Anda di halaman 1dari 22

Laboratorium / SMF Ilmu Kedokteran Jiwa REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DEPRESI PASCA PERSALINAN

Oleh
Nur Annisa Farizah
NIM. 1910017033

Dosen Pembimbing
dr. Eka Yuni Nugrahayu, Sp. KJ

Laboratorium / SMF Ilmu Kedokteran Jiwa


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Juli 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan kesehatan ibu dan anak merupakan prioritas dari pengembangan


kesehatan di beberapa negara berkembang, khususnya di Indonesia. Pengembangan
tersebut diarahkan kepada peningkatan kesehatan fisik dan mental ibu (Nasri, Wibowo,
& Ghozali, 2017). Perubahan fisik dan emosional yang kompleks memerlukan adaptasi
untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup setelah proses persalinan dan peran baru
wanita menjadi ibu. Hal ini juga merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis, mulai
dari reaksi emosional ringan hingga ke tingkat gangguan jiwa yang berat (Anggarini,
2019).

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2019), angka


ibu yang mengalami persalinan di Indonesia berjumlah 86,28%. Angka tersebut
mengungkapkan bahwa jumlah persalinan di Indonesia masih tergolong sangat tinggi,
Secara global diperkirakan wanita melahirkan yang mengalami depresi pasca
persalinan sedang atau berat berkisar 100-150 per 1000 kelahiran hidup. (Upadhyay, et
al., 2017). Sekitar 10% wanita setelah melahirkan mengalami postpartum depression
atau depresi pasca persalinan. Di Asia, prevalensi depresi pasca persalinan antara
3,5%- 63,3% dimana Malaysia dan Pakistan menjadi peringkat yang terendah dan
tertinggi. (Kumalasari & Hendawati, 2019). Di Indonesia dilakukan penelitian ketiga
rumah sakit di Surabaya didapatkan sebesar 22% terjadi gangguan depresi pasca
persalinan (Warsiki, Haniman, Sauli, Margono, & Aryono, 2003).

Maternal depressive symptoms merupakan kondisi kelainan psikiatri yang


terjadi pada ibu hamil sampai dengan postpartum. Kondisi ini dibagi menjadi
postpartum blues, postpartum depression dan postpartum psychosis. Perbedaan
mendasar ketiga kondisi ini adalah lama gejala yang dialami oleh ibu postpartum
sampai gejala tersebut menghilang (Anggarini, 2019). Depresi pasca persalinan
merupakan masalah psikologis yang dialami oleh ibu setelah 4 minggu (Nasri,
Wibowo, & Ghozali, 2017). Gejala depresi pasca persalinan seperti mudah panik,
kurang mampu merawat diri sendiri, tidak ingin melakukan aktifitas yang
menyenangkan, motivasi menurun. tidak peduli terhadap keadaan bayi atau menjadi
terlalu peduli terhadap perkembangan bayi, sulit mengendalikan perasaan, sulit
mengambil keputusan (Indriasari, 2017).

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan secara umum mengenai Depresi Pasca Persalinan. Adapun tujuan secara
khususnya adalah untuk mengetahui tentang definisi, faktor resiko, manifestasi klinis,
penegak diagnosis dan penatalaksanaan Depresi Pasca Persalinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi
2.1.1. Definisi Depresi
Gangguan depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis ditandai oleh kesedihan, kehilangan
minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau harga diri rendah, tidur atau nafsu
makan terganggu, kurang energi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
Depresi dapat berlangsung lama atau berulang, dapat mengganggu kemampuan
individu untuk berfungsi di tempat kerja atau sekolah atau mengatasi kehidupan sehari-
hari. Paling parah, depresi dapat juga menyebabkan bunuh diri (World Heath
Organization, 2017).

