Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGIAN TIMUR DAN BARAT BAGHDAD

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Endang Husniati, M.A

1 C Kelompok 6 :

Fadillah Dwi Reztari 2011005

Suci Kolbia 2011008

Lola Risky 2011023

Idri Febri Aji 2011029

Nanda Bilbina 2011030

Nilam Cahya 2011032

Prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEIKH ABDURRAHMAN AS-SIDDIK

BANGKA BELITUNG

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT. hanya kepada-Nya lah kami
memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa shalawat serta
salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW. Risalah beliau
lah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai petunjuk menjalan kehidupan.

Dengan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Dinasti-Dinasti


Kecil di Bagian Timur dan Barat Baghdad”. Pada isi makalah akan diuraikan proses
kemunculan dinasti kecil di Baghdad. Dinasti kecil tersebuut meliputi wilayah bagian timur
dan barat kota Baghdad serta akan diuraikan pula proses berdirinya dan penyebab
kemunduran dinasti-dinasti tersebut.

Makalah “Dinasti-Dinasti Kecil di Bagian Timur dan Barat Baghdad” disusun guna
memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam. Kami menantikan kritik dan saran
yang membangun dari setiap pembaca agar perbaikan dapat dilakukan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Petaling, 22 Oktober 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................5
2.1 Proses Kemunculan Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad..........................................5
2.2 Proses Berdirinya Dinasti Kecil di Timur Baghdad...............................................5
2.3 Proses Berdirinya Dinasti Kecil di Barat Baghdad........................... ...................11
BAB III PENUTUP................................................................................................................20
3.1 Kesimpulan............................................................................................................20
3.2 Saran......................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................21

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setelah era Khulafaur Rasyidin usai, pemerintahan digantikan oleh para penguasa
yang membentuk kekuasaan dengan sistem kekuasaan kekeluargaan atau dinasti. Dimulai
dari kekuasaan Muawiyah ibn Abi Sofyan yang membentuk Dinasti Umayyah (661 s.d 750
M), maka sistem pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarchi hereditis
(kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh melalui kekerasan dan
diplomasi, tidak melalui musyawarah, pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi
kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh
rakyatnya untuk menyatakan kesetiaan (baiat) pada anaknya, Yazid ibn Muawiyah, yang
kelak menggantikannya. Dalam hal ini tampaknya Muawiyah memang tetap menggunakan
istilah khalifah, namun ia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Muawiyah menyebut khalifah Allah dalam pengertian
penguasa yang diangkat oleh Allah.

Disintregasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani
Umayyah. Hal itu disebabkan karena kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh sebagian
besar warganegara, akibat sistem politik kerajaan yang diktator. Aspirasi yang tidak
tersalurkan, hak-hak yang terampas, dan penindasan-penindasan mendorong penduduk untuk
bangkit memberontak. Pemberontakan seperti itu juga terjadi pada masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah. Namun, pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditumpas pada masa
pemerintahan Bani Umayyah, dan masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah periode pertama.

Setelah masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pertama berakhir, keadaan politik


dunia Islam dengan cepat mengalami kemunduran. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah kuat
secara politik hanya pada periode pertama saja. Pada periode selanjutnya, pemerintahan
Dinasti Abbasiyah mulai menurun. Masa disintegrasi atau perpecahan yang terjadi pada masa
Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul pemerintahan baru selain
pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa pemerintahan al-Mutawakkil sampai
dengan al-Muntashim (27 khalifah).

Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah, muncul fanatisme kebangsaan yang


mengambil bentuk gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang
menginspirasi banyak gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Dinasti-
dinasti yang tumbuh dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah
Abbasiyah, ada yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana
ada juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni. Selanjutnya mulai periode kedua,
wibawa khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para panglima tentara mengambil
alih kekuasaan dari khalifah. Namun, kekuasaan para tentara itu tidak bertahan lama karena
mereka saling berselisih dan tidak didukung penduduk akibat kedzaliman mereka. Hal itulah

3
yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasidan dunia Islam terpecah-pecah
menjadi beberapa kerajaan.

Pada masa Bani Abbasiyah terdapat dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya cukup
banyak diantaranya adalah dinasti Idrisiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti Syaffariyah, dsb.
Namun dalam pembahasan makalah ini, penulis akan mengkhususkan pada pembahasan
“Dinasti-Dinasti Kecil Di Barat dan Timur Baghdad.”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses kemunculan dinasti-dinasti kecil di Baghdad?


2. Bagaimana proses berdirinya dinasti-dinasti kecil di timur Baghdad beserta
contohnya?
3. Bagaimana proses berdirinya dinasti-dinasti kecil di barat Baghdad beserta
contohnya?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui proses kemunculan dinasti-dinasti kecil di Baghdad.


2. Mengetahui proses berdirinya dinasti kecil di timur Baghdad dan contohnya.
3. Mengetahui proses berdirinya dinasti kecil di barat Baghdad dan contohnya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Proses Kemunculan Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad

Kemunculan dinasti-dinasti kecil paling sedikit mempunyai dua pola. Pertama,


pemimpin local melakukan suatu pemberontakan yang berhasil dan menegakkan
kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah
menjadi sedemikian kuatnya sehingga ia tidak dapat digantikan dan menunjuk anaknya
sebagai pengganti. Atas dasar itu, tidak heran jika dalam waktu yang relative singkat, baik di
sebelah barat maupun timur Baghdad bermunculan dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan
lepas dari control langsung Baghdad.

Faktor-faktor yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu :

1. Adanya persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap
ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan
Persia.
2. Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan
pusat Baghdad ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani Hasyim dan Bani
Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim.
3. Adanya perpindahan ibukota yang tadinya di Baghdad di masa Khulafaur
Rasyidin pindah ke Damaskus dimasa Bani Umayyah.
4. Adanya kemunduran kekuasaan Bani Abbasyiah
5. Luasnya wilayah kekuasaan dimana komunikasi yang terjadi antara wilayah-
wilayah kecil dengan pusat kurang terjalin dengan baik serta profesionalisasi
dalam angkatan militer tidak berjalan dengan baik.

2.2 Proses Berdirinya Dinasti Kecil di Timur Baghdad

a. Dinasti Thahiriyah (200-259 H/820-872 M)

Dinasti ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari
Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw, Ia diangklat sebagai panglima tentara pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. Ia telah banyak berjasa membantu al-Ma’mun dalam
menumbangkan Khalifah al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaum Alwiyin di
Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk
memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. Kemudian dipercaya pula untuk
mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H,
menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan
gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang
memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213 H.

