Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL READING

DEPRESSION AND ANXIETY AMONG UNIVERSITY STUDENT


DURING THE COVID-19 PANDEMIC IN BANGLADESH: A WEB-
BASED CROSS-SECTIONAL SURVEY

Oleh :

Rasyid Riddo NIM. 1930912310075

Monica Claudia NIM. 1930912320030

Irwana Kamaruddin NIM. 1930912320116

Rabbina Rahmah, NIM. 1930912320087

Lisda Mardhatillah NIM. 1930912320105

Pembimbing :

dr. Hj. Yanti Fitria, Sp.KJ

BAGIAN/KSM ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM - RSUD ULIN

BANJARMASIN

November, 2020
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi depresi dan
kecemasan di kalangan mahasiswa di Bangladesh selama pandemi COVID-19.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penentu depresi dan
kecemasan. Sebanyak 476 mahasiswa yang tinggal di Bangladesh berpartisipasi
dalam survei cross-sectional berbasis web ini. Kuisioner elektronik yang telah
distandarisasi dibuat menggunakan Google Formulir, dan tautannya dibagikan
melalui media sosial—Facebook. Analisis informasi dilakukan dalam tiga level
yang berurutan, yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Mahasiswa
mengalami peningkatan depresi dan kecemasan. Sekitar 15% mahasiswa
dilaporkan mengalami depresi sedang-berat, sedangkan 18,1% menderita
kecemasan yang berat. Regresi logistik biner menunjukkan bahwa mahasiswa
yang lebih tua memiliki depresi yang lebih besar (OR = 2.886, 95% CI = 0.96-
8.669). Juga terbukti bahwa mahasiswa yang menyediakan biaya pendidikan
pribadi pada periode pra-pandemi mengalami depresi (OR = 1,199, CI 95% =
0,736–1,952). Diharapkan pemerintah dan perguruan tinggi dapat bekerja sama
untuk mengatasi keterlambatan akademik dan masalah keuangan untuk
mengurangi depresi dan kecemasan di kalangan mahasiswa.

Pendahuluan
Wabah coronavirus disease (COVID-19) secara substansial telah
mempengaruhi kehidupan masyarakat di seluruh dunia, terutama setelah World
Health Organization mendeklarasikan pandemi global pada minggu kedua Maret
2020. Per tanggal 7 Juni 2020, sekitar 6,91 juta orang terinfeksi COVID-19,
dengan kematian yang dikonfirmasi 0,4 juta di seluruh dunia. Oleh karena itu,
banyak negara menerapkan serangkaian tindakan anti-epidemi, seperti membatasi
perjalanan untuk warga negara asing, menutup tempat publik, dan menutup
seluruh sistem transit, untuk mencegah penularan infeksi yang sangat menular
dari manusia ke manusia.
Setelah deteksi kasus COVID-19 pertama pada 8 Maret 2020, Bangladesh
seperti banyak negara lainnya menerapkan strategi lockdown pada 26 Maret 2020,
untuk memastikan 'jarak sosial' melalui 'karantina di rumah' untuk mencegah
'penyebaran' di antara populasinya, karena pengobatan atau vaksin yang tepat
untuk orang yang terinfeksi dan orang yang berisiko masih belum dapat dicapai
oleh komunitas kesehatan global. Namun, semua institusi pendidikan ditutup
sejak 18 Maret hingga 31 Maret 2020 di seluruh negeri dan kemudian
diperpanjang hingga pertengahan Juni 2020 secara bertahap. Pengalaman
'karantina di rumah' yang belum pernah terjadi sebelumnya selama lockdown
dengan ketidakpastian akademis dan karir profesional memiliki dampak beragam

