Anda di halaman 1dari 39

BAB IV 126

PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT SAID NURSI

A. Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Akhlak

Menurut bahasa (etimologi) perkataan akhlak ialah bentuk

jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah

laku, atau tabi’at. Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun.

Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk

lahiriah manusia. Seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh
1
tubuh.

Sedangkan secara terminologi, para ahli berbeda pendapat,

namun memiliki kesamaan makna yaitu tentang perilaku manusia.

Beberapa point dibawah ini adalah pendapat-pendapat ahli yang dihimpun

oleh Yatimin Abdullah.

a. Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang

harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan

kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga

jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.

b. Imam Al Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa

yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan

mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

1
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an, Cet. Ke-1 (Jakarta:
Amzah, 2007), hlm. 2-3
127

c. M. Abdullah Daraz, mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam

kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan

pada pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau pihak yang jahat

(akhlak buruk).

d. Ibnu Miskawaih mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan yang

melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui

2
proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).

e. Ahmad Amin berpendapat bahwa budi adalah suatu sifat jiwa yang tidak

kelihatan. Adapun akhlak yang kelihatan itu adalah kelakuan atau

muamalah. Namun perbuatan yang hanya dilakukan satu atau dua kali

3
tidak menunjukkan akhlak.

f. Al-Gazaly, Ibnu Sina dan John Dewey sama pandangannya bahwa

pembiasaan, berbuat (praktek), menekuni perbuatan, mempunyai pengaruh

besar bagi pembentukan kebaikan akhlak. Dalam pemikiran mereka itu,

4
terdapat teori “perkembangan moralitas” (akhlak). Dengan demikian,

adalah pasti jika dikatakan bahwa akhlak baik tidak dapat terbentuk

kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat sesuatu pekerjaan yang

sesuai dengan sifat akhlak itu. Jika seseorang mengulang-ulangi berbuat

sesuatu tertentu maka berkesanlah pengaruhnya terhadap perilakunya dan

menjadi kebiasaan moral dan wataknya.

2
Ibid., hlm. 3-4
3
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj., Farid Ma’ruf. Cet., Ke- 6 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991), hlm. 63
4
Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Judul Asli, "Dirâsah Muqâranah fi
al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), cet. ke-1,
hlm. 158
128

Jadi, pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak ialah

suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi

kepribadian. Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara

spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.

Dapat dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan

manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya

dengan Tuhan, manusia, dan makhluk sekelilingnya dalam kehidupannya

5
sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai norma agama.

Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan budi pekerti anak

sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlaq karimah). Proses

tersebut tidak terlepas dari pembinaan kehidupan beragama peserta didik

secara totalitas.

Sehubungan dengan pendidikan akhlak ini, Rasulullah SAW.

telah mengemukakan banyak hadis, di antaranya:

‫ ﺎﺸﺣﺎﻓ َﻻو‬- ‫ ﻰﻠﺻ ﷲ ﮫﯿﻠﻋ ﻢﻠﺳو‬- ‫ لﺎﻗ ﻢﻟ ﻦﻜﯾ ﻰﺒﻨﻟا‬- ‫ ﻰﺿر ﷲ ﺎﻤﮭﻨﻋ‬- ‫ﻦﻋ ﺪﺒﻋ ﷲ ﻦﺑ وﺮﻤﻋ‬
‫ﻮﻘﯾ « نإ ﻦﻣ ﻢﻛرﺎﯿﺧ ﻢﻜﻨﺴﺣأ ﺎﻗﻼﺧأ‬g‫ﺎﺸﺤﻔﺘﻣ نﺎﻛو ل‬.

“Abdullah bin Amr RA, berkata, “Nabi SAW bukan seorang yang keji dan
bukan pula bersikap keji. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya yang terbaik di
6
antara kamu adalah yang paling baik akhlaknya’.”

Hadis ini memuat informasi bahwa Rasulullah SAW. memiliki

sifat yang baik dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang

yang berakhlak mulia. Itu berarti bahwa akhlak mulia adalah suatu hal

5
Asmaran As, op. cit., hlm. 5
6
Al-Bukhari, Op.cit., Juz 2, hlm. 1398
129

yang perlu dimiliki oleh umatnya. Agar setiap muslim dapat memiliki

akhlak mulia, ia harus diajarkan dan dididikkan kepada setiap anak

muslim.

Agar para sahabat dan umatnya memiliki akhlak yang mulia,

beliau memberikan motivasi yang sangat menarik. Di antaranya seperti

yang disebutkan dalam hadis berikut:

« ‫ﻦﻋ ﻰﺑأ ةﺮﯾﺮھ لﺎﻗ ﻞﺌﺳ لﻮﺳر ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ ﮫﯿﻠﻋ ﻢﻠﺳو ﻦﻋ ﺮﺜﻛأ ﺎﻣ ﻞﺧﺪﯾ سﺎﻨﻟا ﺔﻨﺠﻟا لﺎﻘﻓ‬
‫ « ﻢﻔﻟا ج'ﺮﻔﻟاو ( هاور‬g‫ ﻞﺌﺳو ﻦﻋ ﺮﺜﻛأ ﺎﻣ ﻞﺧﺪﯾ س''ﺎﻨﻟا رﺎﻨﻟا لﺎﻘﻓ‬.» ‫ىﻮﻘﺗ ﷲ ﻦﺴﺣو ﻖﻠﺨﻟا‬
)‫ىﺬﻣﺮﺘﻟا‬

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.ditanya tentang


faktor yang paling banyak memasukkan (orang) ke dalam sorga. Beliau
menjawab: bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia. Beliau ditanya
pula tentang faktor yang paling banyak membawa orang ke neraka. Beliau
7
menjawab: Mulut dan kemaluan”. (HR. Turmudi)

Dalam kedua hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah saw. sangat

menginginkan umatnya berakhlak mulia. Untuk mencapai keinginan

tersebut, beliau menggunakan motivasi, targhîb dan tarhîb. Untuk

bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia itu diperlukan perjuangan

yang berat karena manusia menemui banyak rintangan dalam

kehidupannya. Oleh sebab itu diperlukan motivasi yang tinggi. Karenanya

Rasulullah SAW. menggunakan motivasi, targhîb dan tarhîb.

Allah mengutus Rasulullah SAW untuk menyempurnakan

akhlak manusia. Pendidikan akhlak mengutamakan nilai-niilai universal

dan fitrah yang dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa akhlak yang

7
Al-Tirmiziy, Op.cit., Juz 3, hlm. 245
130

dicontohkan Nabi SAW di antaranya adalah menyenangi kelembutan,

kasih sayang, tidak kikir dan keluh kesah, tidak hasud, menahan diri dan

marah, mengendalikan emosi dan mencintai saudaranya. Akhlak yang

demikian perlu diajarkan dan dicontohkan orang tua kepada anak-anaknya

8
dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua mempunyai kewajiban untuk

menanamkan akhlakul karimah pada anak-anaknya yang dapat

membahagiakan di alam kehidupan dunia dan akhirat.9 Pendidikan

akhlakul karimah sangat penting untuk diberikan oleh orang tua kepada

9
anak-anaknya dalam keluarga.

