Anda di halaman 1dari 6

Mawar

“Biasa, Kang ?”
Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban setuju atas tawaran pelayan itu.
Seorang pria muda seumuran adik bungsuku dengan dialek sunda yang khas. Aku terka dia
berasal dari daerah pinggiran sebelah selatan. Aku menghabiskan masa kecilku di sana
sampai menyelesaikan sekolah menengah pertama. Maka wajar jika aku tahu betul dialek
daerah itu.
Aku jadi teringat Mawar. Gadis kecil putri seorang petani bunga yang tak pernah
kutahu nama aslinya. Gadis bermata berlian, liar dan menyala, dengan rambut panjang
sampai pinggang, yang setiap pagi memamerkan senyum manisnya, dengan sekuntum
mawar merah di tangan kanan. Gadis cantik yang akan segera berlari setelah menyerahkan
mawar merahnya kepada Bunda. Dan aku hanya bisa memandanginya dari jendela
kamarku. Waktu itu ……
“Pesanannya, Kang !”
Lembut sekali suara itu, namun cukup untuk sekedar menghentikan lamunan masa
kecilku. Dengan cekatan, perempuan itu meletakkan pesananku di meja. Sepiring nasi
goreng spesial, dan segelas es teh manis, seperti biasanya. Ya, memang menu itulah yang
selalu kupesan setiap kali aku datang ke tempat ini. Dan aku sering sekali datang ke sini,
sekedar untuk melepas penat, lelah atau lapar setelah seharian berkutat di depan komputer.
Pelayan-pelayan itupun seperti sudah hapal betul kebiasaanku. Apalagi, beberapa hari
belakangan, setiap sore aku datang ke sini. Sendirian. Ya, hanya sendirian. Dengan pesanan
yang sama, di tempat yang sama, meja nomor 20, sebuah meja single di sudut ruangan. Aku
sangat menyukai tempat ini. Tersendiri dan agak tersembunyi. Tapi bisa menguasai seluruh
ruangan dengan mataku. Di sini aku bisa membiarkan lamunku melayang sendirian,
sesukanya.
“Ada yang lain, Kang ?”
Sekali lagi aku tergeragap dari lamunanku. Dan masih karena suara sofran perempuan
pelayan itu. Matanya yang indah tampak lincah dan riang. Tersenyum ia menunggu
pesananku.
“Sementara cukup. Jika kurang nanti saya pesan lagi”
Perempuan muda dengan rambut sebahu itupun berlalu setelah terlebih dahulu
tersenyum dan mengangguk ramah. Aku ikuti kepergiannya dengan tatapan mataku yang
sedikit nakal pada bentuk tubuhnya yang lumayan bagus, sedikit berlenggok. Mungkin
Mawar pun sudah sebesar gadis ini sekarang. Tapi entah di mana kini ia berada.
Dulu aku pernah coba bertanya pada Bunda tentang gadis pembawa bunga itu, tapi
selalu saja Bunda mengelakkan pertanyaanku. Dan setiap kali aku mendesaknya, Bunda
selalu berhasil meyakinkanku bahwa beliau pun tak tahu banyak. Bunda hanya tahu ia
adalah anak petani bunga di kaki bukit di sebelah utara desa. Pernah suatu kali aku ngotot
mendesaknya sampai Bunda sedikit kesal. Waktu itu …
Tit…tit…tiiit…tit…tit…tiiit…
Nokiaku berbunyi. Ada pesan masuk. Segera kubuka.
“Bsk dtng ke Siliwangi 2. jam 2 tenk. Ada kerjaan”
“Alhamdulillah, akhirnya …”
Aku bersorak kegirangan. Dalam hati, tentunya. Setelah seminggu tak dapat order,
akhirnya aku bisa melanjutkan hidup. Ya, aku memang menggantungkan hidupku pada