2
pada kesehatan mental mahasiswa. Sebagai contoh, sebuah penelitian di Kanada
yang berfokus pada efek karantina setelah epidemi Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) menemukan hubungan antara durasi karantina yang lebih lama
dengan prevalensi kecemasan dan depresi yang tinggi pada orang-orang. Pandemi
COVID-19 yang sedang berlangsung menciptakan situasi kekacauan psiko-
emosional terlihat dari negara-negara telah melaporkan peningkatan tajam
masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, stres, gangguan tidur
serta ketakutan, di antara warganya, yang menyebabkan peningkatan penggunaan
zat dan terkadang perilaku bunuh diri. Para peneliti di China menemukan bahwa
paparan yang lebih besar terhadap 'misinformasi' melalui media sosial lebih
mungkin berkontribusi pada perkembangan kecemasan, depresi, dan masalah
kesehatan mental lainnya di antara populasi dengan latar belakang sosial ekonomi
yang berbeda. Studi sebelum pandemi COVID-19 juga menunjukkan hubungan
yang terbalik antara paparan media dan kesehatan mental. Sebaliknya, suatu
penelitian di Korea Selatan selama Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
melaporkan adanya hubungan yang positif antara persepsi risiko dan paparan
media. Mengingat keadaan yang tidak terduga ini, pengalaman psiko-sosial
mahasiswa di Bangladesh sangat penting untuk dipelajari, terutama selama
pandemi COVID-19. Penelitian ini diharapkan dapat mengukur dampak
psikologis dari keadaan darurat yang tidak terduga pada mahasiswa, serta
merumuskan dan melaksanakan intervensi dan strategi yang efektif untuk
mengurangi kesehatan mental masyarakat pada umumnya. Penelitian ini
dirancang untuk mengatasi masalah psikologis yang dialami oleh mahasiswa di
Bangladesh.

Bahan dan Metode


Sumber data
Survei dilaksanakan pada minggu kedua bulan Mei, dari 6 Mei hingga 12
Mei 2020. Mahasiswa yang terdaftar di berbagai universitas di seluruh
Bangladesh menjadi populasi target. Kuesioner yang mudah dipahami digunakan
untuk mengumpulkan 'informasi dasar', informasi terkait 'depresi' serta
'kecemasan'. Platform berbasis online digunakan untuk mendistribusikan
kuesioner elektronik, yang dibuat dengan menggunakan Google Formulir, kepada
mahasiswa. Mahasiswa universitas dari semua divisi di Bangladesh dihubungi
melalui jejaring sosial yang berbeda dan diwawancara.
Teknik Sampling
Teknik Snowball sampling digunakan untuk mengumpulkan informasi dari
mahasiswa. Formulir informed consent dilampirkan pada kuesioner elektronik,
dan setiap peserta setuju untuk berpartisipasi dalam survei setelah membaca

3
formulir persetujuan. Para peserta diminta untuk membagikan kuesioner
elektronik dengan teman-teman mereka menggunakan Facebook dan Messenger
pribadi dan institusional mereka.
Jumlah tanggapan Tidak ada tanggapan
N = 476 N = 26

Informasi dasar
N = 476

Tanggapan PHQ-9 valid Tanggapan GHD-7 valid


N = 476 N = 476

Analisis statistikal

Analisis bivariat dan


Analisis deskriptif
multivariat

Gambar 1. Flow chart


Masalah Etik
Peneltian ini secara resmi disetujui oleh Ethical Clearance Committee
Universitas Khulna, Bangladesh. Para peserta menjawab survei online secara
anonim dengan mengisi surat informed consent yang terdapat di bagian pertama
kuesioner elektronik. Dalam formulir persetujuan, seluruh peserta diberikan
informasi mengenai tujuan penelitian, kerahasiaan informasi, dan hak untuk
mencabut keikutsertaan tanpa justifikasi sebelumnya.
Pengukuran
Informasi dasar. ‘Informasi dasar’ berisi informasi pribadi responden.
'Usia' mahasiswa saat ini ('17-20 ', '21-24', '> 24'), apakah mahasiswa tersebut
'tertinggal studi' ('ya' dan 'tidak'), melakukan jenis 'olahragaapapun selama
lockdown' ('ya' dan ' tidak'), mahasiswa yang menyediakan 'uang kuliah' sebelum
lockdown ('ya' dan 'tidak'), jenis kelamin mahasiswa ('laki-laki' dan 'perempuan'),
‘tempat tinggal' mahasiswa ('pedesaan' dan 'perkotaan'), apakah dia 'tinggal
bersama keluarga' selama lockdown ('ya' dan 'tidak').
Depresi. Depresi ditentukan dengan menggunakan Patient Health
Questionnaire (PHQ-9). PHQ-9 adalah kuesioner yang mudah digunakan untuk
skrining depresi dari tanggapan yang digunakan untuk memprediksi depresi
individu dan keadaannya selama survei. Skor dalam PHQ-9 berkisar dari '0 =
tidak sama sekali' hingga '3 = hampir setiap hari'. Alasan memilih PHQ-9 adalah
karena telah terbukti menjadi alat yang berguna untuk mendeteksi depresi.

