Anda di halaman 1dari 18

DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGIAN TIMUR DAN BARAT

BAGHDAD

DOSEN PENGAMPU : ANITA SUFIA, M.PdI

KELOMPOK V

DARUL HUDDI NIM : 19620016

YUSLIKHATIN NIM : 19620018

VIVI YENNI ARYANTI NIM : 19620056

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

i
DAFTAR ISI

BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................................. 2
BAB II ...................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 3
A. DINASTI THAHIRIYAH (205-259 H/ 821-873 M) .................................................... 3
B. DINASTI SHAFFARIYAH (253- sekitar 900 H/867 -1495 M) ................................. 5
C. DINASTI SAMANIYAH ( 875-1004 M) ..................................................................... 8
D. DINASTI IDRISIYAH (789-926 M) ............................................................................ 8
E. DINASTI AGHLABIYAH (800-909 M) ................................................................... 10
F. DINASTI THULUNIYAH (868-901) ........................................................................ 11
G. DINASTI IKHSIDIYAH (935-969 M)....................................................................... 13
H. DINASTI HAMDANIYAH (972-1152 M) ................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurur pakar sejarah islam, masa dinasti Abbassiyah membawa banyak
perubahan mengingat jasanya sangat besar dalam kejuan peradaban islam terutama
perkembangan dalam ilmu pengetahuan yang sangat mendalam. Hal ini ditandai
dengan berdirinya kota-kota yang cukup megah serta berbagai peninggalan lainnnya
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, filsafat, arsitektur, dan peradabannya yang
maju dibanding bangsa lainnya pada zaman itu. Dinasti Abbassiyah berkuasa cukup
lama sejak tahun 750 - 1258 M.

Sekalipun pernah menjadi dinasti yang sangat kuat, dinasti ini ternyata tidak mampu
mempertahankan kekuasaannya terhitung sejak khalifah Harun Ar-rasyid digantikan
kekuatan kekhalifahan mulai goyah. Masa dalam dinasti Abbassiyah terbagi menjadi
tiga periode :

a. Periode keemasan (750 – 950 M )


b. Periode disintegrasi (950 – 1050 M )
c. Periode kemunduran dan kehancuran (1050 – 1258 M )

Kemunduran dinasti ini disebabkan oleh berbagai sebab. Diantaranya adalah


munculnya beberapa dinasti kecil dibagian timur dan barat Baghdad. Dinasti-dinasti
kecil ini berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan pusat serta adapula yang
meminta untuk otonomi.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, agar pembahasan terarah maka dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah berdirinya dinasti-dinasti kecil di bagian timur Baghdad : dinasti
Thahiri, dinasti Saffariah dan dinasti Samaniyah?
2. Bagaimana sejarah berdirinya dinasti-dinasti kecil di bagian barat Baghdad : dinasti
Idrisiyah, dinasti Aghlabiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti Ikhsidiyah dan dinasti
Hamdaniyah?
3. Bagaimana perkembangan dinasti-dinasti kecil di barat Baghdad serta di timur
Baghdad?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DINASTI THAHIRIYAH (205-259 H/ 821-873 M)


Dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205 di Nisabur,
Khurasan, Persia. Ia merupakan kelompok etrnis pertama di Timur Bagdad yang
memperoleh semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir ibn Husein lahir di
Merv pada 159 H dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Merv dan Harrah,
Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hubungan antara pemerintah Abbasiyah di Bagdad dengan keluarga Thahir sudah terjalin
sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintah Bagdad memberikan kepercayan
kepada generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk melanjutkan estafet kepemimpinan
lokal. Tujuannya tetap sama, yaitu menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam
Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad dan menjadi pelindung dari berbagai
kemungkinan serangan negara-negara tetangga di Timur.
Latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan
kekuasaan antara al-Makmun dengan al-Amin. Perseteruan tersebut terjadi setelah
khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perseteruan tersebut akhirnya
dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang
cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui
kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai
bentuk penghargaan atas jasanya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain atau
Dzul Yaminayn , bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat
(minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir juga memperoleh kepercayaan
untuk menjadi gubernur di kawasan Timur Bagdad, dengan Khurasan dan Nisabur sebagai
pusat pemerintahannya. Tawaran dan jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk
meniti karier politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang diraihnya
ternyata belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan
Bagdad. Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara melepaskan diri dari pemerintahan