Beberapa istilah tentang akhlak, moral, etika dan juga budi

pekerti sering disinonimkan antar istilah yang satu dengan yang lainnya,

karena pada dasarnya semuanya mempunyai fungsi yang sama yaitu

10
memberi orientasi sebagai petunjuk kehidupan manusia. Beberapa point

dibawah ini akan memberikan penjelasan secara singkat mengenai istilah-

istilah yang juga digunakan dalam pembahasan akhlak dengan tujuan

untuk dapat mempermudah pemahaman akan perbedaan antara istilah-

istilah tersebut.

a. Moral

Moral secara etimologi berasal dari bahasa Latin mores yakni

bentuk jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan secara

8
493 Irwan Prayitno, Anakku Penyejuk Hatiku, (Bekasi: Tarbiyatuna, 2004), cet.ke-2, hlm.
9
Khalil Al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda. (Jakarta: Lentera,
1999), hlm. 21
10
Ahmad Syukri, Dialog Islam & Barat: Aktualisasi Pemikiran Etika Sutan Takdir
Alisjahbana (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm. 112
131

terminologi moral berarti suatu istilah yang digunakan untuk

menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau

perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk.

Dan yang dimaksud orang yang bermoral adalah yang dalam tingkah

lakunya selalu baik dan benar. Tolak ukur moral adalah norma- norma

11
yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat. Moral juga

diartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan ide-ide yang umum

diterima tentang tindakan manusia yang baik dan wajar dan diterima

12
oleh kesatuan atau lingkungan tertentu.

Moral berarti bagaimana seseorang memiliki makna tentang

bagaimana perilaku sesuai dengan dengan norma atau nilai yang diakui

13
oleh individu atau kelompok. Nilai-nilai tersebut diyakini oleh

masyarkat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya

kebahagiaan dan ketentraman. Nilai tersebut ada yang berkaitan dengan

perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan jika nilai-nilai tersebut

telah mendarah daging dan lama-kelamaan akan muncul kesadaran

14
moral.

b. Etika

11
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna
Hidup (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 29-30
12
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Study Akhlak (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 46
13
Amril M, Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al Isfahani (Yojakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 18-19
14
Ibid, hlm. 95-96
132

Menurut istilah bahasa etika berasala dari bahasa Yunani ethos

yang berarti adat istiadat (kebiasaan), Sedangkan secara istilah Asmaran

As mengemukakan bahwa Etika adalah sebagai ilmu yang mempelajari

tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan baik

buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal

15
pikiran manusia, atau rasio. Dalam arti yang luas etika adalah suatu

keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat

yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya

16
menjalankan hidupnya mengenai suatu cara yang rasional.

Etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap terhadap

suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, dengan demikian etika

lebih berperan sebagai konseptor terhadap perilaku yang dilakukan oleh

manusia. Selain itu etika bersifat relatif yang dapat berubah-ubah sesuai

17
dengan tuntutan zaman.

c. Budi Pekerti

Budi pekerti juga sering digunakan sebagai istilah akhlak, yang

mana budi diartikan sebagai alat batin untuk menimbang dan

menentukan mana yang baik dan buruk, budi adalah hal yang

berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran atau

yang disebut dengan karakter, sedangkan pekerti ialah perbuatan

15
4-8 Yatimin Abdulllah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.
16
Ahmad Syukri, op. cit., 113
17
Ibid, hlm. 91-92
133

manusia yang terlihat karena terdorong oleh perasaan hati atau disebut

18
juga dengan behavior.

Selain itu dinyatakan bahwa budi pekerti berinduk pada etika,

yang mana secara hakiki adalah perilaku, dan budi pekerti berisi

perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan

keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan

19
sopan santun, norma budaya dan adat istiadat masyarakat.

Hubungan antara akhlak dengan etika, moral dan budi pekerti

dapat dilihat dari fungsi dan peranannnya yang sama-sama menentukan

hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dari

aspek baik dan buruknya, benar dan salahnya, yang sama-sama bertujuan

untuk menciptakan masyarakat yang damai, tentram, sejahtera secara lahir

dan batin.

Sedangkan perbedaan antara akhlak dengan etika, moral dan

budi pekerti dapat dilihat dari sifat dan spektrum pembahasannya, yang

mana etika lebih bersifat teoritis dan memandang tingkahlaku manusia

secara umum, sedangkan moral dan budi pekerti bersifat praktis yang

ukurannya adalah bentuk perbuatan.

Sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan

buruknya dari istilah-istilah tersebutpun berbeda, akhlak berdasarkan pada

Al Qur’an dan Hadits, etika berdasarkan akal pikiran atau rasio, sedangkan

18
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 18
19
Nurul Zuriah, op. cit., hlm. 17
134

moral dan budi pekerti berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku pada

masyarakat.

Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa antara

akhlak dengan etika, moral dan budi pekerti mempunyai nuansa perbedaan

sekaligus keterkaitan yang sangat erat. Kesemuanya mempunyai sumber

dan titik mula yang beragam yaitu wahyu, akal, dan adat istiadat atau

20
kebiasaan.

Adapun berdasarkan data yang ada, komitmen dasar yang

dalam hal ini disebut sebagai prinsip hidup atau prinsip pembinaan

atau proses pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh Said Nursi

dapat dirumuskan menjadi 9 (sembilan) prinsip, sebagai berikut:

a. M

enguatkan Keimanan

Menurut Said Nursi hakekat keimanan terdapat dalam kalimat

La Ilaha Illah yang merupakan mengakui secara totalitas kekuasaan

Allah. Mengenai ini Said Nursi menganggap bahwa “segala sesuatu

selain Allah tidaklah berasal dari sesuatu itu sendiri tetapi berasal dari

Allah Yang Maha Kuasa. Menganggap alam semesta berasal dari alam

semesta itu sendiri atau kuasa-kuasa material itu adalah suatu

kesalahan. Segala sesuatu mempunyai dua aspek: aspek pertama

20
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 31
135

mengacu kepada Pencipta sedangkan aspek yang kedua mengacu


21
kepada ciptaan”.

Tujuan ciptaan yang paling murni dan fitrah manusia yang

paling tinggi ialah iman kepada Allah. Jika ditinjau dari aspek

pengamalan agama, tawaran-tawaran Said Nursi adalah penguatan

keimanan melalui ruh ketauhidan masuk dalam kehidupan manusia

sampai ke relung batin. Tauhid adalah dasar utama dalam menyatakan

keimanan secara sempurna. Hakekat keimanan secara menyeluruh dapat


22
dipahami melalui rukun iman.

Said Nursi dalam kitab tafsir Risale-i Nur menafsirkan Laa

ilaaha illa Allah dan membongkar mitos kausalitas ini dan

menunjukkan bahwa mereka yang mengikuti keyakinan ini sebenarnya

tidak melihat dunia sebagaimana mestinya, atau bagaimana dunia itu

tampak, tetapi bagaimana dunia itu menurut pikiran mereka. Said Nursi

justru melalui Risale-i Nur menunjukkan hakikat kejadian alam,

manusia, dan peristiwa-peristiwa lainnya yang berada di bawah kendali

21
Said Nursi, Alegori Kebenaran Ilahi, (diterjemahkan oleh Sugeng Hariyanto),
(Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 93
22
Rukun iman terdiri dari iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha dan qadhar. Rukun iman ini adalah akidah atau
keimanan yang sudah panjang diperdebatkan. Bagi Ahlussunnah Wal-Jama’ah akidah adalah suatu
hal yang asasi sekali dalam kehidupan seorang muslim. Karena akidahlah yang mendasari sikap,
tingkah laku dan segala yang dikerjakannya. Bagi Ahlussunnah Wal-Jama’ah sangat mendukung
doktrin rukun iman ini. (Syaikh Muhammad Shaleh al-‘Utsaimin, Aqidah Ahulus sunah wal
Jama’ah, Yayasan al-Sofwa, Jakarta, 1995, hlm. 7-12). Namur, Said Nursi menekankan bahwa
pernyataan tauhid Laa ilaaha Ilaallaahu tidak dipisahkan terhadap pengakuan Muhammaddur
Rasulullah (Muhammad Rasul Allah) yang merupakan satu kesatuan tauhid, juga dalam
realisasi amaliah kehidupan. Argumentasi Said Nursi menyatakan bahwa “Siapapun yang
menyangkal Nabi Muhammad Saw yang merupakan kebanggaan semua makhluk dan kehormatan
umat manusia karena mu’jizat-mu’jizatnya dan prestasi-prestasinya pasti tidak mungkin dapat
menerima, Nur (cahaya) atau pasti tidak benar-benar mengenali Allah” (Said Nursi 2003b), Op.
Cit. h1m. 465-466
136

Zat Yang Maha Mengendalikan, Zat Yang Berkuasa atas segala

23
sesuatu.