2.1.2. Etiologi Depresi


a. Faktor Biologi
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolit amin biogenik
seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HLAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-
methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal (CSF) pasien dengan gangguan mood. Norepinephrine dan serotonin
adalah dua neurotransmitters yang paling terlibat patofisiologi gangguan mood
(Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
1. Norepinephrin
Penurunan regulasi reseptor β-adrenergik dan respons klinis antidepresi mungkin
merupakan peran langsung sistem noradenergik pada depresi. Bukti lain yang juga
melibatkan reseptor β2-presipnatik pada depresi, yaitu aktifnya reseptor yang
mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin. Reseptor β2-presinaptik
juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah pelepasan serotonin
(Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015)
2. Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk
kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa penelitian
ditemukan jumlah serotonin yang berkurang dicelah sinap dikatakan bertanggung
jawab untuk terjadinya depresi (Ismail & Siste, 2015).
3. Dopamin
Aktifitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan
pascasinaptik dopamin memperkaya hubungan antara dopamin dan gangguan mood.
Dua teori baru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin mesolimbik mungkin
mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamine D1 mungkin hipoaktif pada
depresi (Ismail & Siste, 2015; Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).

b. Faktor Genetik
Pola genetik penting dalam perkembangan gangguan mood yang mana
gangguan mood diturunkan melalui pola pewarisan genetik dengan mekanisme
yang sangat kompleks, didukung dengan penelitian-penelitian sebagai berikut :
1. Penelitian Keluarga
Dalam penelitian keluarga secara berulang ditemukan bahwa sanak keluarga
turunan pertama dari penderita gangguan bipolar, berkemungkinan 8 – 18 kali
lebih besar untuk terjadi depresi dan 2-10 kali lebih mungkin untuk menderita
gangguan depresi berat dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki
keluarga yang mengalami gangguan bipolar (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
2. Penelitian Adopsi
Dalam penelitian ini diungkapkan adanya hubungan faktor genetik dengan
gangguan depresi. Dari penelitian ini ditemukan bahwa anak biologis dari orang
tua yang menderita depresi tetap beresiko menderita gangguan mood, walaupun
jika mereka dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan
(Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
3. Penelitian Kembar
Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa angka kesesuaian untuk
gangguan bipolar pada anak kembar monozigotik 33-90% dan untuk gangguan
depresi sekitar 50%. Sebaliknya, angka kesesuaian pada kembar dizigotik adalah
kira-kira 5-25% untuk gangguan bipolar dan 10-25% untuk gangguan depresi
berat (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).

c. Faktor Psikososial
Berdasarkan penelitian, depresi dapat membaik jika klinisi memberikan pasien
yang terkena depresi suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan. Peristiwa
kehidupan dan stresor lingkungan adalah peristiwa kehidupan yang menyebabkan
stres, lebih sering didahului oleh episode pertama gangguan mood. Para klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi,
klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas
dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stresor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai atau stresor kronis misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman
keamanan dapat menimbulkan depresi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
Semua orang, apapun pola kepribadianya, dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi, histrionik
dan ambang, beresiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan gangguan
kepribadian paranoid atu antisosial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik
berisiko menjadi gangguan dpresi berat. Peristiwa stres merupakan prediktor tekuat
untuk kejadian episode depresi. Riset menunjukkan bahwa pasien yang mengalami
stressor akibat tidak adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi (Ismail &
Siste, 2015).

2.1.4. Klasifikasi Depresi


Gangguan depresi terdiri dari beberapa jenis, yaitu :
a. Gangguan Distimia
Distimia bersifat lebih berat dibandingkan dengan gangguan depresi mayor,
distimia bersifat ringan tetapi kronis (berlangsung lama). Gejala-gejala distimia
berlangsung lebih lama dari gangguan depresi mayor yaitu selama 2 tahun atau
lebih. Tetapi individu dengan gangguan ini masih dapat berinteraksi dengan
aktivitas sehari-harinya (National Institute of Mental Health,, 2017)
b. Gangguan Depresi Mayor
Gejala-gejala dari gangguan depresi mayor berupa perubahan dari nafsu makan
dan berat badan, perubahan pola tidur dan aktivitas, kekurangan energi, perasaan
bersalah dan pikiran untuk bunuh diri yang berlangsung setidaknya ±2 minggu
(Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015)
c. Gangguan Depresi Minor
Gejala-gejala dari depresi minor mirip dengan gangguan depresi mayor dan
distimia, tetapi gangguan ini bersifat lebih ringan dan atau berlangsung lebih
singkat (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015)