3
Bagdad. Di antaranya dengan tidak lagi menyebut nama khalifah dalam setiap kesempatan
dan mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang
independen dari pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada
207 H, setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun
begitu, khalifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir
untuk memegang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir
meninggal, jabatan gubernur diserahkan kepada puteranya bernama Thalhah ibn Thahir.
Dinasti Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abd
Allah ibn Thahir, saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di
mata masyarakat dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi
dan kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran
dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang pernah
dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, terus ditingkatkan. Peningkatan keamanaan di
wilayah perbatasan terus dilakukan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang
mengacaukan pemerintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan
ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberikan ruang yang cukup luas bagi upaya
pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di lingkungan
masyarakatnya di wilayah Timur Bagdad.
Dalam perjalanan selanjutnya, dinasti ini justeru tidak mengalami
perkembangan ketika pemerintahan dipegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H),
saudara kandung Abd Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya
antara lain, adalah pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah
Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggusur
dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu dinasti
Saffariyah. Muhammad ibn Thahir II memiliki kemampuan yang rendah dibandingkan
pendahulu-pendahulunya, pada tahun 259H/873 M dia menyerahkan Nisyapur kepada
Ya’qub ibn Layts. Pada tahun 271H/885 M dia ditunjuk kembali menjadi gubernur,
namun tidak pernah menjalankan jabatan itu dengan baik, dan dia meninggal pada awal
abad kesepuluh.

4
Faktor lain penyebab kemuduran dan kehancuran dinasti Thahiriyah adalah
pola dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan para penguasa dinasti ini. Gaya hidup
seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya
perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Selain itu,
persoalan keamanan dan keberlangsungan pemerintahan juga tidak terpikirkan secara
serius, sehingga keadaan ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok lain yang memang
sejak lama mengincar posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kelompok Saffariyah.
Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad untuk menumpas sisa-
sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Bagdad
dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti Thahiriyah
yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad.

B. DINASTI SHAFFARIYAH (253- sekitar 900 H/867 -1495 M)


Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa
di dunia Islam. Wilayah kekuasaan dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran.
Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin kelompok
khawarij di provinsi Sistan.
Gelar al-Saffar dilekatkan di belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia
adalah seorang ahli dalam me-nempa tembaga atau kuningan, semacam mpu di Jawa,yang
diwarisi secara turun temurun. Kegagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat
dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan
gerakan perampokan. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang
melintas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudian
diberikan kepada para fakir miskin.
Pada mulanya, Ya’kub ibn Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr ibn Layts
membantu pasukan pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberontakan yang
dilakukan oleh sisa-sisa tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di
Sijistan, membawanya ke puncak pimpinan tentara sebagai komandan untuk menaklukkan
wilayah Herat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan Persia yang digabungkan
dengan Balkh. Atas jasa dan prestasinya, khalifah al-Mu’tamid mengangkatnya menjadi

5
gubernur membawahi wilayah Balkh, Turkistan, Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi
Ya’kub ternyata tidak cukup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan
mengalahkan Fars pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars. Kemudian pada 873
M menduduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian, tepatnya pada
875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha menduduki ibu kota tersebut.
Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya dihadang oleh pasukan al-
Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyurutkan ambisinya, malah ia
bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia keburu meninggal
dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap sebagai gubernur yang tidak loyal, yang
melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan gubernur untuk
wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu Amr ibn Layts.
Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar ini justeru
mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr ibn
al-Layts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah kekuasannya hingga
Transoxania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya dihambat oleh Bani Saman,
dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali
Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepenuhnya merdeka, karena ia harus
tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan posisi jabatan gubernur tetap berada di
bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali terjadi pergantian
penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain
setelah dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada
pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi
menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui
secara pasti mengapa dinasti ini bertahan begitu lama. Hal pasti yang dapat ditegaskan di
sini bahwa keberadaan dinasti ini karena persoalan politik praktis dan pragmatis. Sebab
menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti ini adalah ambisinya untuk
memperoleh kekuasaan otonomi di Sijistan, sebagai pusat pemerintahannya. Karenannya,
ketika kekuasaan datang silih berganti, dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di
Sijistan hingga abad ke-15 M.

6
Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa
pemerintahan Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya sampai ke
Afganistan Timur.

Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, terutama


perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan
dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena
itu, faktor inilah yang kemungkinan menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini berkuasa
di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung
pemerintahan, terutama komunitas masyarakat miskin. Seorang amir abad kesepuluh,
Khalaf ibn Ahmad, menjadi termasyhur sebagai pelindung ilmu pengetahuan.
Pada tahun 393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan
menjadikannya sebagai wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan
pada pertempuran Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas
memperkuat posisinya, mula-mula berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai
bawahan ghuriyyah. Bahkan setelah invasi Mongol dan Timur, kejadian-kejadian yang
begitu kalut dan menyedihkan bagi sebagian besar dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah
berhasil bertahan sampai akhir abad kelima belas.