4
Tingkat depresi untuk penelitian ini dikategorikan sebagai 'ringan = 5-9', 'sedang
= 10-14,' 'sedang-berat = 15-19,' 'berat = ≥ 20.'
Kecemasan. Kecemasan dievaluasi dengan menggunakan Generalized
Anxiety Disorder (GAD-7). Di dalam kuesioner, pertanyaan-pertanyaan tersebut
digunakan untuk skrining keadaan kecemasan individu dengan skala mulai dari '0
= tidak yakin sama sekali' hingga '3 = hampir setiap hari'. GAD-7 telah ditemukan
berhasil dalam mengidentifikasi kecemasan di antara populasi yang berbeda dan
dengan demikian digunakan karena reliabilitasnya. Tingkat kecemasan untuk
penelitian ini dikategorikan sebagai 'tidak ada–minimal = <5,' 'ringan = 5-9,'
'sedang = 10-14’ dan 'berat = ≥ 15 '.
Analisis Statistikal
Tabulasi frekuensi digunakan untuk meringkas informasi dasar dari
responden, serta respon mereka terhadap depresi dan kecemasan. Regresi logistik
biner digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi depresi dan
kecemasan pada mahasiswa dengan mengelompokkan variabel hasil menjadi dua
kategori, yaitu depresi = 'ya' dan 'tidak' dan cemas = 'ya' dan 'tidak,' yang akan
memberikan gagasan yang lebih jelas tentang bagaimana faktor-faktor yang
sangat berbeda mempengaruhi hasil. Regresi logistik menghasilkan koefisien (dan
standar kesalahan serta tingkat signifikansinya) dari suatu rumus untuk
memprediksi transformasi logit dari probabilitas terdapatnya karakteristik yang
ingin diteliti:
logit (p) = b0 + b1x1 + b2x2 + … + bkxk (1)
Di mana p adalah probabilitas dari terdapatnya karakteristik yang ingin diteliti:
p probabilitas terdapatnya karakteristik yang ingin diteliti
Odds = =
1− p probabilitas tidak terdapatnya karakteristik yang ingin diteliti
(2)
Dan,
p
logit (p) = loglog ( )
1− p
(3)

Dibandingkan memilih parameter yang meminimalkan jumlah kesalahan


kuadrat (seperti dalam regresi biasa), estimasi dalam regresi logistik menerima
parameter yang memaksimalkan kemungkinan untuk mengamati nilai sampel.

Hasil

Tabel 1 menunjukkan informasi deskriptif dari variabel terpilih yang


berbeda dari mahasiswa di Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 392
(82,4%) mahasiswa ditemukan memiliki gejala depresi ringan hingga berat, dan
389 (87,7%) mahasiswa ditemukan memiliki gejala kecemasan ringan hingga

5
berat. Lebih dari 60% mahasiswa adalah laki-laki (67,2%), dan sisanya
perempuan. Sepertiga mahasiswa tinggal di area pedesaan (35,1%). Kurang dari
seperempat mahasiswa (24,8%) percaya bahwa mereka tidak tertinggal secara
akademis, dan lebih dari 30% dilaporkan berolahraga secara teratur selama
lockdown di rumah.

