Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PERADABAN ISLAM

“Dinasti-Dinasti Kecil di Timur dan Barat


Baghdad”
Dosen Pengampu:
Dr. H. Muh. Abduh Wahid M.Th.i

OLEH:

Nurul Afifah (30300118048)

Muh. Fahri Fauzi (30300118047)

JURUSAN ILMU AL-QU’RAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT, Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam. Dalam penyusunan tugas atau makalah ini, tidak sedikit hambatan
yang kami hadapi. Namun, kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, bimbingan dosen maupun teman-
teman, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan


mengenai Dinasti-Dinasti Kecil di Timur dan Barat Baghdad. Semoga makalah ini
dapat memberikan pengetahuan baru kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah
ini banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada Bapak Dosen
maupun pembaca, kami meminta masukannya demi perbaikan makalah ini.

Samata,15 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR………………………………………………………………..i

DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………ii

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………..…………..1

A. Latar
Belakang……………………………………………………..…………1
B. Rumusan
Masalah………………………………………………………….…2
C. Tujuan
Penulisan……………………………………………………………..2

BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………….3

A. Pusat Peradaban Islam di


Baghdad…………………………………………..3
B. Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Timur
Baghdad…………………………....3
C. Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Barat
Baghdad……………………………..5
D. Kondisi Sosial Politik dan Ekonomi Dinasti-Dinasti Kecil di Timur dan
Barat………………………………………………………………………
….

BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………11

A. Kesimpulan…………………………………………………………………
.11

DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah era khulafaur rasyidin usai, pemerintahan digantikan oleh
para penguasa yang membentuk kekuasaan dengan sistem kekuasaan
kekeluargaan atau dinasti. Dimulai dari kekuasaan Muawiyah ibn Abi
Sofyan yang membentuk dinasti umayyah (661 s.d 750M), maka sistem
pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi kerajaan turun
temurun.
Disintregasi dalam bidang politik sebenarnya sudah terjadi di akhir
zaman Bani Umayyah. Hal itu disebabkan karena kekecewaan-kekecewaan
yang dirasakan oleh sebagian besar warganegara, akibat sistem politik
kerajaan yang diktator. Aspirasi yang tidak tersalurkan, hak-hak yang
terampas, dan penindasan-penindasan mendorong penduduk untuk bangkit
memberontak. Pemberontakan seperti itu juga terjadi pada masa
pemerintahan Dinasti Abasiyyah. Namun, pemberontakan-pemberontakan
itu dapat ditumpas pada masa pemerintahan Bani Umayyah, dan masa
pemerintahan Dinasti Abasiyyah periode pertama.
Setelah masa pemerintahan Dinasti Abasiyyah pertama berakhir,
keadaan politik dunia islam dengan cepat mengalami kemunduran.
Pemerintahan Dinasti Abasiyyah kuat secara politik hanya pada periode
pertama saja. Pada periode selanjutnya,pemerintahan Dinasti Abasiyyah
mulai menurun. Masa disintegrasi atau perpecahan yang terjadi pda masa
Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul pemerintahan
baru selain pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa pemerintahan
al-Mutawakkil sampai dengan al-Muntashim (27 khalifah).
Dinasti-dinasti yang tumbuh dan memerdekakan diri dari kekuasaan
Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada yang berlatar belakang bangsa
Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada juga yang berlatar
belakang aliran Syi’ah dan Sunni. Selanjutnya, mulai periode kedua Dinasti
abbasiyah, wibawa khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para
panglima tentara mengambil alih kekuasaan dari khalifah. Namun,
kekuasaan para tentara itu tidak bertahan lama karena mereka saling
berselisih dan tidak didukung penduduk akibat kedzaliman mereka. Hal
itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasidan dunia
Islam terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan.
Pada masa Bani Abbasiyah terdapat dinasti-dinasti kecil yang
jumlahnya cukup banyak diantaranya adalah dinasti idrisiyah, dsb. Namun
dalam pembahasan makalah kami ini, penulis akan mengkhususkan pada
pembahasan “Dinasti-Dinasti Kecil Di Barat dan Timur Baghdad.”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi baghdad sebagai pusat peradaban islam?
2. Bagaimana perkembangan dinasti-dinasti kecil di timur dan barat
Baghdad ?
3. Bagaimana kondisi sosial, politik, dan ekonomi dinasti-dinasti kecil di
timur dan barat baghdad?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui kondisi Baghdad sebagai pusat peradaban islam
2. Mengetahui bagaimana perkembangan dinasti-dinasti kecil di timur dan
barat Baghdad
3. Mengetahui kondisi sosial, politik, dan ekonomi dinasti-dinasti kecil di
timur dan barat baghdad?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pusat Peradaban Islam di Baghdad


Kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasiyah kedua, Al-
Manshur (754-755 M) pada tahun 762 M. Setelah mencari-cari daerah yang
strategis untuk ibu kotanya, pilihan jatuh pada daerah yang sekarang
dinamakan Baghdad, terletak di pinggir sungai Tigris.
Setelah masa Al-Manshur, kota Baghdad menjadi lebih masyhur
karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan
islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan
Khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Ma’mun (813-833
M). Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban islam ke
seluruh dunia.1

B. Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Timur Baghdad


Menurut Philip K. Hitti, kota Baghdad merupakan kota terindah
yang dialiri sungai dan benteng-benteng yang kuat serta pertahanan militer
yang cukup kuat. Sekalipun demikian, dinasti ini tidak mampu
mempertahankan integritas negerinya, Karena setelah Khalifah Harun Ar-
Rasyid, daerah kekuasaan dinasti ini mulai goyah, baik daerah yang ada di
bagian barat maupun yang ada di bagian timur Baghdad. Di bagian timur,
menurut J.J. Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil, yaitu Thahiriyah,
Saffariah, dan Samaniyyah.
Faktor-faktor yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini,
yaitu adanya persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan
munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya
persaingan Arab dan Persia. Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan
diri dari kekuasaan pemerintahan pusat di Baghdad itu tidak terlepas dari
persaingan kekuasaan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah dan
munculnya Bani Ali, yang merupakan perpecahan dari Bani Hasyim. Akan
tetapi, perkembangan dinasti-dinasti kecil di timur tampaknya mempunyai
corak dan latar belakang yang berlainan dengan sifat dan tujuan timbulnya
dinasti-dinasti kecil di barat.
1

Pendapat lainnya bahwa kemungkinan munculnya dinasti-dinansti


kecil pada abad ke III Hijriyah, disebabkan banyaknya kegoncangan politik,
yang timbul dalam dunia islam, yang dimanfaatkan oleh para keluarga yang
sudah mempunyai kekuasaan di daerah.

1. DINASTI THAHIRI (200-259 H./820-872 M.)

Dinasti ini didirikan oleh Thahir ibn Husain (150-207 H). seorang
yang berasal dari Persia, terlahir dari desa musanj dekat marw. Ia diangkat
sebagai panglima tentara pada masa pemerintah khalifah Al-Ma’mun. ia
telah banyak berjasa membantu Al-Ma’mun dalam menumbangkan
khalifah Al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaum Alwiyn di
Khurasan.3
Pada tahun 213 H. wilayah kekuasan Abdullah ibn Thahrir di
kurangi dan Al-Ma’mun meyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada
saudaranya sendiri, yaitu Abu Ishak Ibn Harun Ar Rasyid. HaL ini
dilakukan oleh Al-Ma’mun setelah ia menguji kesetiaan Abdullah ibn
Thahrir yang diketahui ternyata cendurung memihak pada keturunan Ali ibn
Thalib.
Sesudah Abdullah Ibn Thahir, jabatan gubernur khurasan dipegang
oleh saudaranya, yaitu Muhammad ibn Thahrir (248-259 H).4 Ia merupakan
gubernur terakhir dari keluargaThahhiri. Kemudian, daerah Khurasan
diambil alih oleh keluarga Saffari melalui perjuagan bersenjata. Keluarga
Saffari merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan.
Ketika mendekati masa kemunduran dinasti Thahiri di Khurasan,
keluarga dan pengikut Alawiyin di Tabaristan menggunakan kesempatan
untuk memunculkan gerakan mereka. Bersamaan dengan gerakan Saffari
yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan, pada tahun 259
H., jatuh dan berakhirlah dinasti Thahiri.
Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiri, dinasti ini
telah memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan,
dan ilmu pengetahuan dunia islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi
salah satu pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur.5

1. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.
277
2. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 143
2

2. DINASTI SAFFARIAH (867-903 M.)


Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Saffariah didirikan oleh
Ya’kub Ibn Al-Laits. Dinasti ini lebih singkat jika dibandingkan dengan
Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. Ia berasal dari
keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil bekerja di perusahaan orang
tuanya. Keluarga ini berasal dari Sijistan. Selain ahli dalam bidang ini, ia
juga dikenal gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin.
Menurut Boswort, sekalipun singkat, kelompok Saffariah ini
memiliki kekuasaan yang cukup luas dan megah. Ya’kub mendapat simpati
dari pemerintah Sijistan pada waktu itu karena dinilai memiliki kesopanan
dan keberanian. Oleh karena itu, Ya’kub ditumjuk umtuk memimpin
pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian
timur, khususnya di Sijistan. Ya’kub juga menaklukkan sisa-sisa kekuasaan
yang pernah dikuasai oleh Thahiriyah yang masih setia di Khurasan
sehingga kekuasaannya semakin luas dan mantap.6
Saffariah juga dikenal sebagai dinasti yang dipimpin oleh rakyat
jelata, dan perilaku mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen-elemen
mereka juga tokoh-tokoh radikal.Ya’kub menjadi pemimpin dinastinya
kurang lebih 11 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 878,
kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr Ibn Al-Laits.7
Pada saat khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadid, Baghdad
tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari
kalangan istana. Pembesar istana menahan Amr, kemudian memberikan
kekuasaannya kepada cucunya, Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr. Setelah
Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada saudaranya
Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khalifah ini berhadapan dengan As-
Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-LAits. Pada saat inilah terjadi
perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti Saffariah.

3. DINASTI SAMANIYAH (875-1004 M.)


Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu
Saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand,
Pirghana, Shash, dan Harat yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah
pada waktu itu. Akan tetapi, ternyata, selain mempunyai hasrat untuk

3.
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 145
4. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 146
5. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.147
menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada mereka, keempat cucu
tersebut juga mendapat simpati warga Persia, Iran.8
3

Berdirinya Dinasti Samaniyah ini didorong pula oleh


kecenderungan masyarakat Iran pada waktu itu yang ingin memerdekakan
diri terlepas dari Baghdad. Oleh karena itu, tegaknya Dinasti Samaniyah ini
bisa jadi merupakan manisfestasi dari hasrat masyarakat Iran pada waktu
itu. Adapun pelopor yang pertama kali memproklamasikan Dinasti
Samaniyah ini, sebagaimana penjelasan Philip K. Hitti adalah Nasr Ibn
Ahmad (874 M.), cucu tertua dari keturunan Samaniyah, bangsawan Balk
Zoroasterian, dan dicetuskan di Transoxiana.
Setelah mencapai puncak gemilangnya bagi bangsa Parsi (Iran),
semangat fanatik kesukuan pun cukup tinggi pada dinasti ini. Oleh karena
itu, ketika banyak imigran Turki yang menduduki posisi di pemerintahan,
dengan serta merta, para imigran Turki tersebut dicopot karena faktor
kesukuan. Akibat ulahnya ini, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran,
karena mendapat penyerangan dari bangsa Turki.9

C. Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad


Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah dengan
kekuatan-kekuatan daerah atau wilayah yang mereka bangun, mereka
menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai dinasti-dinasti kecil yang berdiri
secara independen dan berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya
dengan menaklukkan daerah-daerah yang ada di sekitarnya.