Berdasarkan tipe lain dari gangguan depresi menurut National Institute of Mental
Health, 2017 :
1. Depresi Pasca Persalinan
Depresi pasca persalinan lebih serius daripada "baby blues" (gejala depresi dan
kecemasan yang relatif ringan yang biasanya hilang dalam dua minggu setelah
melahirkan) yang dialami banyak wanita setelah melahirkan. Wanita dengan
Depresi Pasca Persalinan mengalami depresi berat selama kehamilan atau setelah
melahirkan. (National Institute of Mental Health,, 2017).
2. Gangguan depresi psikotik
Depresi psikotik terjadi ketika seseorang mengalami depresi berat dengan terdapat
beberapa gejala psikosis, seperti memiliki keyakinan palsu yang keliru (delusi) atau
mendengar atau melihat hal-hal yang membuat orang lain tidak dapat mendengar
atau melihat (halusinasi) (National Institute of Mental Health,, 2017).
3. Gangguan Afektif Musiman
Gangguan afektif musiman ditandai dengan timbulnya depresi selama bulan-bulan
musim dingin, ketika sinar matahari kurang alami. Depresi ini umumnya meningkat
selama musim semi dan musim panas. Depresi musim dingin, biasanya disertai
dengan penarikan sosial, peningkatan tidur, dan penambahan berat badan,
diperkirakan kembali setiap tahun dalam gangguan afektif musiman (National
Institute of Mental Health,, 2017).

2.1.5 Gejala Klinis Depresi


Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi
adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak
mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi
kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal. Sekitar 80%
pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan
sering terbangun di malam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi.
Kebanyakan pasien menunjukkan penurunan nafsu makan demikian pula dengan
menurun berat badannya gangguan tidur dan ada keingin bunuh diri (Ismail & Siste,
2015; Sadock & Sadock, 2017)

2.1.6. Penegak Diagnosis


Pada PPDGJ III (2013), dituliskan diagnosis episode depresif sebagai berikut:
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas

Gejala lainnya:
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33.-).

Pedoman Diagnostik Depresi


F32.0 Episode Depresif Ringan
Episode Depresi Ringan
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas.
2. Ditambah sekurang-kurang 2 dari gejala lainnya: 1 (sampai dengan 2)
3. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
4. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang


Episode Depresif Sedang
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode
depresi ringan.
2. Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
3. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
4. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan
urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


Episode Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik
1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya
harus berintensitas berat.
3. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh
terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
4. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
5. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


Episode depresi berat dengan gejala psikotik
1. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut diatas.
2. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh atau
bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai
serasi atau tidak serasi dengan afek (mood – congruent)

Skala penilaian objektif untuk depresi. Beberapa skala penilaian objektif yang dapat
digunakan menurut Ismail & Siste (2015) yaitu
A. The Zung Self-Rating Depression Scale, dengan skor normal ≤ 34 dan skor
depresi ≥ 50 meliputi indek global intensitas gejala depresi pasien, termasuk
kecenderungan ekspresi dari depresi.
B. The Raskin Depression Scale, dengan skor normal 3 dan skor depresi adalah 7
atau lebih meliputi pelaporan verbal, penampilan perilaku, dan gejala sekunder.
C. The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D), dengan total skor antara
0-76 meliputi tentang rasa bersalah, pikiran bunuh diri, kebiasaan tidur, dan
gejala lain dari depresi

2.2 Depresi Pasca Persalinan

2.2.1 Definisi
Depresi Pasca Persalinan atau disebut Postpartum Depression merupakan istilah
yang digunakan pada pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang
timbul setelah melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi pada
10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan (Wisner, Parry, & Piontek,
2002).
Pasien akan mengalami gejala depresi selama periode postpartum, dalam 4
minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan. Gambaran gejalanya tidak dapat
dibedakan dengan depresi mayor pada wanita yang tidak hamil (Maramis, 2005).

