Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERANAN DAN PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG

PERSALINAN DUKUN BERANAK

OLEH :

SASTIA WULANDARI ( 201104017)

KEBIDANAN

TAHUN AJARAN 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas pemeliharaannyalah sehingga sampai hari ini kita semua masih tetap
berada dalam keadaan sehat. Lebih dari itu, rasa syukur juga kami panjatkan
karena dalam keadaan terbatas kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kepada semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam proses penyusunan
makalah ini diucapkan terima kasih.
Dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan,
namun kiranya dapat dimaklumi dan mendapat kritik dan saran yang dapat
membangun untuk selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

                                                                             Pematangsiantar, 31-01-2021

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................................4
BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................................5
BAB III : PENUTUP...............................................................................................................15
DAFTAR REFRENSI.............................................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan kesehatan perempuan beserta hak-hak reproduksinya di
Indonesia hingga saat ini menjadi perhatian yang serius baik oleh pemerintah,
tenaga medis maupun kalangan ilmuwan. Hal ini antara lain dikarenakan masih
tingginya angka kematian maternal di Indonesia. Tingginya angka kematian
maternal yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi faktor
di dalam dan di luar kesehatan. Beberapa faktor kesehatan antara lain: tindakan
aborsi yang tidak aman, kehamilan ektopik, pendarahan ante, intra dan postpartum
infeksi, persalinan macet, penyakit hipertensi (preklampsia dan eklampsia), sepsis
serta anemia. Dari segi medis sebenarnya sudah diketahui usaha-usaha preventif
dan pengobatan yang mampu menolong wanita hamil dan bersalin sehingga dapat
terhindar dari bahaya kematian. Hanya saja sistem pelayanan terhadap hal ini
terasa masih kurang memadai. Adapun faktor-faktor diluar kesehatan antara lain:
kemiskinan, kurang memadainya pelayanan kesehatan selama kehamilan dan
pertolongan persalinan, keterbatasan sarana transportasi, situasi geografi yang
sulit, komunikasi antar lokasi mukim yang sulit terjangkau, rendahnya tingkat
pendidikan wanita, keterbatasan jumlah tenaga terlatih dan profesional serta etos
kerjanya yang masih rendah.
Terlebih bagi masyarakat  Madura, masalah perilaku kesehatan reproduksi,
khususnya yang berkaitan dengan persalinan nampaknya tidak dapat hanya
sekedar didekati dari aspek medis atau psikologi semata, melainkan juga harus
melibatkan aspek kultural dan keagamaan yang membungkus segala pola pikir
dan tindakan masyarakatnya. Berbagai kajian yang pernah dilakukan pada
masyarakat Madura (Niehof, 1985; Soebahar & Hamdanah, 1999, Jonge, 1989)
menunjukkan bahwa masyarakat Madura mempunyai keunikan budaya tersendiri
dibandingkan masyarakat Jawa misalnya. Beberapa adat atau tradisi yang umum
bisa kita jumpai pada masyarakat Madura adalah misalnya kuatnya
peran kiai dalam memberikan keputusan kemasyarakatan termasuk persoalan
perkawinan, rumahtangga dan kesehatan. Ungkapan yang ada dalam masyarakat
seperti “napa ca’na kiaeh pon” (sudahlah apa katanya kiai) adalah contoh betapa
kuatnya pengaruh kiai bagi masyarakat Madura, dan hubungannya sarat dengan
makna (Soebahar & Hamdanah, 1999: 18). Ungkapan yang umum di masyarakat
Madura seperti bapa, babuh, guru, dan ratojuga menunjukkan betapa kuatnya
penghormatan keluarga pada ayah (laki-laki), baru kemudian ayah bersama ibu,
dan selanjutnya guru atau menurut mereka biasanya adalah kiai dan yang terakhir
aparat pemerintah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI
Hingga saat ini, perdebatan terus berlangsung di kalangan birokrat, maupun
ilmuwan mengenai berbagai aspek pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan, serta
nilai manfaat dari berbagai rekomendasi tentang kesehatan masyarakat dan
pelayanan medis. Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit
tergantung pada kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan
menjaga prilaku sehat. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya
partisipasi masyarakat dalam upaya mencari kesembuhan di pusat-pusat
pelayanan kesehatan masyarakat, dan bahkan ada keengganan untuk 
memanfaatkan kesehatan modern (Becker dan Maiman, 1975).
Faktor-faktor yang menentukan perilaku kesehatan sangat banyak dan rumit.
Mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan, McKinlay (1972) mengidentifikasi
ada 6 (enam) pendekatan utama, yaitu dari sudut ekonomi, sosiodemografi,
psikologi sosial, budaya dan organisasional. Namun demikian hampir setiap
penelitian hanya mendekati dari satu dimensi saja. Dari berbagai model atau
pendekatan yang ada, pendekatan budaya tampaknya lebih tepat untuk dipakai
sebagai kerangka acuan dalam memahami perilaku kesehatan ibu hamil di
madura.
Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan
sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu
berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang
bersangkutan (Kalangie, 1994: 84). Sekalipun pada umumnya perilaku terbentuk
dalam proses enkulturasi dan sosialisasi, namun tidak jarang seseorang
menunjukkan penyimpangan perilaku. Demikian pula halnya dalam perilaku
kesehatan juga akan ditemukan penyimpangan-penyimpangan. Ada dua dimensi
yang perlu dikemukakan, yaitu kebudayaan kesehatan dalam konteks kebudayaan
suatu masyarakat dan kebudayaan kesehatan formal dalam konteks profesional
biomedis atau kedokteran.
Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur dan
mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial
dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya
mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Masalah utama
yang acapkali muncul pada masyarakat yang mengalami transisi budaya dari
tradisional ke modern seperti masyarakat Madura adalah bahwa tidak semua unsur
dalam suatu sistem budaya kesehatan (tradisional) cukup ampuh serta dapat
memenuhi semua kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat akibat