Penjelasan di atas menegaskan setiap orang yang benar-benar

ingin memahami dunia ciptaan ini sebagaimana mestinya, dan bukan

atas kehendak imajinasinya, pasti akhirnya sampai pada kesimpulan

Laa ilaaha illah Allah. Dia akan melihat keteraturan dan harmoni,

keindahan dan kesimbangan, keadilan dan kemurahan, ketuhanan,

keberlangsungan dan keagungan dan sekaligus dia akan menyadari

bahwa semua atribut tersebut mengarah kepada benda-benda ciptaan itu

melainkan pada realita di mana semua atribut tersebut ada dalam

kesempurnaan dan keabsolutan. Dia akan melihat bahwa dunia ciptaan

ini adalah buku berisikan nama-nama, suatu indeks yang ingin


24
menceritakan Pemiliknya.

b. B

erpegang Teguh pada Al-Qur’an

Al-Qur'an berperan sebagai pedoman dan petunjuk menuju

kebenaran Allah Swt. Prinsip berpegang teguh pada al-Qur'an menjadi

komitmen dasar bagi Said Nursi. Berpegang teguh pada al-Qur'an

berarti manusia dituntut untuk mencapai kesempurnaan menuju Allah

Swt. Sedikitnya ada 3 (tiga) pertanyaan untuk memperkuat argument

ini: Apa sebenarnya al-Qur’an? Mengapa al-Qur’an menjadi pedoman?

23
ibid
24
Said Nursi, Risalah An-Nur; Said Nursi: Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Sinar yang
Mengungkap Sang Cahaya; Epitomes Of Light). (Jakarta: Murai Kencana, 2003), hlm. xxvii
137

Mengapa al- Qur’an menjadi sangat penting dalam mengenal Allahh?

Ketiga pertanyaan ini sangat penting dijawab, karena secara faktual

tanpa ada al-Qur’an maka manusia tidak akan mengenal Allah sebagai

Penciptanya.

Al-Qur’an adalah wahyu Allah atau kalam Allah. Al-Qur’an

merupakan wahyu Allah yang agung dan bacaan mulia serta dapat

dituntut kebenarannya oleh siapa saja, sekalipun akan menghadapi

tantangan kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih. Menurut

Harun Nasution “wahyu berfungsi sebagai pengkhabaran dari alam

metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang


25
Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan”. Jadi, al-

Qur’an pada awalnya kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi

yang kemudian disusun menjadi sebuah kitab ketika masa

26
khalifa’urrasyiddin.

25
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), hlm. 81
26
Ketika Abu Bakar memimpin beliau menghadapi orang-orang yang enggan
membayar zakat, karena itu beliau menyiapkan pasukan dan mengirimkanya untuk
memerangi orang-orang yang murtad. Peperangan itu dikenal dengan perang Yamamah,
perang itu terjadi pada tahun 12 Hijriyah. Dalam peperangan tersebut sekitar 70 orang
penghafal at-Qur’an gugur. Umar bin Khatab merasa khawatir dengan kondisi ini lalu beliau
mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan al-Qur’an dalam sebuah Mushaf, semula
Abu Bakar merasa ragu-ragu namun akhirnya menerima usulan dari Umar bin Khatab. Abu Bakar
memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk segera mengumpulkan al-Qur’an dalam sebuah
Mushaf, ciri penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar seluruh ayat Al-Qur’an dikumpulkan
dan ditulis didalam sebuah Mushaf Lalu dilanjutkan penyusunannya oleh Umar bin Khatab
menggantikannya. Pada masa Umar mushaf itu diperintahkan untuk disalin ke dalam lembaran
(shafiafah) dan tidak menggandakannya, setelah selesai dari penulisannya naskah itu
diserahkan kepada Habsah istri Nabi Muhammad Saw yang pandai membaca dan menulis.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan al-Qur’an disalin ke beberapa naskah dan dibukukuan atas
usulan Khuzaifah, kemudian Usman meminta kepada Habsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar
yang ada padanya. Untuk melakukan tugas pembukuan ini Usman membentuk tim empat yang
terdiri dari : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdul al-Rahman bin
138

Dalam al-Qur’an penuh dengan pengetahuan dan kebenaran

yang mutlak sebagaimana menurut Said Nursi sebagai berikut:

Sesungguhnya, al-Qur'an, alam semesta dan manusia adalah tiga jenis


manipestasi dari satu kebenaran. Al-Qur'an, yang berasal dari sifat
firman Ilahiah, bisa dianggap sebagai alam semesta, yang berasal dari
sifat kuasa dan kehendak Ilahiah, bisa dianggap sebagai al-Qur'an yang
diciptakan. Jadi, dari sudut pandang ini, alam semesta adalah pasangan
dari al-Qur'an, yang tidak akan bertentangan dengan Islam. Oleh karena
itu, sekarang, saat sains berjaya, dan juga kelak, yang akan menjadi
zaman pengetahuan, keimanan yang sejati harus didasarkan pada
argumen dan penyelidikan, juga pada pemikiran yang terus menerus
terhadap tanda-tanda Allah di alam semesta, pada fenomena, “alam”,
sosial, historis dan psikologis. Keimanan bukanlah sesuatu yang
didasarkan pada taglid yang membuta. Keimanan harus terjadi atas
intelektualitas atau nalar dan kalbu, keimanan menggabungkan
penerimaan dan penegasan nalar dan pengalaman serta penyerahan
27
kalbu.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa keimanan merupakan

keyakinan awal bagi manusia memahami kehidupan. Pandangan yang

menganggap al-Qur’an adalah sebagai sumber segala pengetahuan itu

bukanlah hal yang baru. Imam al-Ghazali misalnya dalam buku

Ihya

‘Ulum Al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika modern,

selayaknya dia merenungkan al-Qur’an”. Selanjutnya beliau

menambahkan: “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam kaya-kaya

dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur’an adalah penjelas esensi, sifat-sifat,

28
clan perbuatan-Nya”.

Harits. (Al -Brayary, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. RajaGrafindo persada, Jakarta, 1988, hlm
44)
27
Said Nursi, Risalah An-Nur; Said Nursi: Pemikir dan Sufi Besar Abad 20 (Sinar
yang
Mengungkap Sang Cahaya; Epitomes Of Light). (Jakarta: Murai Kencana, 2003), hlm. xx
28
Mahdi Ghulsyani, Mahdi, Sains Menurut Al-Quran (diterjemahkan oleh Agus
Efendi), (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 137
139

Secara umum bahwa akhlak tidak berbeda dengan istilah-istilah

etika, moral ataupun budi pekerti karena semua membahas tentang

perilaku manusia. Namun yang menjadi perbedaan selain yang tersebutkan

diatas adalah bahwa akhlak merupakan perbuatan atau perilaku yang

timbul berdasarkan sifat yang ada dalam jiwa seseorang dan telah menjadi

kepribadiannya, dan yang menjadi dasar dan tolak ukurnya adalah

berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.

