Anda di halaman 1dari 25

Perkembangan Peradaban Islam pada dinasti-dinasti Kecil

di Timur Bagdad

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Team Teaching:
Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum.
Dr. Zaimudin, M.A.
Dr. Iin Kandedes, M.A.

Disusun oleh:

Aa Saprudin : 21200110000001

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H./2021 M.
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji Syukur Kita panjatkan atas kehadirat Allah swt atas segala rahmat, hidayah dan
inayah-Nya sehingga pemakalah mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen
pengampu kepada kami untuk menghadirkan sebuah makalah dengan judul “Perkembangan
Peradaban Islam pada Dinasti-dinasti Kecil di Timur Bagdad“

Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikut beliau ampai akhir zaman.

Makalah yang penulis sajikan sedapat mungkin penulis hadirkan dalam bentuk yang
mudah dimengerti. Namun demikian, penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan
penyampaian materi di dalam makalah penulis. Karenanya, penulis menerima kritik dan saran
dari berbagai pihak tertentu terutama dari bapak/ibu Selaku pembimbing dari mata kuliah demi
kesempurnaan ini makalah penulis dan pelajaran dikemudian hari.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, April 2021

Pemakalah
iii

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...................................................................................................................... i


Kata Pengantar ......................................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1


A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

C. Tujuan .................................................................................................................... 3

D. Sistematika Penulisan ............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 4


A. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Dinasti Kecil di Bagdad ................................. 4

B. Sejarah Awal Kemunculan, Kemajuan, dan Runtuhnya Dinasti Kecil di Bagdad serta
hubungannya dengan Pemerintah pusat dan dengan dinasti kecil lainnya ..................... 6
1. Dinasti Thahiriyah .................................................................................................... 6
2. Dinasti Saffariyah .................................................................................................... 8
3. Dinasti Samaniyah .................................................................................................10
4. Dinasti Ghaznawi ...................................................................................................12
5. Dinasti Buwaihi .....................................................................................................15
6. Dinasti Saljuk ........................................................................................................17

BAB III PENUTUP .......................................................................................................................... 21


A. Kesimpulan .................................................................................................................. 21

B. Saran ............................................................................................................................ 21

Daftar Pustaka .................................................................................................................... 22


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abul Abbas Ash-Shafah, adalah sosok dibalik berdirinya dinasti Abbasiyah
pada tahun 132 H/750 M dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti
Abbasiyah berlangsung selama + 5 abad dari tahun 750 M – 1258 M atau 132-656 H.
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Oleh karenanya para sejarawan
membagi masa pemerntahan Bani Abbasiyah dalam empat periode. 1
Pada periode pertama, pemerintahanan Bani Abbas mencapai puncak
keemasannya. Secara politis khalifah merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Pada
periode ini pula pemerintahan bani Abbas berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini
berakhir, pemerintahan bani Abbas mulai menurun secara politik sedangkan dalam
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan terus mengalami perkembangan. 2
Desentralisasi kekuasaan Abbasiyah terjadi pada era Khalifah Abu Fadl Ja’far
al Mutawakkil sampai pertengahan khalifah an Nashir. Era ini juga sering disebut era
pertengahan awal (945 – 1258 M). Era desentralisasi ini diawali dengan adanya
instabilitas politik Abbasiyah sehingga banyak wilayah yang mendirikan dinasti-dinasti
kecil otonom, yakni dinasti yang masih mengakui khalifah Bani Abbasiah sebagai
simbol kekhalifahan. Bahkan ada yang mendirikan dinasti berdaulat penuh. Periode ini
merupakan periode kemunduran kekuasaan Abbasiyah, baik dari sisi identitas
peradaban maupun wilayah teritorial. Jabatan khalifah tidak lagi bersifat fungsional
seperti sebelumnya, kecuali dalam batas-batas yang sangat minim. Kesatuan umat
Islam tidak lagi disatukan oleh kekhalifahan Abbasiyah tetapi oleh lembaga-lembaga
keagamaan otonom. fakta ini berawal ketika kelemahan khalifah al Mutawakkil yang
sudah tidak dapat mengendalikan kekuatan tentara Turki padahal sebelumnya tentara

1
Periode I yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasiyah sampai meninggalnya khalifah al Watsiq (132 H – 232 H);
Periode II yaitu mulai khalifah al Mutawakkil sampai berdirinya daulah Buwaihiyah (232 H – 334 H); Periode III
yaitu dimulai dari berdirinya daulah Buwaihiyah sampai masuknya kaum Saljuk ke Bagdad (334 H – 447 H);
periode IV yaitu masuknya orang-orang saljuk ke Bagdad sampai jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol
(447 H – 656 H). Lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2014). H.
138-141
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) h. 50

1
yang diangkat oleh al Mu’tashim ini dapat dikendalikan dengan baik yang kemudian
dilanjutkan oleh al Watsiq. 3
Terdapat dua jenis penguasa, pada era disentralisasi atau ada juga yang
menyebut era disintegrasi, yaitu Khalifah dan sultan-sultan. Khalifah dianggap sebagai
jabatan sakral sehingga tidak ada penguasa wilayah (sultan /amir) yang memberontak
atau membelot dari khilafah Bani Abbasiyah (kecuali dinasti Fathimiyah di Mesir dan
Dinasti Umayah II di Spanyol). Secara de facto, penguasa riil berada di tangan para
sultan yang didukung para elit politik dan militer lokal. 4
Sebagaimana uraian setting sejarah diatas, pemakalah berpendapat bahwa telah
terjadi dinamika politik yang luar biasa bahkan sampai berperang sehingga
menumpahkan darah tidak membuat ilmu pengetahuan berhenti berkembang malah
banyak melahirkan tokoh-tokoh atau nama besar yang dikenal sampai hari ini. Hal ini
menunjukan bahwa terjadi independensi para cendikiawan yang tidak larut dalam
perebutan kekuasaaan dan layak untuk kita contoh sehingga produk dari suatu
peradaban tidak berhenti pada politik praktis.
Dinasti- dinasti kecil yang membentuk kesultanan atau Amir juga sangat
menarik untuk kita lihat, oleh sebab apa khalifah yang memiliki kekuasaan penuh harus
rela menjadi penguasa secara simbolik saja, bahkan dinasti-dinasti kecil jumlahnya
cukup banyak diantaranya adalah dinasti Thahiriyah, Safariyah, Sasaniyah, alawiyah,
Samaniyah, Gasaniyah, Buwaihiyah, Saljuk, Idrisiyah, Aghlabiyah, Tuluniyah,
Fathimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah. Namun pemakalah akan membatasi
penyusunan makalah ini hanya pada dinasti-dinasti kecil di Timur Bagdad.
B. Rumusan Masalah
1. Faktor apa saja yang menjadi penyebab kemunculan dinasti-dinasti Kecil di Timur
Bagdad?
2. Bagaimana hubungan dinasti-dinasti kecil di Timur Bagdad dengan pemerintahan
Islam di Bagdad?
3. Bagaimana hubungan diplomatik internal dinasti-dinasti kecil di Timur Bagdad,
perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini?

