Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

Tokoh Masyarakat yang Mencerminkan Nilai Pancasila

DISUSUN OLEH:

Sarah Afifah (201111062)

Dosen Pembimbing : Redi Yamanto, S.Pd., M.Pd

Program Studi D3 – Teknik Konstruksi Gedung

Jurusan Teknik Sipil

Politeknik Negeri Bandung


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Pendidikan Pancasila.
Makalah ini ditujukan kepada Bapak Redi Yamanto, S.Pd., M.Pd. sebagai
Dosen Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. Makalah ini membahas tentang Tokoh
Masyarakat yang mencerminkan pancasila.
Pada kesempatan ini saya selaku mahasiswa menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Bapak Redi Yamanto, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca untuk perbaikan penulisan dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.

Purwakarta, 05 Januari
2020

Sarah Afifah

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................1
1.2 Tujuan Makalah...............................................................................1
BAB II ISI...........................................................................................................2
2.1 Biografi Mohammad Natsir ............................................................2
2.1.1 Mengenal Mohammad Natsir................................................2
2.1.2 Tahun-tahun Awal Kemerdekaan Republik
Indonesia...............................................................................3
2.1.3 Penyelewengan Undang-undan dan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia.........................................6
2.1.4 Mencermati Kedudukan M. Natsir dalam PRRI...................8
2.2 Kontribusi M. Natsir dalam Mencerminkan Pancasila..................10
BAB III PENUTUP...........................................................................................11
3.1 Kesimpulan....................................................................................11
3.2 Saran..............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian sebagai
hasil pemikiran/perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara (the
founding fathers) ketika berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan
dasar negara untuk di atasnya didirikan negara Republik Indonesia.
Sebagai sistem filsafat Pancasila memiliki ciri khas yang berbeda dengan
sistem-sistem filsafat lain yang ada di dunia, Kekhasan nilai filsafat yang
terkandung dalam Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia,
terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapa itu Mohammad Natsir?
2. Bagaimana Kedudukan Mohammad Natsir dalam Pemerintahan Indonesia?
3. Apa kontribusi Mohammad Natsir dalam mencerminkan Pancasila?
1.3 Tujuan Makalah
1. Mengetahui siapa lebih dalam mengenai Mohammad Natsir
2. Mengetahui Kedudukan Mohammad Natsir dalam Pemerintahan Indonesia
3. Mengetahui Kontribusi Mohammad Natsir dalam mencerminkan Pancasila

1
BAB II
ISI
2.1 Biografi Mohammad Natsir
2.1.1 Mengenal Mohammad Natsir

Mohammad Natsir adalah tokoh intelektual, pejuang, ulama, sekaligus negarawan yang
pernah dimiliki Indonesia. Dalam dunia politik, ia juga merupakan tokoh terpandang dan
dipercaya untuk memimpin Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1945
hingga titik pembubarannya pada 1960. Natsir dilahirkan di Kampung Jam batan, Alahan
Panjang, Padang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908. Ia merupakan putra dari pasangan
Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah.Pada masa kecilnya, Natsir mengenyam
pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun. Dia kemudian melanjutkan ke
Hollandsch- Inlandsche School (HIS) Adabiyyah di Padang. Ketika menimba ilmu di HIS,
pada waktu yang sama, ia juga belajar ilmu agama di Madrasah Diniah Solok pada 1916
hingga 1923.

Natsir memang ikut dalam dunia pergerakan nasional. Seperti di kutip dari Muhammad
Natsir dan Pemikirannya Tentang Demokrasi dan diterbit kan Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga disebutkan bahwa sepak terjang Natsir dalam dunia pergerakan dimulai
ketika dia meneruskan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).Ketika di
MULO Natsir mulai aktif dalam perhimpunan atau organisasi pemuda. Di antaranya, Jong
Isalamieten Bond (JIS) dan Pandu Nationale Islamietische. Dia pernah dipercaya untuk
menjadi ketua JIS Bandung pada 1928 hingga 1932.M Dzulfikriddin dalam bukunya
Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia menyebut bahwa Natsir telah
mencurahkan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai pendidikan, dakwah Islam,
hingga politik.

