Anda di halaman 1dari 73

GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

Muhammad Iqbal Rahim1, Hesti Gunarti2, Nurhuda Hendra Setyawan2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

RADIOLOGICAL FINDINGS ON CRANIOSYNOSTOSIS

ABSTRACT
Craniosynostosis is a condition in which there is premature fusion of one or more cranial sutures, causing neurological disorders, distinctive
deformities of the face and skull, also accompanied by increased intracranial pressure, visual impairment, deafness and cognitive deficits.
Craniosynostosis may appear in primary or secondary secondary to other disorders. As many as 85% of primary craniosynostosis emerged as
a single condition while the remaining 15% as part of the multisystem syndrome.

Radiological examination is important for accurate diagnosis, surgical planning, therapeutic evaluation and identification of comorbid anom-
alies and complications related to craniosynostosis. Computed Tomography (CT) with 3-D reconstruction is a technique used to diagnose
craniosynostosis because it can provide a better picture of bone. Nevertheless, the presence of radiation exposure from CT scan, especially in
infants causes the authors to look for alternatives to other radiological examination techniques including the use of ultrasonography, plain
cranial rontgen and MRI.

Keywords: craniosynostosis, premature fusion, skull, cranial deformation, CT Scan 3D.

ABSTRAK
Kraniosinostosis merupakan kondisi dimana terdapat fusi prematur dari satu atau lebih sutura kranial, yang menyebabkan kelainan neurolo-
gi, deformitas yang khas pada bentuk wajah dan tengkorak, juga disertai peningkatan tekanan intrakranial, gangguan penglihatan, tuli dan
defisit kognitif. Kraniosinostosis dapat muncul secara primer maupun secara sekunder yang diakibatkan gangguan lain. Sebanyak 85% krani-
osinostosis primer muncul sebagai kondisi tunggal sedangkan 15% sisanya sebagai bagian dari sindrom multisistem.

Pemeriksaan radiologis penting dilakukan untuk penegakkan diagnosis yang akurat, perencanaan operasi, evaluasi terapi dan identifikasi
anomali penyerta serta komplikasi yang berkaitan dengan kraniosinostosis. Computed Tomography (CT) dengan rekonstruksi 3 dimensi mer-
upakan teknik yang digunakan untuk menegakkan diagnosa kraniosinostosis karena dapat memberikan gambaran tulang yang lebih baik.
Meskipun demikian, adanya paparan radiasi dari CT scan terutama pada bayi menyebabkan penulis mencari alternatif teknik pemeriksaan
radiologis lain termasuk penggunaan ultrasonografi, rontgen kranium polos dan MRI.

Kata kunci: craniosynostosis, premature fusion, skull, cranial deformation, CT Scan 3D

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 66


GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

PENDAHULUAN anterior pada rentang usia 20 hingga 26 bulan dan penutupan


fontanela posterior 3 hingga 4 bulan, dengan penutupan semi
Kraniosinostosis merupakan kondisi dimana terdapat permanen pada usia 12 tahun, dan penutupan permanen
fusi prematur dari satu atau lebih sutura kranial, yang terjadi pada usia 40 atau 50 tahun. Kraniosinostosis biasanya
menyebabkan kelainan neurologi, deformitas yang khas timbul saat lahir namun mungkin tidak dapat didiagnosis
pada bentuk wajah dan tengkorak, juga disertai peningkatan sampai bulan-bulan awal. dari kehidupan anak.13,15
tekanan intrakranial, gangguan penglihatan, tuli dan defisit
kognitif. Kraniosinostosis dapat muncul secara primer Kraniosinostosis dapat diklasifikasikan menjadi non-
maupun secara sekunder yang diakibatkan gangguan sindromik dan sindromik. Kraniosinostosis non-sindromik
lain. Kraniosinostosis primer merupakan fusi prematur dari mengacu pada permasalah sporadik yang biasanya
satu atau lebih sutura yang disebabkan oleh gangguan mempengaruhi satu sutura dan menyebabkan pola
perkembangan selama embriogenesis dan kraniosinostosis deformitas tulang yang khas (Gambar 1). Synostosis sagital
sekunder akibat penyebab mekanis seperti kompresi berkaitan dengan bentuk kepala scaphocephalic (“perahu”)
intrauterin tengkorak fetus, pengaruh metabolik dan efek dengan elongasi dimensi anteroposterior. Synostosis
teratogenik. Sebanyak 85% kraniosinostosis primer muncul metopik berkaitan dengan tampilan trigonosephalic (bentuk
sebagai kondisi tunggal sedangkan 15% sisanya sebagai segitiga) dengan rangka depan dan sering disertai dengan
bagian dari sindrom multisistem. adanya hipotelorisme. Synostosis bilateral koronal berkaitan
dengan bentuk kepala brachycephalic, pemendekan dimensi
Pemeriksaan radiologis penting dilakukan untuk anteroposterior dan pelebaran dimensi tranversal. Bentuk
penegakkan diagnosis yang akurat, perencanaan operasi, kepala plagiocephalic dapat dikaitkan baik dengan unilateral
evaluasi terapi dan identifikasi anomali penyerta serta coronal synostosis (UCS) atau unilateral lambdoid synostosis
komplikasi yang berkaitan dengan kraniosinostosis. (ULS) dimana keduanya disebut sebagai plagiocephaly
Computed Tomography (CT) dengan rekonstruksi 3 dimensi nonsynostotik.2
merupakan teknik yang digunakan untuk menegakkan
diagnosa kraniosinostosis karena dapat memberikan Sindrom kraniosinostosis melibatkan pola
gambaran tulang yang lebih baik. Meskipun demikian, adanya kraniosinostosis pada beberapa sutura yang seringkali
paparan radiasi dari CT scan terutama pada bayi menyebabkan diketahui merupakan pola keturunan dan sering juga disertai
penulis mencari alternatif teknik pemeriksaan radiologis lain dengan deformitas ekstremitas yang khas. Hal ini termasuk
termasuk penggunaan ultrasonografi, rontgen kranium polos sindrom Pfeiffer, Crouzon, Apert dan Saethre-Chotzen
dan MRI. Oleh sebab itu, untuk pembelajaran lebih lanjut acrocephalosyndactyly. Spesialis bedah sering menggunakan
tulisan ini akan membahas mengenai temuan radiologis pada istilah disostosis kraniofasial untuk menggambarkan sindrom
kraniosinostosis. manapun yang disertai kraniosinostosis, hipoplasia midface
dan dismorfik basis kranii.1,2