7
C. DINASTI SAMANIYAH ( 875-1004 M)
Berdirinya dinasti ini bermulai dari pengangkatan empat orang cucu Saman
oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash,
dan Harat yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. Akan tetapi
selain mempunyai hasrat untuk menguasai wilayah yang diberikan khalifah kepada
mereka, keempat cucu tersebut juga mendapat simpati warga Persia, Iran.

Berdirinya dinasti Samaniyah ini di dorong pula oleh kecenderungan


masyarakat Iran pada waktu itu yang ingin memerdekakan diri terlepas dari Baghdad.
Adapun pelopor yang pertama kali memproklamasikan dinasti Samaniyah ini
sebagaimana penjelasan Philip K. Hitti adalah Nasr Ibn Ahmad, cucu tertua dari
keturunan Samaniyah.

Salah satu keberhasilan dinasti Samaniyah adalah menciptakan kota Bukhara


sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang terkenal di seluruh dunia, selain
kota Bukharah, Samaniyah juga berhasil membangun Samarkand, hingga mampu
menandingi kota-kota lainnya di dunia islam pada waktu itu, selain sebagai kota ilmu
pengetahuan dan budaya, kota Samarkand juga telah menjadi kota perdagangan.

D. DINASTI IDRISIYAH (789-926 M)


Dinasti ini didirikan salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris Ibn Abdullah
pada tahun 172 H/789 M. Muhammad bin Idris ini merupakan salah satu cucu Nabi
Muhammad SAW., dari Hasan bin Ali. Dengan demikian dia mempunyai hubungan
dengan garis imam-imam Syi’ah, dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan
keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah.

Ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah mencul dan menjadi dinasti yang
kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar,
dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada
di Baghdad sehingga sulit untuk di taklukannya. Pada masa kekhalifahn Bani
Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, ia merasa posisinya terancam dengan
hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk

8
mengirim pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun factor geografis yang
berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai
alternatif lain yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir
yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehingga Sulaiman mampu
membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki
kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang


karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan mereka sebagai
kerajaan yang merdeka sebagi kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan
pula bahwa Idris meninggalkan hamba yang sedang mengandung anaknya, dan ketika
seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberinya nama Idris dan Idris
inilah yang melanjutkan jejak ayahnya. Dan akhirnya Dinasti ini di pimpin oleh
beberapa pemimpin setelah Idris II meninggal.

Dinasti Idrisiyah mengalami kemunduran pada masa Yahya IV saat kota Fez
dan wilayah-wilayh Idrisiyah mengalami pertikaian, seorang cucu Idris II yang
bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan sekitarnya. Akan tetapi kemudian ia
mendapat pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehingga kekuasaannya
hilang dan hidupnya berakhir pada than 926 M.

Ada juga riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah


disebabkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan
kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga
mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara politis. Pada masa kepemimpinan Yahya
III, Dinasti Idrisiyah ditaklukan oleh Fathimiyah dan Yahya terusir dari kerajaan
hingga wafatnya di Mahdiyah. Dengan berakhirnya Yahya berakhir pula riwayat
Dinasti Idrisiyah.

9
E. DINASTI AGHLABIYAH (800-909 M)
Dinasti Aghlabiyah merupakan Dinasti yang kecil pertama di Mesir pada
pemerintahan Abbasiyah yang terpisah dari dunia islam. Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa khalifah Harun Ar-Rasyid merasa terancam dengan hadirnya
Dinasti Idrisiyah, kemudian ia mengirimkan Sulaiman bin Jarir untuk menjadi mata-
mata dan berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah.

Dinasti Aghlabiyah ini didirikan di Aljazariyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin
Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi, Dinasti ini juga terkenal
dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam membangun masjid.

Pada akhir abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami


kemunduran, dengan masuknya propaganda syi’ah yang di lancarkan oleh abdulloh
Al-Syi’ah atas isyarat Ubaidillah Al-Mahdi telah menanamkan pengaruh yang kuat di
kalangan orang-orangBarbar suku Ketama.

Pada tahun 909, kekuatan militer tersebut berhasil menggulik kekuasaan


Aghlabid yang terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah diusir di Mesir setelah
gagal mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat di Baghdad. Ada juga yang
berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena tidak mengadakan perlawanan apapun
sebelum Dinasti Fatimiah mengadakan invasi. Dan sejak itu pula Ifrikiyah dikuasai
oleh orang-orang syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk Dinasti Fatimiah.
Salah satu factor mundurnya Aghlabiyah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan
ikatan-ikatan solidaritas social semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya
dimiliki oleh meraka yang sangat menguasai rakyat, sanggup memungut iuran
Negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang
penguasa pun berada atasnya.