Dalam dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung,
Jawa Barat. Pendis merupakan sebuah pendidikan Islam modern bercorak agama. Di Pendis,
Natsir menjadi direktur selama 10 tahun terhitung sejak 1932. Dalam dunia politik, Natsir
dikenal sebagai tokoh yang menghendaki Islam sebagai landasan atau ideologi negara.
Dalam sebuah jurnal berjudul Pandangan Mohammad Natsir Mengenai Islam Sebagai
Ideologi Negara yang dipublikasikan Univer sitas Sumatra Utara (USU), disinggung
mengenai hal ini.

Natsir berpendapat, agama harus dijadikan fondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama,
dalam konteks ini Islam, bukan semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk
dengan Tuhan yang Maha Esa. Islam lebih dari sebuah sistem peribadahan. Ia adalah suatu
kebudayaan atau peradaban yang lengkap dan sempurna. Dalam hal ini, Islam, menurut
Natsir, dapat terejawantahkan dalam setiap lini kehidupan, mulai kehidupan masyarakat,
ketatanegaraan, pemerintah, hingga perundang-undangan. Kendati demikian, Islam tetap
mengizinkan setiap orang untuk menyatakan pandangan atau pendiriannya dalam
musyawarah bersama. Seperti Allah SWT berfirman, Dan hendaklah urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah.

2
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat Islam.
Dengan dasar pemikiran bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap
waktu dan zaman.Menurut jurnal yang diterbitkan USU, Natsir dinilai telah melampaui
pemikiran Maududi atau Ibnu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad
SAW dan empat khalifah setelahnya sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan
negara Islam. Kendati menginginkan hadirnya unsur Islam dalam tata pemerintahan, Natsir
memang menghendaki model pemerintahan demokratis. Dalam hal ini, Natsir tetap
menghendaki model pemerintahan yang demokratis, yang tetap mengedepankan atau
memprioritaskan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Tanpa
membedakan agama, ras, dan suku bangsa.

Muhammad Natsir menekankan persatuan agama dan negara dalam pemerintahan. Sebab, ia
memang menyepakati dan menyatakan bahwa demokrasi itu sesuai dengan ajaran Islam.
Bahkan, Bruce Lawrence, seorang pakar studi Islam pernah menjuluki Natsir sebagai tokoh
paling menonjol dalam membantu pembaruan Islam. Semasa hidupnya, Natsir telah
menerima berbagai penghargaan berkat jasanya. Pada 1957, misalnya, ia menerima bintang
Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey, karena jasanya menolong
perjuangan kemer dekaan rakyat Afrika Utara.

Pada 1980, Natsir juga dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi
lewat Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Ia memperoleh gelar doktor kehormatan dalam bidang
politik Islam dari Kampus Islam Lebanon pada 1967. Ia juga memperoleh gelar kehormatan
untuk bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Masih terdapat beberapa
penghargaan lainnya yang diberikan kepada Mohammad Natsir. Natsir wafat pada 6
Februari 1993. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, Natsir kembali diberi penghargaan
lainnya, yakni penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.

2.1.2 Tahun-tahun Awal Kemerdekaan Republik Indonesia

Kemerdekaan dan kedaulatan adalah sesuatu yang harus terus diperjuangkan dan
dipertahankan dalam keadaan bagaimanapun juga. Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang
dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur II tidak secara otomatis
bermakna kedaulatan penuh atas diri, tanah, udara, juga kebangsaan Indonesia telah diraih.
Selepas proklamasi itu, bangsa Indonesia justru memasuki babak baru dengan ujian yang
baru, yakni memerintah diri sendiri, mengatur urusan bangsa secara berdikari, menjaga
kedaulatan dan amanah rakyat, juga mempertahankan kemerdekaan dari serangan-serangan
Belanda.

Pada masa revolusi, keadaan bangsa Indonesia yang amat beragam ditambahi dengan
kondisi karut-marut perang, pemberontakan, dan gejolak sosial. Lebih dari sepuluh tahun,
keadaan ekonomi tak kunjung membaik. Inflasi melonjak tinggi hingga 65%. Kemiskinan
menerjang semua daerah. Banyak perkebunan dan instalasi industri yang rusak berat.

3
Jumlah penduduk juga meningkat sangat tajam, tetapi produksi pangan, khususnya beras,
menurun sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan. Di sisi lain, negara membangun
proyek-proyek mercusuar dan banyak menantang perang, di antaranya perebutan Irian Barat
dan konfrontasi dengan Malaysia. Pada akhirnya, pengorbanan terbesar kembali ditumpukan
kepada rakyat. Rupanya, proklamasi tidak serta merta membawa bangsa Indonesia kepada
kesejahteraan dan kemakmuran. Masih banyak yang perlu diperjuangkan untuk
mencapainya.