Tabel 1. Tabel frekuensi untuk variabel terpilih yang berbeda

Variabel Frekuensi Persen

Usia

17-20 115 24.2

21-24 319 67.0

>24 42 8.8

Olahraga

Tidak 293 61,6

Ya 183 38,4

Tertinggal secara akademik

Tidak 118 24,8

Ya 358 75,2

Menyediakan uang kuliah pribadi

Tidak 240 50,4

Ya 236 49,6

Jenis kelamin

Laki-laki 320 67,2

6
Perempuan 156 32,8

Tempat tinggal

Pedesaan 167 35.1

Perkotaan 309 64,9

Tinggal dengan keluarga

Tidak 14 2,9

Ya 462 97,1

Depresi

Tidak ada – minimal (<5) 84 17,6

Ringan (5-9) 136 28,6

Sedang (10-14) 133 27,9

Sedang-berat (15-19) 72 15.1

Berat (≥ 20) 51 10.7

Kecemasan

Minimal (<5) 87 18.3

Ringan (5-9) 185 38.9

Sedang (10-14) 118 24,8

Berat (≥ 15) 86 18.1

7
Tabel 2 menunjukkan prevalensi depresi dan kecemasan di kalangan
mahasiswa Bangladesh. Dari total 476 peserta yang valid, 392 (82,4%) ditemukan
memiliki gejala depresi ringan hingga berat. Laki-laki (67,35%) memiliki gejala
depresi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (32,65%), sedangkan
mahasiswa yang berusia di awal dua puluhan (66,07%) menunjukkan gejala
depresi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Depresi juga lazim
di antara mahasiswa yang tidak melakukan latihan fisik (62,24%) dan mereka
yang menganggap dirinya tertinggal dari orang lain dalam hal kegiatan akademik
(76,78%). Selain itu, mahasiswa yang tinggal bersama keluarga (96,93%) dan di
perkotaan (65,05%) menunjukkan gejala depresi yang lebih tinggi. Pada kasus
kecemasan, 389 (87,7%) mahasiswa menunjukkan gejala kecemasan ringan
sampai berat. Dari total mahasiswa yang mengalami gangguan kecemasan,
perempuan (33,67%) memiliki gejala kecemasan yang lebih rendah dibandingkan
laki-laki (66,33%), sedangkan mahasiswa berusia di awal dua puluhan (66,58%)
menunjukkan kecemasan yang lebih tinggi. Sama seperti depresi, kecemasan juga
banyak terjadi pada mahasiswa yang tidak melakukan latihan fisik (61,95%),
bermasalah dengan pemikiran tertinggal secara akademis (76,60%), bahkan
mahasiswa yang tinggal di perkotaan (62,21%) dengan keluarga (96,40%) juga
menunjukkan gejala kecemasan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa mahasiswa yang menganggap dirinya
tertinggal dalam kegiatan akademik 1,8 kali (95% CI: 1.098, 2.935) lebih
cenderung mengalami depresi daripada mahasiswa yang tidak memiliki
kekhawatiran yang serupa.
Tabel 2 Hasil PHQ-9 dan GAD-7 (n = 476).

Variabel Depresi Kegelisahan

Tidak ada Ringan Moderat Cukup Berat Mini Ringan Mode Bera
minimal parah mal rat t
Jenis Kelamin
Laki-laki 56 (11.8) 103 84 (17.6) 45 32 62 125 82 51
(21.6) (9.5) (6.7) (13.0 (26.3) (17.2) (10.
) 7)
Perempuan 28 (5.9) 33 49 (10.3) 27 19 25 60 (12.6) 36 35
(6.9) (5.7) (4.0) (5.3) (7.6) (7.4)
Usia
17–20 20 (4.2) 39 27 (5.7) 19 10 20 53 25 17
(8.2) (4.0) (2.1) (4.2) (11.1) (5.3) (3.6

8
)
21–24 60 (12.6) 86 94 44 35 60 113 85 61
(18.1) (19.7) (9.2) (7.4) (12.6) (23.7) (17.9) (12.
8)
>24 4 (0.8) 11 12 (2.5) 9 (1.9) 6 (1.3) 7 19 (4.0) 8 8
(2.3) (1.5) (1.7) (1.7
)
Olahraga
Tidak 49 (10.3) 79 81 (17) 52 32 52 110 72 59
(16.6) (10.9) (6.7) (10.9) (23.1) (15.1) (12.
4)
Iya 35 (7.4) 57 52 20 19 35 75 (15.8) 46 27
(12.0) (10.9) (4.2) (4.0) (7.4) (9.7) (5.7
)
Tertinggal secara akademis
Tidak 27 (5.7) 33 (6.9) 36 (7.6) 15 7 27 50 31 10
(3.2) (1.5) (5.7) (10.5) (6.5 (2.1
)
Iya 57 (12) 103 97 57 44 60 135 87 76
(21.6 (20.4) (12.0) (9.2) (12.6) (28.4) (18.3) (16.
0)