5
Setelah Thalhah, kekuasaan berpindah ke tangan penerusnya, yaitu Abdullah Ibn Thahih
dan merupakan pemegang jabatan gubernur Khurasan terlama (213-248 H). Selama
memegang pemerintahan setingkat gubernur, Dinasti Thahiri mempertahankan hubungan
baik dan setia kepada pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, daerah mesir pun
diserahkan oleh al-Ma’mun kepada penguasaan Abdullah Ibn Thahir pada tahun 210 H, yang
pada waktu itu sempat menimbulkan gejolak. Karena hubungan dekat dan kepercayaan yang
diberikan al-Ma’mun cukup besar, wilayah kekuasaan Abdullah diperluas sampai ke daerah
Suriah dan Jazirah. Pada tahun 213 H, Wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir dikurangi dan
al-Ma’mun menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jaaazirah kepada saudaranya sendiri, yaitu Abu
IshakIbn Harun al-Rasyid. Hal ini dilakukan oleh al-Ma’mun setelah ia menguji kesetiaan
Abdullah Ibn Thahir, yang diketahui ternyata cenderung memihak pada keturunan Ali Ibn
Abi Thalib.

Sesudah Abdullah Ibn Thahir, jabatan gubernur Khurasan dipegang oleh saudaranya,
yaitu Muhammad Ibn Thahir (248-259H). Ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga
Thahiri. Kemudian daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Saffari melalui perjuangan
bersenjata. Keluarga Saffari merupakan saingan keluarga Thahiri di Sijistan. Walaupun
beberapa kekuasaan atas wilayah-wilayah mereka dikurangi oleh khalifah, mereka terus
memperluas wilayahnya dengan cara mempertahankan hubungan baik dengan Khalifah
Abbasiyah dan saling membantu dalam menjalankan Abbasiyah. Hal ini terbukti ketika al-
Mu’tashim harus memerangi pemberontakan al-Maziyar Ibn Qarun dari Tabarristan.
Abdullah Ibn Thahir turun tangan menyelesaikan dan menghancurkan al-Maziyah.

Akan tetapi, ketika Dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran, tampaknya
keluarga Abbasiyah menunjukkan perubahan sikap. Mereka mengalihkan perhatiannya
kepada keluarga Saffari yang mulai menggerogoti dan melancarkan gerakan untuk menguasai
Khurasan. Dalam keadaan mulai melemah, keluarga dan pengikut Alawiyin di Thabaristan
menggunakan kesempatanuntuk memunculkan gerakan mereka. Bersamaan dengan gerakan
Saffari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan, pada tahun 259 H, jatuh
dan berakhirlah dinasti Thahiri.

Para ahli sejarah mengakui bahwa pada zaman Thahiri, dinasti ini telah memberikan
sumbangan dalam memajukan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam.
Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah satu pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan
di timur. Pada masa itu, negeri Khurasan dalam keadaan makmur dengan pertumbuhan
ekonomi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan ilmu dan kebudayaan pada
umumnya. Keadaan ini merupakan suasana yang menguntungkan bagi perkembangan
seterusnya. Kemudian, Dinasti Thahiri dapat diandalkan oleh Khalifah Abbasiyah untuk
menjaga ketentraman dan kemajuan dfunia Islam. Mereka berhasil menguasai dan
mengamankan wilayah sampai ke Turki yang para sultannya telah menyatakan kesetiaan dan
ketaatan sebagai umat Islam yang tunduk di bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah. Dengan
demikian, meskipun kekuasaan Thahiri dapat direbut oleh keluarga Saffari, selama
kekuasaannya, mereka telah menyumbangkan sejumlah perluasan wilayah kekuasaan dunia
Islam ke bagian timur.

6
b. Dinasti Shaffariyah

Dinasti Shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia
Islam. Wilayah kekuasaan Dinasti Shaffariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti ini
didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar, seorang pemimpin kelompok khawarij di Provinsi
Sistan. Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Shaffari didirikan oleh Ya’qub bin al-Laits
al-Shaffar, Dinasti ini lebih singkat jika dibandingkan dengan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini
hanya bertahan selama 21 tahun. Ia berasal dari keluarga perajin tembaga dan semenjak kecil
bekerja di perusahaan orang tuanya. Keluarga ini berasal dari Sijistan. Selain ahli dalam
bidang ini, ia juga di kenal gemar merampok, tetapi dermawan terhadap fakir miskin.
Menurut Boswort, sekalipun singkat, kelompok Shaffariyah ini memiliki kekuasaan yang
cukup luas dan megah. Pada waktu itu Ya’kub mendapat simpati dari pemerintah Sijistan
karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu, Ya’kub ditunjuk untuk
memimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian Timur,
khusunya di Sijistan, ia berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu relatif singkat.
Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia menjabat Amir
di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat dan Busang. Setelah berhasil mengusir
tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi pemimpin di daerah itu. Ya’kub juga menaklukan
sisa-sisa kekuasaan yang pernah di kuasai oleh Thahiriyah yang masih setia di Khurasan
sehingga kekuasaannya semakin luas dan mantap.

Shaffariyah juga dikenal sebagai dinasti yang dipimpin oleh rakyat jelata, dan perilaku
mereka seperti bandit dan yang menjadi elemen-elemen mereka juga tokoh-tokoh radikal.
Sebagai pimpinan Dinasti Abbasiyah Ya’kub ibn Layts al-Saffar sebagaiamana telah
disebutkan sebelumnya adalah merupakan seorang pandai besi atau ahli dalam menempa
tembaga atau kuningan, semacam mpu di Jawa yang diwarisi secara turun-temurun. Gelar al-
Saffar yang diletakkan di belakang namanya ini sebenarnya diambil sesuai dengan
keahliannya yaitu ahli dalam menempa besi. Kegagalan usaha keluarganya, menjadikan ia
terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan
gerakan perampokan. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melintas
di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudian diberikan
kepada para fakir miskin. Ya’kub menjadi pemimpin dinastinya kurang lebih sebelas tahun.
Setelah ia meninggal pada tahun 878 M, kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya,
Amr Ibn Al-Laits. Sikap Amr ini tidak keras seperti saudaranya, Ya’kub, bahkan sebelum ia
diangkat menggantikan Ya’kub, ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan Baghdad
yang intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh Baghdad pada daerahnya.
Dengan demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari Baghdad. Pada saat
khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadid, Baghdad tetap mengakui kekuasaan Amr,
sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana menahan Amr,
kemudiaan memberikan kekuasaan kepada cucunya, Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr.
Setelah Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada saudaranya Al-Laits
Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khlifah ini berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr
Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti
Shaffariyah.