Lepas dari rentetan peperangan dan diplomasi di sepuluh tahun pertama kemerdekaan,
pergolakan sosial di berbagai daerah justru meningkat. Dalam keadaan ekonomi yang berat
itu, pembangunan dan kesejahteraan daerah hampir tak terurus. Dana dari pemerintah pusat
sulit diharapkan. Daerah-daerah yang memberikan sumbangan bagi devisa negara seperti
Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan tidak
memperoleh pembiayaan yang berimbang. Hampir seluruhnya masuk kas pemerintah pusat.
Otonomi daerah pun tak ada. Keadaan wilayah lain di luar empat daerah di atas tentu lebih
sulit. Kegoncangan tak terhindarkan. Akhirnya, segala cara terpaksa ditempuh untuk
memenuhi kebutuhan hidup karena pemerintah dianggap kurang tanggap pada persoalan ini.

Pada tahun 1956, dipelopori oleh para tentara, pergolakan di daerah-daerah semakin
meningkat. Di Minahasa, Makasar, Sumatera Utara, bahkan Jakarta, terjadi penyelundupan
barang ekspor secara besar-besaran yang bermotif politik dan dilindungi kekuatan militer
setempat. Alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan akan kesejahteraan bagi pegawai
pemerintah daerah, pembangunan daerah serta para prajurit. Kala itu, Ahmad Husein selaku
Ketua Dewan Banteng mengambil alih pemerintahan sipil di Sumatera Tengah. Dua hari
kemudian, Kolonel Maludin Simbolon selaku Panglima Tentara dan Terotorium I yang
berkedudukan di Medan, mengambil alih pemerintahan sipil di Sumatera Utara, sekaligus
menyatakan keadaan darurat perang di wilayahnya, dan untuk sementera waktu, melepaskan
hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Aksi ini diwadahi oleh Dewan Gajah yang
terbentuk beberapa bulan sebelumnya. Kemudian, disusul pembentukan Dewan Garuda di
Sumatera Selatan pada Januari 1957. Maka, pada tahun 1957 itu, hampir seluruh Sumatera
telah dipegang oleh tentara dan lepas hubungan dari pemerintah pusat.

Pergolakan juga terjadi di Sulawesi dan Kalimantan. Di Sulawesi, Letkol H.N.V. Sumual
selaku Panglima Tentara dan Terotorium VII Indonesia Timur membentuk Dewan Manguni.
Lalu, pada 2 Maret 1957, diumumkanlah Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di
Makasar bersamaan dengan pernyataan bahwa seluruh wilayah Indonesia Timur dalam
keadaan bahaya perang. Di tengah kemelut yang demikian, pada 21 Februari 1957, Presiden
Soekarno menyampaikan pidato konsepsinya yang disiarkan langsung oleh RRI ke seluruh
Indonesia. Bukan meredakan keadaan, pidato ini justru menambah ketegangan politik
negara. Pro dan kontra, di tengah masyarakat, tak terhindarkan. Masyumi dan Partai
Katholik secara jelas menolak konsepsi ini. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI menolaknya
samar-samar. PNI dan PKI menjadi partai yang paling gigih mendukung konsepsi ini. Yang
paling disayangkan dari keadaan-keadaan di atas adalah sikap pemerintah, lebih jelasnya
Presiden Soekarno, yang telah bulat dan yakin bahwa satu-satunya solusi atas seluruh
4
persoalan bangsa adalah konsepsinya mengenai Demokrasi Terpimpin. Tak ada yang lain.
Mohammad Natsir Sang Pendamai

Dalam riwayat kehidupan M. Natsir, dapat dicermati mengenai pengabdian, kedisiplinan,


serta perwujudan cintanya dalam membina negara dan bangsa Indonesia. Tak kenal rezim,
tak takut pada penguasa. M. Natsir berperan di banyak persoalan bangsa, baik di daerah,
tingkat nasional hingga dunia internasional. Tata pergaulan politiknya pun dikenal tanpa
kekerasan. M. Natsir adalah seorang negarawan yang memiliki kepribadian dan sikap yang
dapat menyatukan semua elemen bangsa. Ia boleh dikatakan pemimpin bagi umat Islam di
Indonesia. Jasanya pun amat penting bagi keberlangsungan negeri.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, sebagai Menteri Penerangan RI, Mohammad