Memberikan uang sekolah pribadi

Tidak 44 (9.2) 71 59 (12.4) 37 29 47 91 57 45


(14.9) (7.8) (6.1) (9.9) (19.1) (12.0) (9.5
)
Iya 44 (8.4) 65 74 (15.5) 35 22 40 94 61 41
(13.7) (7.4) (4.6) (8.4) (19.7) (12.8) (8.6
)
Hidup bersama keluarga

Tidak 2 (0.4) 4 (0.8) 3 (0.6) 1 (0.2) 4 0 (0.0) 8 (1.7) 1 (0.2) 5


(0.8) (1.1
)
Iya 82 (17.2) 132 130 71 47 87 177 117 81
(27.7) (27.3) (14.9) (9.9) (18.3) (37.2) (24.6) (17.
0)
Tempat tinggal

9
Pedesaan 30 (6.3) 51 53 (11.1) 19 14 29 75 37 26
(10.7) (4.0) (2.9) (6.1) (15.8) (7.8) (5.5
)
Perkotaan 54 (11.3) 85 80 (16.8) 53 37 58 110 81 60
(17.9) (11.1) (7.8) (12.2) (23.1) (17.0) (12.
6)

Mahasiswa yang tinggal bersama keluarga 2,6 kali (95% CI: 1,418, 4,751),
lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan siswa yang tinggal terpisah dari
keluarga. Di sisi lain, siswa yang memberikan kelas tambahan sebelum lockdown
adalah 1,4 kali (95% CI: 0,856, 2.227), lebih mungkin untuk menunjukkan gejala
kecemasan ringan hingga berat daripada rekan mereka yang tidak terlibat.
Mahasiswa yang khawatir dengan aktivitas akademiknya 1,8 kali (95% CI:
1.099, 2.883) lebih mungkin untuk menunjukkan gejala kecemasan ringan sampai
berat daripada mahasiswa yang tidak memiliki kecemasan. Mahasiswa yang
tinggal bersama keluarga 1,8 kali (95% CI: 1,021, 3,308), lebih cenderung
memiliki gejala kecemasan ringan hingga berat daripada mahasiswa yang tinggal
jauh dari keluarga selama lockdown.

Diskusi

Pandemi COVID-19 muncul sebagai krisis kesehatan masyarakat yang


paling menghancurkan dan menantang di dunia kontemporer. Terlepas dari
tingkat kematian yang melonjak, negara-negara di seluruh dunia juga telah
menderita akibat lonjakan akibat psikologis yang menyiksa, yaitu kecemasan dan
depresi di antara orang-orang dari segala usia. Mahasiswa tidak terkecuali, karena
semua institusi pendidikan ditutup lebih dari biasanya, dan untuk Bangladesh, ini
lebih dari dua bulan berturut-turut. Penutupan tersebut, secara umum, memicu
rasa ketidakpastian tentang karir akademis dan profesional di antara para pendidik
dan mengintensifkan tantangan kesehatan mental yang persisten di kalangan
mahasiswa. Dengan keadaan seperti itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk
menyelidiki prevalensi depresi dan kecemasan di kalangan mahasiswa Bangladesh

10
selama pandemi COVID-19 dan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang
mempengaruhi adanya gangguan depresi dan kecemasan.