1. DINASTI IDRISIYAH (789-926 M.)


Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris
Abdullah pada tahun 172H./789 M.10 Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah
pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan Syi’ah ke
daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus. Muhammad bin Idris
merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW., yaitu cucu
dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai
hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah.11

6. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 148
7. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 149
8. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 150
4

Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz
terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786, dan terpaksa pergi ke Mesir,
kemudian ke Afrika Utara, di mana pretise keturunan Ali membuat para
tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin
mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, Dinasti
Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil fez sebagai
pusat pemerintahannya.
Paling tidak, ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul dan
menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang
sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari
pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk
ditakulukkannya.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-
Rasyid, (menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya
terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah. Harun Ar-Rasyid memakai
alternatif lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama
Sulaiman Bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah
sehingga Sulaiman mampu membunuh Idris dengan meracuninya.
Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi
tumbang karena bangsa Barbar telah sepakat untuk mengirarkan kerajaan
mereka sebagai kerajaan yang merdeka dan independen.
Dikabarkan bahwa idris meninggalkan seorang hamba yang sedang
mengandung anaknya. Dan ketika seorsng hamba tersebut melahirkan,
kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan nama Idris dan
mengirarkan sumpah setia kepadanya.12 Dan idris inilah yang melanjutkan
jejak bapaknya dan disebut sebagai idris II. Idris I dan putranya Idris II telah
berhasil mempersatukan suku-suku Barbar.
Ada satu riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti
Idrisiyah disebabkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang
membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup
banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara politis. Pada
masa kepemimpinan Yahya III, dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh fatimiyah

9. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 151
10. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 156
11. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.157
dan Yahya terusir dari kerajaan hingga wafatnya di Mahdiyah. Dengan
berakhirnya Yahya, maka berakhir pula Dinasti Idrisiyah.13
5

2. DINASTI AGHLABIYAH (184-296 H)


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid
merasa terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah, kemudian ia
mengirimkan Sulaiman bin Jarir untuk menjadi mata-mata dan pura-pura
menentang Daulah Abbasiyah.
Bersamaan dengan hal itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid juga
menyerahkan kawasan Tunisiah kepada Ibrahim bin Aghlab dengan segala
hak-hak otonomnya dengan tujuan untuk menahan bila Idrisiyah melakukan
ekspansi ke negeri Mesir dan Syam. Sebagai ganti setianya, Ibrahim bin
Aghlab menyerahkan pajak tahunan sebesar 40.000 dinar ke Baghdad.
Karena letak geografis antara wilayah Afrika Utara dan pusat pemerintahan
di Baghdad sangat jauh, daerah tersebut tidak mendapatkan control yang
efektif dari pemerintahan pusat. Akhirnya, dengan daerah Tunisiah dan
Aljazair sebagai wilayah kekuasaannya, berdirilah Dinasti Aghlabiyah
(800-909 M).
Dinasti Aghlabiyah ini didirikan di Aljazariah dan Sisilia oleh
Ibrahim bin Aghlab, seseorang yang dikenal mahir dibidang administrasi.
Dengan kemampuan ilmu administrasinya, ia mampu mengatur roda
pemerintahannya dengan baik.14 Dinasti ini juga terkenal dengan
prestasinya dibidang arsitektur, terutama dalam pembangunan masjid. Pada
masa Ziyadullah yang kemudian disempurnakan oleh Ibrahim II, berdiri
dengan megahnya masjid yang besar, yaitu masjid Qairawan.
Pada abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah megalami
kemunduran, dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarkan oleh
Abdullah AL-Syi’ah atas isyarat Ubaidilah Al-Mahdi telah menanamkan
pengaruh yang kuat dikalangan orang Barbar suku Ketama.15
Pada tahun 909, kekuatan militer tersebut berhasil menggulingkan
kekuasaan Aghlabid yang terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah
diusir ke Mesir setelah gagal mendapatkan bantuan dari pemerintahan pusat
di Baghdad. Ada juga yang berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena
tidak mengadakan perlawanan apapun sebelum Dinasti Fatimiah
mengadakan invasi. Dan sejak itu pula, Ifrikiyah dikuasai oleh orang-orang

12. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 157
13. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 160
Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiah. Salah satu
faktor mundurnya Aghlabiah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan-
ikatan solidaritas sosial semakin luntur.16
6

Dengan semakin berkurangnya pengaruh Aghlabiyah terhadap


masyarakat, dikarenakan adanya kesenjangan sosial, berakhirlah riwayat
Dinasti Aghlabiyah.