Natsir datang ke Bukit Tinggi untuk mengatasi “Peristiwa 3 Maret 1947” di sana. Peristiwa
3 Maret itu merupakan pergolakan dari golongan yang tidak puas dan merasa bahwa
revolusi di Sumatera Barat terlalu lamban. Perseteruan terjadi antara beberapa anak TNI
dengan beberapa anak dari Hizbullah. Tetapi, timbul tuduhan bahwa yang memberontak itu
ialah Masyumi. Kala itu, Natsir datang untuk menyelidiki dan menyelesaikan dengan
memberikan pengarahan dalam kapasitasnya sebegai menteri. Sepulangnya ke Jakarta,
perkara itu dilanjutkan ke sidang pengadilan negeri di Bukit Tinggi dan dapat diselesaikan
dengan baik beberapa waktu kemudian.

Lalu, saat Belanda masih berusaha untuk kembali menguasai Indonesia, terjadi tarik menarik
yang amat kuat dalam proses diplomasi dan pengakuan kedulatan RI. Gagasan van Mook
dan terbentuknya BFO (Byzonder Federal Overleg) menjadi jalan diresmikannya Republik
Indonesia Serikat (RIS) di Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949.
Tanggal ini pun sampai sekarang masih menjadi tanggal resmi Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ketika itu, Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945 hanya menjadi salah satu negara bagian RIS dengan Yogyakarta sebagai
ibukotanya. Selainnya, ada Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur,
Negara Madura, dan Negara Sumatera Timur ditambah sembilan daerah otonom lain.Bentuk
negara federal bukanlah aspirasi dan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Akibatnya,
banyak tuntutan dan demonstrasi di daerah agar RIS dibubarkan dan kembali kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Integrasi Indonesia kala itu di ujung tanduk, di antara satu
negara bagian dengan negara bagian yang lain saling tak percaya sampai bermusuhan.
Negara di ambang perang saudara.

Keadaan ini amat mengkhawatirkan M. Natsir. Setelah melalui lobi-lobi panjang ke daerah-
daerah, M. Natsir, ketika itu, hadir memberi jawaban atas kegelisahan rakyat Indonesia
melalui pidatonya di parlemen pada 3 April 1950. Pidato itu yang dikenal dengan "Mosi
Integral Natsir". Demi menghindari perang antarnegara bagian yang bisa memakan korban
rakyat yang lebih banyak, M. Natsir yang saat itu sebagai Ketua Fraksi Masyumi
mengajukan gagasan, semua negara bagian untuk sama-sama mendirikan negara kesatuan
melalui prosedur parlementer. Pada akhirnya, NegaraKesatuan Republik Indonesia pun
resmi lahir kembali pada 17 Agustus 1950.

5
Tiga tahun berselang, pada tahun 1953, M. Natsir berhasil melunakkan hati tokoh Aceh,
Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara. Tuntutan Aceh untuk
menjadi provinsi tersendiri masih belum bisa dipenuhi oleh pemerintah pusat. Ketimbang
Pemerintah harus melakukan tindakan kekerasan di Aceh, melalui radio, M. Natsir
menyatakan pemerintah akan mengajukan rancangan undang-undang tentang otonomi Aceh
kepada parlemen. Meskipun masa tenang di Aceh tak berlangsung lama, sikap pribadi yang
tidak sampai hati untuk berperang dengan saudara sendiri ini dapat mengulur konflik di
Aceh ini.

Masih berkenaan dengan DI/TII, pada tahun 1949, M. Natsir yang ditunjuk oleh Perdana
Menteri M. Hatta sempat mengirim surat kepada Kartosoewirjo yang berisi ajakan damai.
Meski Kartosoewirjo memilih tidak menyurutkan langkahnya, ia tetap menuliskan balasan
yang isinya penolakan dengan penuh hormat. Di dalam surat, Kartosoewirjo mengatakan,
surat Natsir datang terlambat dan ia tak bisa menelan ludah yang telah dimuntahkannya.
Usaha M. Natsir melunakkan hati Kartosoewirjo terus dilakukan pada masa-masa
berikutnya. Hubungan di antara mereka terus terjalin. Bahkan, wasiat terakhir Kartosoewirjo
kepada pengikutnya berbunyi, “Jika aku mati, kalian ikut Natsir.

