Aik Cuk
Aik Cuk
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang sehat, tenang,
tentram dan bahagia, meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai.
Islam sebagai agama, sangat memperhatikan keberadaan manusia, karena itulah Islam
membentangkan konsep yang sangat tegas tentang kehidupan yang sehat kepada
manusia, misalnya mengenai apakah hidup dan kehidupan itu serta kemana arah tujuannya.
Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan manusia karena
dengan kondisi sehat, manusia bisa beraktifitas dengan nyaman dan banyak berbuat
kebaikan dengan memberi manfaat kepada sesama. Sementara manusia adalah makhluk
yang kompleks yang terdiri atas unsur fisik, psikis, sosial dan spiritual, maka manakala
seseorang mengalami sakit tentunya harus dilakukan pemeriksaan dan penyembuhan
secara menyeluruh. Pada hakikatnya manusia terdiri dari dua substansi, yaitu fisik dan
psikis. Substansi fisik sendiri adalah substansi material, tidak berdiri sendiri, tidak kekal
dan berada dalam alam jasad, sedangkan substansi psikis adalah substansi imaterial, berdiri
sendiri tidak berbentuk komposisi, mempunyai daya mengetahui dan menggerakan,
kekal dan berada di dunia metafisik. Fisik dan psikis berhubungan ketika al-nuṭfah
memenuhi syarat dengan jiwa yang kemudian keduanya berpisah bersamaan dengan
datangnya kematian. Dengan begitu kondisi fisik manusia adalah sebuah media yang
menjadikan manusia dapat berhubungan dengan manusia lainnya di dunia dan juga sebagai
modal kebaikan untuk bekal hidup di akhirat.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Menjelaskan tentang kesehatan fisik dalam Al-Qur’an.
2. Menjelaskan hadits-hadits tentang kesehatan..
3. Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan kesehatan, terutama
kesehatan fisik
4. Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat menjelaskan dan
mengusahakan dirinya agar sehat jasmani
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesehatan
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal,
jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yangdigunakan untuk menunjuk tentang
pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
2. Afiat.
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat afiat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata "afiat" dipersamakan dengan "sehat". Afiat diartikan
sehat dan kuat, sedangkan sehat (sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik
segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan ilmu
kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik, kesehatan mental, dan
kesehatan masyarakat. Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu
digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui pengertian yang
dikandung oleh kata afiat.
Istilah sehat dan afiat masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui
tidak jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena masing-masing kata
tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh kata yang tidak disebut. Pakar bahasa
Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat berbeda
dengan kata afiat, karena wa yang berarti "dan" adalah kata penghubung yang sekaligus
menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut
kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw. ditemukan sekian
banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh
sehat. Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk
hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat
diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-
Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai
dengan tujuan penciptaannya.
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya
dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun
membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yang dapat melihat
dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek
yang terlarang, karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
2.2 Kesehatan Fisik
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan,
yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya,
dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan
jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib
disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta
mengembangkannya."
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.
Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw.:
Sesungguhnya Alloh senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang
membersihkan diri.
Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan
kesehatan fisik. Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw adalah:
Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya adalah keyakinan bahwa "Tiada
Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan" (HR
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan
bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di
bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam
konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad
Saw telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,
Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah
itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya. Ditemukan
juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-ma'idat bait adda'.
Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan, baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi
Saw yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.
Al-Quran juga mengingatkan, Makan dan minum dan jangan berlebih-lebihan. Allah tidak
senang kepada orang yang berlebih-lebihan. Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh
Rasulullah Saw. dengan sabdanya,
Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut.
Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun
harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan
sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi).
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan,
berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali
(wafat 1232 M) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang
mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.
Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena
sesungguhnya semua itu kotor (QS Al-An'am [6]: 145).
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat
serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsaf1
dalam bukunya Child between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis
Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobe1 bidang kedokteren
ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap
aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan
eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan
manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Al-Biqa'i dalam tafsirnya
mengenai surah Al-Fatihah mengemukakan sabda Nabi Saw.
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti
menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat
pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan bahwa
makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang makan makanan kotor pada
hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia
yang harus dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa
penyakit.
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi dari
sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka
prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari Al-Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar
dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan
transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa
prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik
bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan yang
dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah:
1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat
manusia.
2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk
dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia,
tanpa membedakan ras atau agama.
4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.
5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka
dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa transplantasi
dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia yang
hidup maupun yang mati terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan
adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan (awam)
bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahqunakan kesehatannya,
dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi "pemilik" organ (jenazah), atau orang yang
mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan
dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungl.awaban dari
seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia
bukan organ dan jasmaninya:
Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu, tetapi memandang hati dan
perbuatan kamu.
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Muslim. Di samping itu,
izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata "menghilangkan"
kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia
menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun
ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin
sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan
dari dosa. Di sini terlihat pula peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang siapa yang
menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya." (QS Al-
Maidah [5): 32). "Menghidupkan" di sini bukan saja yang berarti "memelihara kehidupan",
tetapi juga dapat mencakup upaya "memperpanjang harapan hidup" dengan cara apa pun
yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami dalam konteks peristiwa
paling mutakhir dalam bidang kesehatan. Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan
bahwa obat dan upaya hanyalah "sebab", sedangkan penyebab sesungguhnya di balik
sebab atau upaya itu adalah Allah Swt, seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan
Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
1. Islam itu bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat
manusia.
2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk
dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.
3. Kesehatan merupakan nikmat paling indah setelah nikmat iman.
4. Setiap penyakit pasti ada obatnya.
5. Al-Qur’an mengingatkan kita semua agar makan dan minum tidak berlebih-lebihan.
Karena Alloh SWT tidak senang dengan orang yang berlebihan.
6. Pencegahan lebih baik dari pada pengobatan.