3. DINASTI THULUNIYAH (254-292 H)


Didirikan pada 254 H dan bertahan hingga 292 H.17 Pendirinya
adalah Ahmad Ibn Thulun, yaitu seorang budak dari Asia Tengah yang
dikirim oleh panglima Thahir bin Al-Husain ke Baghdad. Dinasti ini
merupakan dinasti yag kecil pertama di Mesir pada pemerintahan
Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Baghdad. Pada mulanya,
Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah di
sana. Pada masa khalifah Al-Mu’taz, Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagai
wali di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai
panglima Turki di belahan barat. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Ahmad
Ibn Thulun dengan memproklamasikan indepedensi wilayahnya dan
membentuk Dinasti Thuluniyah.
Keberadaan Dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar
dan kuat, apalagi setelah adanya ikatan kuat melalui perkawinan antara
Ahmad Ibn Thulun dengan saudara Yarjukh. Al-Muwaffaq (salah seorang
saudaranya khalifah Al-Mu’tamid pada saat itu), merasa iri hati dan ia
merencanakan untuk membuat strategi dalam memengaruhi khalifah agar
menyerang Ahmad sehingga tidak terhindarkan lagi terjadinya benturan
fisik antara Khalifah Al-Mu’tamid dengan Ahmad Ibn Thulun.
Beberapa saat setelah peristiwa peperangan tersebut, Ahmad Ibn
Thulun menderita sakit, dan lama kelamaan sakitnya bertambah parah,
akhirnya ia meninggal pada tahun 270 Hijriah dalam usia 50 tahun dan
kekuasaan pun pindah ke tangan putranya yang tertua bernama Al-
Khumarwaihi. Ketika kekuasaan berada di tangan Al-Khumarwaihi, yaitu
pada tahun 884-895 M., Dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Pada
masa ini pula, khalifah Al-Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah
Mesir. Pada saat itu pula berbagai prestasi Dinasti Thuluniyah telah banyak

14. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 161
15. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 162
16. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 163
dicapai. Dinasti Thuluniyah mampu mengukir dan memperkaya peradaban
Islam yang semasa Dinasti Umayyah mengalami kemunduran.18
7

Selama beberapa tahun menjelang berakhirnya masa kekuasaan Al-


Khumarwaihi, pada dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejala
memburuk, yaitu pada tahun 896 M., Al-Khumarwaihi meninggal dan tahta
kerajaan secara berurutan diserahkan kepada Abu Al-‘Asakir Jaisy Ibn
Khumarwaihi (895-896 M), kemudian Harun bin Khumarwaihi dan Saiban
Ibn Ahmad Ibn Thulun.
Pada masa kekuasaan terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang
sekte-sekte keagamaan Qaramitah yang berpusat di Gurun Siria. Melihat
keadaan seperti itu, Syaiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk
mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula
Khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Dinasti
Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Baghdad.
Setelah ditakulukkan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.19

4. DINASTI IKHSIDIYAH (324-358 H)


Dinasti Ikhsidiyah ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang
diberi gelar Al-Ikhsyid (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammad Ibn Tughi
diangkat menjadi seorang gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar-
Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan wilayah Nil
dari serangan kaum Fatimiah yang berpusat di Afrika Utara.
Pada masa Dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam
dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi
keagamaan yang dipusatkan di masjid-mesjid dan rumah para menteri dan
ulama. Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti Ikhsidiyah
mengadakan ekspansi besar-besaran dengan menundukkan Siria dan
Palestina ke dalam otonomi wilayahnya. Pada tahun berikutnya, Ikhsidiyah
menaklukkan wilayah Mekkah dan Madinah. Dengsn demikian, kekuasaan
Ikhsidiyah bertambah besar dan pesat. 20
Ada beberapa faktor kehancuran Dinasti IKhsidiyah, yaitu selain
karena serangan terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa

17. Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam (Jakarta: Penerbit Zaman, 2014), h. 476
18. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 164
sebelum penaklukan oleh Fatimiah, telah terjadi pula penyerangan
Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M. 22

5. DINASTI HAMDANIYAH (293-392 H)


Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang Amir dari
suku Taghlib. Putranya Al-Husain adalah panglima pemerintahan
Abbasiyah dan Abu Al-Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Maosul
pada tahun 905 M. Wilayah kekuasaan Dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu
wilayah kekuasaan di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah
kekuasaan di Halb, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan ilmu
pengetahuan.
Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan beralih pada seorang
putranya, yaitu Hasan Ibn Abu Haija yang diberi gelar oleh khalifah sebagai
Nashir Ad-Daulah dan Ali Ibn Abu Haija yang bergelar Syaif Ad-Daulah.
Syaif Ad-Daulah yang inilah yang berhasil menguasai daerah Halb dan
Hims dari kekuasaan Dinasti Iksidiyah.
Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa faktor. Pertama,
meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta
memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak
bertanggung jawab dan sikapnya yang destruktif tetap ia jalankan. Dengan
sikap seperti itu, Suriah, dan Aljazirah merasa menderita karena kerusakan
yang ditimbulkan oleh peperangan. Hal inilah yang menjadikan kurangnya
simpati masyarakat dan wibawanya jatuh. 23
Kedua, bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan
Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya Dinasti Hamdaniyah di
Suriah menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari dari
invasi wilayah kekuasaannya dari serangan bizantium yang energik.
Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan,
juga melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini
mengakibatkan terbunuhnya Said Ad-Daulah. Akhirnya, dinasti ini pula
takluk pada Dinasti Fatimiah.

20. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 165
21. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 166
22. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 167
Setelah mencermati uraian yang cukup panjang mengenai dinasti-
dinasti kecil di barat Baghdad, kiranya dapat diambil beberapa catatan
berikut. 24

10

Pertama, paling tidak, terdapat lima latar sosial politik munculnya


dinasti-dinasti kecil di bagian barat Baghdad, yaitu:
1. Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan
kemajuan peradaban disbanding dengan mengadakan ekspansi dan
politisasi, sehingga memberikan banyak peluang terhadap wilayah-
wilayah atau provinsi-provinsi tertentu yang jauh dari pusat kekuasaan
untuk melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan
Abbasiyah.25
2. Karena peta kekuasaan Abbasiyah yang tidak diakui oleh Spanyol dan
seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir.
3. Masalah fanatisme atau ras kebangsaan (Syu’ubiyat) yang membuat
mereka melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah.
4. Adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak terkonrol karena
yang memberi hak berada jauh dari pemerintahan pusat; dan
5. Terlalu luasnya kekuasaan Abbasiyah.

Kedua, bahwa proses pelepasan daerah-daerah kecil itu memakai salah


satu dari dua cara, yaitu menunjuk seseorang yang diangkat menjadi
gubernur oleh khalifah untuk menjadi pemimpin kekuasaan kecil.