5
perubahan-perubahan budaya yang terus menerus berlangsung, sementara itu pada
sisi yang lain, tidak semua unsur-unsur pengetahuan dan praktek sistem
biomedis/kedokteran yang diperlukan masyarakat telah sepenuhnya dipahami
maupun dilaksanakan oleh sebagian terbesar para anggota suatu masyarakat. Di
samping itu dari segi perawatan dan pelayanan biomedis belum seluruhnya
berhasil memenuhi kebutuhan dan harapan suatu masyarakat karena adanya
berbagai masalah keprofesionalan, seperti perilaku profesional medis yang belum
sesuai dengan kode etik, pengutamaan kepentingan pribadi dan birokrasi,
keterbatasan dana dan tenaga, keterbatasan pemahaman komunikasi yang
berwawasan budaya (Foster, 1987).

B.     TEMUAN DATA
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan
pelayanan kesehatan adalah berkenaan dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku
masyarakat tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan yang tinggi mengenai
kesehatan reproduksi akan mempengaruhi sikap dan perilaku untuk mencapai
reproduksi yang sehat. Kesemuanya itu tidak lepas kaitannya dengan kondisi
lingkungan  sosial,  budaya, dan ekonomi masyarakat serta keadaan geografis.
Namun demikian tidak juga bisa dilepaskan adanya faktor kesiapan pelayanan
kesehatan baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga bisa terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat hingga pelosok desa.

C.    PENGETAHUAN DAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN


Umumnya perempuan Madura mengetahui kehamilannya dengan cara
melihat atau menandai kebiasaan tanggal/waktu menstruasi. Bila telah terlambat
menstruasi sekitar satu bulan atau dua bulan, mereka menduga itu sebagai salah
satu gejala terjadinya kehamilan. Setelah terjadi keterlambatan menstruasi tersebut
umumnya mereka datang ke bidan, untuk meyakinkan tentang kehamilannya,
yaitu dengan cara tes urine.  Selain itu tanda-tanda kehamilan juga diketahui dari
adanya gejala pusing-pusing, mual (bau),  seperti mau muntah, bahkan banyak
juga yang muntah-muntah. Dari gejala tersebut kemudian mereka memeriksakan
diri ke bidan untuk meyakinkan kehamilannya. Bahkan ada juga yang mengaku
bahwa ketika memeriksakan diri ke bidan tidak diminta melakukan tes urine,
karena tidak sedikit ibu-ibu  yang memeriksakan kehamilannya ke bidan ketika
kehamilannya sudah memasuki usia lebih dari empat bulan, sehingga oleh bidan
tanpa dilakukan tes urine pun sudah diketahui kehamilannya.
Dari 39 informan yang diwawancara ditemukan bahwa untuk mengetahui
atau memastikan kehamilannya sebagian besar informan melakukan pemeriksaan
ke bidan, dan hanya terdapat 9 informan yang datang ke dukun untuk mengetahui
kehamilannya. Hal ini berkait dengan kenyataan bahwa hanya bidan yang