order-order insidental. Aku bukan pegawai negeri sipil rendahan yang kudu ngantor tiap
hari tapi dapet gaji sebulan sekali. Itupun tak seberapa, dan hampir habis karena banyak
potongan. Aku juga bukan pejabat pemerintah yang harga minimum untuk sebuah
tandatangannya sama dengan jatah makanku sekira dua bulan. Aku juga bukan
pengangguran dekil yang biasa nongkrong bergerombol di tikungan jalan, mengagumi dan
kadang menggoda orang yang lewat. Aku hanya tukang potret, yang kebetulan bisa ngotak-
ngatik komputer. Bahkan aku lebih banyak membuang waktu di depan komputer. Sekedar
bermain Championship Manager, Empire Earth, atau Counter Strike. Terkadang aku suka
mencoba merancang dan membangun program aplikasi kecil-kecilan, terutama database,
grafik dan game for childrens, yang bisa aku jual murah kepada instansi atau perusahaan
kecil di kota ini. Sesekali aku dapat order untuk motret di resepsi kawinan atawa khitanan,
atau juga di sebuah pagelaran, konser, dan acara-acara resmi instansi pemerintah. Sejauh
ini, klienku selalu puas dengan kerjaku yang selalu on time dan hasilnya bagus. Padahal
semua ini hanya berawal dari hobi. Aku tak pernah sekolah fotografi atau sekedar kursus
sekalipun. Sebuah otodidak yang diasah dengan bantuan Kang Jajang, partnerku di
lapangan bola. Dia jebolan Photografi IKJ. Dialah guruku sekaligus sahabatku. Dua tahun
yang lalu dia hijrah ke ibukota untuk sebuah pekerjaan besar.
”Aku akan mencumbu ibukota. Kau setubuhilah kota ini !”, katanya sebelum
berangkat waktu itu ”Jangan biarkan hobimu mati tanpa memberi arti !”
Aku berjanji pada padanya waktu itu, bahwa hobiku tidak akan sia-sia. Ia akan
membantuku menjalani hidup. Dan sekarang aku sudah mencoba sedikit demi sedikit
membuktikannya.
Besok, sebuah event organizer di Siliwangi 2, yang dikomandoi seorang perempuan
muda energik dengan sorot mata tajam, kutaksir umurnya lebih muda dariku, akan
memberiku pekerjaan. Apa lagi kalau bukan nyuruh motret di kegiatan mereka. Memang,
selama ini dari merekalah aku sering mendapatkan order. Sebuah EO terbesar di kota ini.
Selalu menyelenggarakan acara besar, seperti konser dan festival musik, peragaan busana,
pameran, seminar, dan lain sebagainya. Dan aku selalu kecipratan rejeki dengan menjadi
tukang potretnya. Padahal semua ini berawal dari ketidaksengajaan, ketika aku mendapat
tugas untuk mengabadikan kegiatan reuni SMA lewat jepretan kameraku. Waktu itu …
“Maaf, Kang. Ada yang nitip ini buat Akang.”
Lagi, suara lembut perempuan rambut sebahu, memaksaku berhenti dari lamun.
Perempuan muda pelayan kedai jajanan yang biasa dipanggil teman-temannya dengan
sebutan Nilem itu memberikan secarik kertas terlipat, dan segera ngeloyor pergi setelah
lipatan kertas itu berada di tanganku.
Aku edarkan mataku menjelajahi setiap sudut ruangan kedai jajanan ini, mencoba
mencari wajah-wajah yang mungkin aku kenal sebagai teman, sahabat, saudara atau musuh
sekalipun. Nihil. Tak ada wajah yang kukenal yang mungkin pemilik kertas ini. Maka aku
putuskan untuk membuka dan membacanya saja.