Tujuan

Mengetahui gambaran radiologi yang ditemukan pada


kraniosinostosis

Definisi

Kraniosinostosis merupakan fusi prematur dari sutura


kranium. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kalvaria yang
asimetris sehingga menghasilkan deformitas yang khas.
Gejala klinis yang nampak akan bervariasi dari deformitas
kosmetik minor hingga restriksi pertumbuhan kepala yang
berat dengan retardasi mental dan kranial palsy. Etiologi pasti
dari kraniosinostosis masih belum diketahui secara pasti tetapi
pada beberapa kasus nampak adanya kontribusi gangguan
genetik terhadap terjadinya kraniosinostosis.1
Rentang normal penutupan fontanela pada bayi menjadi
adalah dari usia 4 sampai 26 bulan ; penutupan fontanela

67 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Iqbal Rahim, Hesti Gunarti, Nurhuda Hendra Setyawan

Gambar 1. CT scan 3 dimensi reformasi permukaan cranium pada craniosynostosis tipe non-sindromik2

Anatomi dan Viscerocranium (tulang-tulang yang membentuk


wajah). Neurocranium terdiri atas tulang-tulang pipih yang
Tengkorak dibentuk oleh tulang-tulang yang saling berhubungan satu dengan yang lain.14
berhubungan satu sama lain dengan perantaraan sutura.
Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan yaitu tabula eksterna,
diploe dan tabula interna. Pada orang dewasa ketebalan dari Neurocranium dibentuk oleh :
tulang tengkorak bervariasi antara tiga milimeter sampai
dengan 1,5 centimeter, dengan bagian yang paling tipis Os. Frontale sebanyak 1 buah, Os. Parietale sebanyak 2
terdapat pada daerah pterion dan bagian yang paling tebal buah, Os. Occipitalis sebanyak 1 buah, Os. Temporale sebanyak
pada daerah protuberantia eksterna.3 2 buah, Os. Sphenoidale sebanyak 1 buah, Os. Ethmoidalis
sebanyak 1 buah
Sutura merupakan tempat pertemuan 2 tulang.
Sutura inilah yang memampukan tulang tengkorak bayi
dapat bergerak menyesuaikan agar dapat lahir melewati Viscerocranium dibentuk oleh :
kanal serviks. Seiring dengan pertumbuhan anak, sutura
dapat berkembang mengakomodasi pertumbuhan otak. Os. Maksilare sebanyak 2 buah, Os. Palatinum sebanyak
Otak anak akan bertambah besar 2 kali lipat hingga usia 2 2 buah, Os. Nasale sebanyak 2 buah, Os. Lacrimale sebanyak
tahun. Setelah usia 2 tahun, sutura ini akan mengalami fusi 2 buah, Os. Zygomatikum sebanyak 2 buah, Os. Concha
bersamaan dengan menutupnya fontanela. nasalis inferior sebanyak 2 buah, Vomer sebanyak 1 buah, Os.
Mandibulare sebanyak 1 buah.