Tak hanya sampai di sana. Sewaktu di dalam rumah tahanan di Madiun, M. Natsir masih
juga ikut membantu pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Melalui hubungan
baiknya, Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul
Rahman, guna mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia. Surat itu diberikan kepada
sekretaris pribadi Tengku Abdul Rahman yang secara spontan dibalas dengan undangan
untuk hadir ke tempatnya. Begitu pun perihal kedudukannya di PRRI dan kritik kerasnya
terhadap isi dan implementasi Konsepsi Soekarno. Hal itu dilakukan demi menjaga
kedamaian dan penegakkan hukum. Negara harus diselenggarakan sesuai konstitusi RI.
Gejolak sosial di berbagai daerah yang kian waktu kian berpotensi memecah belah bangsa
harus segera diredam.

2.1.3 Penyelewengan Undang-undang dan Pemerintah


Revolusioner Republik Indonesia

Setidaknya ada dua peristiwa yang dilakukan Presiden Soekarno yang dianggap
bertentangan dengan hukum ketataengaraan oleh M. Natsir. Pertama, akibat adanya
Konsepsi Soekarno, Kabinet Ali II mengembalikan mandatnya pada 14 Maret 1957. Pada
waktu penyerahan mandat, sejumlah pimpinan militer mendesak Presiden Soekarno agar
menekan Ali untuk menandatangani dan mengumumkan negara dalam keadaan bahaya
(SOB). M. Natsir mempertanyakan sah-tidaknya SOB yang ditandatangani perdana menteri
demisioner dan dalam keadaan ibukota aman tentram. Kedua, kecaman M. Natsir akan
proses pembentukan Kabinet Karya yang dianggap melanggar Undang Undang Dasar. Pada
4 April 1957, Soekarno sebagai presiden menunjuk dirinya sendiri untuk membentuk Zaken
Kabinet Ekstra Parlementer dan Dewan Nasional sesuai dengan konsepsinya itu. Presiden
6
Soekarno selaku Panglima Penguasa Perang Tertinggi dalam keadaan negara yang
dinyatakan SOB akan menunjuk anggota kabinet dan dewan nasional yang tidak boleh
ditolak. Saai itu, ia menunjuk Ir. Djuanda sebagai perdana menteri. Keadaan demikian itu
dianggap sewenang-wenang serta menuai banyak kritik dari tokoh-tokoh nasional dan tidak
disukai panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi, saat itu, partai pendukung
Soekarno hanya PNI dan PKI. Kedekatan Soekarno dengan PKI ini, oleh banyak pihak,
khususnya militer, dikhawatirkan dimanfaatkan oleh PKI untuk mengambil alih kekuasaan.
Hal itu ditambah lagi dengan gagasan Nasakom yang amat ditentang oleh Masyumi dan
umat Islam pada umumnya.

Pada kenyataannya, rencana pengambilalihan kekuasaan oleh PKI memang ada, sempat
terlaksana tetapi akhirnya gagal. Dalam kondisi seperti itu, beberapa tokoh bangsa seperti
Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, Sjafrudin Prawiranegara, termasuk Soemitro
Djojohadikoesoemo beranjak ke Sumatera. Mereka tak hanya bermaksud pergi dan
menyelamatkan diri. Mereka bergabung dengan para pemimpin militer daerah untuk
menentang dan melawan pemerintah pusat yang melanggar undang-undang dan merugikan
bangsa serta negara.

PRRI mendirikan sebuah Dewan Perjuangan yang dipimpin Letkol Ahmad Husein dan
menyampaikan ultimatum kepada pemerintah pusat pada 10 Februari 1958. Dewan Banteng
melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan Piagam Jakarta yang berisi sejumlah tuntutan
yang ditujukan pada Soekarno agar kembali kepada kedudukan yang konstitusional dan
menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan
kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan. Tuntutan lainnya, Kabinet Juanda, kabinet
pemerintahan Soekarno, harus diserahkan ke Kabinet Hatta dan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, serta meminta Soekarno menjauhi PKI.

PRRI mengultimatum, apabila dalam tempo lima kali 24 jam tuntutan tak dipenuhi presiden,
maka Dewan Perjuangan menyatakan bebas dari kewajiban taat kepada Ir. Soekarno sebagai
kepala negara dan segala akibat dari tidak dipenuhinya semua tuntutan di atas menjadi
tanggung jawab dari mereka yang tak mematuhinya terutama Presiden Soekarno.