7
Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami perkembangan pada masa pemerintahan
Amr ibn Lays, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaan sampai ke Afganistan Timur.
Dalam masa pemerintahannya, terdapat perkembangan yang menarik, terutama
perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffariyah meletakkan dasar-
dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan. Karena itu, faktor
inilah yang mungkin menjadi salah satu sebab dinasti ini lama berkuasa di Sijistan, karena ia
begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama
komunitas masyarakat miskin. Seorang Amir abad kesepuluh, Khalaf ibn Ahmad, menjadi
termasyhur sebagai pelindung ilmu pengetahuan.

Pada tahun 393 H/1003 M Mahmud dari Ghazna menguasai provinsi itu dan dijadikan
sebagai wilayah kekuasaannya, namun Shaffariyah terus bertahan, dan pada pertempuran
Ghaznawiyah-Seljuq pada tahun-tahun pertengahan abad kesebelas memperkuat posisinya,
awalnya berkuasa sebagai bawahan Seljuq, kemudian sebagai bawahan Ghuriyyah. Bahkan
setelah invasi Mongol dan Timur, kejadian-kejadian yang begitu kalut dan menyedihkan bagi
sebagian besar dunia Islam Timur, Dinasti Shaffariyah berhasil bertahan sampai akhir abad
kelima belas.

Pendiri dinasti ini adalah Ahmad bin Asad bin Samankhudat. Nama Samaniyah
dinisbahkan kepada leluhur pendirinya yaitu Samankhudat, seorang pemimpin suku dan tuan
tanah keturunan bangsawan terkenal di Balkh, sebuah daerah di sebelah utara Afghanistan.
Dalam sejarah Samaniyah terdapat dua belas khalifah yang memerintah secara berurutan,
yaitu;

1. Ahmad I ibn Asad ibn Saman (Gubernur Farghana) 204 H/819 M


2. Nash I ibn Ahmad, (semula Gubernur Samarkand) 250 H/864 M
3. Ismail I ibn Ahmad 279 H/892 M
4. Ahmad II ibn Ismail 295 H/907 M
5. Al-Amir as-Sa’id Nashr II 301 H/914 M
6. Al-Amir al-Hamid Nuh I 331 H/943 M
7. Al-Amir al-Mu’ayyad Abdul Malik I 343 H/954 M
8. Al-amir as-Sadid Manshur I 350 H/961 M
9. Al-Amir ar-Ridha Nuh II 365 H/976 M
10. Mansur II 387 H/997 M
11. Abdul Malik II 389 H/999 M
12. Ismail II Al-Muntashir 390-395H/1000-1005 M

Dinasti ini berbeda dengan dinasti kecil lain yang berada di sebelah barat Baghdad,
dinasti ini tetap tunduk kepada kepemimpinan Khalifah Abbasiyyah. Dalam sejarah Islam
tercatat bahwa dinasti ini bermula dari masuknya Samankhudat menjadi penganut Islam pada
masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayyah), sejak itu Samankhudat dan
keturunannya mengabdikan diri kepada penguasa Islam. Pada masa kekuasaan al-Ma’mun
(198-218 H/813-833 M) dari Dinasti Bani Abbasiyyah, empat cucu Samankhudat memegang
jabatan penting sebagai gubernur dalam wilayah kekuasaan Abbasiyah yaitu Nuh di
Samarkand, Ahmad bin Asad di Farghana (Turkistan) dan Transoksania, Yahyabin Asad di

8
Shash serta Asyrusanah (daerah di utara Samarkand), dan Ilyas di Heart, Afghanistan.
Seorang cucu Samankhudat yang bernama Ahmad bin Asad, dalam perkembangannya mulai
merintis berdirinya Dinasti Samaniyah didaerah kekuasaannya, Farghana. Ahmad
mempunyai dua putra, Nasr dan Isma’il, yang juga menjadi orang kepercayaan Abbasiyah.
Nasr I bin Ahmad dipercaya menjadi gubernur di Transoksania dan Isma’il I bin Ahmad di
Bukhara. Selanjutnya Nasr I bin Ahmad mendapat kepercayaan dari khalifah al-Mu’tamid
untuk memerintah seluruh wilayah Khurasan dan Transoksania, dan daerah ini menjadi basis
perkembangan Dinasti Samaniyyah. Oleh sebab itu Nasr I bin Ahmad dianggap sebagai
pendiri hakiki dinasti ini. Antara Nasr dan Saudaranya, Isma’il selalu terlibat konflik yang
mengakibatkan terjadinya peperangan, dalam peperangan yang terjadi Nasr mengalami
kekalahan yang kemudian ia ditawan, sehingga kepemimpinan Dinasti Samaniyyah beralih
ke tangan Isma’il I bin Ahmad. Adanya peralihan kepemimpinan ini menyebabkan
berpindahnya pusat pemerintahan yang semula di Khurasan di pindahkan ke Bukhara.

Pada sa’at pemerintahan dipimpin Isma’il I bin Ahmad, ia selalu berusaha untuk:

• Memperkukuh kekuatan dan mengamankan batas wilayahnya dari ancaman suku


liar Turki.
• Membenahi administrasi pemerintahan.
• Memperluas wilayah kekuasaan ke Tabaristan (Irak utara) dan Rayy (Iran).

Isma’il I bin Ahmad adalah orang yang sangat mencintai dan memuliakan para ilmuwan
serta bertindak adil terhadap rakyatnya, setelah ia wafat pemerintahan diteruskan putranya
Ahmad bin Isma’il. Setelah Ahmad bin Isma’il, pemerintahan diteruskan putranya Nasr II bin
Ahmad yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga Sijistan, Karman, Jurjan di
samping Rayy, Tabaristan, Khurasan, dan Transoksania. Setelah Nasr II bin Ahmad, para
khalifah berikutnya tidak mampu lagi melakukan perluasan wilayah, bahkan pada khalifah
terakhir Isma’il II al-Muntasir, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara
Dinasti Qarakhan dan dinasti Ghaznawiyah dari Turki. Akhirnya wilayah Samaniyah dipecah
menjadi dua, daerah Transoksania direbut oleh Qarakhan dan wilayah Khurasan menjadi
pemilik penguasa Ghaznawiyah.

