Referat Depresi Pasca Persalinan
Referat Depresi Pasca Persalinan
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Oleh
Nur Annisa Farizah
NIM. 1910017033
Dosen Pembimbing
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp. KJ
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai Depresi Pasca Persalinan. Adapun tujuan secara
khususnya adalah untuk mengetahui tentang definisi, faktor resiko, manifestasi klinis,
penegak diagnosis dan penatalaksanaan Depresi Pasca Persalinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1. Definisi Depresi
Gangguan depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis ditandai oleh kesedihan, kehilangan
minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau harga diri rendah, tidur atau nafsu
makan terganggu, kurang energi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
Depresi dapat berlangsung lama atau berulang, dapat mengganggu kemampuan
individu untuk berfungsi di tempat kerja atau sekolah atau mengatasi kehidupan sehari-
hari. Paling parah, depresi dapat juga menyebabkan bunuh diri (World Heath
Organization, 2017).
b. Faktor Genetik
Pola genetik penting dalam perkembangan gangguan mood yang mana
gangguan mood diturunkan melalui pola pewarisan genetik dengan mekanisme
yang sangat kompleks, didukung dengan penelitian-penelitian sebagai berikut :
1. Penelitian Keluarga
Dalam penelitian keluarga secara berulang ditemukan bahwa sanak keluarga
turunan pertama dari penderita gangguan bipolar, berkemungkinan 8 – 18 kali
lebih besar untuk terjadi depresi dan 2-10 kali lebih mungkin untuk menderita
gangguan depresi berat dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki
keluarga yang mengalami gangguan bipolar (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
2. Penelitian Adopsi
Dalam penelitian ini diungkapkan adanya hubungan faktor genetik dengan
gangguan depresi. Dari penelitian ini ditemukan bahwa anak biologis dari orang
tua yang menderita depresi tetap beresiko menderita gangguan mood, walaupun
jika mereka dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan
(Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
3. Penelitian Kembar
Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa angka kesesuaian untuk
gangguan bipolar pada anak kembar monozigotik 33-90% dan untuk gangguan
depresi sekitar 50%. Sebaliknya, angka kesesuaian pada kembar dizigotik adalah
kira-kira 5-25% untuk gangguan bipolar dan 10-25% untuk gangguan depresi
berat (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
c. Faktor Psikososial
Berdasarkan penelitian, depresi dapat membaik jika klinisi memberikan pasien
yang terkena depresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan. Peristiwa
kehidupan dan stresor lingkungan adalah peristiwa kehidupan yang menyebabkan
stres, lebih sering didahului oleh episode pertama gangguan mood. Para klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi,
klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas
dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stresor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai atau stresor kronis misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman
keamanan dapat menimbulkan depresi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
Semua orang, apapun pola kepribadianya, dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi, histrionik
dan ambang, beresiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan gangguan
kepribadian paranoid atu antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik
berisiko menjadi gangguan dpresi berat. Peristiwa stres merupakan prediktor tekuat
untuk kejadian episode depresi. Riset menunjukkan bahwa pasien yang mengalami
stressor akibat tidak adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi (Ismail &
Siste, 2015).
Berdasarkan tipe lain dari gangguan depresi menurut National Institute of Mental
Health, 2017 :
1. Depresi Pasca Persalinan
Depresi pasca persalinan lebih serius daripada "baby blues" (gejala depresi dan
kecemasan yang relatif ringan yang biasanya hilang dalam dua minggu setelah
melahirkan) yang dialami banyak wanita setelah melahirkan. Wanita dengan
Depresi Pasca Persalinan mengalami depresi berat selama kehamilan atau setelah
melahirkan. (National Institute of Mental Health,, 2017).
2. Gangguan depresi psikotik
Depresi psikotik terjadi ketika seseorang mengalami depresi berat dengan terdapat
beberapa gejala psikosis, seperti memiliki keyakinan palsu yang keliru (delusi) atau
mendengar atau melihat hal-hal yang membuat orang lain tidak dapat mendengar
atau melihat (halusinasi) (National Institute of Mental Health,, 2017).