Keparahan depresi pasca persalinan bervariasi. Keadaan yang paling ringan yaitu
saat ibu mengalami kesedihan sementara yang berlangsung sangat cepat pada masa
awal pasca melahirkan, ini disebut dengan baby blues atau maternity blues. Gangguan
ini dialami oleh hampir 50% wanita yang melahirkan. Keadaan yang paling berat
adalah psikosis pasca melahirkan. Diantara kedua keadaan tersebut, depresi pasca
melahirkan disebutkan oleh banyak peneliti sebagai gangguan psikiatrik pasca
melahirkan yang tidak seberat psikosis pasca melahirkan sehingga sering terlambat
didiagnosis atau tidak sesering baby blues yang bisa sembuh sendiri (Rusli,
Meiyuntariningsih, & Warni, 2011).

2.2.2 Epidemiologi
Secara global diperkirakan wanita melahirkan yang mengalami depresi pasca
persalinan sedang atau berat berkisar 100-150 per 1000 kelahiran hidup. (Upadhyay, et
al., 2017). Sekitar 10% wanita setelah melahirkan mengalami postpartum depression
atau depresi pasca persalinan. di Asia, prevalensi depresi pasca persalinan antara 3,5%-
63,3% dimana Malaysia dan Pakistan menjadi peringkat yang terendah dan tertinggi
(Kumalasari & Hendawati, 2019). Di Indonesia dilakukan penelitian ketiga rumah
sakit di Surabaya didapatkan sebesar 22% terjadi gangguan depresi pasca persalinan
(Warsiki, Haniman, Sauli, Margono, & Aryono, 2003).

2.2.3 Faktor Resiko


Menurut Pitt (dalam Marmer, 2016) mengemukakan 4 faktor penyebab depresi
pasca persalinan:
a. Faktor konstitusional. Gangguan postpartum berkaitan dengan riwayat obstetri
pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah terdapat
komplikasi dari kehamilan dan persalinan sebelumnya. Hal ini lebih banyak
terjadi pada wanita primipara. Wanita primipara lebih rentan terkena gangguan
baby blues karena setelah melahirkan, wanita primipara berada pada proses
adaptasi. Adaptasi dari kondisi dulu sebelum melahirkan hanya mengurus diri
sendiri, dan dengan keadaan anggota keluarga bertambah, maka wanita harus
memikirkan untuk merawat bayinya (Marmer & Ariana, 2016).
b. Faktor fisik, perubahan hormon secara drastis pasca melahirkan akan
berpengaruh terhadap keseimbangan emosi. Terkadang homon progesteron
naik dan estrogen menurun secara drastis setelah melahirkan merupakan faktor
penyebab terjadinya depresi. Faktor fisik ini menunjukkan bahwa faktor
hormonal ini berhubungan dengan kelahiran pertama (Marmer & Ariana,
2016).
c. Faktor psikologis, Peralihan yang cepat dari keadaan terdapat dua jiwa dalam
satu tubuh menjadi masing-masing individu setelah masa kelahiran
membutuhkan penyesuaian psikologis dari individu (Marmer & Ariana, 2016).
d. Faktor sosial, mengemukakan bahwa lingkungan tempat tinggal yang kurang
memadai dapat menimbulkan terjadinya depresi pada seorang ibu, selain
kurangnya dukungan dalam perkawinan (Marmer & Ariana, 2016).
e. Faktor umur. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan
persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut
untuk menjadi seorang ibu (Rusli, Meiyuntariningsih, & Warni, 2011).
f. Faktor pendidikan. Ibu yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial
dan konflik peran, antara tuntutan sebagai ibu yang bekerja dan ibu rumah
tangga (Rusli, Meiyuntariningsih, & Warni, 2011).