Dinasti Samaniyah telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan
Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, filasafat, budaya, politik, dan lain-lain. Tokoh
atau pelopor yang sangat berpengaruh dibidang filsafat dan ilmu pengetahuan pada dinasti ini
adalah Ibn Sina, selain Ibn Sina juga muncul para pujangga dan ilmuwan dibidang
kedokteran, astronomi dan filsafat yang sangat terkenal, seperti Al-Firdausi, Ummar Kayam,
Al-Bairuni dan Zakariya Al- Razi. Dinasti ini telah berhasil menciptakan kota Bukhara dan
Samarkan sebagai kota budaya dan kota ilmu pengetahuan yang sangat terkenal di seluruh
dunia, sehingga kota ini dapat menyaingi kota-kota lain, seperti Baghdad dan Cordova.
Dinasti ini juga telah berhasil mengembangkan perekonomian dengan baik, sehingga
kehidupan masyarakatnya sangat tentram, hal terjadi karena dinasti ini tidak pernah lepas
hubungan dengan pemerintah pusat di Baghdad. Berakhirnya Dinasti Samaniayah di
Transoxiana dan kota Bukhara serta Samarkand sebagai kota utama sangat berpengaruh pada
penerapan ajaran-ajaran Islam. Kedua kota ini sebagai pusat ilmu pengetahuan dan

9
kebudayaan, hampir-hampir menyamai kebesaran kota Baghdad. Tidak hanya para ilmuwan
Arab, ilmuwan Persia pun mendapat perlindunagn dan dukungan dari pemerintah untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, ilmu kedokteran, ilmu
falak serta filsafat juga mengalami kemajuan dengan disusun dan direkonstruksi serta
diterjemahkan bahasa Persia ke bahasa Asab. Diantara beberapa literatur di bidang
kedokteran yang terkenal masa itu adalah buku al-Manshury yang dikarang oleh Abu Bakr al-
Razzi. Pada masa ini muncul pula filosof muda belia yakni Ibnu Shina yang berhasil
mengobati Amir Nuh bin Mansur pada saat Ibnu Sina berusia delapan belas tahun. Di bidang
kesusasteraan muncul al-Firdawsi (934-1020) yang menulis sajak-sajaknya. Tercatat juga
dalam sejarah seorang wazir pada pemerintahan al-Manshur I bin Nuh (961-976) yang
bernama Bal’ami. Ia menerjemahkan Mukhtasar al-Thabari. Bahkan perpustakaan milik
dinasti Samaniyah yang berada di Bukhara memiliki berbagai koleksi buku yang tidak
dijumpai di tempat lain. Begitu tingginya peradaban umat manusia di masa Dinasti
Samaniyah ini terlebih lagi bila dibandingkan dengan keadaan peradaban yang terjadi pada
kedua dinasti sebelumnya. Tidak hanya dalam bidang sains dan filsafat yang berkembang
dimasa ini tetapi juga dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.

Pada saat dinasti mencapai kejayaannya, banyak imigran Turki yang menduduki posisi
penting dalam pemerintahan, namun bersebab dari tingginya fanatik kesukuan pada dinasti
ini, akhirnya mereka para imigran Turki yang menduduki jabatan penting dalam
pemerintahan tersebut banyak yang dicopot, langkah-langkah inilah yang menyebabkan
kehancuran dinasti ini, karena mereka tidak terima dengan perlakuan tersebut, sehingga
mereka mengadakan penyerangan sampai mereka berhasil melumpuhkan dinasti ini. Sebagai
bahan perbandingan penulis menambahkan, jika pada masa Dinasti Umawiyah, wilayah
kekuasaannya masih merupakan kesatuan yang utuh, yaitu suatu wilayah yang luas
membentang dari Spanyol di Eropa, Afrika Utara, hingga ke Timur India, pada masa Dinasti
Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah di
Baghdad, yang di mulai dengan terbentuknya Dinasti Umawiyah II di Spanyol, sehinnga
kekuasaan kekhalifahan terpecah menjdi dua bagian, yaitu Dinasti Abbasiyah yang berpusat
di Baghdad dan Dinasti Umawiyah II yang berpusat di Andalusia, Spanyol.

c. Dinasti Ghaznawi

Sejak tahun 850-an M, Kehalifahan Abbasiyah berusaha mencari orang-orang yang


dapat dipercaya untuk dijadikan tentara. Mereka tidak memakai jasa orang Arab karena takut
orang-orang tersebut akan berusaha merebut kekuasaan. Abbasiyah lalu merasa bahwa orang-
orang Turk merupakan prajurit yang terpercaya. Maka dari itu orang-orang Abbasiyah mulai
menangkap sejumlah pemuda Turk untuk dijadikan budak, lalu mendidik mereka menjadi
tentara. Ternyata orang Turk terbukti menjadi prajurit yang handal. Namun seiring waktu
orang-orang Turk itu mulai mengambil kekuasaan para khalifah Ababsiyah. Pada tahun 962
M, khalifah Ababsiyah memecat Alptigin, jenderal yang bertugas mengurus daerah Khurasan
(Afghanistan modern).

Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur, Afganistan, Pakistan dan
beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya di kota Ghazna Afganistan. Dinasti

10
inilah yang mampu menembus sampai ke India menyebarkan agama Islam , menghancurkan
berhala menggantikan kuil dengan masjid dan mampu berjaya sampai kurang lebih 220
tahun. Namun Alptigin tidak ikhlas dengan pemecatannya. Dia pun berangkat ke selatan dan
merebut benteng Ghazni dari orang-orang Samaniyah yang sebelumnya menguasainya. Dia
meninggal setahun kemudian namun anak buahnya berhasil merebut Afghanistan dan
mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Para prajruit ini dikenal sebagai Ghaznawiyah
sesuai nama benteng mereka. Mereka lalu menaklukan Kabul pada tahun 977 M. Di bawah
sultan agung Mahmud, cucu Alptigin, mereka merebut Herat dari kekuasaan Samaniyah pada
tahun 1000 M, dan menguasai sebagian Persia (Iran modern) juga. Setelah itu pasukan
Ghaznawiyah mulai menyerbu India.

