Anda di halaman 1dari 5

Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis dengan ciri-ciri adanya gangguan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku dari seseorang. Skizofrenia memiliki gejala-gejala yang disebut
sebagai gejala positif dan negatif. Gejala positif skizofrenia contohnya adalah delusi (waham)
dan halusinasi. Sementara itu gejala negatif contonya adalah terbatasnya kemampuan
mengekspresikan emosi dan kehilangan inisiatif. [1]

Untuk mendiagnosis skizofrenia, setidaknya harus ada dua dari beberapa gejala di bawah ini:
[1,2]

1. Delusi
2. Halusinasi
3. Gangguan dalam berbicara (seperti inkoherensi/neologi)
4. Perilaku katatonik atau grossly disorganized behavior
5. Gejala negatif (terbatasnya kemampuan mengekspresikan emosi, kehilangan motivasi,
kehilangan inisiatif, acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar)

Selain keberadaan gejala-gejala di atas, gejala tersebut harus ada selama lebih dari 1 bulan,
dan mengganggu level fungsional di salah satu dari pekerjaan, hubungan interpersonal, atau
kemampuan merawat diri sendiri. Selain itu, untuk mendiagnosis skizofrenia kita harus
menyingkirkan kemungkinan gangguan mental organik, gangguan mental akibat obat-obatan,
dan juga gangguan mood. Pada kasus orang dengan autisme, adanya delusi dan/atau
halusinasi cukup untuk menegakkan diagnosis skizofrenia.[1]

Skizofrenia umumnya muncul pada usia di atas 30 tahun, walaupun pada beberapa kasus
skizofrenia dapat muncul pada usia lebih muda. Pada laki-laki, onset skizofrenia berkisar
antara usia 18-25 tahun, sementara pada perempuan ada dua kategori usia dimana jumlah
kasus skizofrenia paling banyak, yaitu pada usia 25-35 tahun dan usia di atas 40 tahun. Di
Amerika Serikat, skizofrenia memiliki prevalensi sebesar 0.3-0.7 persen, dimana tidak ada
perbedaan bermakna antara jumlah laki-laki dan perempuan. Skizofrenia tidak memiliki
kecenderungan untuk terjadi di etnis tertentu. [2]

Skizofrenia memiliki beberapa faktor risiko seperti genetik, saudara dengan penderita
skizofrenia lain, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor yang terkait dengan lingkungan ini
diantaranya adalah urbanisasi, migrasi, kondisi keluarga, penggunaan ganja, gangguan
kognitif, dan kelainan neuroanatomik. Selain itu, terdapat faktor risiko yang didapat oleh
penderita skizofrenia saat sedang dalam kandungan seperti infeksi prenatal, komplikasi
obstetrik, dan kelaparan.[3]

Teori menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama penyebab dari skizofrenia yaitu faktor
kelainan anatomis, kelainan neurotransmiter, dan kelainan sistem imun tubuh. Pada segi
anatomis, penderita skizofrenia biasanya memiliki ventrikel yang lebih besar dari rata-rata.
Ukuran otak daerah temporal medial juga mengecil, dan ada perbedaan di hipokampus.
Sementara dari segi neurotransmiter, terdapat abnormalitas dari sistem dopaminergik terkait
dengan reseptor D2 striatal. Sementara itu dari segi imunitas pada pasien skizofrenia
umumnya terjadi penurunan imun tubuh, dimana dapat terjadi ekspresi berlebihan dari sitokin
inflamasi yang menyebabkan perubahan dari struktur dan fungsi otak.[4.5]

Diagnosa Skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR adalah: [2]

1. Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam
konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya
adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain
(misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri
lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan
afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan
tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat
membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

3. Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi
ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativism
yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan
yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku
orang lain (echopraxia).

4. Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola


simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi
yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena
berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan
yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang
menunjukkan ketakutan.

5. Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih
memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau
mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala
residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan
afek datar.