2.2.4 Gejala Klinis


Depresi postpartum merupakan masalah psikologis yang dialami oleh ibu dalam
4 minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan (Nasri, Wibowo, & Ghozali, 2017).
Menurut Secara klinis gejala postpartum Depression mirip dengan kriteria diagnosis
gangguan depresi pada umumnya. Gejala depresi postpartum terbagi dalam beberapa
gejala, antara lain: Mudah panik, kurang mampu merawat diri sendiri, enggan
melakukan aktifitas yang menyenangkan, motivasi menurun, tidak peduli terhadap
keadaan bayi atau menjadi terlalu peduli terhadap perkembangan bayi, sulit
mengendalikan perasaan, sulit mengambil keputusan, kurang nafsu makan, tidak
mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain
(Indriasari, 2017)

Gejala emosional : mudah tersinggung, perasaan sedih, hilang harapan, merasa


tidak berdaya, mood yang berubah-ubah (moodswings), perasaan tidak layak sebagai
ibu, hilang minat, pemikiran bunuh diri, ingin menyakiti orang lain termasuk bayi, diri
sendiri, dan suami, perasaan bersalah (Indriasari, 2017)

2.2.5 Penegak Diagnosis


Kriteria yang digunakan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan pada riwayat
dan gejala-gejala mengikuti Diagnostic And Statisctical Manual of Mental Disorders,
edisi kelima (DSM-V) Depresi Mayor dengan Awitan Pasca Melahirkan yaitu :
A. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode waktu 2 minggu dan
menunjukkan perubahan ſungsi sebelumnya; setidaknya satu gejalanya adalah (1)
mood menurun atau (2) kehilangan minat atau kesenangan. Catatan: jangan
memasukkan gejala yang jelas-jelas disebabkan kondisi medis umum, atau waham atau
halusinasi yang tidak kongruen-mood.
(1) Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (cth., perasaan sedih atau kosong)
atau pengamatan orang lain (cth., tampak bersedih). Catatan: pada anak dan
remaja, bisa berupa mood iritabel.
(2) Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau hampir
semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang
ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang lain).
(3) Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat badan
bertambah (cth., perubahan lebih dari 5% berat badan dalam sebulan), atau
menurun maupun meningkatnya nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: pada
anak, pertimbangkan adanya kegagalan mencapai berat badan yang diharapkan.
(4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
(5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi lebih
lamban).
(6) Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
(7) Perasaan tidak berarti atau rasa bersalah yang tidak sesuai atau berlebihan
(yang dapat menyerupai waham) hampir setiap hari (tidak hanya menyalahkan
diri atau rasa bersalah karena sakit)
(8) Menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan
hampir setiap hari (baik laporan subjektif atau diamati orang lain)
(9) Pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa takut mati), gagasan
bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau upaya bunuh diri
atau suatu rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
* Khusus Depresi Pasca Persalinan gejala dimulai empat minggu setelah melahirkan
B. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya di
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi lain.
C. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat atau kondisi medis umum
Catatan: Kriteria A hingga C mewakili episode depresi utama.
D. Terjadinya episode depresi mayor tidak lebih baik dijelaskan oleh kelainan
schizoafektif, skizofrenia, kelainan skizofrenia, kelainan delusional, atau spektrum
skizofrenia spesifik dan tidak spesifik lainnya serta kelainan psikotik lainnya.
E. Tidak pernah ada episode manik atau episode hipomanik (Sadock, Sadock, & Ruiz,
2015)
Sebagai penunjang untuk menegakkan diagnosis, secara luas menggunakan uji
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) yang terdiri dari 10 item pernyataan
dengan 4 pilihan jawaban dimana masing-masing jawaban mempunyai skor 0 –3.
(Soep, 2011)

2.2.6 Diagnosis Banding


Sindroma Baby Blues atau sering disebut post partum distress syndrome adalah
perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% ibu setelah melahirkan
bayinya, dengan beberapa gejala seperti menangis, mudah kesal, lelah, cemas, tidak
sabaran, tidak percaya diri, enggan memperhatikan bayinya, mudah tersinggung dan
sulit konsentrasi. Sindroma Baby Blues masih tergolong ringan dan biasanya
berlangsung hingga 2 Minggu (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).