Saat itu, Soekarno yang sedang berada di Tokyo menolak tuntutan PRRI. Mendapat
penolakan Soekarno, PRRI membalas dengan mengumumkan pendirian pemerintahan
tandingan lengkap dengan kabinetnya. Kabinet yang diumumkan pada tanggal 15 Februari
1958 itu terdiri dari Sjafruddin sebagai Perdana Menteri dan Menteri Keuangan, M.
Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan
dan menteri kehakiman, dan Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Mentri
Perhubungan/Pelayaran.

Jika dibandingkan, masa pergerakan DI/TII lebih lama ketimbang PRRI/Permesta. Akan
tetapi, Soekarno menganggap pemberontakan DI/TII tidak lebih berbahaya ketimbang
PRRI/Permesta. Seluruh operasi militer yang diutus untuk membereskan “pemberontakan”
di Sumatera dan Sulawesi ini, oleh Soekarno, disebut sebagai Pancasila Crusade. Padahal,
berlainan dengan DI/TII, PRRI/Permesta merupakan suatu gerakan penyelamatan negara
dari kesewenang-wenangan pemerintah pusat. Sejarawan Taufik Abdullah menyebut masa
ini sebagai “Dasawarsa ideologi yang ditandai dengan kemunculan PRRI/Permesta sebagai
7
antitesa dari tekanan situasi politik yang mengerucut.”

Herman Nicholas Ventje Sumual mengatakan, gejolak dan protes daerah terhadap
pemerintah pusat saat itu sebenarnya refleksi dari keinginan rakyat di daerah-daerah untuk
membangun daerahnya. Rakyat di daerah-daerah melihat pembangunan tidak semakin maju
tapi malah mundur. Secara khusus, Piagam Rencana Pembangunan Semesta (Permesta)
merupakan wujud rencana pembangunan dari daerah yang telah mendeklarasikan sejumlah
dewan. Ancaman dan gejolak dari daerah yang menganggap pemerintah pusat abai terhadap
pembangunan di daerah ini, oleh para pemimpin militer di daerah, diatasi dengan mengambil
alih keadaan. Langkah PRRI dianggap sebagai sesuatu yang melanggar konstitusi. Padahal,
menurut Sumual, “Kalau dilihatnya dari kacamata undang-undang darurat yang berlaku
sekarang (2008), tindakan kami saat itu melanggar. Tetapi, saat itu, yang berlaku adalah
undang-undang darurat buatan Belanda.”

PRRI/Permesta, oleh pemerintah, ditanggapi dengan keras. Presiden Soekarno mengatakan,


“Untuk menghadapi penyelewengan itu dengan tegas dan dengan segala kekuatan yang
ada.” Kehendak ini pun didukung oleh PM Djuanda, KSAD A.H. Nasution, serta sebagian
besar tokoh PNI dan PKI. Setelah itu, dibentuklah Angkatan Perang Republik Indonesia
yang menyiapkan lima operasi gabungan untuk seluruh wilayah Indonesia.

Pada akhir September 1958, PRRI-Permesta dapat dilumpuhkan secara militer, tetapi secara
politik, masih terus melakukan perlawanan. Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres
Nomor 449/1961 tentang pemberian amnesti umum kepada semua orang yang terlibat dalam
PRRI/Permesta untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum 5 Oktober 1961. Selain Dr.
Soemitro, seluruh tokoh yang terlibat dengan PRRI/Permesta menyerahkan diri. Namun,
amat disayangkan, selepas kembali ke ibukota, para tokoh ini ditangkapi dan dipenjara. M.
Natsir sendiri pada akhirnya masuk rumah tahanan militer dari 1962--1966 bersama dengan
Sjafroedin Prawiranegara dan Burhanudin Harahap.