3. Gangguan Afektif Musiman
Gangguan afektif musiman ditandai dengan timbulnya depresi selama bulan-bulan
musim dingin, ketika sinar matahari kurang alami. Depresi ini umumnya meningkat
selama musim semi dan musim panas. Depresi musim dingin, biasanya disertai
dengan penarikan sosial, peningkatan tidur, dan penambahan berat badan,
diperkirakan kembali setiap tahun dalam gangguan afektif musiman (National
Institute of Mental Health,, 2017).
Gejala lainnya:
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33.-).
Skala penilaian objektif untuk depresi. Beberapa skala penilaian objektif yang dapat
digunakan menurut Ismail & Siste (2015) yaitu
A. The Zung Self-Rating Depression Scale, dengan skor normal ≤ 34 dan skor
depresi ≥ 50 meliputi indek global intensitas gejala depresi pasien, termasuk
kecenderungan ekspresi dari depresi.
B. The Raskin Depression Scale, dengan skor normal 3 dan skor depresi adalah 7
atau lebih meliputi pelaporan verbal, penampilan perilaku, dan gejala sekunder.
C. The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D), dengan total skor antara
0-76 meliputi tentang rasa bersalah, pikiran bunuh diri, kebiasaan tidur, dan
gejala lain dari depresi
2.2.1 Definisi
Depresi Pasca Persalinan atau disebut Postpartum Depression merupakan istilah
yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang
timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi pada
10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan (Wisner, Parry, & Piontek,
2002).
Pasien akan mengalami gejala depresi selama periode postpartum, dalam 4
minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan. Gambaran gejalanya tidak dapat
dibedakan dengan depresi mayor pada wanita yang tidak hamil (Maramis, 2005).
Keparahan depresi pasca persalinan bervariasi. Keadaan yang paling ringan yaitu
saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa
awal pasca melahirkan, ini disebut dengan baby blues atau maternity blues. Gangguan
ini dialami oleh hampir 50% wanita yang melahirkan. Keadaan yang paling berat
adalah psikosis pasca melahirkan. Diantara kedua keadaan tersebut, depresi pasca
melahirkan disebutkan oleh banyak peneliti sebagai gangguan psikiatrik pasca
melahirkan yang tidak seberat psikosis pasca melahirkan sehingga sering terlambat
didiagnosis atau tidak sesering baby blues yang bisa sembuh sendiri (Rusli,
Meiyuntariningsih, & Warni, 2011).
2.2.2 Epidemiologi
Secara global diperkirakan wanita melahirkan yang mengalami depresi pasca
persalinan sedang atau berat berkisar 100-150 per 1000 kelahiran hidup. (Upadhyay, et
al., 2017). Sekitar 10% wanita setelah melahirkan mengalami postpartum depression
atau depresi pasca persalinan. di Asia, prevalensi depresi pasca persalinan antara 3,5%-
63,3% dimana Malaysia dan Pakistan menjadi peringkat yang terendah dan tertinggi
(Kumalasari & Hendawati, 2019). Di Indonesia dilakukan penelitian ketiga rumah
sakit di Surabaya didapatkan sebesar 22% terjadi gangguan depresi pasca persalinan
(Warsiki, Haniman, Sauli, Margono, & Aryono, 2003).
2. Terapi Non-Farmakologis
a. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Terapi kognitif bertujuan untuk meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif,
mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan positif serta melatih respons
perilaku dan kognitif yang baru. Sejumlah studi terkontrol dengan baik menunjukkan
bahwa kombinasi terapi kognitif dan farmakoterapi lebih efektif daripada hanya satu
terapi yang digunakan (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
b. Psikoterapi interpersonal
Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini
cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua,
masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat dalam mencetuskan atau melanjutkan
gejala depresif. Semua uji menunjukkan bahwa terapi interpersonal efektif dalam
penatalaksanaan gangguan depresif berat, khususnya mungkin membantu menyelesaikan
masalah interpersonal (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015)
Psikoterapi diberikan untuk membantu pasien mengembangkan strategi coping
yang lebih baik delam mengatasi stressor kehidupan sehari-hari. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi yang bermakna untuk depresi.
Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif. Terapi gabungan ini lebih baik hasilnya
daripada hanya pemberian obat saja. Pasien juga dapat bertahan lebih lama
menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi (Ismail & Siste, 2015)
f. Terapi Keluarga
Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan pasien atau
fungsi keluarga atau jika gangguan mood bertambah atau dipertahankan oleh situasi
keluarga. Terapi keluarga memeriksa peranan anggota keluarga yang mengalami
gangguan mood di dalam kesejahteraan psikologis seluruh keluarga, terapi keluarga juga
memeriksa peranan seluruh keluarga di dalam mempertahankan gejala pasien (Sadock,
Sadock, & Ruiz, 2015)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maternal Depressive Symptoms merupakan kondisi kelainan psikiatri yang
terjadi pada ibu hamil sampai dengan postpartum. Kondisi ini dibagi menjadi
postpartum blues, postpartum depression dan postpartum psychosis. Depresi Pasca
Persalinan atau disebut Postpartum Depression merupakan istilah yang digunakan pada
pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul dalam waktu 4
minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan.
Gangguan postpartum berkaitan dengan riwayat obstetri, perubahan hormon,
perubahan psikologis dan lingkungan yang tidak memadai. Gejala depresi pasca
persalinan mirip dengan kriteria diagnosis gangguan depresi mayor dengan
menggunakan Diagnostic And Statisctical Manual of Mental Disorders edisi V DSM-V
dan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) sebagai kriteria penegak diagnostik.
3.2. Saran
Berdasarkan uraian diatas disarankan agar dapat mengetahui dan memahami
dalam mengenai Maternal Depressive Symptoms dengan pendalaman materi berupa
postpartum blues, postpartum depression dan postpartum psychosis. Diharapkan juga
penulisan referat terbaru mengenai Depresi Pasca Persalinan ini sehingga pengetahuan
dan wawasan mengenai adiksi gadget dapat bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Cleveland Clinic. (2018). Depression After the Birth of a Child or Pregnancy Loss.
Retrieved Juni 28, 2020, from https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/9312-
depression-after-the-birth-of-a-child-or-pregnancy-loss
Ismail, R. I., & Siste, K. (2015). Gangguan Depresif. In S. D. Elvira, & G. Hadisukanto,
Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Kumalasari, I., & Hendawati. (2019). Faktor Resiko Kejadian Postpartum Blues di Kota
Palembang. Jurnal Kesehatan Poltekkes Palembang , 14 (2), 91-96.
Marmer, L., & Ariana, A. (2016). Persepsi terhadap Dukungan Suami pada Primipara
yang Mengalami Depresi Pasca Melahirkan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan
Mental , 5 (1), 1-10.
Muslim, B. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta: PT. Nuh jaya.
National Institute of Mental Health,. (2017). Depression. Retrieved Juni 29, 2020,
diunduh from https://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/index.shtml
Nasri, Z., Wibowo, A., & Ghozali, E. (2017). Faktor Determinan Depresi Postpartum di
Kabupaten Lombok Timur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan , 20 (3), 89-95.
Pradnyana, E., Westa, W., & Ralep, N. (2013). Diagnosis dan Tatalaksana Depresi
Postpartum pada Primipara. Retrieved Juni 29, 2020, diunduh from
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewF ile/4877/3663
Rusli, R., Meiyuntariningsih, T., & Warni, W. (2011). Perbedaan Depresi Pasca
Melahirkan pada Ibu Primipara Ditinjau dari Usia Ibu Hamil. Insan , 12 (1), 21-31.
Sadock, B., Sadock, V., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences Clinical Eklektic Psychiatry. 11th. Philadelphia: Wolters Kluwer.
Soep. (2011). Penerapan Edinburgh Post-Partum Depression Scale sebagai Alat Deteksi
Risiko Depresi Risiko Nifas pada Primipara dan Multipara. Jurnal Keperawatan
Indonesia , 14 (2), 95-100
Upadhyay, R., Chowdhury, R., Salehi, A., Sarkar, K., Singh, S., Sinha, B., et al. (2017).
Postpartum Depression in India : A Systematic Review and Meta-Anaysis. World Health
Organization , 95 (10), 706-717.
World Heath Organization. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders.
Switzerland: World Heath Organization.
Wisner, K., Parry, B., & Piontek, C. (2002). Postpartum Deppression. The New England
Journal of Medicine , 347 (3), 194-199.
Warsiki, E., Haniman, F., Sauli, S., Margono, H., & Aryono, D. (2003). Postnatal
Deppression in Three Hospitals in Surabaya. Folia Medica Indonesiana , 39 (4), 251-
258.