3
Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011) h. 65
4
Ibid, h. 75

2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Faktor apa saja yang menjadi penyebab kemunculan dinasti-
dinasti Kecil di Timur Bagdad
2. Untuk memahami Bagaimana hubungan dinasti-dinasti Kecil di Timur Bagdad
dengan pemerintahan Islam di Bagdad
3. Untuk memahami Bagaimana hubungan diplomatik internal dinasti-dinasti kecil di
Timur Bagdad, perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini
D. Sistematika Penulisan
Pada bagian awal pembahasan, pemakalah akan menguraikan faktor apa saja
yang melatar belakangi kemunculan dinasti-dinasti kecil khususnya bagian Timur
Bagdad. Kemudian memberikan komentar sebagai simpulan atas uraian tersebut
dengan tujuan untuk menjawab rumusan masalah nomor pertama di atas. Pada bagian
selanjutnya pemakalah akan mendeskripsikan dinasti-dinasti apa saja yang muncul
zaman itu, dilengkapi dengan awal kemunculan, perkembangan dan kemajuannya serta
kemunduran hingga hancurnya dinasti kecil tersebut. Masih dalam bagian ini,
pemakalah akan memberikan komentar pribadi berdasarkan uraian pembahasan yang
berfungsi sebagai jawaban atas rumusan masalah nomor dua dan tiga. Terakhir, pada
bagian penutup, pemakalah akan memberikan kesimpulan dari sekian uraian deskripsi
berdasarkan fakta sejarah yang kami kutip.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil di Timur


Bagdad
Sebagimana telah disinggung di bagian pendahuluan bahwa kemunculan dinasti-
dinasti kecil di Timur Bagdad tidak dapat dilepaskan dari adanya kemerosotan wibawa
khalifah sebagai kepala negara serta kebijakan politik khalifah Abbasyiah. Selain itu
terdapat faktor lain yang mengiringinya diantaranya sebagai berikut:
1. Pemerintah Abbasiyah memiliki kemampuan penuh untuk menguasai setiap
pelosok dunia Islam yang pernah menjadi wilayah teritorial era dinasti Bani
Umayah. Dan ketika menjadi adi kuasa dinasti Abbasiyah tidak mampu mengusai
dan mempengaruhi Andalusia. Hal ini menjadi bibit embrio yang dapat merongrong
kekuasaan dan kekuatan Bani Abbasiyah. Keberadaan dinasti Umayah II di
Andalusia dapat menginspirasi bangkitnya klan-klan tertentu untuk mendirikan
kerajaan kecil.
2. Konflik laten antara klan Turki dan Persia. Orang – orang persia merupakan klan
pendukung bagi bani Abbasiyah untuk melakukan pemberontakan hingga
terjadinya revolusi dan kekuasaan dapat diambil alih dari Bani Umayah. Namun
pada era al Makmun yang dilanjutkan oleh al Mu’tashim, Daulah Abbasyiah
membuat kebijakan dengan membentuk dua pasukan yaitu pasukan Syakiriah
dibawah pimpinan panglima lokal dan pasukan yang direkrut dari kalangan budak
Turki yang ditempatkan di luar kota Bagdad yang memiliki camp dan sub kultur
tersendiri. Hal ini menyebabkan munculnya elit-elit baru yaitu elit Persia dan Arab
di satu sisi dan di sisi lain elit Turki. Kalangan Arab merasa reputasinya merosot
akibat kekalahan khalifah al Amin yang didukung oleh tentara Arab sedangkan al
Makmun didukung oleh tentara Persia sehingga secara de Facto peperangan antara
Khalifah al Amin Versus al Makmun adalah peperangan antara etnis Arab Versus
etnis Persia. Di satu pihak para tentara etnis Turki berusaha menjatuhkan reputasi
tentara Arab dan Persia agar keberadaan tentara Turki tidak dapat tertandingi.
3. Pengangkatan orang-orang Turki oleh Khalifah al Mu’tashim menjadi tentara
menimbulkan kekecewaan dari kalangan Persia yang selama ini mendukung
revolusi Abbasyiah dan mendukung al Makmun ketika berseteru dengan al Amin.
Pada gilirannya kalangan Persia kehilangan kepercayaan dari al Mu’tashim. Hal

4
inilah yang menjadi alasan utama kenapa al Mu’tashim mengangkat orang-orang
Turki menjadi tentara dan memberikan kedudukan yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan tentara Turki dalam konteks politik dan militer. Sebelumnya,
kalangan etnis Arab merasa tidak puas oleh ulah tentara Persia karena kebijakannya
yang lebih mengutamakan etnis untuk memegang pos-pos militer dan birokrasi. Hal
ini berlanjut ketika tentara Turki masuk di elit militer Bagdad. Oleh karena tentara
Turki yang senang melakukan provokasi-provokasi terhadap masyarakat membuat
orang-orang Arab semakin tertekan. Puncaknya, al Mu’tashim memindahkan ibu
kota dari Bagdad ke Samarra.
4. Kemunculan elit-elit militer baru (Arab, Persia dan Turki) sama halnya dengan
kemunculan embrio-embrio kekuasaan politik masa depan. Elit-elit politik dan
militer tersebut cenderung ingin memiliki kekuasaan tersendiri yang otonom.
Koalisi antar elit militer dengan para tuan tanah menimbulkan kesultanan-
kesultanan kecil yang memang ingin melakukan desentralisasi dan melepaskan diri
dari kekuasaan Abbasyiah sehingga otonom.
5. Muncul kalangan oposisi seperti Syi’ah Isma’iliyah dan Qaramithah yang pada
ujungnya berdiri dinasti Fathimiyah di Mesir dan Hamdaniyah di Turki.
6. Lemahnya perekonomian terutama segi pertanian sebagai akibat dari buruknya
irigasi dan rusaknya jalur perdagangan. Lebih jauh lagi munculnya kekuatan militer
propinsial dalam jumlah banyak yang proaktif meneriakkan otonomi dan menolak
keras sentralisasi kekuasaaan Bani Abbasyiah.5

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penting yang memunculkan
dinasti-dinasti kecil di Bagdad adalah sebagai berikut:

- Adanya fanatisme etnis (Su’ubiyah) sehingga masyarakat mudah terprovokasi dan


terpecah belah
- Penguasa bani Abbas lebih fokus pada pembinaan peradaban dan kebudayaan
daripada politik dan ekspansi
- ketergantungan khalifah pada kekuatan militer sangat tinggi sebagai akibat dari
profesionalisasi tentara