Ketiga, bahwa munculnya dinasti-dinasti kecil ini, meskipun banyak


mengancam terhadap kedudukan pemerintahan Abbasiyah, juga banyak
memberikan konstribusi terhadap pengembangan khazanah ilmu
pengetahuan, kebudayaan, sehingga perluasan wilayah, juga memberikan
konstribusi terhadap pemerintahan pusat untuk mengantisipasi serangan
dari pihak luar.26

D. Kondisi Sosial, Politik, dan Ekonomi Dinasti Kecil Di Timur dan Barat
Sebagian kecil dinasti kecil yang tumbuh di timur adalah keturunan
Parsi. Meskipun secara politik tidak menimbulkan kesulitan bagi

23. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 167
24. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 168
pemerintahan pusat di Baghdad, dari segi budaya memberikan corak
perkembangan yang baru, yaitu kebangkitan kembali nasionalisme dan
kejayaan bangsa Iran Lama.27

11

Diliat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya dinasti-dinasti kecil


tersebut memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi, seperti
Samarkand atau Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama. Kota-kota
itu menjadi transit perdagangan bagi dunia Islam belahan timur. 28

Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan


pemerintahan pusat di Baghdad, tidak terlepas dari persaingan kekuasaan
antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang
merupakan pecahan dari Bani Hasyim. Perpecahan dan tersebarnya
kekuasaan tersebut, namun di satu segi dipandang sebagai suatu
kemunduran dan perpecahan, namun di segi lain, dipandang membawa
kecenderungan bagi kemungkinan persaingan diantara dinasti-dinasti.

Tiga dinasti yang ada di bagian timur Baghdad, seperti thohiriyah,


Samani, pada awalnya didirikan atas restu Baghdad sebagai pusat
kekuasaaan umat Islam pada waktu itu. Restu dalam arti untuk memipin
sebuah wilayah kegubernuran. Akan tetapi, setelah mendapat kepercayaan
Baghdad, mereka membelot dan ingin mendirikan negeri yang independen,
berpisah dari Baghdad.

Faktor yang mendorong timbulnya dinasti baru, disamping karena


syu’ubiyah qabilah, juga adanya persaingan jabatan khalifah Baghdad pada
waktu itu. Faktor lainnya karena lemahnya kontrol dari pemerintah Baghdad
terhadap wilayah kekuasaannya.

Dinasti-dinasti kecil ini sebenarnya tidak melepaskan diri secara


total dari Baghdad. Bahkan, kerjasama berjalan dengan baik. Jadi, mereka
bukan oposisi Baghdad, tapi tampak sebagai mitra Baghdad. 29

25. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 168
26. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 169
27. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 152
12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah
wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat, proses yang sama telah terjadi
di Timur terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia. Pada masa
kekuasaan Bani Abbasiyah terdapat 3 dinasti kecil yang berada di
sebelah timur Baghdad, yakni:
a. Dinasti Thahiriyah
b. Dinasti Saffariah
c. Dinasti Samaniyah
2. Dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah
kekuasaan Khalifah dari Barat. Pada masa kekuasaan bani Abbasiyah
terdapat 5 dinasti kecil yang berada di sebelah barat Baghdad, yakni:
a. Dinasti Idrisiyah
b. Dinasti Aghlabiyah
c. Dinasti Thuluniyah
d. Dinasti Ikhsidiyah
e. Dinasti Hamdaniyah
3. Pelepasan wilayah kekuasaan dinasti-dinasti kecil di barat dan timur
Baghdad dari Dinasti Abbasiyah disebabkan beberapa faktor:
a. Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih
menitikberatkan kemajuan peradaban disbanding dengan
mengadakan ekspansi dan politisasi.

28. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 153
29. 23. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 154
b. Karena Dinasti Abbasiyah tidak diakui di Spanyol dan seluruh
Afrika Utara, kecuali Mesir, sehingga membuat daerah-daerah yang
jauh mendirikan dinasti-dinasti kecil.
c. Adanya pemberian hak otonom, sehingga tidak terkontrol karena
berjauhan dari pemerintahan pusat, dan terlalu luasnya kekuasaan
Abbasiyah.

DAFTAR PUSTAKA

___Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,


(Jakarta: Rajawali Pers, 2016, Cetakan ke-27)

___Muhammad A.Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam,


(Jakarta: Penerbit Zaman, 2014, Cetakan Pertama)

___Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,


(Bandung: Pustaka Setia, 2008, Cetakan Pertama)

___https://alriyad20.wordpress.com/2015/04/07/hadits-mawadhu/amp/

Anda mungkin juga menyukai