Dan untuk memberikan batasan serta mempermudah

pemahaman, maka pembahasan akan difokuskan pada aspek akhlak dan

mengenai konsep pendidikan akhlak.

2. Ruang Lingkup Akhlak

Dalam hal ini ruang lingkup akhlak Islami tidak berbeda dengan

ruang lingkup ajaran Islam yang berkaitan dengan pola hubungannya

29
dengan Tuhan, sesama makhluk dan juga alam semesta. Sebagaimana

dipaparkan ruang lingkupnya sebagai berikut:

a. Akhlak kepada Allah SWT

Yang dimaksud akhlak kepada Allah adalah sikap atau

perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk

30
kepada Tuhan sebagai Kholik.

29
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 97-98. Lihat Nurul Zuriah, Pendidikan
Moral Dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, op. cit., hlm. 27-33
30
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 147
140

Akhlak kepada Allah adalah beribadah kepada Allah SWT,

cinta kepada-Nya cinta karena-Nya, tidak menyekutukan-Nya,

bersyukur hanya kepada-Nya dan lain sebagianya.

Menurut Hamzah Yacob beribadah kepada Allah dibagi atas

dua macam ialah:

1) Ibadah umum adalah segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan

diridhoi-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan dengan kata

terang-terangan ataupun tersembunyi. Seperti berbakti kepada Ibu,

dan Bapak, berbuat baik kepada tetangga, teman terutama berbuat

dan hormat kepada guru.

2) Ibadah khusus, seperti sholat, zakat, puasa dan haji.

b. Akhlak kepada Sesama Manusia

Menurut Hamzah Yacob, akhlak kepada sesama manusia

adalah sikap atau perbuatan manusia yang satu terhadap yang lain.

Akhlak kepada sesama manusia meliputi akhlak kepada orang tua,

akhlak kepada saudara, akhlak kepada tetangga, akhlak kepada sesama

muslim, akhlak kepada kaum lemah, termasuk juga akhlak kepada

orang lain yaitu akhlak kepada guru-guru merupakan orang yang

berjasa dalam memberikan ilmu pengetauan. Maka seorang murid wajib

menghormati dan menjaga wibawa guru, selalu bersikap sopan

kepadanya baik dalam ucapan maupun tingkah laku, memperhatikan

semua yang diajarkannya, mematuhi apa yang diperintahkannya,


141

mendengarkan serta melaksanakan segala nasehat-nasehatnya, juga

31
tidak melakukan hal-hal yang dilarang atau yang tidak disukainya.

Banyak sekali rincian yang dikemukakan oleh Al-Qur.an

berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk

mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-

hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan atau mengambil harta

tanpa alasan yang benar, melakukan juga sampai kepada menyakiti hati

dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli

aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada

yang disakiti hatinya itu.

Di sisi lain Al-Qur.an menekankan bahwa setiap orang

hendaknya didudukan secara wajar. Tidak masuk ke rumah orang lain

tanpa izin, jika bertemu saling mengucapkan salam, dan ucapan yang

dikeluarkan adalah ucapan yang baik. Setiap ucapan yang baik adalah

ucapan yang benar, jangan mengucilkan seseorang atau kelompok lain,

tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan atau menceritakan

keburukan seseorang dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan


32
buruk.

c. Akhlak kepada Lingkungan

31
Hamzah Yacob, Etika Islam (Jakarta: CV. Publicita, 1978), hlm. 19
32
Ibid., hlm. 23
142

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala

sesuatu yang di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan,

33
maupun benda-benda tak bernyawa.

Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al Qur’an terhadap

lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.

Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan

sesamanya dan manusia terhadap alam.

Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan,

serta bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Ini berarti manusia dituntut untuk menghormati proses-proses yang

sedang berjalan dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang

demikian dan mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia

tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, setiap perusakan

terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia


34
sendiri.

3. Aspek-Aspek Akhlak

Secara garis besar akhlak digolongkan kepada dua golongan

yaitu akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah) dan akhlak tercela (akhlak

madzmumah). Dalam hal ini secara teoritis beberapa macam akhlak

berinduk kepada tiga perbuatan utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah

(perwira, kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan

maksiat). Hal ini semua berinduk pada sifat adil, yaitu sikap pertengahan

33
Ibid., hlm. 210
34
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf , op., cit. hlm 158-166
143

atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi ruhaniah yang

35
terdapat dalam diri yaitu akal, amarah, dan nafsu.

Hal serupa juga disebutkan bahwa pokok-pokok akhlak mulia

ada empat: hikmah (yaitu situasi psikis yang dapat membedakan antara

yang benar dan yang salah dari tindakan-tindakan opsional), keberanian

(malampiaskan atau menahan potensialitas aspek emosional dibawah

kendali akal), kesucian (mengendalikan potensialitas selera di bawah

bimbingan akal dan syari’at) dan keadilan (situasi psikis yang mengatur

tingkat emosi dan selera sesuai kebutuhan hikmah disaat melepas atau

menahannya), dan selebihnya adalah cabang dari keempat pokok akhlak

tersebut. Namun tidak ada seseorang yang bisa mencapai keempat kualitas

secara sempurna kecuali Rosulullah, dan beberapa generasi setelah beliau

hanya dalam taraf mendekati atau masih jauh dari kesempurnaan dan
36
dalam tingkat yang berbeda-beda.

Dan dari sinilah muncul beberapa perbedaan para peneliti

37
dibidang akhlak pada pendapat mereka tentang keutamaan, atau yang

disebut dengan akhlak yang baik, sebagaimana pendapat mereka berikut:

a. Socrates, berpendapat bahwa tidak ada keutamaan kecuali pengetahuan

(ilmu), yang dijabarkan dalam dua hal:

35
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 96
36
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit., hlm. 36
37
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 19
144

1) Manusia akan berbuat kebaikan dengan pengetahuan tentang

kebaikan. Perbuatan yang baik harus didasarkan pada pengetahuan

dan ilmu tentangnya.

2) Pengetahuan tentang kebaikan akan mendorong untuk senantiasa

berbuat baik, begitu pula sebaliknya.

b. Plato, berpendapat bahwa keutamaan yang benar akan menampakkan

suatu perbuatan yang baik yang berawal dari pengetahuan tentang

kebenaran. Ia membagi keutamaan menjadi dua hal:

1) Keutamaan filsafat. Yaitu suatu perbuatan yang baik berdasarkan

pikiran akal dan telah menjadi pendiriannya, dan mengetahui sebab-

sebab ia berbuat suatu kebaikan.

2) Keutamaan biasa, adalah perbuatan baik yang timbul dari adanya

adat istiadat atau kebiasaan atau perasaan (bahwa hal yang dilakukan

adalah baik)

c. Aristoteles, bahwa pokok dari keutamaan adalah tunduknya hawa nafsu

terhadap hukum akal. Dengan arti bahwa nafsu harus dapat

dikendalikan oleh akal dalam menentukan suatu perbuatan, namun tidak

38
berarti menghilangkan hawa nafsu karena termasuk pokok manusia.

Dari perbedaan pendapat diatas, pada dasarnya bahwa

keutamaan adalah suatu hal yang bersifat baik yang timbul dari dalam diri

manusia yang telah melalui berbagai macam proses yang dilaluinya dalam

kehidupan.

38
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 207-212
145

4. Manfaat Akhlak

Secara umum bahwa manfaat akhlak adalah untuk membawa

kebahagiaan bagi individu dan juga kebahagiaan bagi masyarakat pada

umumnya. Al Qur’an dan hadits telah banyak memberikan informasi akan

manfaat yang didapat dari akhlak yang mulia, salah satunya adalah Q. S.