Pada awalnya serbuan Sultan Mahmud ke India adalah untuk mendapatkan emas dan
budak, serta untuk menghancurkan berhala-berhala di sana. Banyak kuil Hindu di India utara
yang dihancurkan dalam serbuan ini, termasuk kuil Siwa yang terkenal di Gujarat. Mahmud
memperoleh banyak sekali harta rampasan sehingga dia mampu membangun istana yang
indah di Ghazni. Dia bahkan memiliki 2500 gajah di sana. Jika tiba musim dingin di Ghazni,
Mahmud dan anak buahnya akan berpindah ke Bost menggunakan gajah. Namun pada
akhirnya Mahmud menaklukan Punjab (Pakistan modern dan India utara) dan menjadikannya
bagian dari kekuasaannya. Mamhmud memerintah sekitar 30 tahun sebelum akhirnya
meninggal pada tahun 1030 M. Dinasti Ghaznawiyah tidak bertahan lama setelah
kematiannya. Pada tahun 1040 M, Ghaznawiyah ditaklukan oleh orang-orang Seljuk dan
Ghuri.

2.3 Proses Berdirinya Dinasti Kecil di Timur Baghdad

Pada masa kekuasaan bani Abbasiyah terdapat 5 dinasti kecil yang berada di sebelah
Barat Bagdad, yakni :

a. Dinasti Idrisiyah (788-927 M)

Dinasti Idrisiyah adalah dinasti Islam pertama yang terdiri di Maghrib al-Aqsa (Maroko),
Idrisiyah juga merupakan dinasti Islam pertama yang berupaya memasukan Dokrin Syiah,
Meskipun dalam bentuk lunak kewilayah Maroko. Dinasti ini didirikan oleh Idris bin
Abdullah bin al-Hasan bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib di Magrib al-Aqsha pada tahun
788, dan dapat bertahan cukup lama hingga tahun 927 M.

1. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Idrisiyah

Pertempuran Fakh yang berlangsung pada tahun 786 di Hijaz, menorehkan jejak
panjang dalam sejarah Syiah. Pertempuran itu melibatkan simpatisan Ali (Syiah)
melawan kekhalifahan Abbasiyah. Dalam pertempuran tersebut golongan Syiah yang
memberontak mengalami kekalahan.

Pemberontak Syiah luluh lantah pascapertempuran, akan tetapi terdapat dua


keturunan Ali yang berhasil selamat dari pertempuran itu. Mereka adalah Yahya bin

11
Abdullah bin al-Hasan yang pergi ke Dailam dan saudaranya yang bernama Idris bin al-
Hasan yang pergi ke Afrika Utara.

Idris berhasil sampai ke Maghrib al-Aqsha ditemani oleh orang kepercayaannya


bernama Rasyid pada tahun 786 M. Setibanya di Maghrib, idris segera mencari
dukungan dari tokoh-tokoh Maroko untuk membangun suatu koalisi politik.

Situasi dan kondisi kawasan utara Maghrib al-Aqsha sendiri sangat mendukung
bagi terbukanya jalan untuk sebuah kepemimpinan politik. Kondisi ini muncul akibat
konflik internal yang memecah belah wilayah itu.

Konflik tersebut melibatkan kabilah-kabilah Barbar, antara suku-suku


Shanhajiyah (Sanhadja), Masmudiyah (Masmouda) yang masih memegang teguh as-
Sunnah, dengan suku Burghuathah (Berghwata), yang menciptakan sebuah ideologi
agama baru.

Agama baru Burghuathah sudah jauh menyimpang dari akidah Islam dan lebih
dekat kepada Zindiq. Oleh karena itu, di kawasan Maghrib tersebar pandangan yang
memvonis kabilah Burghuathah dengan ideologi barunya tersebut sebagai orang-orang
kafir.

Sulu-suku Mashmudiyah mengkhawatirkan akidah sesat suku Burghuathah.


Mereka mencoba bertahan menghadapi penindasan suku Burghuathah. Akan tetapi,
situasi, dan kondisi internal mereka yang juga kacau dan tidak stabil membuatnya
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat mempersatukan mereka di bawah satu
bendera untuk membebaskan dari hegemoni Burghuathah.

Di tempat lain, Idris dan Rasyid yang telah melakukan pengembaraan selama dua
tahun tiba di kota Tangier, ibu kota Maghrib al-Aqhsa saat itu. Di kota tersebut, Rasyid
mulai mempropagandakan pengangkatan seorang amir Alawi yang mampu mengangkat
panji Islam dan membebaskan masyarakat dari penindasan, dan kezindiqan.

Propaganda yang menyerukan pengangkatan seorang pemimpin dari keturunan


ahlul bait ternyata mampu menarik dan menggalang banyak dukungan. Dalam waktu
yang relatif singkat, banyak masyarakat bergabung berkat usaha Rasyid yang begitu
gencar mempromosikan ide dan gagasannya di tengah-tengah kabilah Awarba. Mayoritas
simpatisan itu berasal dari daerah Wallili (Volubilis) yang waktu itu menjadi pusat
perdagangan kabilah-kabilah Maroko.

Setelah persiapan dan pendukung telah siap dan solid, maka Rasyid pun
mengajukan Idris untuk diangkat sebagai pemimpin kabilah-kabilah Maroko. Usulan itu
segera mendapatkan sambutan hangat dari pemuka Awarba, karena mereka melihat
bahwa Idris adalah sosok terbaik yang dapat menyelamatkan mereka dari pengaruh
Kabilah Burghuathah dan memperjuangkan nasib mereka.

Selanjutnya, Idris pun datang ke Walili pada Agustus 788 M, lalu diangkat oleh
para penduduknya sebagai pemimpin mereka sekaligus ketua kabilah Awarba Maghrib.

12
Cabang-cabang Awarba lain yang sudah muak dengan Burghuathah segera menyusul
bergabung, di antaranya Lawatah, Miknsah, dan Zuwarah.