Tabel 3. Model regresi logistik biner memprediksi gejala depresi dan kecemasan,
berdasarkan skala PHQ-9 dan GAD-7
Variabel Depresi Kegelisahan

B Nilai OR 95% CI B Nilai OR 95% CI


P Bawah- P Bawah-
Atas Atas
Usia
17–20 ref 1.000 1.000

21–24 0.057 0.082 1.059 0.632– 0.112 0.668 1.118 0.672–


1.775 1.861
> 24 1.060 0.059 2.886 0.961– 0.486 0.290 1.626 0.661–
8.669 3.998
Memberikan uang sekolah pribadi
Tidak ref 1.000 1.000
Iya 0.181 0.046 1.199 0.736– 0.322 0.018 1.381 0.856–
1.952 2.227

Jenis Kelamin
Laki-laki ref 1.000 1.000

Perempuan 0.032 0.902 1.033 0.616– 0.380 0.155 1.462 0.866–


1.732 2.468
Tempat tinggal

Pedesaan ref 1.000 1.000


Perkotaan 0.022 0.933 1.022 618– 0.168 0.512 1.183 0.716–
1.690 1.953
Tertinggal secara akademis
Tidak ref 1.000 1.000
Iya 0.585 0.020 1.795 1.098– 0.577 0.019 1.780 1.099–
2.935 2.883
Olahraga

11
Tidak ref 1.000 1.000
Iya - 0.601 0.880 0.544– -0.008 0.974 0.992 0.617–
0.128 1.422 1.594
Hidup bersama keluarga
Tidak ref 1.000 1.000
Iya 0.954 0.002 2.595 1.418– 0.609 0.042 1.838 1.021–
4.751 3.308

Ref
: Kelompok referensi
OR
: Rasio ganjil
CI
: Interval keyakinan

Temuan survei cross-sectional berbasis web menunjukkan bahwa lebih


dari dua pertiga mahasiswa mengalami depresi ringan hingga berat (82,4%) dan
kecemasan (87,7%). Studi sebelumnya di Bangladesh mengamati adanya depresi
dan kecemasan di antara siswa di perguruan tinggi. Misalnya, survei mahasiswa
kedokteran pada tahun 2015 menunjukkan bahwa lebih dari 50% mahasiswa di
fakultas kedokteran menderita depresi (54,3%) dan kecemasan (64,8%). Studi
lain, pada mahasiswa tidak termasuk mahasiswa baru, melengkapi pekerjaan
sebelumnya dan menemukan bahwa tingkat prevalensi depresi dan kecemasan
masing-masing adalah 52,2% dan 58,1%. Dibandingkan dengan studi
sebelumnya, studi kami menunjukkan bahwa mahasiswa di Bangladesh sedang
mengalami pertumbuhan depresi dan kecemasan yang tak tertandingi dalam
situasi pandemi global saat ini. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa
keterlibatan mahasiswa dalam biaya kuliah privat merupakan faktor penting dalam
memahami peningkatan prevalensi depresi dan kecemasan di antara mereka. Di
Bangladesh, sejumlah besar siswa terlibat dalam pekerjaan paruh waktu, seperti
biaya sekolah swasta, untuk membiayai biaya pendidikan mereka, dan terkadang
untuk menghidupi keluarga mereka, dan ketergantungan mereka pada bimbingan
pribadi sebagai pekerjaan paruh waktu meningkat secara bertahap. Namun, tidak
dapat memberikan uang sekolah dalam situasi terkunci berarti mengganggu
pendapatan reguler dan pengangguran.