39
An Nahl 97, menyebutkan:

            




     


“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan”.
Selanjutnya didalam hadits sebagaimana dipaparkan oleh

Abuddin Nata banyak disebutkan beberapa keuntungan yang didapatkan

40
dari akhlak, diantaranya adalah:

a. Memperkuat dan menyempurnakan agama

b. Mempermudah perhitungan amal di akhirat

c. Menghilangkan kesulitan

d. Menghilangkan kesulitan selamat hidup di dunia dan akhirat

Namun, tidak cukup hanya beberapa keuntungan yang

disebutkan diatas karena tentunya masih banyak manfaat yang didapat dari

39
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, op., cit. hlm. 172
40
Ibid., hlm. 173-176
146

perilaku yang baik atau akhlak yang terpuji, yang utama adalah akan

41
diangkat derajatnya oleh Allah SWT.

Manfaat akhlak bagi kehidupan manusia dapat pula dilihat dari

urgensi akhlak bagi kehidupan manusia itu sendiri, akhlak tidak saja

dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, namun juga dalam

kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, bahkan juga dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian jika manusia

terjauh dari akhlak yang baik maka kehidupan akan menjadi kacau,

masyarakat tidak akan lagi memperdulikan masalah sosial, persoalan baik


42
buruk, halal dan haram dan lain sebagainya.

Djasuri yang mengutip pendapat Hamzah Ya’cub menyatakan

beberapa manfaat yang didapatkan dari akhlak:

a. Memperoleh kemajuan rohani, yaitu peningkatan dalam bidang

rohaniah atau mental spiritual, karena dengan akhlak yang dimiliki

seseorang akan senantiasa menjaga dirinya dari segala bentuk akhlak

tercela.

b. Sebagai penuntun kebaikan, dalam hal ini Rasulullah saw menjadi

teladan utama yang menuntun kebaikan. Sebagaimana disebutkan

dalam Q. S. al Qalam: 4 bahwa:

    


“Sesungguhnya Engkau (Muhammad) berbudi pekerti yang luhur”.

41
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 101
42
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, op., cit. hlm. 14
147

c. Memperoleh kesempurnaan iman, karena kesempurnaan iman akan

melahirkan kesempurnaan akhlak.

d. Memperoleh keutamaan di hari akhir, sebagaimana hadits yang

diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abu Hurairah, Rasulloh bersabda:

“Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di


hari kiamat dari pada keindahan akhlak. Dan Allah benci kepada
orang yang keji mulut dan kelakuan”.
43
e. Memperoleh keharmonisan keluarga.

5. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Akhlak

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi timbulnya akhlak

seseorang yang berasal dari dalam dirinya maupun lingkungan sekitarnya.

a. Tingkah laku, ialah sikap seseorang yang dimanifestasikan dalam

perbuatan. Namun terkadang sikap seseorang tidak tercermin dalam

perilaku sehari-harinya tetapi adanya kontradiksi antara sikap dan

44
tingkah lakunya. Semua tingkah laku manusia berasal dari jiwa. Dan

dengan memahami dan mengetahui keadaan jiwa maka seseorang akan

45
mengetahui sebab-sebab ia bertingkah laku baik ataupun sebaliknya.

b. Insting (naluri), secara bahasa berarti kemampuan berbuat pada suatu

tujuan yang dibawa sejak lahir, merupakan pemuasan nafsu, dorongan-

dorongan nafsu, dan dorongan psikologis. Dalam insting terdapat tiga

43
Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama (Yogjakarta: Fak. Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 114-117
44
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 75
45
Ahmad Amin, op. cit., hlm.12-13
148

unsur kekuatan yang bersifat psikis, yaitu mengenal (kognisi),

46
kehendak (konasi), dan perasaan (emosi).

Insting adalah suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan secara

bersamaan dengan akal yang mempunyai tujuan yang telah melalui

proses berfikir tanpa sebuah latihan, yang merupakan asas perbuatan

manusia dan berfungsi sebagai pendorong perbuatan manusia.

Para Psikolog berpendapat bahwa pendorong perilaku

manusia pada tingkat tertentu selalu berubah-ubah, perubahan tersebut

sebagai berikut:

1) Insting hidup, berfungsi melayani individu untuk dapat

melangsungkan hidupnya. Bentuk utama insting ini adalah insting

47
makan (nutritive instinct), seksual (sexual instinct), keibubapakan

(paternal instinct), berjuangan (combative instinct), dan naluri ber-

48
Tuhan.

2) Insting mati, disebut juga insting merusak. Fungsi insting ini tidak

begitu jelas jika dibandingkan dengan insting hidup. Suatu turunan

49
yang terpenting dari insting mati adalah agresif.

c. Adat dan kebiasaan, adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang

yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Dalam hal ini mengutip pendapat Abu Bakar Zikri bahwa ”Perbuatan

manusia, apabila dikerjakan secara berulang-ulang sehingga menjadi

46
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm.76
47
Ibid., hlm. 77
48
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, op. cit., hlm. 93-94
49
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 79
149

50
mudah melakukannya, itu dinamakan adat kebiasaan” dengan kata

lain bahwa kebiasaan adalah rangkaian perbuatan yang dilakukan

dengan sendirinya, tetap masih dipengaruhi oleh akal pikiran. Pada

permulaan sangat dipengaruhi oleh pikiran yang semakin lama akan

berkurang karena sering dilakukan. Kebiasaan merupakan kualitas

kejiwaan, keadaan yang tetap sehingga sangat mudah pelaksanaan

51
perbuatannya. Jadi pada dasarnya faktor kebiasaan mempunyai

peranan yang penting dalam membentuk dan membina akhlak, sehingga

kebiasaan yang baiklah yang seharusnya dibina, dipelihara, dan

52
dikembangkan.

d. Lingkungan atau milieu, artinya suatu yang mencakup tubuh yang

hidup yang meliputi tanah dan udara, sedangkan lingkungan manusia

adalah apa yang ada disekililingnya yang dapat berwujud benda seperti

negeri, lautan, udara, dan masyarakat. Terdapat dua macam lingkungan:

1) Lingkungan alam, lingkungan sekitar manusia akan menjadi faktor

penentu dan sangat berpengaruh pada pembentukan tingkah laku

seseorang, lingkungan yang baik akan berdampak baik terhadap

perkembangan bakat begitupun sebaliknya.

2) Lingkungan rohani atau sosial , lingkungan ini disebut juga sebagai

53
lingkungan pergaulan. Lingkungan ini akan dapat mengubah

keyakinan, akal pikiran, adat istiadat, pengetahuan, dan akhlak untuk

50
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, op. cit., hlm.95
51
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 86
52
M. Sholihin dan M. Rosyid Anwar, op. cit., hlm. 117
53
Zahruddin AR dan Hasanudin Sinaga, op. cit., hlm.99-100
150

senantiasa menjadi positif maupun kecenderungan negatif.

Lingkungan ini terbagi menjadi beberapa kategori: lingkungan dalam

rumah tangga, sekolah, pekerjaan, organisasi, jamaah, kehidupan

ekonomi atau perdagangan, lingkungan pergaulan yang bersifat

54
umum dan bebas.

e. Wirotsah atau keturunan, faktor ini akan berpengaruh terhadap

pembentukan sikap dan tingkah laku seseorang baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Macam-macam warisan atau keturunan ialah: warisan khusus

kemanusiaan, suku atau bangsa, khusus dari orang tua. Adapun sifat

orang tua yang akan diturunkan kepada anaknya bukanlah sifat yang

telah tumbuh dengan matang dan telah dipengaruhi lingkungannya,

melainkan sifat-sifat bawaan (persediaan) sejak lahir. Secara garis

besarnya ada dua macam sifat, yaitu:

1) Sifat-sifat jasmaniah, yakni sifat kekuatan dan kelemahan tubuh.

