Asia Tengah, salah satunya suku Kayi. Usman bergelar “Pedisyah
Al-Usman”, dibawah kepemimpinannya wilayah kesultanan semakin luas dengan menaklukan beberapa
wilayah, seperti Azmir (1327 M), Tharasyanli (1356 M), Iskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Galipoli
(1356 M). Pada masa pemerintahan Muhammad Al-Fatih Kesultanan Usmani mengalami puncak
kejayaan, dan dapat menaklukan wilayah Byzantum serta Konstantinopel (1453 M).

1. Pemerintahan dan Militer

Tingkatan paling tinggi dipegang oleh Sultan, tingkat kedua perdana menteri atau Sadrazan, tingkat
ketiga gubernur atau Pasya, tingkat keempat bupati atau As-sawaziq atau Al-alawiyah. Sistem
pemerintahan dan kekuasaan militernya berjalan baik. Muncul kelompok elite militer yang disebut
janissary atau inkrisyriyah pada masa Orkhan bin Usman, kelompok ini merupakan kelompok
penghancur negeri non-muslim.

2. Pengetahuan dan Budaya

Terjadi akulturasi dari beberapa negara seiring dengan meluasnya wilayah, yaitu kebudayaan Persia,
Byzantium, dan Arab. Rakyat Usmani mengambil ajaran tentang etika dan tat krama dari kebudayaan
Persia, organisasi dan kemiliteran dari Byzantum, dan ilmu arsitektur dari Arab. Dari ilmu arsitektur
tersebut, berdirilah berbagai masjid yang bagus serta kaligrafi indah.

3. Agama

Muncul dua aliran tarekat, yaitu Bektsyi yang banyak pengaruhnya dibidang militer, dan Maulawiyah
yang banyak pengaruhnya di lingkungan pejabat pemerintahan.

b. Kerajaan Safawi

Didirikan oleh Syah Ismail pada 907 H/1500 M di Tabriz, Persia (Iran). Awalnya sebuah gerakan tarekat
yang bernama Safawiyah yang menjadi gerakan politik, dipimpin oleh Syekh Safifuddin Ishaq. Gerakan
ini memasuki wilayah politik dan pemerintahan karena merupakan tarekat militer yang para
pengikutnya berkeinginan memainkan peran politik untuk memperkokoh kekuasaannya. Kegiatan politik
dipertajam pada pemerintahan Ismail, sehingga Ismail dianggap sebagai pendiri Kerajaan Safawi.
Dibentuk semacam kesatuan tentara agama atau Qizilbasy (si kepala merah) pada pemerintahan Haidar.

Ismal menerapkan Syiah Isra Asyariah sebagai agama negara. Sebelumnya Persia berada di bawah
kekuaaan Suni, maka ia mendatangkan ulama Syiah dari Iraq, Bahrein, dan Libanon untuk tujuannya.
Program ini mengalami pertentangan yang berat, karena tidak mudah mengubah ideologi rakyat dari
Suni ke Syiah. Banyak pula sastrawan dan ulama Suni yang dibunuh demi penerapan Syiah ini. Syah
Ismail terus melanjutkan penaklukan sampai ke seluruh Iran, Heart maupun Diyarbakr (Turki), dan
Baghdad dengan dukungan pasukan Qizilbasy.

Pada masa pemerintahan Syah Abbas (1588-1629) Kerajaan Safawi mengalami puncak keemasaan. Tidak
hanya meredam konflik internal dan merebut wilayah yang melepaskan diri, tetapi Syah Abbas juga
mampu melebarkan wilayahnya ke Tabriz, Sirwan, dan kep. Harmuz, bahkan pelabuhan Bandar Abbas.
Syah Abbas ingin melepaskan diri dari ketergantungan dukungan kekuatan militer Qizilbasy, maka ia
membentuk kekuatan militer yang terdiri dari budak Kaukakus dan Georgia. Strategi ini berhasil
mengusir kekuatan Uzbek di Khirazan pada tahun 1598.

1. Pemerintahan dan Politik

Terbagi secara horozontal, yaitu didasarkan pada garis kesukuan atau kedaerahan, dan pembagian
secara vertikal, yaitu mencakup dua jenis, istana (dargah) dan sekretariat negara (divan atau mamalik).
Penyelenggaraan negara dipercayakan kepada para amir (kepala suku) tingkat atas dan wazir (menteri)
yang tergabung dalam suatu dewan (jangi). Terdapat lembaga yang tercakup dalam dewan tersebut
(majelis nivis) yang terdiri dari sejarawan istana, sekretaris pribadi Syah, dan kepala intelijen.

2. Ekonomi

Ekonomi dikendalikan langsung oleh pusat. Banyak memperkuat di bidang pertanian dengan
memperbanyak pengalihan tanah negara menjadi tanah raja. Pertumbuhan ekonominya semakin baik
karena stabilitas keamanan yang dinamis dan situasi dalam negeri yang terkendali. Pelabuhan Bandar
Abbas menjadi jalur perdagangan antara Timur dan Barat sehingga sektor perdagangan semakin maju.
Di bidang pertanian mengalami kemajuan terutama di daerah Bulan Sabit yang subur.

3. Ilmu Pengetahuan

Didirikan lembaga pendidikan Syiah oleh Syah Abbas, yaitu sekolah teologi untuk lebih memantapkan
akan aliran Syiah. Beberapa nama ilmuwan, sastrawan, dan sejarawan Safawi antara lain, Muhammad
bin Husain Al-Amili Al-Juba’i, Muhammad Baqir Astarabadi, Sarudin Muhammad bin Ibrahim Syirazi, dan
Muhammad Baqir Majlisi.

4. Bangunan dan Seni

Kantor, masjid, rumah sakit, dan jembatan raksasa dibangun dengan gaya arsitektur yang indah. Di
bidang seni, terlihat dalam kegiatan dan hasil dari kerajinan tangan, keramik, karpet, dan seni lukis.

c. Kerajaan Mogul

Didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M) di India. Babur diwarisi daerah Ferghana dari ayahnya
ketika berusia 11 tahun. Berdirinya Kerajaan Mogul di India menimbulkan serangan dari Kerajaan Hindu,
serangan ini dapat dikalahkan oleh Babur. Babur memerintah selama 30 tahun, setelah wafat digantikan
putranya, Humayun yang hanya memerintah selama 9 tahun karena kondisi dalam negeri tidak aman
dengan munculnya pemberontakan. Humayun meninggal dan digantikan oleh anaknya yang berusia 14
tahun, Akbar. Urusan pemerintahan diserahkan kepada Bairam Khan. Ketika Akbar dewasa, ia
memperluas wilayah dengan menaklukan daerah Chundar, Ghond, Orisa, dan Asingah. Pemerintahan
dijalankan secara militeristik, pemimpin daerah dipimpin ileh seorang komandan (sipah saleh). Terjadi
kemajuan di berbagai bidang, misalnya ekonomi dan pertanian, yang dipacu oleh stabilitas politik yang
aman dan pemerintahan yang stabil. Karya Malik Muhammad Jayadi yang berjudul “Padmayat” menjadi
karya sastra yang paling menonjol. Demikian juga pembangunan masjid indah dan megah yang berlapis
mutiara yang disebut “Taj Mahal”.

Anda mungkin juga menyukai