6
memiliki peralatan untuk melakukan tes kehamilan.  Rendahnya tingkat
pendidikan dan kurangnya wawasan pengetahuan masyarakat amat berpengaruh
terhadap pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Seorang informan yang
mengaku tidak pernah sekolah menuturkan bahwa saat pertama kali terlambat
bulan, ia tidak menyadari bahwa dirinya hamil, sehingga minum jamu terlambat
bulan. Kemudian setelah pijat ke dukun baru diketahui bahwa dia sedang hamil.
Setelah itu dia rajin datang ke dukun untuk melihat keadaan bayinya, sementara
dia baru ke bidan setelah kehamilannya berumur 7 bulan.
Sebagian besar informan selama kehamilannya melakukan pemeriksaan
baik ke bidan maupun ke dukun, sehingga kedua penolong persalinan secara
umum memang diakui dan dimanfaatkan masyarakat. Warga masyarakat yang
memiliki pendidikan lebih tinggi memang ada kecenderungan berhati-hati dalam
merawat kehamilannya, karena telah memiliki pengetahuan dan kesadaran lebih
tinggi akan resiko kehamilan dan persalinan. Kalaupun mereka pergi ke dukun
untuk meminta pijat dan mengetahui posisi janin, biasanya baru akan mereka
lakukan setelah usia kandungan lebih dari 4 bulan.
Untuk perawatan dan pemeriksaan kehamilan, umumnya mereka
menggunakan jasa bidan maupun  dukun. Maksudnya datang ke bidan untuk
memeriksakan kesehatan diri dan bayinya, biasanya mereka minta disuntik
“sehat”, dan oleh bidan juga diberi pil vitamin maupun tambah darah. Sementara
datang ke dukun untuk menghilangkan pegal-pegal, rasa sakit dan membetulkan
letak bayi, yaitu dengan cara  e pelet (dipijat), serta minta jamu untuk menambah
kesehatan. Beberapa  informan mengatakan bahwa dengan pemeriksaan ke dukun
akan diketahui apakah bayinya sungsang atau tidak. Dengan demikian secara
umum mereka memang bisa membedakan peran bidan dan peran dukun. Kalau
bidan adalah untuk memeriksa kesehatan, mereka menyebutnya dengan asuntik
kangguy tamba dara (suntik ke bidan untuk kesehatan dan tambah darah),
sedangkan ke dukun adalah  untuk a junjung dan a pelet (mengangkat dan
memijat untuk mengatur posisi bayi). Karena itu umumnya mereka tidak setuju
bila keberadaan dukun dihapuskan, sebab mereka masih sangat membutuhkan
jasanya terutama untuk memijat ibu hamil dan bayi, serta merawat bayi saat baru
lahir hingga usia sekitar 40 hari. Semua pekerjaan tersebut tidak pernah dilakukan
oleh bidan atau tenaga medis yang lain.
Alasan melakukan pemeriksaan kehamilan, baik ke bidan maupun dukun
adalah antara lain supaya kalau melahirkan gampang dan supaya mengetahui
kondisi ibu maupun bayi yang dikandungnya. Kendati pun demikian ada variasi
dalam melakukan pemeriksaan ke bidan atau dukun di antara para informan. Ada
informan yang secara rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan dan juga dukun,
ada yang secara rutin memeriksakan kehamilannnya ke dukun saja atau ke bidan

7
saja, ada pula yang memeriksakan kehamilannya hanya kalau merasa sakit atau
ada keluhan.