2) Sifat-sifat rohaniah, yakni sifat-sifat naluri yang diturunkan oleh

55
seseorang terhadap keturunannya.

f. Kehendak dan takdir.

Kehendak secara bahasa ialah kemauan, keinginan dan harapan

yang kuat. Yaitu suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu yang

merupakan kekuatan dari dalam hati, bertautan dengan pikiran dan

perasaan. Suatu kekuatan untuk bergerak, dan suatu gerak perbuatan

54
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm. 90-91
55
Zahruddin Ar dan Hasanuddin Sinaga, op. cit., hlm. 96-98
151

merupakan perwujudan dari sebuah keinginan adalah kehendak.

Kehendak ialah ssuatu kekuatan yang akan mendorong untuk

melakukan perbuatan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu tujuan positif

yang mendekati atau mencapai sesuatu yang dikehendaki dan tujuan

negatif yaitu tujuan yang menjauhi atau menghindari sesuatu yang tidak

diinginkan.

Sedangkan takdir adalah ketetapan Tuhan yaitu sesuatu yang

telah ditetapkan sebelumnya. Secara bahasa takdir adalah ketentuan

jiwa, suatu peraturan tertentu yang telah ditentukan oleh Allah baik

aspek struktural maupun fungsional untuk segala yang ada dalam alam

56
semesta.

B. Materi Pendidikan Akhlak

Materi termasuk ke dalam salah satu komponen operasional

pendidikan Islam. Menurut Zakiah Daradjat materi adalah bahan-bahan

pelajaran apa saja yang harus disajikan dalam proses kependidikan Islam

56
Yatimin Abdullah, op. cit., hlm.92-94
152

dalam suatu sistem institusional pendidikan. Materi-materi yang diuraikan

Allah SWT dalam Al-Quran menjadi bahan-bahan pokok pelajaran yang

disajikan dalam proses pendidikan Islam formal, non formal, maupun

informal. Oleh karena itu materi pendidikan bersumber dari Al-Quran, yang

harus dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan umat Islam.

Kaitannya dengan hal ini materi-materi pendidikan akhlak yang

ditawarkan oleh Said Nursi adalah sebagai berikut:

1. Hakekat Proses Penciptaan Manusia

Menurut Said Nursi Memahami hakekat penciptaan manusia

harus diiringi dengan iman. Iman adalah kunci keyakinan mendalam

terhadap penciptaan manusia dan alam semesta. Keyakinan ini

ditimbulkan melalui akal atau penalaran dan hati nurani yang

menyumbangkan peranan penting terhadap pemahaman manusia. Baik

mengenai manusia sebagai mikrokosmos maupun alam sebagai

makrokosmos.

Said Nursi secara implisit menyatakan bahwa manusia

tersusun dalam dua unsur pokok yakni jasad sebagai material dan jiwa

sebagai spritual. Intinya, Said Nursi juga berpendapat bahwa manusia itu

memiliki unsur “ruhani dan jasad”. Pendapat ini sama seperti pendapat

57
Ibn Miskawaih bahwa hakekat manusia memiliki dua unsur yakni jiwa

57
Ibn Miskawaih lahir di Rayy dan meninggal di Isfahan. Tahun kelahirannya
diperkirakan 320H/932M dan wafat 9 Shafar 421716 Februari 1030. Ibn Miskawaih
sepenuhnya hid up pada masa pemerintahan dinasti Buwaih (320 -450H/ 1932-1062M) yang
para pemukanya berpaham Syi’ah. Ia belajar sejarah dari Abu bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadi.
153

yang diketahui sebagai wawasan spiritual berasal dari Allah, dan jasad

58
sebagai wawasan materialnya bermula dari alam materi. Pernyataan

Said Nursi mengenai manusia terdiri dari 2 (dua) unsur yakni:

Jiwa yang terobesesi dengan penampilan meratap dengan putus asa


ketika menyaksikan rusaknya sesuatu yang dipuja-puja ketika terjadi
bencana alam, sedangkan ruh yang mencari sebuah cinta abadi juga
meratap dan berkata “Aku tidak menyukai sesuatu yang seperti itu. Aku
tidak menginginkan, aku tidak menghendaki, perpisahan dan aku tidak
dapat menjalaninya”... Apabila kalian menginginkan kekekalan di dunia
fana ini, kekekalan lahir dari kefanaan. Hancurkan dari dalam diri kalian
tanpa harus menghancurkan jasmani kalian, jiwa yang diperintahkan
setan, sehingga kalian dapat mencapai kekekalan... Bebaskan diri kalian
dari moral-moral yang buruk, yang merupakan dasar pemujaan duniawi,
dan wujudkan penghancuran hal-hal buruk dalam diri. Korbankan harta
benda dan kekayaan kalian di jalan Allah. Lihat akhir suatu wujud, yang
menandai kepunahan. Jalan setapak dari dunia ini menuju kekekalan
59
melintas melalui kehancuran-diri.

Penyataan di atas memberikan gambaran bahwa Said Nursi

menyakini bahwa manusia itu memiliki unsur jasad dan unsur ruhani,

maka dapat dikatakan bahwa manusia jasad 2 terdiri dari jiwa dan jad

60
manusia adalah “small creation” atau sebagai “microcosmos”. Jasad

Pelajaran filsafat dari Ibn al-Khammar dan kimia dari Abu Thayyib. Ibn Misakwaih juga banyak
bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan al Tauhidi, Yahya ibn Adi dan Ibn Sina.
Pekerjaan utamanya adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, pendidik anak para pemuka
dinasti Buwaih. Dan ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Menulis buku dan
artikel sebanyak 41 buah. (Lihat antara lain Hasan Tamim, al-Muqaddimah dalam Tahzib al-
akhlaq wa Tharir dalam artikelnya yang bejudul Fi al-'aql wa al-Ma'qul, diedit oleh Muhammad
Arkoun dalam Arabica XI (1964), hlm. 85-87
58
Ibnu M i s k a wa i h , T a h z i b a l - A k h la q . H a s a n T a m i r n (E d
), ( B a ir u t, M a n s y u r a t Dar Maktabat al-Hayat, 1979), hlm. 327
59
Said Nursi, Risalah An-Nur; Said Nursi: Pemikir dan Sufi Besar Abad 20
(Menjawab yang Tak Terjawab, Menjelaskan yang Tak Terjelaskan. (Jakarta: Murai
Kencana, 2003),
hlm. 105
60
Perlu ditegaskan disini bahwa istilah jiwa akan disamakan dengan istilah ruh,
karena jiwa dalam bahasa al-Qur’an adalah ruh. Dalam pembahasan ini tidak diselidiki lebih
jauh mengenai penghubung antara ruh dan jasad yang berupa akal menurut istilah lbn
Miskawaih dan hayat menurut istilah Harun Nasution. Tapi, dalam pembabasan penulis akan
digunakan akal sebagai petunjuk perannya sebagai penggerak otak yang bekerja di pusat
kepala.
154

adalah sebuah alat ruh yang memerintah dan mengendalikan semua

61
anggota sel dan partikel-partikel kecilnya. Jasad akan berinteraksi

dengan ruh karena manusia sebagai bentuk makhluk ciptaan yang bisa

dipahami melalui gerak fisik. Namun, sebenarnya di dunia ini, ruh

dibatasi di dalam “penjara” jasad. Apabila nafsu dan keinginan duniawi

mendominasinya, maka ruh tersebut pasti tidak berharga dan orang

tersebut binasa. Apabila ruh dapat mengendalikan nafsu melalui iman,

ibadah, dan perbuatan baik serta membebaskan dirinya sendiri dari

perbudakan keinginan duniawi, maka ruh tersebut menjadi murni dan

mencapai kesucian dan kemuliaan. Ini akan membawa kebahagiaan

62
baginya di dalam dua dunia.