Ada dua faktor pendukung eksistensi Dinasti Idrisiyah:

1. Pemerintahannya memperoleh dukungan penuh dari kabilah-kabilah Barbar yang


terkenal kuat.
2. Pusat pemerintahannya yang jauh dari kota Baghdad, sehingga Khalifah Abbasiyah
ragu-ragu untuk menyerang langsung Dinasti Idrisiyah.

b. Dinasti Aghlabiyah (800-909M)

Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama
kurang lebih 100 tahun. Ibrahim bin al-Aghlab memerintah sebagai penguasa yang berdiri
sendiri, dan setahun setelah pengangkatannya, tak satupun khalifah Abbasiyah yang
menjalankan kekuasan diluar perbatasan Barat Mesir. Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil
dari nama ayah, Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aghlab, seorang yang dikenal
mahir dibidang admisintrasi. Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam
sejarah peradaban Islam atau konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa.

1. Latar Belakang Berdirinya Diansti Aghlabiyah

Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa
selama kurang lebih 100 tahun (800-900 M). Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah
(Afrika Kecil, terutama Tunisia), sempalan dari “Afrika” Latin, Harun al-Rasyid pada 800
M. telah mengangkat Ibrahim bin al-Aghlab sebagai gubernur. Ibrahim bin al-Aghlab
(800-811 M.) memerintah sebagai penguasa yang berdiri sendiri, dan setahun setelah
pengangkatannya, tak satupun Khalifah Abbasiyah yang menjalankan kekuasaan di luar
perbatasan barat Mesir. Aghlabiyah merasa puas dengan gelar Amir, tetapi tidak merasa
perlu mencatumkan nama Khalifah di mata uang mereka, sekalipun sebagai bukti
kekuasaan spiritualnya. Dari ibukotanya, Qayruwan, sampai ke Qartago, mereka
menguasai Mediterania tengah selama abad-abad kejayaan mereka.

Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah, Amir yang pertama, yaitu
Ibrahim bin al-Aghlab. Beliau adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abasiyah.
Ibrahim bin al-Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan
kemampuan ilmu administrasinya, Ibrahim bin al-Aghlab mampu mengatur roda
pemerintahan dengan baik. Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam
sejarah peradaban Islam atau konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa, di bawah
pimpinan Ziyadatullah I. Pada tahun 800 M, Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir)
di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan
dengan Khalifah Abasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahim I
diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti
kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari
penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara
dengan Baghdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah.

13
Dinasti Aghlabiyah berdiri di Aljazair dan Sicilia pada tahun 184-296/800-909 M.
Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin al-Aghlab yang diberi otonomi wilayah yang
sekarang disebut Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Disamping itu, Dinasti ini juga
di kenal dengan armada angkatan laut yang di miliki, sehingga di waktu masa
kejayaannya, sangat tangguh dan perkasa di medan pertempuran lebih khususnya di
lautan. Dan banyak para sejarawan yang mengakui kekuatan armada angkatan laut
Dinasti Aghlabiyah.

Adapun susunan para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang memerintah adalah


sebagai berikut :

1. Ibrahim I bin al-Aghlab (800-812 M).

2. Abdullah I (812-817 M).

3. Ziyadatullah I(817-838 M).

4. Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M).

5. Muhammad I (841-856 M).

6. Ahmad (856-863 M).

7. Ziyadatullah II(863 M).

8. Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M).

9. Ibrahim (875-902 M).

10. Abdullah II (902-903 M).

11. Ziyadatullah III (903-909 M).

2. Perkembangan Dinasti Aghlabiyah

Aghlabiyah merupakan Dinasti kecil pada masa pemerintahan Abasiyah, yang


para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehinggga Dinasti tersebut
dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti kecil tersebut yaitu ketika
Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara terdapat
dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Ancaman dari Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syi’ah.

b. Ancaman dari Golongan Khawarij.

Dengan adanya dua ancaman tersebut, terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk


menempatkan bala tentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin al-Aghlab.
Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan

14
kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut di hadiahkan kepadanya dan anak
keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya
mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke
Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun al-Rasyid menyetujui usulannya,
sehingga berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifriqiyah yang
mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan
kekhalifahan Baghdad. Pendiri Dinasti Aghlabiyah adalah Ibrahim bin al-Aghlab pada
tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh
Harun ar-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan
meliputi hak-hak otonom yang besar. Untuk menaklukan wilayah baru dibutuhkan suatu
proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyah yang
sifatnya adalah pemberian. Salah satu kinerja pertama atau kesuksesan pertama yang
diraih oleh pemerintahan Aghlabiyah adalah keberhasilan memadamkan gejolak yang
muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka.

Banyak penerus Ibrahim bin al-Aghlab terbukti sama bersemangatnya dengan


Ibrahim sendiri. Dinasti Aghlabiyah menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik
berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Dengan armada perang yang lengkap, mereka
memorak-porandakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Salah satu
dari mereka adalah Ziyadatullah I (817-838 M.), pada tahun 827 M. Ziyadatullah
mengirim ekspedisi ke Sisilia Bizantium, yang didahului oleh operasi bajak laut.
Ekspedisi ini, juga ekspedisi-ekspedisi berikutnya, berhasil ditaklukan. Sisilia menjadi
basis menguntungkan bagi operasi-operasi melawan wilayah daratan, terutama Italia.
Selain Sisilia, Malta, dan Sardinia juga berhasil direbut oleh para bajak laut yang
operasinya meluas jauh sampai ke Roma. Pada saat yang sama, para bajak laut muslim
dari Kreta terus-menerus menyerbu pulau-pulau kecil di Laut Aegea, dan pada
pertengahan abad ke-10, mereka menyerang kawasan pesisir Yunani. Tiga prasasti Kufik
yang ditemukan di Athena mengungkapkan adanya pemukiman Arab di sana, ayng
diduga bertahan sampai awal abad ke-10.

Selain itu Dinasti Aghlabiyah berhasil menaklukan kota-kota di sepanjang pantai


Italia, yaitu sebagai berikut:

1. Brindisi (836/221 H),

2. Napoli (837 M),

3. Calarbia (838 M),

4. Toronto (840 M)

5. Bari (840 M),

6. Benevento (840 M).

15
c. Dinasti Thuluniyah (837-903 M)

Dinasti Thuluniyah adalah Dinasti kecil pertama di Mesir yang mendapatkan hak
otonom dari pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Thuluniyah di Dirikan oleh
Ahmad bin Thulun, Seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh panglima Thahir
bin Al-Husain ke Bagdad sebagai persembahan untuk Khalifah al-makmum.