Psikosis pasca persalinan yang merupakan depresi pascapersalinan yang sangat


parah dan membutuhkan perhatian medis darurat. Kondisi ini relatif jarang, hanya
mempengaruhi 1 dari 1.000 wanita setelah melahirkan. Gejala umumnya terjadi
dengan cepat setelah melahirkan dan parah, berlangsung selama beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Gejalanya meliputi agitasi hebat, kebingungan, perasaan putus
asa dan malu, insomnia, paranoia, delusi atau halusinasi, hiperaktif, bicara cepat, atau
mania. Psikosis postpartum membutuhkan perhatian medis segera karena ada
peningkatan risiko bunuh diri dan risiko membahayakan bayi. Perawatan biasanya
akan termasuk masuk ke rumah sakit untuk ibu dan obat-obatan (Cleveland Clinic,
2018).
2.2.7 Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Pasien yang telah didiagnosis dengan gangguan depresi postpartum, diberikan
pengobatan dengan antidepresan. Pemberian obat trisiklik untuk gangguan depresi
berat telah lama digunakan, lama pengobatan membutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu
untuk membeikan efek terapi yang bermakna namun pada pada obat trisiklik dapat
menjadi toksik pada dosis yang berlebihan dan menunjukkan efek samping (Ismail &
Siste, 2015) Anti depresan lainnya ada Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
seperti Fluxetine, Paroxetine, Fluvoxamin, Sitopram dan Sertalin. Anti depresan
golongan lain misalnya Bupropion, Venlafaxine, Nefazodone dan Mirtazaine
menunjukan secara klinis hasil yang sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih
aman dan toleransinya lebih baik dengan dosis rendah (Ismail & Siste, 2015).

Pada pasien multipara sensitif terhadap efek samping dari pengobatan,


pengobatan semestinya dimulai setengah dosis awal selama empat hari, dan
selanjutnya akan ditingkatkan dosisnya secara perlahan sampai dosis yang
direkomendasi tercapai. Peningkatan dosis secara perlahan sangat menolong dalam
mengatasi adanya efek samping dari obat. Jika pasien merespon terhadap percobaan
awal selama enam sampai delapan minggu, dosis yang sama harus diberikan selama
minimal enam bulan setelah toleransi penuh tercapai, dalam hal untuk mencegah
kambuhnya efek samping. Jika tidak ada perkembangan setelah enam bulan terapi
pengobatan atau jika pasien merespon namun gejalanya timbul lagi, dirujuk ke
psikiater dapat dipertimbangkan (Pradnyana, Westa, & Ralep, 2013)

Alternatif pengobatan, ECT biasanya digunakan jika pasien tidak berespon


terhadap farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak dapat mentoleransi
farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat yang memperlihatkan
perbaikan sangat cepat penggunaan ECT (Ismail & Siste, 2015)

Pasien yang mengalami riwayat depresi setelah kehamilannya dapat beresiko


menjadi depresi postparrtum setelah melahirkan. Terapi preventif setelah melahirkan
harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat depresi sebelumnya. Obat yang
direspon pasien sebelumnya dengan selective-serotonin-reuptake (SSRI) inhibitor adalah
pilihan rasional, tricyclic antidepressant ( TCAs ) tidak dapat melindungi sebagaimana
dibandingkan dengan plasebo. Minimal, penanganan depresi postpartum termasuk
pengawasan untuk terjadinya kekambuhan, dengan sebuah rencana intervensi cepat jika
ada indikasi (Pradnyana, Westa, & Ralep, 2013).