Dengan semakin berkurangnya pengaruh Aghlabiyah terhadap masyarakat,


dikarenakan adanya kesenjangan social, berakhirlah riwayat Dinasti Aghlabiyah.

10
F. DINASTI THULUNIYAH (868-901)
Dinasti ini merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan
Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh
Ahmad Ibn Thulun, yaitu seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh
panglima Thahir bin Al-Husain ke Baghdad untukn dipersembahkan kepada Khalifah
Al-Makmun dan diangkat menjadi kepala pegawai Istana.

Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang dikenal kegagahan dan
keberaniannya, dia juga seorang yang dermawan, hafidz, ahli di bidang sastra, syariat,
dan militer.

Pada mulanya, Ahmad Ibn Thulun dating ke Mesir sebagai wakil gubernur
Abbasiyah di sana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke
Palestina dan Suriah. Pada masa khalifah Al-Mu’taz, Ahamad Ibn Thulun ditunjukn
sebagai wali di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai
panglima di Turki di belahan barat. Masa ini merupakan masa disintegrasi dan
distabilitas politik pemerintahan Abbasiyah. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh
Ahmad Ibn Thulun dengan memproklamasikan independensi wilayahnya dan
membentuk Dinasti Thuluniyah. Meskipun demikian, Thuluniyah masih tetap
memperlihatkan loyalitasnya pada Baghdad melalui penyebutan nama khalifah dalam
khutbah Jumat dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta pembayaran pajak
sejumlah 300.000 dinar.

Keberadaan Dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat,


apalagi setelah adanya ikatan kuat melalui perkawinan antara Ahmad Ibn Thulun
dengan saudara Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang diperoleh Thuluniyah.
Ahmad Ibn Thulun mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz di Semenanjung
Arabia hingga Palestina dan Siria, yaitu pada tahun 878 M., serta wilayah Sisilia di
Asia kecil pada tahun 879 M.

Posisi Ahmad Thulun yang secara politis banyak menguntungkan bagi


penguatan kekuasaannya tersebut, Al-Muwaffaq (salah seorang saudaranya Khalifah

11
Al-Mu’tamid pada saat itu), merasa iri hati dan merencanakan untuk membuat
strategi dalam memengaruhi khalifah agar menyerang Ahmad sehingga tidak
terhindarkan lagi terjadinya benturan fisik antara Khalifah Al-Mu’tamid dengan
Ahmad Ibn Thulun.

Beberapa saat setelah peperangan tersebut, Ahmad Ibn Thulun menderita sakit
dan beliau meninggal pada tahun 270 Hijriyah di usia 50 tahun dan kekuasaannya
pun pindah ke tangan putra tertuanya yang bernama Al-Khumarwaihi (884-895 M).
dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya pada masa ini.

Pada saat itu prestasi yang diraih oleh dinasti tersebut ialah dalam bidang seni
arsitektur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan
rumah sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan
Istana Al-Khumarwaihi dengan balairung emasnya.

Kemajuan prestasi di bidang lainnya adalah di bidang militer, Thuluniyah


memiliki 100.000 prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian
dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun kubu-kubu pertahanan dan sebuah
benteng yang kokoh di atas pulau Ar-Raudah. Pada masa itu juga, banyak dibangun
irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sungai Nil.

Dinasti Thuluniyah mulai kelihatan adanya gejala-gejala memburuk ketika


Al-Khumarwaihi meninggal pada tahun 896 M dan tahta kerajaan d=secara berurutan
diserahkan kepada Abu Al-‘Asakir Jaisy Ibn Khumarwaihi (895-896 M), kemudian
Harun bin Khumarwaihi dan Saiban Ibn Ahmad Ibn Thulun.

Pada masa kekuasaan terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-sekte


keagamaan Qaramitah yang berpusat di Gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu,
Syaiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte
tersebut, dan bersamaan dengan itu pula Khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan
untuk menaklukkan dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih
hidup ke Baghdad. Setelah ditaklukkan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.

12
G. DINASTI IKHSIDIYAH (935-969 M)

Dinasti Ikhsidiyah ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar
Al-Ikhsyid (pangeran) pada tahun 935 M. ia diangkat menjadi seorang gubernur di
Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan
memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat di
Afrika Utara.

Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena
ditopang dengan kemilliteran Ikhsidiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal
sejumlah 40.000 orang dan 800 orang pengawal pribadinya.

Pada masa Dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia
keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang
dipusatkan di masjid-masjid dan rumah para meteri dan ulama. Dna juga dibangun
sebuah pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal
dengan nama Syuq Al-Waraqin.

Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti Ikhsidiyah mengadakan


ekspansi besar-besaran dengan menundukkan Siria dan Palestina ke dalam otonomi
wilayahnya. Pada tahun berikutnya, ikhsidiyah menaklukkan wilayah Mekah dan
Madinah. Dengan demikian, kekuasaa Ikhsidiyah bertambah besar dan pesat. Bahkan
menurut Bosworth, Kafur (965-967 M) pemimpin keempat setelah Ibn Tughi, Abu
Al-Qasim Ibn Al-Ikhsyid (954-960 M) dan Ali Ibn Al-Ikhsyid (960-965 M) memiliki
kekuasaan yang tidak terbatas.

Pada masa Kafur yang termashyur sebagai pelindung liberal kesusastraan dan
seni, beberapa sernagan yang dilancarkan di Fatimiah di sepanjang pantai Afrika
Utara dapat diatasi. Akan tetapi, sepeninggal Kafur pada tahun 968 M, Ikhsidiyah
menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu Al-Fawarisaris Ahmad Ibn Ali (967-
972 M) yang menerima warisan tahta setelah Kafur, tampaknya tidak bertahan lama,
dikarenakan kepemimpinannya yang sangat lemah, sehingga serangan yang terus-

13
menerus dilancarkan oleh Fatimiah terhadap pemerintahannya, memuat dinasti ini
tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada
akhirnya, Ikhsidiyah dapat ditakhlukkan pula oleh Fatimiyah sehingga jatuhnya
kekuasaan itu

Ada beberapa factor kehancuran Dinasti Ikhsidiyah, yaitu selain karena


serangan terus-menerus yang dilancarkan Fatimiyah, pada masa sebelum penaklukka
Fatimiah, terjadi pula penyerangan Qarmatain ke Siria pada tahun 963 M. selain itu
juga, terjadi penyekapan Jemaah haji Mesir serta serbuan orang-orang Nubia yang
berhasil merampas daerah-daerah wilayah selatan.

H. DINASTI HAMDANIYAH (972-1152 M)

Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang Amir dari suku
Taghlib. Putranya Al-Husein adalah panglima pemrintahan Abbasiyah dan Abu Al-
Hajja Abdullah diangkat menjadi Gubernur Maosul oleh Khalifah Al-Muktafi pada
tahun 905 M.

Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh
khalifah Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum Khawarij untuk menentang
kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya, Husain Ibn Hamdun
diampuni oleh Khalifah Abbasiyah.

Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di
Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah kekuasaan di Halb, terkenal sebagai
pelindung kesusastraan arab dan ilmu pengetauan. Pada masa itu pua, muncul tokoh-
tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti
di bidang ilmu Nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn Nashr Ad-
Daulah, Abu A’la Al-Ma’ari, dan Syaif Ad-Daulah sendiri yang mendalami ilmu
sastra serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.

14
Setelah meninggalnya Haija, tahta kerajaan beralih pada seorang putranya,
yaitu Hasan Ibn Abu Hajja yang diberi gelar oleh khalifah sebagai Nashir Ad-Daulah
dan Ali Ibn Abu Haija yang bergelar Syaif Ad-Daulah. Syaif Ad-Daulah inilah yang
berhasil menguasai daerah Halb dan Hims dari kekuasaan Dinasti Ikhsidiyah yang
kemudian menjadi pendiri Dinasti Hamdaniyah di Halb

Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa factor. Pertama, meskipun


dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat
perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak bertanggung jawab dan
sikapnya yang destriktif tetap ia jalankan.

Kedua, kebangkitan kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan


Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya Dinasti Hamdaniyah tidak bisa
menghindari dari invasi wilayah kekuasaannya dari serangan Bizantium yang
energik. Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan Allefo
dan Himsh terlepas dari wilayah kekuasaannya, hingga Dinasti Hamdaniyah menjadi
lumpuh.

Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan, juga


melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini mengakibatkan
terbunuhnya Said Ad-Daulah yangtengah memegang tampuk kekuasaan Dinasti
Hamdaniyah. Akhirnya, dinasti ini pula takluk pada Dinasti Fatimiah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, D. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia


Hitty, Philip K.,2010. History of the Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Setia.
Bosworth C.E., 1980. The Islamic Dynasties, Eidenburgh, 1980. Terjemahan dalam
bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan.1993. Bandung: Mizan anggota IKAPI.
Rahmatullah A.A, Muhammad. Dinasti-Dinasti di Timur Baghdad. Di
http://ra4103gmail.blogspot.com/2011/11/dinasti-dinasti-di-timur-baghdad.html (diakses
pada 25 September 2019 )

16

Anda mungkin juga menyukai