12
Pengangguran yang berkepanjangan, bersama dengan ketidakamanan
finansial penyebab stres paling signifikan yang berkontribusi pada peningkatan
tingkat depresi dan kecemasan di kalangan mahasiswa di Bangladesh. Sebuah
studi menunjukkan bahwa pengangguran secara signifikan terkait dengan
gangguan mental dan somatik, yang dapat membatasi peluang individu untuk
perasaan pencapaian, pencapaian, dan kepuasan, dan akhirnya menyebabkan
gangguan fungsi psikologis. Harga diri juga dapat dipengaruhi oleh hilangnya
pekerjaan karena penelitian menemukan bahwa kurangnya dukungan keluarga
selama pengangguran berdampak buruk pada kesejahteraan mental individu.
Rupanya, pengangguran dan ketidakamanan finansial yang tiba-tiba
menempatkan mahasiswa dalam situasi yang tidak menyenangkan, mempengaruhi
kesejahteraan sosial ekonomi dan mental mereka. Telah diterima dengan baik
bahwa hidup bersama keluarga sangat membangkitkan kepastian di antara
individu, oleh karena itu, mengurangi depresi dan kecemasan. Karena lingkungan
keluarga yang positif seringkali bermanfaat bagi kesehatan mental remaja yang
rentan mengalami depresi atau kecemasan. Namun, pandemi ini telah membawa
tekanan finansial yang ekstrim pada keluarga. Sebagian besar keluarga menderita
hutang yang tidak dapat dikelola dan pendapatan menurun, sehingga
menyebabkan anggota keluarga dalam situasi trauma.
Mahasiswa, yang dulu mencari nafkah dan berkontribusi untuk keluarga
mereka sebelum penguncian, hampir tidak dapat membantu orang tua mereka di
saat krisis ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun tinggal bersama
keluarga, kecemasan dan gejala depresi telah meningkat di kalangan mahasiswa di
Bangladesh terutama karena ketidakamanan finansial. Universitas di negara maju
menerapkan protokol kesehatan yang ketat, seperti mencuci tangan, menggunakan
masker wajah, menyarankan strategi 'tinggal di rumah' saat sakit, untuk
memfasilitasi kelanjutan pendidikan di perguruan tinggi dan kemudian beralih ke
pembelajaran online di seluruh kampus. Di Bangladesh, intervensi perlindungan,
seperti memakai masker atau menggunakan alat pelindung diri, masih harus
ditegakkan sebagian besar karena persediaan yang terbatas, karenanya,
pemerintah memilih untuk menerapkan lockdown di seluruh negeri. Kira-kira dua

13
pertiga dari siswa mengalami depresi karena berpikir mereka mungkin tertinggal
secara akademis di belakang rekan-rekan mereka di bagian lain dunia selama
penutupan universitas yang berkepanjangan. Mereka, bagaimanapun, menegaskan
kembali bahwa kelas online tidak dapat memenuhi persyaratan mereka dan
persentase yang signifikan dari siswa masih di luar jangkauan kelas online. Selain
itu, proyek penelitian dan magang mereka harus dihentikan karena mereka
diperintahkan untuk meninggalkan aula (asrama mahasiswa) di universitas
masing-masing. Tidak hanya itu, krisis Covid-19 juga menciptakan tantangan
yang berat dari pembalikan global bagi para lulusan untuk mencapai tujuan
akademik dan pekerjaan mereka di masa depan.
Meskipun penutupan universitas dimaksudkan untuk menjaga keamanan
siswa, bagi banyak orang, gagasan ini muncul dengan berbagai masalah kesehatan
mental. Sementara itu, sebuah penelitian melaporkan bahwa mahasiswa
pascasarjana umumnya mengalami stres dan kecemasan yang signifikan, yang
juga mempengaruhi perilaku mereka yang biasa. Hasil dalam studi ini
menekankan pada fakta bahwa penguncian nasional di Bangladesh akan
menyebabkan gangguan yang signifikan dalam program akademik dan
menciptakan kesenjangan dalam pengajaran dan pembelajaran. Penundaan
akademik dapat berdampak jangka panjang pada psikologi siswa karena mereka
cenderung lulus lebih lambat dari yang mereka perkirakan. Dalam hal ini,
fakultas, serta otoritas universitas, harus tetap terhubung dengan mahasiswanya
menggunakan platform media sosial dan memotivasi mereka untuk maju bersama
selama masa sulit ini. Terlepas dari masalah yang disebutkan di atas, penelitian ini
tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan
dalam kaitannya dengan depresi atau kecemasan, sehingga melengkapi penelitian
sebelumnya.
Namun, penelitian Mesir menyatakan bahwa mahasiswa perempuan lebih
cenderung menderita kecemasan dan kurang rentan terhadap depresi dibandingkan
mahasiswa laki-laki. Penelitian saat ini tidak menemukan hubungan yang
signifikan secara statistik antara variabel sosio-demografi (termasuk tempat
tinggal dan olahraga) dengan depresi dan kecemasan. Sebaliknya, beberapa

14
penelitian melaporkan hubungan yang signifikan antara variabel sosio-demografis
dan olahraga dengan depresi dan kecemasan. Sebuah penelitian di Malaysia
melaporkan perbedaan substansial mengenai usia dan tempat tinggal permanen
dengan depresi atau kecemasan, bagaimanapun, mengamati tidak ada hubungan
yang signifikan antara beberapa variabel sosio-demografi (termasuk jenis kelamin,
etnis, jurusan studi, pendapatan keluarga bulanan) dan masalah psikologis.