2. Pemahaman Alam Semesta

Said Nursi sangat yakin bahwa penciptaan alam semesta

adalah bukti keesaan, kebesaran asma Allah. Menurutnya ada 3 (tiga)

ungkapan yang mengkhawatirkan bagi kaum beriman: Pertama,

ungkapan terwujud oleh sebab, “karena sebab itulah yang menjadikan

entitas tertentu itu ada”. Kedua, terbentuk dengan sendirinya, sesuatu

terbentuk dengan sendirinya serta mewujudkan dirinya sendiri, sehingga

menjadi seperti apa adanya. Ketiga, tuntutan alam yakni sesuatu yang

bersifat alami. Alamlah yang mewujudkan dan menentukan

61
M. Ali, Studi Islam: Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), hlm. 188
62
Ibid, hlm. 193
155

63
keberadaanya.

Ketiga pendapat di atas adalah refleksi dari kesimpulan

pandangan yang selama ini masih bergulat. Dalam menyikapi pandangan

di atas Said Nursi mengatakan “Jika secara tegas terbukti bahwa tiga

jalan yang pertama mustahil, batil dan tidak mungkin, maka dengan

sangat nyata dan gamblang, jalan keempatlah yang benar. Jalan tersebut

adalah jalan menuju keesaan Sang Pencipta yang bersifat pasti tanpa ada
64
keraguan di dalamnya“. Ditegaskan Said Nursi bahwa kekuasaan Sang

Pencipta Yang Maha Kuasa dan Agung itulah yang telah

menciptakannya.

3. Keyakinan Hari Kiamat

Hari kiamat menjadi landasan fundamental dalam pemikiran

Said Nursi. Karena itu, hari kiamat menjadi prinsip yang dapat

mendorong terciptanya akhlak mulia yang menekankan sisi-sisi kejiwaan

manusia.

Penekanan sisi kejiwaan, menurut Said Nursi melalui sifat dan

kemampuan jiwa kita menunjukkan bahwa kita diciptakan untuk

beribadah kepada Allah Swt. Mengenai kekuatan dan kemampuan kita

untuk tinggal di sini, kita kalah bersaing dengan burung pipit yang paling

lemah. Tetapi dalam hal ilmu, memahami kebutuhan kita, dan memohon

serta beribadah, yang diperlukan untuk kehidupan rohani dan kehidupan

63
Lihat tesis Afriantoni. “Prinsip-prinsip Pendidikan Akhlak Generasi Muda Menurut
Bediuzzaman Said Nursi” , (Tesis, S2 Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, 2007)
64
Ibid
156

akhirat, kita adalah raja dan komandan dari semua makhluk hidup. Lanjut

Said Nursi:

Hai jiwaku! Jika engkau menganggap dunia ini adalah tujuan utama
kehidupanmu dan engkau bekerja dan senantiasa bekeda untuk
kepentingan dunia, engkau akan menjadi seperti burung pipit yang paling
lemah. Tetapi jika engkau menganggap akhirat adalah tujuan akhirmu,
dan menganggap dunia ini sebagai ladang tempat menaburkan benih,
sebuah persiapan bagi akhirat, dan bertindak dengan semestinya, engkau
menjadi penguasa agung kerajaan binatang, hamba yang memohon
kepada Allah Yang Maha Perkasa, dan menjadi tamu-Nya yang
terhormat dan disayangi di dunia ini. Engkau bisa memilih salah satu
pilihan itu. Jadi mintalah petunjuk dan keberhasilan dari jalan-Nya dari
65
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Kutipan di atas menggambarkan secara tegas bahwa Said Nursi

sangat yakin akan adanya hari kiamat yang dunia ini bukan tujuan akhir.

Perjalanan manusia akan diteruskan ketika hari kiamat tiba dan membuka

ruang-ruang baru bagi manusia yang baru dibangkitkan dari kubur.

Karena itu, Said Nursi sangat menekankan agar manusia meyakini secara

mendalam mengenai hari kiamat.

4. Meneladani Nabi Muhammad Saw

Said Nursi hendak menegaskan bahwa bila seseorang yang

telah berikrar bahwa dirinya adalah pengikut Muhammad Rasul-Allah

Saw, hendaknya ia harus mengikuti cara atau metode dan jalan hidup

yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya

66
dalam seluruh aspek kehidupan.

65
Said Nursi, Alegori Kebenaran Ilahi, (diterjemahkan oleh Sugeng
Hariyanto),
(Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 52
66
Mohammad Zaidin, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan
Pemikiran, (Malaysia, Selangor Darul Ehsan: Malita Jaya Publisher, 2001), hlm. 39-53
157

Menerapakan atau meneladani Nabi Muhammad Saw menjadi kekuatan

amaliah ibadah secara aplikatif. Praktek amaliah ibadah dengan cara

meneladani nilai-nilai yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Perilaku Nabi Muhammad Saw disebut sunnah. Menurut

Islam, sunnah Nabi adalah sumber hukum kedua setelah Qur'an.

Keseharian dan perilaku Rasulullah, bahkan diakui oleh para sarjana

Barat, merupakan gambaran kesempurnaan utuh seorang manusia. Dan

tidak ada satu pun seorang manusia di muka bumi yang diikuti

perilakunya oleh berjuta-juta orang hingga detik ini dalam sejarah

peradaban manusia. Akhlak Nabi Saw merupakan kesempurnaan akhlak

pada diri seseorang.

Untuk mencapai kepribadian mulia adalah dengan mengikuti

orang yang dikasihi Allah yakni Nabi Muhammad Saw dan

mengaplikasikan sunnahnya yang suci. Said Nursi mengatakan

sesungguhnya kecintaan kepada Allah harus diikuti dengan sikap

mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Saw. Sebab dalam doktrin ini Said

Nursi mengatakan bahwa "kecintaan kepada Allah baru terwujud dengan

melakukan perbuatan yang diridhoi olehNya. Sementara itu, ridhonya


67
yang paling utama tampak pada pribadi Muhammad Saw".

Penjelasan di atas mendorong pentingnya praktek keteladanan

kepada Nabi Muhammad Saw (Sunnatun Tsaniyah) dalam kehidupan

seseorang untuk membentuk kepribadian yang barakhlak mulia. Menurut

67
Ibid, hlm. 117
158

Said Nursi meneladani pribadi beliau yang penuh berkah itu bisa

terwujud dengan 2 (dua) hal:

Pertama, mencintai Allah, mentaati segala perintah-Nya dan

berbuat sesuai dengan ridlio-Nya. Sikap semacam ini mengharuskan kita

mengikuti Nabi Muhammad Saw. Sebab pemimpin yang paling

sempurna dengan teladan yang paling utama dalam urusan tersebut

adalah Nabi Muhammad Saw. Kedua, mencintai pribadi Nabi

Muhammad Saw. Sebab beliau merupakan perantara yang paling utama

agar manusia bisa mendapatkan kebaikan ilahi. Karena itu, beliau layak
68
dicintai karena Allah ta'ala.

Said Nursi mengatakan secara fitrah ketika kita mengarahkan

perhatian pada sosok yang kita cintai kekasih Allah haruslah berupaya

meneladani dan mencontoh beliau dengan cara mengikuti semua

sunnahnya yang mulia. Dikatakannya pula, mengikuti sunnah rasul

Muhammad Saw merupakan tujuan termulia sekaligus merupakan tugas


69
terpenting manusia.