D.    Pemanfaatan Dukun Bayi dan Bidan dalam Pertolongan Persalinan


Ketika menjelang terjadi proses persalinan, pada umumnya yang dipanggil
pertama kali adalah dukun. Mereka memanggil dukun untuk mengetahui posisi
bayi, selain juga untuk mempersiapkan keperluan persalinan. Dukun akan segera
datang dan akan menungguinya dengan melakukan pemijatan kepada ibu hamil
atau mempersiapkan perlengkapan dalam proses persalinan. Biasanya dukun akan
menunggui terus hingga proses persalinan berlangsung, meskipun dalam proses
persalinan tersebut juga ditolong bidan. Pemanggilan dukun lebih awal juga
dengan alasan karena dukun lebih telaten, dan lebih sabar menunggu. Sedangkan
bidan biasanya tidak sabar menunggui terus hingga proses persalinan berlangsung.
Bidan biasanya akan datang dan melihat sebentar kondisi ibu dan memperkirakan
waktu persalinannya. Jika diperkirakan masih lama akan ditinggal pulang, dan
akan datang lagi beberapa waktu kemudian.
Untuk warga masyarakat yang telah memiliki kesadaran akan pentingnya
kesehatan dan resiko persalinan mereka sajak awal memilih bidan untuk
menolong persalinan, baik persalinan dilakukan di rumahnya sendiri maupun di
polindes/rumah bidan/puskesmas. Seorang informan asal desa Torjunan
kecamatan Robatal mengatakan:
 “saya melahirkan ke bidan atas keinginan saya sendiri karena saya merasa
takut jika terjadi apa-apa dengan diri saya atau anak saya”.
Untuk menolong persalinan tersebut kadang bidan juga menyuruh
memanggil dukun untuk membantunya. Alasannya antara lain adalah dengan
memanggil dukun juga untuk membantu persalinan, maka bidan bisa sambil
mengajari dukun mengenai cara menolong persalinan, sehingga ketika ada yang
meminta bantuan untuk persalinan, sementara bidan tidak ada maka bisa ditangani
oleh dukun. Seorang informan di Ketapang mengatakan:
“di Madura memang kebiasaanya dalam membantu persalinan dukun
membantu memijat  dari atas sedangkan bidan membantu persalinannya dari
bawah”.
Terdapat pandangan bahwa bila melahirkan sedapat mungkin tidak
didengar banyak orang, sehingga tidak banyak orang yang mengetahuinya. Karena
itu, mereka merasa malu apabila ada kesulitan dalam proses persalinan karena
akibatnya akan diketahui  orang banyak. Termasuk di antaranya adalah ketika
harus memanggil bidan atau dibawa ke bidan, yang akhirnya akan diketahui orang
banyak, apalagi apabila harus dibawa ke rumah sakit. Karena itu di kalangan
masyarakat tersebut memanggil bidan sedapat mungkin dihindari, dan cukup

8
ditolong oleh dukun saja.  Seorang informan menuturkan bahwa sebagian warga
di desanya ketika memanggil bidan untuk diminta membantu persalinan dilakukan
secara sembunyi-sembunyi supaya sedapat mungkin tidak diketahui oleh orang
lain. Bahkan ada informan yang mengatakan adanya kaitan antara kesulitan dalam
proses persalinan ini dengan dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan oleh ibu
hamil di masa lalu. Dengan kepercayaan semacam ini kesulitan dalam proses
persalinan dipandang sebagai suatu aib yang dianggap  memalukan, sehingga
sedapat mungkin disembunyikan. Untuk mengatasi kesulitan dalam persalinan, 
kadang  mereka minta syarat (seringkali berupa air putih yang diberi doa/mantra)
kepada kyai untuk mempermudah/memperlancar proses persalinan. Setelah
ditunggu beberapa waktu tidak berhasil mereka baru akan memanggil bidan.
Secara umum ada kesan bahwa dukun sebenarnya tidak bisa mengetahui 
atau memperkirakan kapan akan terjadi persalinan, dengan kata lain masyarakat
umumnya ragu akan kemampuan dukun untuk memperkirakan kapan  terjadi
persalinan, karena biasanya dukun memang tidak melihat vagina melainkan hanya
meraba dan memijat perut, sementara bidan dianggap lebih mengetahui, yaitu
dengan melihat vagina untuk mengetahui pembukaannya. Seorang informan di
Kecamatan Robatal mengatakan:
 “kalau ke bidan kelahiran kurang berapa jam, 1 jam atau berapa jam itu
bisa mengetahui tapi kalau dukun kan tidak mengetahui cuman
disuruh nguak (mengejan) terus”.
Di sisi lain dengan melihat vagina untuk mengetahui pembukaannya,
secara budaya menjadi masalah bagi sebagian masyarakat, karena mereka merasa
risi dan malu kalau harus dilihat vaginanya. Sehingga mereka lebih suka ditolong
oleh dukun. Beberapa informan menuturkan bahwa dukun yang telah ikut
pelatihan itu sebenarnya sama dengan bidan, karena mereka juga memiliki
peralatan yang sama dengan milik bidan. Karena itu bila mereka meminta
pertolongan dukun dalam persalinan itu sudah cukup, apalagi dukun biayanya
lebih murah.
Mengenai tempat persalinan, ada beberapa kemungkinan yang terjadi.
Pertama, persalinan berlangsung di rumah ibu hamil itu sendiri. Selama
tidak ada kendala atau kesulitan dalam persalinan, umumnya ibu hamil cenderung
ingin melahirkan di rumahnya sendiri. Pada saat ibu hamil merasakan adanya
gejala akan melahirkan biasanya dukun dipanggil untuk menolong persalinan atau
mempersiapkan proses persalinan. Apabila proses persalinan berjalan lancar, tidak
ada kesulitan, umumnya mereka tidak memanggil bidan, sehingga proses
persalinan cukup ditolong dukun. Bila ada masalah dengan proses persalinan
sementara dukun merasa tidak sanggup membantu proses persalinan, mereka
segera memanggil bidan. Namun ada juga yang meskipun tidak ada
masalah/kesulitan dalam persalinan, setelah memanggil dukun mereka segera