Kekuatan dan keterbatasan


Kekuatan dan keterbatasan studi saat ini ditentukan oleh beberapa
masalah. Kuesioner elektronik memungkinkan untuk menilai prevalensi
kecemasan dan depresi di kalangan mahasiswa sambil mempertahankan "jarak
sosial" yang direkomendasikan WHO selama pandemi COVID-19, yang jika
tidak, tidak mungkin dilakukan. Selain itu, data untuk survei elektronik
dikumpulkan dengan alat standar yang divalidasi secara global untuk analisis
kuantitatif. Sebaliknya, mengingat sumber daya yang tersedia terbatas dan
sensitivitas waktu wabah COVID-19, strategi pengambilan sampel bola salju
dipilih daripada sampel acak. Dalam studi cross-sectional ini, faktor-faktor yang
diidentifikasi dianggap sebagai faktor terkait, yang bisa menjadi penyebab atau
hasil dari depresi atau kecemasan. Selain itu, karena persyaratan etika tentang
anonimitas dan kerahasiaan, rincian kontak responden tidak dikumpulkan.
Namun, penggunaan kuesioner elektronik skrining yang divalidasi dianggap
sebagai pendekatan hemat biaya untuk mengeksplorasi situasi secara umum, oleh
karena itu, digunakan dalam penelitian ini.
Karena metodologi penelitian tidak dapat menjangkau orang-orang dengan
gejala depresi dan kecemasan yang diperiksa secara medis, pemberian hasil
mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat keparahan gejala depresi dan
kecemasan di kalangan siswa. Batasan lain dari penelitian ini adalah tidak
menggunakan alat yang dirancang khusus untuk pandemi COVID-19, seperti
skala kecemasan virus Corona (CAS). Sementara itu, akan ideal untuk melakukan
studi prospektif pada kelompok peserta yang sama dengan alat yang
dikembangkan khusus untuk pandemi COVID-19 setelah beberapa waktu untuk

15
memberikan temuan konkret dan memfasilitasi permintaan akan inisiatif
kesehatan masyarakat yang terfokus.

Kesimpulan
Terlepas dari beberapa keterbatasan, penelitian ini memberikan bukti
empiris pertama bahwa sebagian besar mahasiswa Bangladesh telah menderita
gejala depresi dan kecemasan selama pandemi yang sedang berlangsung. Selain
ketidakpastian akademis dan profesional, ketidakamanan finansial berkontribusi
pada meningkatnya depresi dan kecemasan di kalangan mahasiswa. Untuk
meminimalkan masalah kesehatan mental yang berkembang, pemerintah bersama
dengan universitas harus bekerja sama untuk memberikan dukungan psikologis
berorientasi ekonomi secara tepat waktu dan akurat kepada para mahasiswa.
Untuk memastikan keterlibatan siswa yang berkelanjutan dalam proses
pendidikan, universitas harus memprakarsai program pendidikan berbasis online
semua inklusif untuk menjangkau siswa yang tinggal di daerah terpencil dengan
atau tanpa perangkat yang berhubungan dengan penyedia layanan internet dengan
memberikan beasiswa atau pinjaman siswa. Lebih lanjut, para orang tua harus
didorong, dengan memberikan respon pandemi dan dukungan pemulihan dari
pemerintah, untuk menciptakan lingkungan keluarga yang ramah dan positif bagi
mahasiswa tanpa membebani karir akademik dan pekerjaan di masa depan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Islam MA, Barna SD, Raihan H, Khan MNA, Hossain MT. Depression and

anxiety among university students during the COVID-19 pandemic in

Bangladesh: A web-based cross-sectional survey. PLoS ONE. 2020;15(8):1-

12.

17

Anda mungkin juga menyukai