5
Syamsul Bakri, h. 67-69

5
- wilayah teritorial di bawah kekuasaan Bani Abbasyiah sangat luas sehingga sulit
melalukan komunikasi efektif. Di samping itu munculnya saling curiga antara
daerah dengan pusat
B. Awal Kemunculan, Kemajuan, dan kemunduran dinasti-dinasti Kecil di Timur
Bagdad serta hubungannya dengan Pemerintahan Islam di Bagdad dan dengan
dinasti kecil lainnya.
Secara umum pola hubungan dinasti-dinasti kecil dengan pemerintahan Islam
di Bagdad terbagi tiga. Pertama, dinasti yang menyatakan diri sebagai khalifah yaitu
Umayah II di Andalusia dan dinasti Fathimiyah di Mesir. Kedua dinasti yang otonom
namun masih mengakui pemerintahan pusat ditandai dengan pambayaran upeti. Ketiga,
dinasti yang sejak awal kemunculannya sudah menyatakan tidak tunduk pada
pemerintahan Abbasyiah.
Namun pada bagian ini penulis lebih fokus pada pola hubungan dinasti kecil di
bagian Timur Bagdad seperti dinasti Thahiriyah, Safariyah, Samaniyah, Ghazanwiyah,
Buwaihiyah, dan Dinasti Saljuk. Dan untuk lebih memudahkan maka akan diuraikan
sesuai kurun waktu kemuculannya.
1. Dinasti Thahiriyah (200 H-259 H / 820 M-872 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti Thahiriyah didirikan oleh Thahir ibnu al Husain (776 – 822 M).
Berkuasa di sekitar Khurasan termasuk Tranxosania yang beribu kota di Merv.
Kisah berdirinya dinasti ini tak dapat dilepaskan dari perselisihan antara khalifah al
Amin versus al Makmun. Dalam perselisihan tersebut Thahir bertindak sebagai
pemimpin peperangan melawan al Amin dan mengalami kemenangan sehingga al
Makmun didaulat sebagai khalifah.
Dengan demikian, atas jasa Thahir dalam membela al Makmun, ia ditunjuk
sebagai gubernur di Timur Bagdad selama dua tahun. Thahir meninggal dunia
dengan tiba-tiba karena penyakit demam Pada tahun 207 H. Ada pula yang
menyebutkan bahwa ia meninggal karena keracunan. Sebelum meninggal, ia sudah
mulai menghapus nama al-Makmun (khalifah) dalam khutbah-khutbah jumat, hal
ini menunjukkan bahwa kekuasaan Thahir ini lepas dari Abbasiyah, walaupun
kenyataannya tidak melepaskan diri secara total.
Thalhah bin Thahir (w.213H/828 M) tampil sebagai pengganti Thahir. Thalhah
berusaha meningkatkan hubungan kerja sama dengan pemerintahan pusat. Dan ini
menjadi bukti bahwa Dinasti Thahiriyah pada kenyataannya masih memiliki

6
hubungan baik dengan pemerintahan pusat Bani Abbasiyah. Pengganti Thalhah
selanjutnya adalah saudara Thalhah sendiri yang bernama Abdullah bin Thahir,
Pengangkatan gubernur yang ketiga kalinya ini menunjukkan betapa kuatnya
dominasi keluarga Thahir dalam pemerintahan, sehingga kekuasaannya diserahkan
secara turun-temurun.
b. Kemajuan yang dicapai
Kemajuan Dinasti Thahiriyah terjadi pada masa kepemimpinan khalifah ketiga
dinasti ini yaitu Abdullah ibnu Thahir. Ia adalah penguasa yang memiliki pengaruh
yang besar. Pengaruh besar itu tampak pada upaya-upaya yang dilakukannya, antara
lain meningkatkan kerja sama dengan pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah,
terutama dalam kaitannya dengan upaya meredam para pemberontak, juga
melaksanakan perjanjian dengan baik, memberikan hak-hak Bani Abbas sebagai
keluarga penguasa, memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan keamanan,
dan meningkatkan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak. Abdullah
berhasil menjadikan kota Nishapur sebagai pusat peradaban Islam yang patut
diperhitungkan.
c. Kemuduran dan kehancuran
Setelah kekuasaan Abdullah ibnu Thahir, pemerintah Thahiriyah mulai
mengalami penurunan. Tepatnya ketika pemerintahan dipegang oleh Muhammad
bin Jabir, wilayah Khurasan mengalami kemunduran yang nampak jelas, dan
bersamaan itu pula muncul sebuah kekuatan baru dari Dinasti Shaffar di wilayah
Sijistan, dan selanjutnya wilayah Khurasan pun tak luput dari incarannya dan dapat
dikuasai oleh Dinasti Shaffariyah. Oleh karena jatuhnya kekuasaan Thahiriyah yang
ada di Wilayah Khurasan ini maka berakhir pula pemerintahan Dinasti Thahiriyah.6
Menurut pemakalah, pada awal kemunculannya dinasti Thahiriyah ingin
melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Hal ini dapat dilihat dari dihapusnya nama
khalifah pada tiap khutbah Jumat. Namun pemimpin dinasti ini (Thahir ibn al
Husain) tidak memiliki cukup waktu untuk merealisaasikannya karena sakit yang
ia derita hingga ajal menjemputnya. Sepeninggal Thahir, kekuasaan dilanjutkan
oleh keturunannya, namun ambisi politik pendahulunya yang ingin melepaskan diri
sepenuhnya dari pemerintahan pusat tidak dilanjutkan. Hal ini dapat dilihat dari