9
memanggil bidan, bahkan seringkali atas anjuran dukun. Dengan demikian di saat
terjadi proses persalinan ada dukun dan bidan.
Kedua, persalinan dilakukan di polindes/di rumah bidan/ puskesmas.
Biasanya untuk berangkat ke polindes/bidan/puskesmas diantar oleh dukun
dengan suami dan beberapa anggota kerabat. Mereka mau melahirkan di
polindes/bidan/puskesmas bila ada kelainan atau mengalami kesulitan dalam
persalinan. Seorang informan di Ketapang menuturkan:
“di sini umumnya memang orang melahirkan di rumah, kecuali ada
kelainan atau ada pendarahan atau sebelumnya dianjurkan oleh bidan untuk
melahirkan di puskesmas/rumah sakit. Itupun kalau orang sini tidak langsung di
bawa ke rumah sakit melainkan ditunggu beberapa jam terlebih dahulu, kalau
tidak keluar baru di bawa ke rumah sakit/puskesmas”.
Salah satu alasan mengapa mereka umumnya enggan di puskesmas/rumah
sakit adalah adanya perasaan malu, karena kalau dibawa ke rumah
sakit/puskesmas akan diketahui dan dilihat orang banyak. Yang cukup menarik
adalah bahwa setelah melahirkan mereka umumnya tidak ingin berlama-lama di
rumah /polindes/rumah bidan/ puskesmas. Biasanya mereka ingin secepat
mungkin (rata-rata satu atau dua jam kemudian setelah persalinan) bisa pulang
sejauh kondisi fisiknya memungkinkan.
Ketiga,  persalinan dilakukan di rumah sakit kabupaten, hal ini biasanya
terjadi karena kesulitan dalam proses persalinan, khususnya ketika harus
dilakukan operasi cesar. Untuk memutuskan seorang ibu hamil apakah harus
segera dibawa ke rumah sakit di kota kabupaten atau tidak biasanya seringkali
diperlukan perundingan yang panjang, yang  tidak hanya melibatkan bidan dan
dukun yang sudah tidak mampu menangani persalinan, serta suami dan anggota
kerabatnya saja melainkan seringkali juga melibatkan Pak Klebun atau beberapa
tetangga yang berpengaruh.
E.     Pandangan  Terhadap Pelayanan Kesehatan Maternal
Pada umumnya masyarakat menanggapi dengan baik menggenai
pelayanan kesehatan modern/bidan. Akan tetapi karena tidak punya uang atau
karena masalah ekonomi, masyarakat jadi enggan untuk memeriksakan kehamilan
ke bidan. Hal ini terbukti bila ada program bantuan gratis, masyarakat akan
berduyun-duyun untuk datang
Seorang informan mengatakan:
 “Pandangan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan modern atau
bidan sudah cukup baik, akan tetapi masih ada sebagian warga yang masih
mempercayai dukun atau memeriksakan kehamilan dan melakukan persalinan ke
dukun. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan bidan
mungkin disebabkan karena rendahnya faktor ekonomi yang disebabkan oleh
rendahnya tingkat pendidikan. Saya rasa apabila pendidikan masyarakat sudah