Semoga Kakak belum lupa pada saya, gadis kecil


pembawa bunga mawar. Sudah seminggu, hampir setiap
sore saya selalu memperhatikan Kakak duduk termenung
di meja ini.

Dulu Kakak memanggil saya,


MAWAR
Tak percaya aku membaca tulisan di kertas ini. Kubaca lagi. Lagi. Lagi. Berulang-
ulang. Kuedarkan pandangku berkeliling. Mencari. Berkali mataku menyapu ruangan, tak
jua kutemukan sosok yang kukenal. Yang kuingat darinya hanya sorot matanya yang liar
dan tajam. Menyala. Tak pernah kutemukan kesan kesedihan atau rona gelisah di mata itu.
Hanya ada semangat. Hanya ada keceriaan.
Kucoba lagi mengitari ruangan lewat tatapku. Tapi yang dicari masih ghaib. Akhirnya
aku menyerah.
“Mungkin ini kerjaan iseng teman-temanku”, pikirku dalam hati. “Tapi siapa ?
Rasanya aku tak pernah bercerita tentang Mawar kepada siapapun”
“Dik, sebentar … “, Nilem yang kebetulan lewat di mejaku, kutahan, ”yang nitip
kertas tadi siapa ?”
“Gak tau, Kang“, jawabnya ramah. Tenang sekali.
“Orangnya duduk di meja mana ?”
“Gak tau, Kang”, masih dengan keramahan yang sangat. Seulas senyum tersimpul di
bibirnya yang tipis. Dia masih berdiri di samping mejaku sambil mendekap nampan di
dadanya. Tenang sekali. “anak ini …”, kataku dalam hati.
“Terus, kamu dapet kertas ini …”
“Waktu itu … emh..”
“Bunda yang titip itu, Sayang !”
“Lho, Bunda ? Kok ada di sini ?! Kapan datang”,
Aku terlonjak dari tempat dudukku. Kaget bukan kepalang. Betapa tidak ? Tanpa
kabar berita, tiba-tiba bunda datang mengunjungiku. Di tempat seperti ini pula. Tapi
sungguh aku sangat bahagia. Segera kusambut bunda. Kuraih tangannya, dan kucium. Jujur
saja belakangan ini rinduku pada Bunda semakin menggunung dan tak tertahankan. Bahkan
aku berencana, bulan depan akan pulang. Sudah terlalu lama. Sejak Paman membawaku
untuk melanjutkan studi di SMA favorit di kota ini, sampai aku selesai kuliah, dan bekerja
serabutan seperti sekarang ini, baru tiga kali aku pulang kampung, menjenguk Bunda di
rumah dan berziarah ke pusara Yanda. Terakhir kali, waktu lebaran idul fitri tiga tahun lalu.
“Sudah seminggu Bunda di sini. Pamanmu bilang, kamu sedang belajar mandiri,
sampai-sampai tak kasih alamat kost, katanya”
Kubimbing Bunda duduk di mejaku, dan aku ambil kursi lain, lalu duduk di depan
bunda.
“Bunda tau kamu suka ke tempat ini dari Ranti”
“Ranti ?”
“Ya, Kak, dari saya, Ranti.”
“B..Bu.. Bu Ranti ?”
Bu Ranti, pimpinan Siliwangi Enterprise, yang selalu memberiku order motret, tiba-
tiba telah berdiri di sampingku. Perempuan muda yang jadi Bos-ku, yang selalu membuat
hatiku berdebar setiap bersitatap dengan mata tajamnya. Perempuan muda yang secara
sembunyi-sembunyi sering kuambil gambarnya melalui Nikon-ku, dan kupajang memenuhi
dinding kamar. Bahkan seperempat hardisku, dipenuhi gambarnya dengan berbagai pose.
Semua dalam pose yang sopan dan wajar. Aku paling suka potonya yang kuambil saat reuni
SMA dulu, yang temanya back to SMA. Bu ranti tampak cantik sekali dengan rok abu-abu
itu. Di usianya yang 23 ia masih nampak pantas mengenakannya.
“Ya, Sayang. Dia Ranti. Putri tunggal petani bunga di kaki bukit di utara desa kita itu.
Bapaknya adalah sahabat baik Yandamu almarhum…”
“Mawar … ?”
Debaran di hatiku semakin bertambah kencang. Ternyata dia adalah Mawar yang
selalu mewarnai imajiku. Kaget, senang, bahagia, haru, dan tak percaya, menjadi satu,
membuat jantungku semakin keras berdegup.
“Betul, Kak. Dulu Kakak selalu memanggil saya Mawar”
Pernah suatu kali, ia mengantarkan mawar merah ketika Bunda sedang tak di rumah.
Aku yang membukakan pintu dan bermaksud mengambil mawar itu, sambil sekalian mau
menanyakan namanya. Waktu itu aku sudah kelas 2 SMP. Tapi, dia keburu lari setelah
menyerahkan bunganya. Aku mencoba mengejarnya, sambil memanggilnya. “Mawar …
tunggu ! Mawar ! Mawar, tunggu !”. Dia terus saja berlari. Tak menghiraukan panggilanku.
Sejak itu, dia tak pernah lagi datang mengantarkan mawar merah ke rumahku. Tugasnya
diambil alih adik sepupunya.
“Dia calon isterimu.”
“Apa ?” hampir loncat kedua mataku saking kagetnya. Tak percaya aku pada
pendengaran sendiri. Bunda hanya tersenyum. Sementara, kulihat Ranti hanya menunduk.
Malu.
“Sejak kalian masih kecil, Yandamu almarhum dan Bapaknya Ranti telah sepakat
untuk menyatukan kalian”
“Jadi, waktu itu … “
“Bunda sengaja tak memberitahumu tentang Ranti dan perjodohan kalian. Bunda
ingin kalian dipersatukan oleh hati kalian sendiri. Bunda juga tahu, waktu itu, setiap pagi
kamu selalu berdiri di jendela kamarmu, sekedar untuk memandangi senyum manisnya
Ranti”, Bunda tersenyum menggodaku.
“Lalu Ranti … “
“Saya tahu Kakak, ketika reuni itu. Waktu itu, Kakak beberapa kali memotret saya
secara sembunyi-sembunyi. Tapi di album reuni, tak ada satu pun potret saya sebagai fokus.
Sejak itu, saya selalu memperhatikan Kakak”, Ranti tertunduk. Wajahnya yang cantik
merona merah. Aku masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Aku belum faham.
Semuanya terlalu mendadak.
“Lalu … “
“Ranti telah setuju dengan perjodohan itu. Dan Bunda yakin Kau pun demikian.”
“Lalu … “
“Dari tadi kamu cuma lalu lalu melulu.”
“Terus……”
“Terus Bunda ingin segera menimang cucu”
“Maksud Bunda ? “
“Iya, kalian akan segera menikah !”
Aku dan Ranti alias Mawar hanya saling pandang. Mata berlian itu pun menghunjam
dalam ke sanubariku. Kami sama tersenyum bahagia. Tangan kami bertautan. Seperti waktu
itu …
“Sudah malam. Saatnya pulang.”
“Ah, Bunda … “

Anda mungkin juga menyukai