6
Andi Syahraeni, Dinasti-Dinasti Kecil Bani Abbasyiah, (Jurnal Rihlah, Vol IV No 1) h. 103

7
upaya peningkatan hubungan dengan pemerintah pusat serta pemberian hak-hak
keluarga khalifah bani Abbas oleh Abdullah ibn Thahir.
Hubungan diplomatik pemerintah dinasti Thahiriyah dengan kerajaan kecil
lainnya tidak berjalan dengan baik bahkan kekuasaannya dapat diambil alih oleh
dinasti Saffariyah. Hal ini disebabkan kurang cakapnya pemimpin pemerintah
dinasti Thahiryah untuk meredam aksi pemberontakan dalam rangka menjaga
kekuasaannya.
2. Dinasti Saffariyah (867-908 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti Saffariyah didirikan oleh Ya’kub ibn al Laits al Shaffar (867-878).
Wilayah kekuasaannya meliputi sekitar Sijistan dan Persia selama 41 tahun (867-
908). Al Shaffar (tukang tembaga) julukan yang dinisbatkan kepada Ya’kub ibn al
Laits karena pekerjaannya sebagai tukang tembaga. Selain itu ia juga dikenal
sebagai orang yang gemar merampok. Meskipun demikian ia memiliki kepribadian
yang disukai oleh gubernur Sijistan sehingga ia diberikan kepercayaaan untuk
memimpin balatentaranya. Seiring berjalannya waktu, pengaruh al Shaffar semakin
kuat sehingga mampu menggantikan tuannya dan berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya hampir ke seluruh wilayah Persia dan sebagian pinggiran India. 7
b. Kemajuan yang dicapai
Pasca Ya’qub menyatakan dirinya menjadi penguasa baru dan dilanjutkan
dengan perluasaan kekuasaan ke wilayah-wilayah di sekitarnya, kemudian pada
dua tahun berikutnya, ia mempersiapkan kekuatan baru, sambil menunggu
bagaimana reaksi pihak khilafah Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di berbagai
tempat sebagai reaksi atas pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 255 H
terjadilah puncak kemelut di ibukota Samarra. Demikian pula khalifah
penggantinya pun, khalifah al-Muhtadi, dianggap sebagai khalifah yang lemah
sehingga wibawa pemerintah tampak berkurang.
Menyusul kesuksesan sebelumnya, maka pada tahun berikutnya ia melanjutkan
penguasaan atas kota Kabul dan kota bentang Balkh. Ia juga dapat mengusai
Khurasan pada tahun 260 H./873 M. Meskipun kesuksesan banyak dicapai oleh
Ya’qub tetapi hubungan dengan pemerintahan Abbasiyah masih baik. Hubungan

7
Philip K Hitti, History of the Arabs, Terj oleh Cecep Lukman & Dedi Slamet R (Jakarta: PT Serambi Ilmu, 2006)
h. 586

8
diplomasi yang relatif baik itu semakin mengukuhkan pemberian khalifah atas
beberapa kota penting antara lain Balkh, Thurkhanistan, Kirman, Sijistan, dan
daerah lainnya.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya tampaknya Ya’qub memang berpotensi
menjadi pemimpin besar.Ia terus melebarkan kekuasaannya sampai di wilayah
Khurasan. Hal ini menyebabkan, khalifah merasa terancam kedudukannya di
Baghdad, sehingga khalifah memberi peringatan, akan tetapi Ya’qub tidak
mengindahkan peringatan tersebut, bahkan menentangnya dengan mengandalkan
kekuatan pasukannya. Melihat besarnya kekuatan pasukan Ya’qub, khalifah pun
membiarkannya dan mengutus kurir untuk menyerahkan wilayah Khurasan,
Thibristan, Jurjan, al-Ra dan Persia, sekaligus mengangkatnya sebagai amir.
Kegemilangan Ya’qub dalam perluasan wilayah ini menjadikannya
berkeinginan untuk menguasai Baghdad. Tetapi upayanya ini tidak berhasil karena
sekitar dua puluh kilometer dari ibukota, ia mengalami kekalahan pahit di tangan
al-Muwaffaq, wali khalifah dan meninggal pada tahun 265H/879 M29, sebelum
perundingan dengan al-Muwaffaq selesai. Segera saja wali mengakui saudaranya
Amr ibnu al-Lais sebagai penggantinya, sebagai gubernur semua wilayah yang
telah ditaklukkan.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Dengan meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di
tangan Amr, ia menerima kekuasaan atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena
sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia
pun akhirnya diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap
berusaha memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang
saat itu secara formal berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi
sesungguhnya yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini lebih kuat
dari pada Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu
Ahmad dari Bani Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap.Akhirnya
semua hasil penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada
dalam kekuasaannya.
Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya kurang
mendapatkan perhatian oleh para sejarawan.Ketiga penerus itu adalah Thahir ibnu
Muhammad (900-909 M), al-His ibnu Ali (909-910 M), dan al-Mua’addil ibnu Ali
(910-911 M).Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan

9
dalam pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan
Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf,
meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di Sijistan.
Menurut pemakalah dinasti Saffariyah sejak awal kemunculannya berambisi
untuk mengambil alih kekuasaan pemerintah pusat di Bagdad dengan jalan
mengusai daerah-daerah sekeliling Bagdad termasuk daerah kekuasaan Bani Thahir
di Khurasan. Namun upaya tersebut menjumpai kegagalan karena pemerintah pusat
segera melakukan upaya take down untuk meredam aksinya.
Hubungan diplomatik Saffariyah dengan dinasti kecil lainnya tidak jauh
berbeda dengan dinasti Thahiriyah karena tabiat politiknya yang ingin mengusai
daerah-daerah sekitar Persia. Maka tidak heran muncul pemberontakan yang
membuatnya dipaksa tunduk oleh dinasti Samani dan Ghaznawi.
3. Dinasti Samaniyyah (261 -389 H / 874-999 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti Samaniyyah merupakan pengganti kekuasaan dinasti Saffariyah.
Adalah orang-orang keturunan Saman, seorang bangsawan yang menganut ajaran
Zoroaster berasal dari Balkh. Nashr ibn Ahmad adalah tokoh pendiri dinasti ini
(874-892 M) tetapi figur yang paling berpengaruh dalam perkembangan dinasti ini
adalah saudaranya yang bernama Ismail (892-907 M) yang pada tahun 900 M
berhasil merebut Khurasan dari tangan Saffariyah. 8
Pemimpin yang terkenal dinasti Samaniyyah adalah Ahmad ibn Asad, karena
kepribadiannya yang adil dan bijaksana. Ia kemudian digantikan oleh Nashr yang
sekaligus menjadi panglima perang yang diangkat oleh khalifah al Mu’tamid pada
875 M. Ia berhasil merebut wilayah yang berada di bawah kekuasaan dinasti
Thahiriyah. Akhirnya ia memindahkan pusat pemerintahan dari Bukhara ke
Samarkand. Pada tahun 263 H/ 875 M ia diangkat kembali menjadi gubernur untuk
wilayah Transoxania oleh khalifah yang sama.
Perselisihan antar saudara pernah terjadi pada era pemerintahan dinasti ini yaitu
antara penguasa Transoxania (Nashr ibn Ahmad) dan penguasa Bukhara (Ismail ibn
Ahmad ). Setelah Nashr wafat pada tahun 279 H, kepemimpinan digantikan oleh
Ismail ibn Ahmad, yang mampu memperluas daerah kekuasaan hingga Khurasan.
Ia kemudian diangkat sebagai wali di Transoxania oleh Khalifah al Mu’tadhi.