2.1.4 Mencermati Kedudukan M. Natsir dalam PRRI

PRRI yang pada awalnya dimaksudkan sebagai gerakan moral untuk menekan Soekarno
agar kembali kepada konstitusi, ternyata berkembang menjadi gerakan militer dan kemudian
dinilai sebagai pemberontakan hingga seluruh tokoh yang terlibat di sana diberi cap
pembangkang. Karena itu, M. Natsir, sosok yang sebetulnya berjasa banyak bagi NKRI ini
baru dinyatakan sebagai pahlawan nasional dan diberi penghargaan Bintang Republik
Indonesia Adipradana setelah 63 tahun proklamasi kemerdekaan dan 15 tahun wafatnya,
tepatnya pada 10 November 2008. Bukan berarti gelar pahlawan dan pengakuan itu selalu
penting bagi pribadi sang tokoh. Gelar pahlawan yang lambat diiberikan ini justru perlu
dimaknai sebagai kadar kesadaran dan kesyukuran bangsa Indonesia akan sejarah bangsanya
sendiri serta alam merdeka yang telah bebas dinikmati.

Dalam keadaan politik yang makin tegang pascapidato konsepsi Soekarno itu, bila saja M.
Natsir dan tokoh bangsa lainnya tidak ke Sumatera, menjumpai dan melakukan rapat-rapat
dengan tokoh-tokoh militer dan PRRI, boleh jadi pergolakan yang terjadi di daerah tidak
dapat dibendung dan menumpahkan korban lebih banyak, hingga merugikan negara lebih
besar lagi. Walau bagaimanapun, perlu diakui bahwa M. Natsir adalah sosok kharismatik
8
yang dipercaya oleh berbagai kalangan rakyat Indonesia.

Langkah politik M. Natsir adalah langkah cerdas yang dimaksudkan untuk mengatasi dua
keadaan genting sekaligus. Pertama, peredaman gejolak rakyat di daerah yang semakin kuat
dan mengarah kepada disintegrasi akibat penanganan yang tak efektif dari pemerintah pusat.
Hal ini tentu membangun kesadaran masyarakat mengenai situasi dan kondisi bangsa dan
negaranya saat itu. Kedua, mengarahkan keadaan tersebut menjadi suatu aksi yang bertujuan
memperingatkan pemerintah pusat yang telah menyeleweng agar kembali mematuhi
ketatanegaraan dan perundang-undangan yang berlaku. Gerakan ini, pada akhirnya,
menunjukkan kepada bangsa Indonesia dulu dan kini bahwa negara ini harus diurus dengan
benar. Rakyat perlu dibela dan dibebaskan dari pemimpin yang berbuat sekehendaknya. Hal
itu adalah cita-cita kemerdekaan bangsa ini yang digenggam kuat oleh M. Natsir. Untuk
melakukan hal itu, banyak pengorbanan yang harus diberikan. Manusia yang telah
menyerahkan hidup dan matinya kepada Tuhan semesta alam tentu tak merasa berat
melakukan pengorbanan tanpa pandangan dan penghargaan khusus dari manusia.

Boleh dikatakan, hampir semua pendiri PRRI adalah para pendiri Republik Indonesia.
Situasi ketika itu perlu ditelaah dengan cermat dan mereka perlu didudukkan secara tepat,
tentunya tidak di kursi pemberontak atau pembangkang. Upaya keras mereka justru
bermaksud menyelamatkan negeri dari kezaliman.

Perlu diakui pula bahwa saat itu, dunia dalam suasana Perang Dingin. Amerika sendiri
banyak memberi bantuan pesenjataan. Tidak melihat kepentingan Amerika dalam persoalan
ini adalah sebuah hal yang naif. Namun, secara bulat, memandang bahwa M. Natsir dan
tokoh lainnya adalah pemberontak bahkan antek Amerika adalah tindakan yang terburu-
buru.

M. Natsir dan Sjafroedin Prawiranegara melakukan gerakan ini bukan atas dasar
kepentingan Amerika dalam melawan komunisme. Mereka yakin tengah berdiri di atas
kebenaran dan tengah menegakkan keadilan. Keyakinan tersebut memperlihatkan rasa
tanggung jawab atas amanah yang diberikan Tuhan ke pundak mereka. Audrey Kahin
mengatakan, “Natsir and Sjafruddin had never lost the belief that their struggle would
ultimately be successful. Both were intensely devout and retained a strong faith in the justice
of their cause.”