10
tinggi mungkin kesadarannya juga akan meningkat. Faktor lain mungkin karena
pelayanan bidan yang kurang memuaskan”.
Mengenai pelayanan puskesmas, seorang informan di kecamatan Ketapang
menuturkan:
 “saya kira pelayanan puskesmas masih sangat kurang. Pernah ada seorang
anak yang tidak mampu, saya bawa ke Puskesmas untuk berobat meskipun
menggunakan seragam SD dan dengan saya, tapi masih kena dana sebesar
Rp.1000. memang jumlahnya tidak seberapa tetapi seharusnya untuk masyarakat
miskin dan itu anak yang masih mengenakan seragam SD, masih dipungut biaya”.
Demikian juga dengan kegiatan penyuluhan, beberapa informan
mengatakan bahwa di wilayahnya amat jarang ada penyuluhan yang dilakukan
oleh dokter maupun bidan kepada masyarakat. Biasanya penyuluhan hanya
dilakukan saat ada posyandu, itu pun biasanya  juga hanya dilakukan sambil lalu.
F.     Pandangan terhadap Bidan
Sebagai petugas yang secara langsung memberikan pelayanan kepada
masyarakat, khususnya berkenaan dengan kesehatan maternal, maka masyarakat
bisa memberikan penilaian atau pandangan terhadap pelayanan yang diberikan
oleh bidan tersebut. Meskipun secara umum masyarakat memandang bahwa
pelayanan yang diberikan oleh bidan kepada masyarakat sudah cukup baik, namun
dengan kondisi bidan yang beragam baik dari segi  kemampuan menangani
pasien, kepribadian, rasa pengambian dan keinginan untuk melayani, dan berbagai
faktor yang lain, maka pandangan dan penilaian terhadap bidan menjadi cukup
beragam.
Di bawah ini akan dikemukakan tentang bagaimana pandangan dan
penilaian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh bidan.
Pertama, secara umum masyarakat memandang pelayanan yang diberikan
oleh bidan kepada masyarakat sudah cukup baik. Biasanya mereka bersedia
dipanggil bila ada yang membutuhkan pertolongannya. Seorang informan
mengatakan:
“Prosedur dan pelayanan bidan didesa kami sangat bagus. Bidan desa, bu
Yani kalau soal pengabdiannya terhadap masyarakat bagus sekali bahkan di
jemput malam hari pun Bu Yani bersedia datang”.
Namun demikian  ada yang menilai bahwa bidan pelayanannya kurang
bagus, misalnya ada bidan yang tidak segera mau datang bila dimintai
pertolongan. Beberapa contoh kasus di antaranya. Seorang informan di kecamatan
Robatal mengemukakan:
“ketika mulai merasakan sakit atau mulas maka suami saya segera
memanggil Mbah Nurpa’I (dukun bayi) untuk memijat sambil membantu
meringankan rasa sakit kemudian setelah air ketuban mulai pecah suami saya
menjemput bidan Yati tapi waktu itu bidan yati menolak datang karena masih

11
capek sehabis pulang kuliah. Kemudian adik ipar saya yang bekerja sebagai polisi
membantu memanggilkan bidan Yati supaya mau membantu persalinan dan bidan
Yatipun bersedia”.
Keluhan yang banyak dikemukakan berkenaan dengan kesiapan bidan
memberikan pertolongan adalah ketika bidan diminta memberikan pertolongan
pada malam hari. Di antara bidan ada yang enggan datang pada saat itu juga, pada
hal proses kelahiran tidak bisa ditunda. Selain itu ada yang melihat bahwa bidan
dalam memberikan pelayanan kebanyakan juga cenderung tidak proaktif, dalam
arti cenderung menunggu untuk dipanggil baik pada saat melakukan pemeriksaan
kehamilan, pertolongan persalinan maupun pasca persalinanSeorang informan
mengatakan:
 “Biasanya kalau bidan itu tidak mau datang ke rumah penduduk kecuali
terpaksa. Lain dengan dukun, kalau dukun mau untuk datang kerumah penduduk”.
Kedua, di mata sebagian masyarakat bidan dipandang kurang sabar dalam
menunggui ibu yang akan melahirkan. Biasanya bidan memang akan pulang lagi
ke rumahnya setelah melihat kelahirannya diperkirakan masih lama (beberapa jam
lagi). Sehingga kadang-kadang ketika bidan datang untuk yang kedua kalinya bayi
sudah lahir, di bawah pertolongan dukun. Apabila dibandingkan, secara umum
dukun memang cenderung lebih sabar dan telaten. Biasanya dukun akan
menunggui terus sejak ia dipanggil sampai proses kelahirannya.
Ketiga, dilihat dari kemampuan bidan dalam melakukan pemeriksaan
kehamilan dan menolong persalinan, umumnya bidan dipandang cukup mampu
melakukan tugasnya. Dibandingkan dengan dukun, secara umum masyarakat
memandang bahwa bidan lebih pintar dan lebih mampu menangani kehamilan dan
persalinan. Alasan yang dikemukakan antara lain bahwa untuk menjadi bidan
harus sekolah cukup lama, dan peralatan yang dimiliki juga lebih lengkap.
Beberapa informan mengatakan:
 “dukun kan sekolahnya ke bidan, jadi ya lebih pintar dan lebih trampil
bidan, peralatan dukun yang ngasih juga dari bidan”.
Keempat, kebanyakan bidan merupakan pendatang, dalam arti bukan
merupakan penduduk asli setempat. Dengan kondisi semacam ini akan
memberikan pengaruh  kepada pola hubungan sosial bidan dengan penduduk desa
di mana ia ditugaskan. Misalnya ada bidan yang kurang mampu berkomunikasi
secara baik dengan penduduk setempat, khususnya untuk bidan baru yang bukan
berasal dari etnis Madura. Selain itu ada bidan yang tidak bertempat tinggal di
desa tempatnya bertugas. Akibatnya masyarakat mengalami kesulitan bila
sewaktu-waktu membutuhkan pertolongannya.
Kelima, mengenai biaya pemeriksaan dan pertolongan persalinan, secara
umum dipandang cukup mahal. Meskipun tidak secara eksplisit mereka mengaku
keberatan dengan tarif yang dikenakan bila mnta pertolongan bidan, namun