8
Philip K Hitty, h 586

10
Dengan demikian ia sangat memungkinkan untuk menyatukan daerah kekuasaan
antara Thibristan dan Ak Ray.9
b. Kemajuan yang dicapai
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail.
Kemajuan yang dicapai pada masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti
Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas wilayahnya hingga
Tabaristan, Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri terjamin.
Dinasti ini memiliki saham yang cukup berarti bagi perkembangan Islam, baik
dari aspek politik maupun aspek kebudayaan.Dalam aspek politik, misalnya mereka
telah mampu memelihara tempat atau pusat yang strategis bagi daulat Islam di
timur, mengembangkan kekuasaan Islam sampai ke wilayah Turki.Sedangkan
dalam aspek kebudayaan, misalnya di istana Dinasti Samaniyyah di Bukhara ini
menjadi tempat menetapnya para ulama serta merupakan kiblatnya para pujangga.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti yang
digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka
perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat memuncak di tangan daulat
Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu
itu.Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-
Razi, al-Firdausi, dan lain-lain.Sementara itu di wilayah politik yang menarik dikaji
adalah bahwa munculnya dinasti-dinasti di timur Baghdad ini di suatu sisi dianggap
sebagai pergeseran dominasi Arab dalam dunia politik.10
c. Kemuduruan dan Kehancuran
Khalifah al Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibn Ismail menggantikan
bapaknya, Ismail. Belum lama memerintah ia terbunuh dan digantikan anaknya,
Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Selain itu, masih ada paman bapaknya
yang berkuasa di Samarkand bernama Ishaq ibn Ahmad yang memihak kepada
penduduk Transoxania. Lalu permohonan datang dari tokoh Samani kepada
khalifah al Muktadir agar pemerintahan diambil alih oleh pemerintah Khurasan
namun khalifah menolaknya dengan bersikeras.11
Selain persoalan di atas, berupa aristokrasi militer, muncul juga ancaman baru
yang datang dari para pengembara Turki yang bergerak menuju Utara. Bahkan di

9
Andi Sharaeni, h 106
10
Ibid, h 106
11
Ibid, h. 107

11
dalam pemerintahan sendiri kekuasaan diambil alih oleh para budak Turki secara
berangsur. Seperti wilayah sebelah Selatan Oxus oleh dinasti Ghaznawi, wilayah
sebelah Utara sungai dirampas oleh Ilek Khan dari Turkistan, pada akhirnya pada
tahun 992 wilayah Bukhara dapat dikusai.12
Pemakalah berpendapat bahwa hubungan dinasti Samaniyah dengan
pemerintahan pusat berjalan dengan baik bahkan mendapat dukungan penuh dari
khalifah sebagai pemegang kekuasaan di Persia dan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat
dari kebijakan politik khalifah al Mu’tamid dan khlifah sesudahnya yaitu al
Mu’tadhi.
Sama halnya dengan dinasti sebelumnya, terdapat pemberontakan dalam
teritorial kekuasaan dinasti Samaniyah. Namun dalam perjalannya dinasti
Samaniyah relatif dapat mengatasinya dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari kurun
waktu kekuasaanya yang panjang yakni sekitar 125 tahun. Kemudian bani Saman
mampu menjaga hubungan diplomasi dengan kerajaan kecil lainnya dengan baik
sehingga kerajaan kecil tersebut tetap setia berada di bawah kekuasaan bani Saman
seperti dinasti Thahiriyah, Saffariyah, Ghaznawi dan Saljuk.
4. Dinasti Ghaznawi (962-1189 M)
a. Sejarah Pembentukan
Proses berdirinya dinasti Ghaznawi diawali oleh Alpatigin (seorang keturunan
Turki yang menjadi perwira tentara pada dinasti Samaniyah di Transoxania, Asia
Tengah). Ia diangkat sebagai gubernur Khurasan pada tahun 955 M. Alpatigin
melakukan perluasan wilayah ke arah Timur tepatnya di Afghanistan dan berhasil
menaklukkan kota Ghazna beserta daerah sekitarnya pada tahun 1962 M. Ia
meninggal pada tahun 963 M dan digantikkan oleh anaknya yang bernama Ishaq.
Ishaq termasuk orang yang tidak cakap dalam bidang politik harus merelakan
kekuasaannya jatuh kepada Baltigin yang kemudian digantikan lagi oleh Prri. Prri
diserang oleh perwira yang tidak lain merupakan menantu dari Alpatigin yang
bernama Sabuktigin dan berkuasa sampai 997 M.
Pada tahun 993 M, Sabuktigin memberikan bantuan militer kepada dinasti
Samaniyah hal ini menunjukkan bahwa Sabuktigin masih menggap kekuasaannya
masih di bawah kekuasaan dinasti Samaniyah meskipun ia meiliki power dan
kekuasaan. Anaknya bernama Mahmud dibiarkan menjadi gubernur Khurasan

12
Philip K Hitty, h. 588

12
dibawah kekuasaan dinasti Samaniyah. Sedangkan dinasti Samaniyah sejak dari
kekuasaan Alpatigin sampai Sabuktigin tetap dianggap sebagai gubernur. Hal ini
menunjukkan bahwa secara umum dinasti Ghaznawi berada di bawah dinasti
Samaniyah.
Sabuktigin wafat pada tahun 977 M / 387 H. Pemerintahan digantikan oleh
putranya beranama Ismail Ibnu Sabuktigin namun ia hanya memerintah selama
tujuh bulan karena dinilai lemah kemudian digantikan oleh saudaranya bernama
Mahmud Ibn Sabuktigin. Mahmud adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam
sejarah perkembangan dinasti Ghaznawi 387-421H / 1030 M. Bahkan khalifah al
Qadir Billah memberikannya gelar berupa al Daulah.
Dalam masa pemerintahan Mahmud yang berjalan selama 30 tahun, ia telah
banyak membawa perubahan dalam berbagai bidang baik politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Setelah ia wafat digantikan oleh anaknya yang bernama
Muhammad ibn Mahmud namun kurang berpengalaman dan lemah dalam
pemerintahan sehingga mendapat tentangan di kalangan militer. Akhirnya ia
digantikan oleh saudaranya bernama Mas’ud ibn Mahmud 1031-1041 M.
Pada masa Mas’ud mulai terjadi kemunduran, diawali adanya penyerangan dari
bani Saljuk ke beberapa provinsi di Persia. Kemudian diikuti oleh suku Ghur
diperparah dengan banyaknya tokoh daerah yang ingin melapaskan diri dari
pemerintahan pusat.
b. Kemajuan yang Dicapai
Penaklukan daerah-daerah yang kaya dan subur memberikan dampak positif
dari sisi ekonomi. harta rampasan yang melimpah dan retribusi pajak dapat
menghidupkan kegiatan ekonomi dinasti Ghaznawi sehingga dinasti ini menjadi
kerajaan yang makmur. Kemajuan di bidang ekonomi sudah barang tentu dapat
memajukan di bidang lain, seperti peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
militer.
Kemajuan di bidang pengetahuan yang dicapai oleh dinasti Ghaznawi
dipengaruhi oleh kebijakan sultan Mahmud yang memerintahkan agar para sarjana
untuk tetap tinggal dan berkarya di lingkungan pemerintahan bahkan di lingkungan
istananya serta menjamin semua kebutuhannya.
Sultan Mahmud juga membangun perguruan tinggi yang bernama Insani yang
kemudian mampu mencetak banyak sarjana dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Penyair-penyair terkenal yang lahir pada masanya seperti As’adi