Hormonal Replacement Therapy


Estradiol telah dievaluasi sebagai pengobatan untuk depresi postpartum. Pada
studi yang membandingkan transdermal estradiol dengan plasebo, grup yang diobati
dengan estradiol mempunyai penurunan skor depresi yang signifikan selama bulan
pertama (Pradnyana, Westa, & Ralep, 2013)

2. Terapi Non-Farmakologis
a. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Terapi kognitif bertujuan untuk meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif,
mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel dan positif serta melatih respons
perilaku dan kognitif yang baru. Sejumlah studi terkontrol dengan baik menunjukkan
bahwa kombinasi terapi kognitif dan farmakoterapi lebih efektif daripada hanya satu
terapi yang digunakan (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).

b. Psikoterapi interpersonal
Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini
cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua,
masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat dalam mencetuskan atau melanjutkan
gejala depresif. Semua uji menunjukkan bahwa terapi interpersonal efektif dalam
penatalaksanaan gangguan depresif berat, khususnya mungkin membantu menyelesaikan
masalah interpersonal (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015)
Psikoterapi diberikan untuk membantu pasien mengembangkan strategi coping
yang lebih baik delam mengatasi stressor kehidupan sehari-hari. Banyak penelitian telah
membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi yang bermakna untuk depresi.
Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif. Terapi gabungan ini lebih baik hasilnya
daripada hanya pemberian obat saja. Pasien juga dapat bertahan lebih lama
menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi (Ismail & Siste, 2015)

c. Terapi tingkah laku


Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif
menyebabkan seseorang mendapatkan sedikit umpan balik positif dari masyarakat dan
kemungkinan penolakan yang palsu. Dengan memusatkan pada perilaku maladaptif
didalam terapi, pasien belajar untuk berfungsi di dunia dengan cara tertentu sehingga
mereka mendapatkan dorongan positif (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015)

d. Terapi Berorientasi Psikonanalitik


Tujuan psikoterapi ini adalah memberi pengaruh pada perubahan struktur atau
karakter kepribadiaan seseorang, bukan hanya untuk meredakan gejala (Sadock, Sadock,
& Ruiz, 2015)

e. Terapi Elektrokonvulsi (ECT)


ECT biasanya digunakan jika pasien tidak berespon terhadap
farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak dapat mentoleransi
farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat yang memperlihatkan
perbaikan sangat cepat dengan penggunaan ECT (Ismail & Siste, 2015)

f. Terapi Keluarga
Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan pasien atau
fungsi keluarga atau jika gangguan mood bertambah atau dipertahankan oleh situasi
keluarga. Terapi keluarga memeriksa peranan anggota keluarga yang mengalami
gangguan mood di dalam kesejahteraan psikologis seluruh keluarga, terapi keluarga juga
memeriksa peranan seluruh keluarga di dalam mempertahankan gejala pasien (Sadock,
Sadock, & Ruiz, 2015)
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Maternal Depressive Symptoms merupakan kondisi kelainan psikiatri yang
terjadi pada ibu hamil sampai dengan postpartum. Kondisi ini dibagi menjadi
postpartum blues, postpartum depression dan postpartum psychosis. Depresi Pasca
Persalinan atau disebut Postpartum Depression merupakan istilah yang digunakan pada
pasien yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul dalam waktu 4
minggu hingga beberapa bulan setelah melahirkan.
Gangguan postpartum berkaitan dengan riwayat obstetri, perubahan hormon,
perubahan psikologis dan lingkungan yang tidak memadai. Gejala depresi pasca
persalinan mirip dengan kriteria diagnosis gangguan depresi mayor dengan
menggunakan Diagnostic And Statisctical Manual of Mental Disorders edisi V DSM-V
dan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) sebagai kriteria penegak diagnostik.