Pada pasien dengan skizofrenia, obat antipsikotik utama yang dapat digunakan adalah
antagonis reseptor dopamin. Obat ini bekerja dengan terikat ke reseptor dopamin D2 dan
memblok aksi dopamin. Walaupun begitu, blokade ini tidak berdampak langsung sebagai
antipsikotik karena efek antipsikotik baru terlihat setelah pemberian lebih dari satu minggu.
Diperkirakan blokade reseptor dopamin mengubah efek reseptor pada metabolisme sel dan
fungsinya, sehingga meregulasi ulang sistem neurotransmisi yang abnormal terkait dengan
psikosis.[6]

Terdapat beragam obat antipsikotik, yang dibagi menjadi kategori tipikal (contoh:
chlorphromazine, fluphenazine, haloperidol) dan atipikal (contoh: clozapine, risperidone,
quetiapine, dan aripiprazole). Kedua jenis obat ini dapat mengobati gejala positif dari
skizofrenia, namun obat antipsikotik atipikal lebih efektif dapat menangani gejala negatif dan
berkurangnya kejadian gejala ekstrapiramidal seperti distonia, parkinsonism, dan tardive
dyskinesia.[6]
Pasien dengan skizofrenia dapat berakhir dengan berbagai kondisi mulai dari remisi,
eksaserbasi, ataupun menjadi lebih persisten. Pada pasien yang tetap sakit setelah melewati
terapi, beberapa pasien cenderung stabil sementara pasien lainnya memburuk. Hal yang patut
diperhatikan pada pasien dengan skizofrenia adalah risiko bunuh diri, dimana pada pasien
skizofrenia meningkat 13 kali lipat dibandingkan pada populasi umum (kurang lebih sekitar
5%). Risiko ini meningkat pada pasien dengan halusinasi auditorik, delusi, penyalahgunaan
obat, ataupun riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya. [1]

Skizofrenia dulunya dianggap sebagai penyakit dengan prognosis yang buruk. Namun, saat
ini prognosis tersebut sudah bervariasi. Hanya sekitar satu dari tiga pasien skizofrenia tetap
mengalami gejala-gejala seperti halusinasi dan delusi. Sementara itu sebagian besar pasien
lainnya dapat hidup secara mandiri dan berkontribusi di lingkungan sekitarnya. [1]

TB-HIV
Tuberkulosis (TB) merupakan sebuah masalah tersendiri di Indonesia dimana lebih dari satu
juta penduduk Indonesia menderita TB. Sementara itu, TB merupakan infeksi oportunistik
yang paling sering menyerang pasien dengan HIV/AIDS (49% insidensi), dan kadar
kesuksesan pengobatannya masih rendah. Pada 2014, hanya 56% kasus TB-HIV di Indonesia
berhasil ditatalaksana dengan baik.[7]

TB adalah sebuah penyakit paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Pasien dengan TB umumnya datang dengan gejala batuk berdahak selama dua minggu
ataupun lebih. Selain itu pasien dapat juga mengeluhkan batuk berdarah, keringat malam,
penurunan berat badan, dan lemas. Pada kondisi yang parah dapat terjadi pneumotoraks.[8]

Pasien dengan TB umumnya didiagnosis dengan melihat sputum (dengan mikroskop) dan
juga foto rontgen. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada pemeriksaan mikroskop pasien
HIV/AIDS umumnya tidak terlihat bakteri-bakteri BTA. Oleh karena itu, pada pasien
HIV/AIDS kultur lebih disarankan untuk menegakkan diagnosis. Pada kasus dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif, juga dapat dilakukan pemeriksaan rontgen. Pasien terindikasi TB
jika pada foto rontgen terdapat infiltrat di apeks, infiltrat di kedua lapang paru, kavitas,
dan/atau fibrosis. [8]
Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru pada pasien HIV/AIDS rawat jalan[8]

Pada kasus ko-infeksi TB dan HIV, terdapat perbedaan pengobatan pada pasien yang belum
dalam pengobatan ARV dibandingkan pasien yang sedang dalam pengobatan ARV. Pada
pasien yang belum dalam pengobatan ARV, maka pasien dapat langsung diberikan
pengobatan TB seperti biasa. Pasien yang sudah dalam pengobatan ARV lantas dapat dirujuk
kepada dokter yang sudah terlatih menangani pasien dengan ko-infeksi TB-HIV. Sementara
itu pada pasien dengan pengobatan ARV, pengobatan TB sebaiknya dilakukan di rumah sakit
yang petugasnya sudah terlatih menangani TB-HIV karena banyak komplikasi yang mungkin
terjadi seperti interaksi obat ataupun sindrom IRIS (Immune reconstitution inflammatory
syndrome). [8]

Sementara itu, pada pasien TB yang terdiagnosis HIV/AIDS, pengobatan ARV tetap
dilakukan tanpa memandang jumlah CD4 pasien. Walaupun begitu, prioritas utama diberikan
pada pengobatan TB. Selain itu, profilaksis kotrimoksazol dapat diberikan untuk mencegah
infeksi oportunistik lain seperti Pneumonia Pneumocystis (PCP) dan toksoplasma. [8]

Anda mungkin juga menyukai