13
Thusi guru dari al Firdausi, sastrawan yang terkenal pada masanya yaitu Syah
Mama dan al Farukhi keduanya menetap dan berkarya di Ghazna. Ilmuan lain yang
terkenal yaitu Raihan Muhammad al Biruni (973-1048 M.) yang telah menulis kitab
dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu alam, matematika,
astronomi, sejarah dll. Karyanya yang termashur adalah Tahqiq fi al Hind
(penelitian di India).
Di bidang arsitektur, kemajuannya dapat dilihat dari megahnya istana Ghazn,
masjid dan menara di kota Ghazna memiliki nilai seni yang tinggi
c. Kemunduran dan Kehancuran
Peristiwa pergantian sultan Mahmud digantikan oleh anaknya bernama
Muhammad ibn Mahmud menjadi awal kemunduran dinasti Ghaznawi. Disusul
dengan adanya perebutan kekuasaan oleh adiknya bernama Mas’ud ibn Mahmud
yang dikenal lemah dalam kepemimpinan dan tak dapat melanjutkan perkembangan
yang telah dilakukan oleh bapaknya. Dampak yang paling besar yaitu adanya
penyerbuan bani Saljuk ke beberapa provinsi dinasti Ghaznawi di Persia. Dalam
kondisi demikian, telah terjadi perbedaan pendapat antara Sultan dengan dewan
kesultanan. Sultan Mas’uud tetap melakukan ekspansi perluasan wilayah ke India
sementara dewan kesultanan menginginkan agar pemerintah fokus dalam perebutan
kembali wilayah yang sudah dikuasai oleh bani Saljuk. Disisi lain bani Saljuk tetap
gencar melakukan serangannya bahkan mulai memasuki wilayah Khurasan. Berita-
berita penyerbuan bani Saljuk telah memaksa Sultan Mas’ud untuk menarik
kembali pasukan yang telah dikirim ke India.
Sultan Mas’ud mengalami kekalahan besar di Khurasan pada tahun 1040 M.
Kekalahan ini merupakan puncak kehancuran dinasti Ghaznawi di Persia. Sultan
Mas’ud sendiri sempat melarikan diri yang akhirnya kembali ke istana, namun
dalam perjalanan dia dibunuh oleh tentaranya karena merasa kecewa terhadap
kebijakan yang telah diputuskan oleh sultan Mas’ud.
Pertempuran masih terus berlangsung antara dinasti Ghaznawi dan bani Saljuk
sejak tahun 1040 sampai 1050 M. Disamping menghadapi serangan-serangan bani
Saljuk, ancaman terbesar saat itu juga datang dari suku Ghuzz dan Gur yang
sebelumnya pernah menjadi kekuatan inti dari bani Saljuk yang akhirnya balik
melawan bani Saljuk. Kekuatan dan mobilitas suku pengembara ini benar-benar
telah melumpuhkan kekuatan dinasti Ghaznawi di bagian Utara dan semakin

14
melemahkan dinasti ini. Bahkan dinasti Ghaznawi dengan terpaksa memindahkan
pusat pemerintahan ke Lahore.
Pada tahun 1173 M kota Ghazna dapat direbut oleh tentara Ghur sehingga
memaksa seluruh penguasa Ghaznawi pindah ke Lahore dan menjadikannya
sebagai ibukota baru. Pada akhirnya Lahore juga dapat direbut oleh pasukan Ghur
di tahun 1187 M di bawah pimpinan ibn Syam, Sehingga Khasran Malik, penguasa
terakhir dinasti Ghaznawi, ikut terbunuh.13
Pemakalah berpendapat bahwa dinasti Ghaznawi dar sejak kemunculannya
menyatakan tetap setia kepada pemerintahan bani Abbas. Hal ini dilihat dari upaya
Sabuktigin yang memberikan bantuan militer kepada pemerintah bani Saman yang
notebene merupakan kepanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat.
Hubungan diplomatik dengan kerjaan kecil lainnya, dinasti Ghaznawi relatif
mampu mengendalikan dan menjaga hubungan dengan baik. Karena dilihat dilihat
dari kurun waktu pemerintahnnya selama lebih dari 2 abad.
5. Dinasti Buwaihi (334-447 H./945-1055 M.)
a. Sejarah Pembentukan
Asal mula Bani Buwaihi hingga memperoleh kesempatan untuk berkuasa di
Baghdad. Bahwa tampilnya Bani Buwaihi dari keturunan Persia itu bermula dari
tiga putera Suza’ Buwaihi: Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin
Buwaihi. Untuk mengatasi problem kemiskinannya, maka keluarga dari Dailam ini
memasuki dinas kemiliteran di negerinya. Prestasi mereka sangat menonjol,
sehingga salah satunya, Ali, diangkat menjadi gubernur, dan kedua saudaranya
diberi juga kekuasaan yang tinggi. Gubernur Ali mengadakan penaklukan ke Persia,
dan setelah raja Mardawij- yang mempercayainya itu meninggal, ia berusaha
meminta legitimasi kekuasannya kepada khalifah Bani Abbas, dan anak keturunan
Buwaihi mendapat kedudukan penting di sana. Selanjutnya, Ali dengan keluarga
Buwaihi itu mengadakan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sinilah
pasukan Buwaihi dengan mudah memasuki pusat pemerintahan Bani Abbas.14
b. Kemajuan yang dicapai
Abdul Wafa dan al Kohi adalah dua pakar yang paling terkenal dalam bidang
ilmu pengetahuan seperti Astronomi, Matematika dan Fisika. Al Kohi memiliki

13
Muhammad Alim Ihsan, Perkembangan Dakwah di Bidang Politik dan Ilmu Pengetahuan pada Masa
Ghaznawi Buwaihi dan Saljuk (Jurnal al Misbah: Vol IX No 2, 2013) h. 295-300
14
Akhmad Saufi dan Hasmi Fadillah, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Cv Budi Utama, 2015) h. 236-237