3.2. Saran
Berdasarkan uraian diatas disarankan agar dapat mengetahui dan memahami
dalam mengenai Maternal Depressive Symptoms dengan pendalaman materi berupa
postpartum blues, postpartum depression dan postpartum psychosis. Diharapkan juga
penulisan referat terbaru mengenai Depresi Pasca Persalinan ini sehingga pengetahuan
dan wawasan mengenai adiksi gadget dapat bertambah.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2017). American Psychiatric Association :


Deppression. Retrieved Juni 29, 2020, Diunduh from
https://www.psychiatry.org/patients-families/depression/what-is-depression

Anggarini, I. A. (2019). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Depresi Postpartum di


Praktik Mandiri Bidan Misni Herawati, Husniyati dan Soraya. Jurnal Kebidanan , 8 (2),
94-104.

Cleveland Clinic. (2018). Depression After the Birth of a Child or Pregnancy Loss.
Retrieved Juni 28, 2020, from https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/9312-
depression-after-the-birth-of-a-child-or-pregnancy-loss

Ismail, R. I., & Siste, K. (2015). Gangguan Depresif. In S. D. Elvira, & G. Hadisukanto,
Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Indriasari, S. (2017). Tingkat Depresi pada Ibu Postpartum di Puskesmas


Morokrembang Surabaya. Dunia Keperawatan , 5 (1), 43-49.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Panduan Pelayanan Pasca


Persalinan bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kumalasari, I., & Hendawati. (2019). Faktor Resiko Kejadian Postpartum Blues di Kota
Palembang. Jurnal Kesehatan Poltekkes Palembang , 14 (2), 91-96.

Marmer, L., & Ariana, A. (2016). Persepsi terhadap Dukungan Suami pada Primipara
yang Mengalami Depresi Pasca Melahirkan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan
Mental , 5 (1), 1-10.

Maramis, W. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University


Press.

Muslim, B. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta: PT. Nuh jaya.

National Institute of Mental Health,. (2017). Depression. Retrieved Juni 29, 2020,
diunduh from https://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/index.shtml

Nasri, Z., Wibowo, A., & Ghozali, E. (2017). Faktor Determinan Depresi Postpartum di
Kabupaten Lombok Timur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan , 20 (3), 89-95.

Pradnyana, E., Westa, W., & Ralep, N. (2013). Diagnosis dan Tatalaksana Depresi
Postpartum pada Primipara. Retrieved Juni 29, 2020, diunduh from
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewF ile/4877/3663
Rusli, R., Meiyuntariningsih, T., & Warni, W. (2011). Perbedaan Depresi Pasca
Melahirkan pada Ibu Primipara Ditinjau dari Usia Ibu Hamil. Insan , 12 (1), 21-31.

Sadock, B., Sadock, V., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences Clinical Eklektic Psychiatry. 11th. Philadelphia: Wolters Kluwer.

Soep. (2011). Penerapan Edinburgh Post-Partum Depression Scale sebagai Alat Deteksi
Risiko Depresi Risiko Nifas pada Primipara dan Multipara. Jurnal Keperawatan
Indonesia , 14 (2), 95-100

Upadhyay, R., Chowdhury, R., Salehi, A., Sarkar, K., Singh, S., Sinha, B., et al. (2017).
Postpartum Depression in India : A Systematic Review and Meta-Anaysis. World Health
Organization , 95 (10), 706-717.

World Heath Organization. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders.
Switzerland: World Heath Organization.

Wisner, K., Parry, B., & Piontek, C. (2002). Postpartum Deppression. The New England
Journal of Medicine , 347 (3), 194-199.

Warsiki, E., Haniman, F., Sauli, S., Margono, H., & Aryono, D. (2003). Postnatal
Deppression in Three Hospitals in Surabaya. Folia Medica Indonesiana , 39 (4), 251-
258.

Anda mungkin juga menyukai