Dinasti ini merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan


Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Bagdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad
Ibn thulun, yaitu seorang budak dari Asia tengah yang dikirim oleh panglima tharir bin
Husain ke Bagdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah Al-Makmun dan diangkat
menjadi kepala pegawai istana.

Ahmad Ibn Tulun ini terkenal dengan sosok yang gagah berani, dan seorang yang
dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra dan Militer. Pada mulanya Ahmad Ibn Thulun
datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah disana, lalu menjadi gubernur yang
wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah. Pada masa Khalifah Al-Mu,taz,
Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagi wakil di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya
yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan barat.

Masa ini merupakan masa disintegrasi dan distabilitas politik pemerintahan


Abbasiyah. Situasi itu dimanfaatkan oleh Ahmad bin Thulun dengan memproklamirkan
independensi wilayahnya dan membentuk dinasti Thuluniyah. Meskipun demikian
Thuluniyah masih memperlihakan loyalitasnya pada Bgdad melalui penyebuan nama
Khalifah dalam khotbah jumat dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta
pembayaran pajak sejumlah 300.000 dinar.

Keberadaan dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat,


apalagi setelah adanya ikatan kuat melalui perkawinan antar Ahmad Ibn Thulun dengan
saudara Yurjukh, sebagai jaminan kedudukan yang diperoleh Thuluniyah. Ahmad Ibn
Thlun mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz disemenanjung Arabia hingga
Palestina dan siria pada tahun 878 M., serta wilayah Sicilia di Asia kecil pada tahun 879
M.

Posisi Ahmad Ibn Thulun yang secara politis menguntungkan bagi penguatan
kekuasaannya tersebut, Al-Muaffaq (salah seorang khalifah Al-Mu’tamid pada saat itu),
merasa iri hati dan ia merencanakan untuk membuat strategi dalam mempengaruhi
khalifah agar menyerang Ahmad sehingga tidak terhindarkan lagi terjadinya benturan
fisik antara khalifah Al-Mu’tamid dengan Ahmad Ibn Thulun. Namun karena mempunyai
dukungan dan pasukan yang tangguh dan terlatih, kedudukan Ahmad Ibn Thulun masih
tetap kokoh dan kuat.

Beberapa saat setelah peperangan tersebut, Ahmad Ibn Thulun menderita sakit,
dan lama-kelamaan sakitnya bertambah parah, akhirnya ia meninggal pada tahun 270 H.
Dalam usia 50 tahun dan kekuasannya pun pindah ke tangan putranya yang tertua
bernama Al-Khumarwaihi. Ketika kekuasaan berada di tangan Al-khumarwaihi, yaitu

16
pada tahun 884-895 M., Dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Pada masa itu pula,
khalifah Al-Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah Mesir, Siria sampai gunung
Tauruts dan wilayah Aljazair (Mesopotamia Utara), kecuali Mosul kepada Al-
Khumarwaihi.

Pada saat itu pula berbagai prestasi Dinasti Thuluniyah telah banyak dicapai.
Dinasti Thuluniyah mampu mengukir dan memperkaya peradaban Islam yang semasa
Dinasti Umayah mengalami kemunduran. Sebagai contoh kemajuan prestasi dinasti
tersebut ialah dalam bidang seni arsiterktur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn
Thulun yag megah, pembangaunan rumah sakit yang memakan biyaya cukup besar
sampai 60.000 dinar dan bangunan istana Khumarwaihi dengan balairung emasnya.

Kemewahan dan kemegahan masjid Ahmad Ibn Thulun terletak pada menaranya
yng melintang dan melilit ke atas. Setiap jumat, di masjid tersebut disediakan dokter
khusus untuk mengobati pasien Cuma-Cuma tanpa melihat agama dan alirannya. Adapun
keistimewaan istana Al-Khumarwaihi terletak pada seluruh dinding balairungnya yang
dilapisi emas dan dihiasi dengan relief dirinya. Istana tersebut dibangun ditengah-tengah
kebun yang tumbuh-tumbuhannya sangat indah, juga terdapat kebun binatang.

Kemajuan lainnya ialah di bidang militer, Thuluniyah mempunyai 100.000


perajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro.
Thuluniyah membangun kubu-kubu pertahanan dan sebuah benteng yang kokkoh diatas
pulau Ar-Raudah. Pada masa itu juga, banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian
yang terletak di lembah sungai Nil.

Selama beberapa tahun menjelang berakhirnya masa kekuasaan Al-Khumarwaihi,


pada dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejala memburuk, yaitu pada tahun 896 M.,
Al-Khumarwaihi meninggal dan tahta kerajaan secara berurutan diserahkan kepada Abu
Al-‘Asakir Jaisy Ibn Khumarwaihi, kemudian Harun bin Khumarwaihi dan Saiban Ibn
Ahmad Ibn Thulun.

Pada masa kekuasaan yang terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-
sekte keagamaan Qaramithah yang berpusat di gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu,
Syaiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte
tersebut, dan bersamaan dengan itu pula khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk
menaklukan Dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke
Bagdad. Setelah ditaklukan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.

d. Dinasti Ikhisidiyah (934-968 M)

Dinasti Ikhsidiyah adalah Dinasti yang memerintah Mesir pada tahun 934-968 M.
Muhammad bin Tughj al-Ikhsid adalah seorang tentara budak keturunan Turki, yang
ditunjuk sebagai Gubernur oleh keKhalifahan Abbasiyah Dinasti menggunakan gelar
Arab wali karena posisi mereka sebagai Gubernur di bawah Abbasiyah. Dinasti
Ikhsidiyah didirikan oleh Muhammad bin Tughi yang diberi gelar al-Ikhsid atau pangeran
pada 934 M.

17
Dinasti ini didikrikan oleh Muhammad Ibn Thugi yang diberi gelar Al-Ikhsyid
(pangeran) pada tahun 935 M. Muhammab Ibn Tughi diangkat sebagai gubernur di Mesir
oleh Abbasiyah saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan
wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiah yang berpusat di Afrika Utara.[37]

Dinasti Ikhsidiyah mempunya peran strategis dalam menyokong dan memperkuat


wilayah Msir. Pada masa itu, Mesir mempeunyai kedudukan yang kuat karena ditopang
dengan kemiliteran Iksidiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal sejumlah 40.000
orang dan 800 orang pengawal pribadinya.