15
karya tulis tentang gerak tata surya dan penemuannya mengenai pergantian musim
panas dan musim gugur sedangkan al Wafa temuannya berupa sistem Trigonometri
dan memperkenalkan hasil obervasi Atronomi karyanya yang paling tersohor yaitu
Ziyusi Syamil berbicara tentang industri dan sistem observasi secara cermat.
Intelektual lain yang lahir pada masa ini seperti al Farabi (w. 950 M), Ibnu Sina (w.
1037 M), al Farghani, Abdu Rahman al Shuffi (w. 980).
Jasa besar lainnya dari Bani Buwahiyyah juga dapat dilihat adanya
pembangunan sejumlah kanal, mesjid, rumah sakit, perguruan tinggi dan
pembangunan umum lainnya. Kemajuan ini didukung oleh kemajuan bidang
ekonomi terutama sektor pertanian, perdagangan dan industri. 15
c. Kemunduran dan Kehancuran
Sebagai awal masa kemunduran dan kehancurannya adalah adanya
Penggulingan demi penggulingan kekuasaan yang terjadi antara sesama keluarga
bani Buwaihi terutama setelah genarasi pertama misalnya Izz al Daulah Bakhtiar,
anak dari Mu’izz al Daulah, dengan Adhad al Daulah, anak dari Imad al Daulah
dalam memperbutkan kekuasaan Amir al Umara. Faktor lainnya adalah adanya
persaingan dan pertentangan dalam tubuh militer yang terjadi antara golongan yang
berasal dari Dailam dengan golongan yang berasal dari Turki. Sebelumnya
pertantangan ini tidak dapat diatasi namun, manakala kepala pemerintahan
dipimpin oleh orang yang lemah yang berakibat terganggunya stabilitas dan
menurunkan wibawa pemerintah.
Seiring dengan melemahnya kekuatan politik bani Buwahiyyah yang membawa
pada kehancuran dinasti ini, semakin banyak pula gangguan dari luar dan muculnya
sejumlah daerah yang ingin melepaskan diri dari kekuasaaan pusat Bagdad seperti
dinasti Ikhsidiyah di Mesir dan Siria, Hamdaniyah di Aleppo dan lembah Furat,
Ghaznawiyah di Ghazna dekat Kabul dan dinasti Saljuk yang berhasil merebut
kekuasaan dari bani Buwaih.16
Sebagaimana uraian diatas, pemakalah berpendapat bahwa dinasti Buwaihi dari
awal kemunculannya tetap tunduk dan mengakui pemerintahan pusat di Bagdad.
Karena para penguasa awal dinasti ini meminta legitimasi kekuasaan kepada
kekhalifahan bani Abbas. Begitu juga hubungan diplomasi dengan kerajaan kecil

15
Muhammad Ali Ihsan, h. 302
16
Ibid, h. 303

16
lainnya dapat berjalan dengan baik meskipun pada akhirnya banyak muncul
pemberontakan yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Hal ini terjadi
tidak lain karena pemimpin bani Buwaih lemah dan terjadi konflik internal yang
berkepanjangan.
6. Dinasti Saljuk (1037-1127M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti Saljuk berasal dari kabilah rumpun Ghuz yang tinggal di sekitar
Turkistan yang mengembara ke Transoxania dan Khurasan. Mereka membawa
bendera kabilahnya masing-masing hingga akhirnya dapat dipersatukan oleh Seljuk
Ibn Tuqaq yang sebelumnya adalah panglima tentara yang mengabdikan diri pada
raja Bequ tetapi perselisihan telah membuatnya melarikan diri ke wilayah teritorial
kekuasaan dinasti Samaniyah dan disanalah ia mendapat perlindungan dari Amir
Samaniyah. 17
Ketika orang-orang Samaniyyun meminta bantuannya untuk mengusir orang-
orang kafir Turki maka Saljuk bin Tuqaq membantunya dengan mengirimkan
putranya bernama Arselan kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh anaknya,
Mikail bin Arselan. Ia terus melanjutkan peran ayahnya sampai pada gilirannya ia
juga digantikan oleh kedua anaknya yaitu Thughril Beik dan Daud Beik. Oleh
karena pemerintah Samaniyah runtuh pada tahun 39 H / 1000 M, maka Thughril
Beik mengusai Marw, Naisabur, Jurjan, Thabaristan, Karman, Khawarizm,
Ashfahan dan wilayah-wilayah yang lain. Thughril Beik memproklamirkan
beridirnya negeri Saljuk pada tahun 432 H. / 1040 M. Mereka membagi wilayah
kekuasaannya yang luas itu menjadi beberapa wilayah serta memilih Thughril Beik
sebagai rajanya dengan menjadikan Ray sebagai pusat pemerintahan.18
Al-Salajiqah al-Kubra (Saljuk Raya) adalah nama lain dari Pemerintahan
Saljuk. Pada masa pemerintahan Alp Arselan, ia mencoba berupaya untuk
konsolidasi dan ekspansi wilayah kekuatan politik Saljuk. Ia menjadikan kota Ray
sebagai ibu kota kesultanan, sebagaimana pada masa pemerintahan Thugrul Bek.
Alp-Arselan melakukan ekspedisi militer sampai ke pusat kebudayaan Romawi di
Asia Kecil, yaitu Bizantium. Salah satu peristiwa penting dalam gerakan ekspansi
ini adalah apa yang disebut dengan peristiwa Manzikart (1071 M). Tentara Alp-

17
Syamsul Bakri, h. 88
18
Muhammad Ali Ihsan, h. 302

17
Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara
Romawi, Ghuz, al-Akhraj, al-Hajar, Perancis dan Armenia. Dengan begitu, maka
kekuasaannya telah meluas sampai ke Asia Kecil. Bahkan Alp-Arselan juga berjaya
melawan kerajaan Fathimiyah hingga ke Damsyik. Maka dipandanglah Dinasti
Saljuk sebagai dinasti pertama yang memperoleh kekuasaan permanen kekaisaran
Romawi. Dengan kemenangan itu pemerintahan Ramailus Diogenus (pemimpin
pasukan Byzantium) selama 50 tahun harus membayar jizyah kepada kesultanan
Saljuk.
Setelah Alp Arselan meninggal kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh
Maliksyah, ia dibantu oleh wazir Nizam al-Mulk yang sudah berhubungan dengan
ayahnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur Khurasan dan juga
pemprakarsa berdirinya Madrasah Nizamiyah (1065 H). Ia memindahkan pusat
pemerintahan ke Ray yang sebelumnya berada di kota Naisabur, ibukota yang lama.
Setelah ia naik tahta, ia melaku- kan tiga hal: pertama, melakukan sentralisasi
kekuasaan politik, kedua, menjaga wilayah yang diwariskan oleh ayah dan
kakeknya, dan ketiga, memperluas wilayah politik kesul- tanan Saljuk ke hampir
seluruh wilayah Islam.
Wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk ini tercatat sangat luas terutama pada masa
Maliksyah, membentang dari Kashgor sebuah daerah di ujung daerah Turki sampai
ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian.Yaitu :
1. Saljuk Besar, yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia dan Ahwaz. Ia
merupakan induk dari yang lain.
2. Saljuk Kirman, berada di bawah kekuasaan keluarga Qowurt Bek ibn Dawud
ibn Mikail, ibn Saljuk.
3. Saljuk Irak dan Kurdistan, Pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din
Mahmud.
4. Saljuk Siria, dipimpin oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn
Mikail ibn Saljuk.
5. Saljuk Rum, diperintah oleh keluarga Quthlumish ibn Israil ibn Saljuk.
Di samping membagi wilayah menjadi lima bagian, yang dipimpin oleh
gubernur yang bergelar Syaikh, penguasa Saljuk juga mengembalikan jabatan
perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini
membawahi beberapa departement.