12
umumnya mereka membandingkan dengan rendahnya ongkos persalinan lewat
dukun. Dengan perbedaan besarnya tarif tersebut menjadi salah satu pertimbangan
penting untuk memilih apakah ingin ditolong bidan atau dukun. Seorang informan
di kecamatan Ketapang mengatakan:
“masalah yang utama dihadapi kebanyakan penduduk adalah masalah
biaya. Contohnya, pernah ada seorang penduduk yang kesulitan pada saat akan
melahirkan seharusnya orang tersebut dibawa ke bidan untuk mendapatkan
pertolongan tetapi karena tidak ada biaya maka dia pasrah pergi kedukun.
Menurut saya, bukannya masyarakat anti kepada pelayanan kesehatan modern
(bidan) tetapi karena kondisi ekonomi yang menyebabkan masyarakat enggan
untuk pergi ke bidan”.
G.    PANDANGAN TERHADAP DUKUN
Di kalangan masyarakat Madura, terutama di daerah pedesaan, peran
dukun bayi dalam memberikan pertolongan selama kehamilan, proses persalinan
dan perawatan pasca masih cukup kuat, meskipun kehadiran pelayanan kesehatan
ibu dan anak, khususnya bidan sudah semakin banyak dan menjangkau hingga
daerah terpencil. Meskipun demikian, peran dukun tidak lagi menguasai
sepenuhnya pelayanan kesehatan ibu hamil dan melahirkan. karena itu pandangan
tentang peran dan fungsi dukun di dalam pandangan masyarakat Madura secara
spesifik bisa dipilah dalam beberapa kelompok.
Pertama, di mata sebagian masyarakat, terutama di dusun-dusun terpencil
dan dengan kondisi sosial ekonomi lemah, peran dan fungsi dukun memang masih
dominan memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan melahirkan. Mereka
masih dipercaya masyarakat untuk melakukan pemeriksaan kehamilan (terbukti
masih ada ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya pertama kali ke dukun),
melakukan pemijatan (terutama ketika badan terasa pegal dan membetulkan letak
dan posisi bayi dalam kandungan), memberikan pertolongan dalam persalinan
hingga melakukan perawatan pasca persalinan. Beberapa komentar mereka
mengenai kemampuan dukun dalam menangani persalinan, misalnya:
“dukun kan sudah praktek (istilah mereka untuk mengikuti pelatihan)
sehingga sama dengan bidan, apalagi peralatannya juga sama, kan diberikan oleh
rumah sakit”.
Komentar yang lain:
“dukun sama dengan bidan, karena dukun sekarang juga disekolahkan,
makanya lebih nyaman ke dukun  karena pakai dipijat, sedangkan bidan tidak
pernah memijat”.
Dukun biasanya merupakan dukun turunan, dalam arti keahlian sebagai
dukun diperoleh dari orang tua atau leluhurnya, dan tidak setiap orang, termasuk
keturunan dukun, bisa menjadi dukun. Dengan demikian untuk menjadi dukun
harus ada titisan atau wangsit.  Bahkan ada yang mengkaitkan kemampuan dukun