Pada masa Dinasti Ikhsyidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan
dan dunia gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang
dipusatkan di masjid dan rumah-rumah mentri dan ulama. Kegiatan itulah yang sangat
berperan dalam pendewasaan pendidikan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun pasar
buku yang besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal dengan nama Syuq Al-
Waraqin.

Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti Ikhsyidiyah mengadakan


ekspansi besar-besaran dengan menunudukan Siria dan Palestina ke dalam otonominya.
Pada tahun berikutnya, Ikhsyidiyah menaklukan Madinah dan Mekah. Dengan demikian
kekuasaan Ikhsyidiyah bertambah besar danpesat.

Pada masa pemerintahan Kafur yang termasyhur sebagai pelindung liberal


kesusastraan dan seni, beberapa serangan yang dilancarkan di Fatimiah disepanjang
pantai Afrika Utara dapat diatasi. Akan tetapi sepeninggalan Kafur pada tahun 968 M.,
Ikhsyidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu Al-Fawarisaris Ahmad Ibn
Ali (967-972 M.) yang menerima tahta kekuasaan setelah Kafur, tampaknya tidak
bertahan lama, dikarenakan kepeminpinannya yang sangat lemah, sehingga serangan
yang terus menerus dilancarkan oleh Fatimiah terhadap pemerintahannya membuat
dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada
akhirnya Ikhsyidiyah dapat ditaklukan pula oleh Fatimiah.

Ada beberapa faktor kehancuran Dinasti Ikhsyidiyah, yaitu selain karena serangan
terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa sebelum penaklukan oleh Fatimiah,
telah terjadi penyerangan Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M. Selain itu juga, terjadi
penyekapan jemaah haji mesir serta serbuan orang-orang Nubia yang berhasil merampas
daerah-daerah wilayah selatan.

e. Dinasti Hamdaniyah (905-1004 M)

Dinasti Hamdaniyah adalah Dinasti ini muncul sebagai tandingan Dinasti


Ikhsidiyah yang berada di Turkistan. Dinasti ini didirikan oleh Hamdan bin Hamdun,
yang merupakan seorang Amir dari suku Taghlib dengan gelar Abu al-Haijjah.

18
Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang amir dari suku Taghlib.
Putranya Al-husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Al-Haija
Abdullah diangkat jadi gebernur Maosul oleh Khalifah Al-Muktafi pada tahun 905 M.

Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh Khalifah
Abbasiyah karena beralianasi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani
Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya dia diampuni oleh Khalifah abbasiyah.

Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua wilayah bagian, yaitu wilayah
kekuasaan di Mousul dan wilayah kekuasaan di halb. wilayah kekuasaan di Halb, terkenal
sebagai pelindung kesusastraan arab dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula, muncul
tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang
menggeluti di bidang ilmu nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn
Nashr Ad-daulah, Abu A’la Al-Ma’ari, dan syarif Ad-daulah sendiri yang mendalami
ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.

Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa faktor. Pertama, meskipun


dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat
perdagangan yang strategis, sikap kebudayaannya yang tidak bertanggung jawab dan
sikapnya yang destruktif tetap dijalankan. Dengan sikap seperti itu, Suriah dan Aljazirah
merasa menderita karena kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan. Hal inilah yang
menjadikan kurangnya simpati masyarakat dan wibawanya jatuh.

Kedua, bangkitnya kembali Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang


bersamaan dengan brdirinya dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan Dinasti
Hamdaniyah tidak bisa menghindari dari invasi wilayah kekuasaannya dari serangan
Bizantium yang energik. Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah
mengakibatkan Allefo dan Hims terlepas dari kekuasaannya, hingga dinasti Hamdaniyah
lumpuh.

Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan, juga


melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini mengakibatkan
terbunuhnya Said Ad-Daulah yang tengah memegang tambuk kekuasaan dinasti
Hamdaniyah. Akhirnya, dinasti ini pula takluk pada dinasti Fatimiah

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah
dari Barat. Pada masa kekuasaan bani Abbasiyah terdapat 5 dinasti kecil yang berada
di sebelah barat Baghdad, yakni:

a. Dinasti Idrisiyah f. (789 M – 926 M)


b. Dinasti Aghlabiyah g. (800 M – 909 M)
c. Dinasti Thuluniyah h. (868 M – 905 M)
d. Dinasti Ikhsidiyah i. (935 M – 969 M)
e. Dinasti Hamdaniyah j. (905 M – 1004 )

2. Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah
kekuasaan Khalifah dari Barat, proses yang sama telah terjadi di Timur terutama
dilakukan oleh orang Turki dan Persia.Pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah terdapat
3 dinasti kecil yang berada di sebelah timur Baghdad, yakni:

a. Dinasti Thahiriyah d. (820 M – 872 M)


b. Dinasti Shaffariyah e. (867 M – 1495 M)
c. Dinasti Samaniyyah f. (819 M – 1005 M)

3. Pelepasan wilayah kekuasaan dinasti-dinasti kecil di barat dan timur Bagdad dari
Dinasti Abbasiyah disebabkan beberapa faktor:
a. Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan
kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi,
sehingga memberi peluang terhadap wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan
untukmemerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah;
b. Karena dinasti Abbasiyah tidak diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara,
kecuali Mesir, sehingga membuat daerah-daerah yang jauh mendirikan dinasti-
dinasti kecil.
c. Adanya pemberian hak otonom, sehingga tidak terkontrol karena berjauhan
dari pemerintahan pusat, dan terlalu luasnya kekuasaan Abbasiyah

3.2 Saran

1. Untuk Bapak/Ibu tenaga pendidik hendaknya senatiasa memberikan motivasi kepada


peserta didiknya untuk terus menggali pengetahuan tentang sejarah peradaban Islam.
2. Untuk para peserta didik hendaknya terus menggali ilmu-ilmu sejarah peradaban
Islam, memperdalam dan mempelajarinya untuk menambah keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT dan sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Syamruddin. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Riau: Yayasan Pusaka Riau.

Siti Mayam dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta:
LESFI, 2009.

Bosworth, C. E. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan.

https://youchenkymayeli.blogspot.com/2014/12/dinasti-shaffariyah-254-290-h-867-903-
m.html

http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/dinasti-thahiriyah.html

http://kajianumum313.blogspot.com/2016/01/dinasti-dinasti-kecil-di-timur-baghdad.html

21

Anda mungkin juga menyukai