18
b. Kemajuan yang Dicapai
Banyak kemajuan yang dicapai oleh kekuasaan bani Saljuk diantaranya sbb:
 Berhasil menggulingkan pemerintah Buwahiyah pada tahun 447 H./1055 M.
 Menumpas gerakan al Basasiri yang loyal kepada pemerintahan daulah
Fathimiyah di Mesir. Dan berhasil menghapuskan pengaruh dan kekuasaan
Fathimiyah di Irak
 Berhasil menorehkan kemenangan atas kekaisaran Byzantium dalam
pertempuran Manzikert pada tahun 463 H. / 1070 M.
 Pengaruh dan kekuasaan bani Saljuk mencapai perbatasan daratan China,
India, dan membentang dari Kashghar di Timur hingga pesisir laut
Mediterania.
 Pendirian lembaga pendidikan Nasional oleh perdana menteri Nizham al
Mulk
 Para pemimpin bani Saljuk mendorong perkembangan kehidupan ilmiah. Di
antara ulama dan ilmuwan pada masa ini adalah, Fakhruddin al Jurjani,
Nashir Khasru, al Baihaqi, Umar al Khayyam, dan lainnya.
 Berkembangnya sastra Persia
 Munculnya sistem Atabik yang merupakan sistem pemerintahan Bani
Saljuk untuk diberikan kepada salah satu orang terdekatnya.
 Dibentuknya jabatan-jabatan militer.19
c. Kemunduran dan kehancuran
Setelah Maliksyah dan juga Nizam al-Mulk wafat, pemerintahan Saljuk
mengalami ke- munduran. Dinasti Saljuk dilanda konflik internal, perebutan
kekuasaan di antara anggota keluarga timbul. Dan akhirnya wilayah kekuasaan
dibagi-bagi menjadi kesultanan-kesultanan. Setiap propinsi berusaha melepaskan
diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antar anggota keluarga melemahkan
pemerintahan Saljuk. Kelemahan Saljuk diperparah dengan adanya gerakan Dinasti
Khawarizm yang berusaha merebut Daulat Abasiah dari tangan Saljuk.
Sebagaimana uraian di atas pemakalah berkesimpulan bahwa dinasti Saljuk
mendukung dan setia kepada pemerintah pusat bani Abbas. Hal ini dapat dilihat
bahwa bani Saljuk masih berada di bawah kekuasaan bani Saman sedangakan

19
Salamah Muhammad al Harafi, Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam, terj. Masturi Ilham & Malik Supar
(Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2016) h. 425-426

19
dinasti Samaniyah tidak lain merupakan dinasti yang masih mengakui dan taat
kepada pemerintah pusat.
Hubungan diplomasi antara dinasti Saljuk dengan kerajaan kecil lainnya
terbilang baik. Dengan alasan bahwa dinasti Saljuk dapat mengekspansi wilayah
sehingga daerah kekuasaannya sangat luas ditandai adanya penaklukan dinasti
Ghaznawi di Ghazna dan dinasti Buwaih bahkan dapat mengusai daerah
Bizantyum.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setidaknya ada 4 Faktor utama yang melatar belakangi kemunculan dinasti-
dinasti kecil di Timur Bagdad, diantaranya sebagai berikut:
- Adanya fanatisme etnis (Su’ubiyah) sehingga masyarakat mudah
terprovokasi dan terpecah belah
- Penguasa bani Abbas lebih fokus pada pembinaan peradaban dan
kebudayaan daripada politik dan ekspansi
- ketergantungan khalifah pada kekuatan militer sangat tinggi sebagai akibat
dari profesionalisasi tentara
- wilayah teritorial di bawah kekuasaan Bani Abbasyiah sangat luas sehingga
sulit melalukan komunikasi efektif. Di samping itu munculnya saling curiga
antara daerah dengan pusat
2. Terdapat dua pola hubungan diplomasi dinasti-dinasti kecil di Timur Bagdad
yaitu : pertama dinasti yang otonom namun masih mengakui pemerintahan
pusat ditandai dengan pambayaran upeti seperti dinasti Thahiriyah, Saffariyah,
Ghaznawi, dan Dinasti Saljuk. Kedua, dinasti yang sejak awal kemunculannya
sudah menyatakan tidak tunduk pada pemerintahan Abbasyiah yakni dinasti
Buwaihi.

B. Saran
Oleh karena kelemahan serta keterbatasan pemakalah tentunya akan ada banyak
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu besar harapan kami akan
adanya kritikan baik dari segi penulisan, metodologis serta interpretasi yang
pemakalah lakukan. Saran saya untuk kedepan agar dilakukan pelacakan literatur
pemikiran politik alternatif yang mungkin ada pada era Abbasiyah II, mengingat
pemerintahan yang muncul waktu itu selalu hadir dalam bentuk aristokrasi atau
kerajaan

21
Daftar Pustaka

Alim Muhammad Ihsan, Perkembangan Dakwah di Bidang Politik dan Ilmu


Pengetahuan pada Masa Ghaznawi Buwaihi dan Saljuk (Jurnal al Misbah: Vol IX
No 2, 2013
Bakri Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011)
Hitti Philip K, History of the Arabs, Terj oleh Cecep Lukman & Dedi Slamet R (Jakarta:
PT Serambi Ilmu, 2006)
Muhammad Salamah al Harafi, Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam, terj.
Masturi Ilham & Malik Supar (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2016)
Munir Samsul Amin, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2014).
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2015)
Saufi Akhmad dan Hasmi Fadillah, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Cv Budi
Utama, 2015)
Syahraeni Andi, Dinasti-Dinasti Kecil Bani Abbasyiah, (Jurnal Rihlah, Vol IV No 1)

22

Anda mungkin juga menyukai