9
2.2 Kontribusi Natsir dalam Mencerminkan Pancasila
Natsir menguraikan Sila itu satu persatu tentang hubungan nya dengan Al-Quran, Sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah pancaran tauhid, Sila kedua “Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab” merupakan salah satu unsur utama dari nilai-nilai keadilan sosial
masyarakat dalam Islam, Sila ketiga “Persatuan” merupakan satu sendi ajaran Islam yang
berupa ukhuwah Islamiyah, Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat,
kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”, di dalam al-Quran telah dijelaskan dalam
setiap keputusan agar melalui musyawarah “Washawirhum fi al-amri”,dan Sila yang terakhir
“Keadilan Sosial” menjadi sasaran pembentukan masyarakat marhamah menurut Islam,
yang harus dipraktekkan dengan perasaan kasih dan sayang, sehingga tercipta sebuah negara
yang Baldatun Tayyibatun warabbun. Namun di akhir pidatonya itu, Natsir juga mengatakan
agar dalam pelaksanaan Pancasila itu tidak dijadikan penghalang bagi terlaksananya kaidah-
kaidah dan ajaran-ajaran yang termaktub dalam al-Quran yang merupakan induk dari
Pancasila itu.

10
B
A
3.1 K B
e
si III
m
p PE
u
l N
a
n U
T
U
P
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sekarang, setiap
masyarakat Indonesia dijamin kebebasan dalam menjalani kepercayaannya masing-
masing. Masyarakat kini dapat menjalani kepercayannya dengan tenang tanpa
gangguan intoleransi. Di sila ini, masyarakat juga diminta agar tidak menistakan
agama lain dan harus menjunjung tinggi kerukunan umat beragama antara satu
dengan yang lain.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Di sila ini, semua warga
negara Indonesia memiliki hak yang setara dalam pemenuhan kesejahteraan. Selain
itu, juga kesetaraan dalam kehidupan yang layak, hak politik, hokum, dan semua hal
yang telah diatur di undang-undang tanpa melihat suku dan ras warga negara
Indonesia tersebut.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Di sila ketiga ini, semua warga negara
Indonesia tidak boleh melakukan aksi-aksi yang dapat merenggangkan persatuan dan
kesatuan negara kita, seperti melakukan tindakan terorisme, intoleransi, gerakan
separatism, dan hal-hal yang serupa. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita
harus tetap menjaga keutuhan negara kita. Kita harus menghindari tindakan-tindakan
yang dapat memecah belah negara kita.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
11
Permusyawaratan Perwakilan. Dapat dilihat, bahwa banyak sekali kasus ataupun
masalah yang terjadi di negara kita yang menunjukkan penurunan sila keempat ini.
Contohnya banyaknya kasus sengketa Pilkada yang harus berakhir di MK. Hal ini
semakin parah karena masyarakat disuguhkan oleh matinya sikap dalam menghormati
pendapat orang lain. Demokrasi dan rasa legowo di hati para pihak yang kalah
seolah-olah sudah mati sejak lama. Sebagai warga negara yang baik, kita harus

12
menghormati segala keputusan yang telah dirundingkan bersama. Meskipun kalah, kita
harus lapang dada dalam menerima apapun hasilnya.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sila kelima ini,
dapat dilihat bahwa tujuannya adalah agar seluruh warga negara Indonesia mendapat
kesejahteraan dan keadilan yang merata. Seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan
penghidupan yang layak, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, perlindungan
keamanan dan hokum yang seutuhnya, dan semua hal yang berkaitan dengan
kesejahteraan warga negara.

3.2 Saran

Implementasi Pancasila sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Bila kita tidak
menerapkan Pancasila sebagai landasan dalam berkehidupan bersama, maka dapat
menimbulkan berbagai masalah yang dapat merugikan diri sendiri maupun oleh orang lain.
Oleh karena itu, kita tidak boleh lupa untuk selalu melandaskan Pancasila dan tetap
menjaga keutuhan nilai dari Pancasila itu sendiri. Jika bukan kita yang menjaga dan
menerapkan nilai-nilai Pancasila.

12
Daftar Pustaka

nuundotid. “Mengenal Mohammad Natsir Sang Pendamai, Berdamai Dengan PRRI ||

NuuN.Id.” NuuN.Id, 2014, nuun.id/mengenal-mohammad-natsir-sang-pendamai-berdamai-

dengan-prri. Accessed 21 Dec. 2020.

Muhammad Hafil. “Biografi Mohammad Natsir.” Republika Online, Republika Online, 24

Apr. 2020, republika.co.id/berita/q9bchi430/biografi-mohammad-natsir. Accessed 21 Dec.

2020.

Natsir, Mohammad.Capita Selecta. Sumur Bandung, 1961.

13

Anda mungkin juga menyukai