13
dengan kekuatan supra natural, sehingga kemampuannya untuk memberikan
pertolongan persalinan sudah cukup memadai.
Kedua, kebanyakan masyarakat  melihat pergeseran peran dan fungsi
dukun. Kalau dulu memegang peran utama dalam memberikan pertolongan
persalinan, sekarang menjadi peran pembantu bidan dalam memberikan
pertolongan persalinan. Pemahaman dan kesadaran pergeseran peran dan fungsi
dukun ini ada pada sebagian besar masyarakat. Meskipun demikian umumnya
mereka tidak setuju bila keberadaan dukun dihapuskan, karena peran dukun tidak
bisa digantikan oleh bidan atau dokter. Mereka datang ke bidan adalah untuk
memeriksa kesehatan, mereka menyebutnya dengan asuntik kangguy tamba
dara  (suntik ke bidan untuk kesehatan dan tambah darah), sedangkan ke dukun
adalah  untuk a junjung dan a pelet (mengangkat dan memijat untuk mengatur
posisi bayi).
Ketiga, pemahaman dan kesadaran akan adanya pergeseran peran dan
fungsi dukun pada sebagian masyarakat diikuti dengan tindakan nyata, dalam arti
bahwa mereka sejak awal memang merencanakan untuk memilih bidan baik
dalam pemeriksaan kehamilan maupun pertolongan persalinan. Mereka khawatir
dan takut akan resiko yang terjadi bila melahirkan ke dukun, sehingga beaya tidak
lagi menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan persalinan apakah
bidan atau dukun, yang penting aman baik terhadap ibu maupun bayi. Namun
demikian, mereka tetap masih membutuhkan pertolongan dukun untuk melakukan
pemijatan saat kehamilan maupun perawatan pasca persalinan dan pemberian
jamu-jamu. Jadi bagi mereka dukun juga tetap dibutuhkan.  
Keempat, dari segi kemampuan dan ketrampilan memeriksa kondisi
kesehatan ibu hamil, dukun dipandang masih kurang mampu terutama bila
dibandingkan dengan bidan, karena peralatan yang dimiliki juga tidak selengkap
bidan, misalnya dukun tidak bisa menyuntik dan mengukur tensi  darah. Namun
demikian dengan telah mengikuti pelatihan, kemampuan dukun jauh lebih baik
dibanding dulu. Seorang informan di kecamatan Ketapang menuturkan:
“dukun di sini sudah cukup terampil dalam memberikan pelayanan
terhadap ibu melahirkan.karena dukun selalu dilibatkan atau diajak membantu
oleh bidan pada saat menolong orang yang akan melahirkan. Biasanya dukun
diajak menolong ketika ibu hamil kesulitan dalam melahirkan. Sekarang dukun
sudah bekerja sama dengan bidan dalam menolong orang yang akan melahirkan”.
Kelima, dari segi pelayanan secara umum masyarakat memandang dukun
dalam melayani dan menolong pasien lebih baik dibanding bidan. Misalnya
seorang informan mengatakan:
“Biasanya dukun hanya membantu bidan dalam merawat bayi tapi
pelayanan yang diberikan oleh dukun sangat memuaskan masyarakat sehingga

14
masyarakat cenderung untuk pergi kedukun pada saat persalinan atau
memeriksakan kehamilan”.

BAB III
PENUTUP

Masyarakat Madura adalah masyarakat yang taat beragama (Islam). Nilai-


nilai dan ajaran Islam selalu dipakai sebagai anutan dan tuntunan hidup mereka,
sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa pola kelakuan dan adat yang justru
bertentangan dengan ajaran agama seperti carok dan tindak kriminalitas yang
seolah-olah menjadi satu “ikon kebanggaan” masyarakat Madura (muncul
istilah bajingan).
Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya wawasan pengetahuan
masyarakat ternyata amat berpengaruh terhadap pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi. Untuk perawatan dan pemeriksaan kehamilan umumnya 
menggunakan jasa bidan maupun  dukun. Maksudnya datang ke bidan untuk
memeriksakan kesehatan diri dan bayinya, biasanya mereka minta disuntik
“sehat”, dan oleh bidan juga diberi pil vitamin maupun tambah darah. Sementara
bila datang ke dukun adalah untuk dipijat, untuk menghilangkan pegal-pegal, rasa
sakit dan membetulkan letak bayi, yaitu dengan cara  e pelet (dipijat), serta minta
jamu untuk menambah kesehatan.
Umumnya mereka tidak setuju bila keberadaan dukun dihapuskan, sebab
mereka masih sangat membutuhkan jasanya terutama untuk memijat ibu hamil
dan bayi, serta merawat bayi saat baru lahir hingga usia sekitar 40 hari. Semua
pekerjaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh bidan atau tenaga medis yang lain.
Secara umum, masyarakat memandang keberadaan dukun bayi dan bidan
dibutuhkan masyarakat. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan,
sehingga keberadaan mereka dipandang saling melengkapi.

15
DAFTAR REFRENSI

Ayu Hendrati Rahayu Amd.Keb. 2011. Pengambilan Keputusan Klinik Dalam


Manajemen Kebidanan. http://ahendrati.blogspot.com/. Diakses Pada Tanggal
10 Desember 2013.
Diah MIdyatun, S.ST. 2012. Pengambilan Keputusan Pada Praktek Kebidanan
(Decision Making Proces In Midwifery
Pratice). http://jurnalbidandiah.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 10 Desember
2013.
Dr.joni Iswanto, 2012. Sejarah Pendidikan Bidan. http://www.sumbarsehat.com.
Diakses Pada Tanggal 11 December 2013.
http://psantoso-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-63482-Umum-artikel%20proceeding
%20indonesiamalaysia.html
http://d3kebidanan.blogspot.com/2010/11/kti-kebidanan-persepsi-masyarakat.html

16

Anda mungkin juga menyukai