C. Tujuan Pendidikan Akhlak

Berbicara masalah tujuan pendidikan akhlak sama dengan

berbicara tentang pembentukan akhlak, karena banyak sekali dijumpai

pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah

68
Ibid, hlm. 117-118
69
Ibid...
159

pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa

pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan

70
Islam.

Demikian pula Ahmad D Marimba berpendapat bahwa tujuan

utama pendidikan akhlak adalah identik dengan tujuan hidup setiap

Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah yakni hamba yang percaya dan

menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk Islam dan hal inilah yang

disebut dengan berkepribadian Muslim yang menjadi tujuan akhir dari

71
pendidikan Islam.

Tidak ada tujuan yang terpenting bagi pendidikan akhlak dalam

Islam selain membimbing umat manusia dengan prinsip kebenaran dan

jalan yang lurus untuk terwujudnya kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari

sekian banyak tujuan pendidikan akhlak Ali Abdul Halim dalam Kitabnya

menyebutkan beberapa tujuan dari pendidikan akhlak Islam, yaitu:

Pertama, mempersiapkan manusia yang beriman dan beramal

shalih. Kedua, mempersiapkan mukmin shalih yang berinteraksi baik

dengan sosialnya, dan terwujudnya keamanan dan ketenangan dalam

kehidupannya. Ketiga, Memepersiapkan mukmin shalih yang menjalani

kegihupan dunianya dengan senantiasa berpijak pada hukum Allah.

Keempat, mempersiapkan seseorang yang bangga dengan ukhuwah

Islamiyah dan senantiasa menjaga persaudaraan. Kelima, mempersiapkan

seseorang yang siap menjalankan dakwah Ilahi, amar ma’ruf nahi munkar.

70
M. Athiyah al-Abrasyi, op. cit., hlm. 1
71
Ahmad D Marimba, op. cit., hlm. 46-49
160

Keenam, mempersiapkan seseorang yang mampu melaksanakan tugas-

tugas keumatan.

Pendidikan akhlak Islam dalam gambaran yang sangat praktis

tetapi terarah, berpengaruh dan relevan dengan kehidupan seseorang dalam

hubungannya dengan Tuhan maupun dalam bermasyarakat. Pendidikan

Akhlak Islam adalah ungkapan lain pendidikan yang ingin mewujudkan

masyarakat beriman yang konsisten dengan prinsip kebenaran, keadilan,


72
kebaikan sebagai upaya meraih kesempurnaan hidup.

Pendidikan akhlak, sebagai prinsip terpenting dalam kehidupan

sosial, kehidupan sosial tidak akan mencapai konsistensinya dan mencapai

tujuan-tujuannya tanpa dibangun diatas keharmonisan dan ketepatan

73
hubungan antar sesama anggota masyarakat yang kokoh.

Tujuan kemasyarakatan yang ingin dicapai dari pendidikan

akhlak adalah:

Pertama, membendung arus kriminalitas dalam berbagai bentuk,

karena semakin banyak kalangan yang memiliki nilai-nilai moral yang

mulia maka akan semakin menjauh dari tindakan kriminal. Kedua,

mendorong terwujudnya tingkah laku yang bermoral luhur.

Dan kehormanisan kehidupan sosial masyarakat akan terwujud

dengan senantiasa melaksanakan prinsip-prinsip kehidupan dengan nilai-

72
Ali Abdul Halim Mahmud, op. cit., hlm. 150-152
73
Ibid., hlm. 99
161

nilai akhlak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat untuk dapat

74
merealisasikan kepentingan individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Sedangkan Al Ghazali mengatakan , Tujuan akhir dari

pendidikan adalah membimbing agama dan mendidik akhlak, maksudnya

adalah lebih menekankan pada pendidikan akhlak dan pensucian jiwa,

mengarahkan pembentukan pribadi-pribadi yang memilih keutamaan dan

75
ketaqwaan sehingga timbul keutamaan dalam masyarakat. Jadi dapat

diambil kesimpulan bahwa secara tersirat pendidikan akhlak menurut Al

Ghazali adalah esensi dari adanya pendidikan dengan pelaksanaannya

yang diarahkan peda perbaikan, pembinaan dan pembinaan akhlak serta

76
penyucian jiwa.

M. Athiyah al-Abrasyi, berpendapat bahwa pendidikan budi

pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam, sehingga

kesempurnaan akhlak adalah tujuan utama dari pendidikan.

Menurutnya, bahwa pendidikan pada dasarnya adalah

mendidik akhlak dan jiwa, menanamkan fadhilah (keutamaan),

membiasakan kesopanan, mempersiapkan kehidupan untuk senantiasa

77
berperilaku secara jujur dan ikhlas.

Ia menambahkan bahwa pendidikan Islam sebagian besarnya

adalah akhlak, namun tidak mengabaikan masalah kehidupannya untuk

74
Ibid., hlm. 135-136
75
Fatkhiyah Hasan Sulaiman, op. cit., hlm. 19
76
Ibid., hlm. 78
77
M. Athiyah al-Abrasyi, op., cit. hlm. 1
162

mencari rezeki, pendidikan jasmani, akal, hati, kemauan, cita-cita,

78
kecakapan hidup, dan juga kepribadian.

M. Naquib al Attas, salah satu pemikir Islam pertama yang

berpendapat bahwa arti pendidikan secara sistematis bahwa tujuan

pendidikan Islam bukanlah menciptakan warga negara dan pekerja yang

baik, namun menciptakan manusia yang baik.

Dari pendapat Naquib al Attas inilah dapat dipahami bahwa

tujuan pendidikan menurutnya adalah penanaman adab pada diri

79
seseorang yang disebut dengan istilah ta’dib, yang bisa didefinisikan

sebagai pendidikan akhlak. Dan orang yang benar-benar terpelajar ia

definisikan sebagai orang beradab, dalam pengertian yang meliputi

kehidupan spiritual dan material seseorang yang berusaha menanamkan

80
kualitas kebaikan yang ia terima.

Rumusan tujuan pendidikan akhlak seperti ini hakekatnya

dapat dilakukan melalui membangun motivasi pribadi dan orang lain

untuk mencontoh akhlak Nabi. Artinya, bahwa berbagai aktivitas

kehidupannya selalu melakukan sesuatu dengan mengikuti akhlak

nabi, baik dalam rangka pembentukan sebagai seorang pribadi

maupun terhadap orang lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa

78
Ibid., hlm. 4
79
Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al Attas,
terj., Hamid Fahmi dkk (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 172-174
80
Ibid., hlm. 174
163

tujuan pendidikan akhlak adalah terciptanya manusia yang beriman

perilaku lahir dan batin yang seimbang (seperti Nabi) berdasarkan

pemahaman Bediuzzaman Said Nursi".

Jadi, Tujuan Pendidikan akhlak menurut Said Nursi adalah

memperkokoh prinsip-prinsip yang dimiliki oleh manusia untuk

mencapai tingkatan manusia seperti Nabi yang harmonis dan seimbang

secara positif yang melahirkan sikap hidup mulia dengan akhlak karimah.

Hal yang paling prinsip dalam memperkuat pemahamannya adalah

Dengan cara menguatkan keimanan, berpegang teguh pada al-Qur’an

81
interpretasinya tentang manusia, alam semesta dan Allah.

Tidak ada tujuan yang terpenting bagi pendidikan akhlak dalam

Islam selain membimbing umat manusia dengan prinsip kebenaran dan

jalan yang lurus untuk terwujudnya kebahagiaan dunia dan akhirat.

81
Said Nursi, Da r i C er m in K eku a sa a n A ll a h (d it er j e ma h k a n o le h
S u ge n g
Har i ya n to ), (J a k ar t a: Prenada Media, 2003), hlm. 39

Anda mungkin juga menyukai