Ada tiga macam sutura yaitu :3


Norma Vertikalis
Sutura serrata, dimana tepi dari masing-masing tulang
berbentuk sebagai gigi-gigi gergaji dan gigi-gigi ini saling Tengkorak dilihat dari atas tampak seperti oval
mengapit. Sutura skuamosa, dimana tepi dari masing-masing dengan bagian occipital lebih besar dibandingkan dengan
tulang menipis dan saling menutupi, dan Sutura harmoniana bagian frontal. Dari aspek/pandangan ini terlihat tiga sutura
atau sutura plana, dimana tepi dari masing-masing tulang yaitu sutura coronal yang menghubungkan antara bagian
lurus dan saling merapat. belakang tulang frontal dan bagian depan tulang parietal,
sutura sagital yang merupakan garis median tengkorak
Tulang tengkorak dibagi menjadi dua bagian yaitu dan menghubungkan tulang parietal kanan dan kiri, sutura
Neurocranium (tulang-tulang yang membungkus otak) lambdoid yang menghubungkan bagian belakang tulang

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 68


GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

parietal dan bagian atas tulang occipital.3 seluruhnya.


Pada norma occipitalis tampak Os. Occipital dengan
Pertemuan antara sutura coronal dan sutura sagital bagian-bagian protuberantia occipitalis eksterna, linea
dinamakan bregma, yang pada anak-anak masih berbentuk nuchae superior, linea nuchae inferior dan inion. Os. Parietale
celah yang dinamakan fontanel anterior. Sedangkan dan Os. Temporalis. 3
pertemuan antara sutura sagital dan sutura lambdoid
dinamakan lambda yang diambil dari Yunani Z, pada anak-
anak daerah ini dinamakan fontanel posterior. Pada tulang Norma Lateralis
parietal dekat dengan sutura sagital dan sekitar 3,5 centimeter
diatas lambda terdapat foramen parietal yang merupakan Pada aspek ini tampak : Os.frontale, disini tampak
tempat berjalannya vena emisaria.3 linea temporalis superior dan linea temporalis inferior
yang berjalan mulai dari procesus zygomaticum melintasi
sutura coronale sampai ke os.parietale. Os.Zygomaticum
Norma Frontalis dengan procesus frontalis yang berhubungan os.frontale
dan procesus temporalis yang berhubungan dengan os
Dilihat dari depan tengkorak tampak oval dengan bagian temporalis. Os.temporale dengan procesus zygomaticus
atas lebih lebar daripada bagian bawah. Bagian atas dibentuk yang berhubungan dengan os.occipital, os.parietal dan
oleh os. Frontal yang konveks dan halus sedangkan bagian os.sphenoidale procesus mastoideous yang menonjol ke
bawah sangat irreguler. Diatas kedua cavum orbita terdapat caudal aucticus eksternus. Os.parietale dengan tuberculum
tonjolan yang melengkung dinamakan arcus superciliare parietale, linea temporalis superior dan linea temporalis
yang tampak lebih menonjol pada pria dibandingkan dengan inferior. 3
pada wanita dan diantara kedua arcus terdapat bagian yang
menonjol yang disebut glabela. Dibawah glabela terdapat
nasion yang merupakan pertemuan antara sutura internasal Calvaria Cap
dan sutura frontonasal.3
Calvaria cap dilihat dari dalam (internal surface):
Cavum orbita menyerupai segi empat dimana pada sisi Permukaan calvaria memperlihatkan sutura coronaria,
atas (supraorbita margin) dibentuk oleh os. Frontal yang pada sagittalis, dan lambdoidea. Pada bagian depan terdapat cristal
1/3 medialnya terdapat supraorbital norch yang merupakan frontalis, tempat melekatnya falks cerebri, berlanjut kearah
tempat keluarnya pembuluh darah dan saraf supraorbita. Sisi atas membentuk sulkus sagitalis yang makin kebelakang
lateral dibentuk oleh prosedur frontal os. Zygomaticum dan makin lebar, sulkus ini tempat berjalannya sinus sagitalis
proccesus zygomaticum os. Frontale. Sisi bawah atau posterior superior. Di kedua sisi lateralnya terdapat lekukan-lekukan
orbital margin dibentuk oleh os. Zygomaticum dan os.maksila. kecil yang terbentuk karena gralunasi arachnoid dan disebut
Sisi medial dibentuk oleh bagian atas os. Frontal dan bagian juga granural foveolea.3
bawah os. Lacrimal.
Arteri dan vena meningea media bercabang kedepan
Pada norma frontalis tampak : Os. Frontale dengan kurang lebih 1 cm dibelakang sutura coronaria. Cabang
tuberculum frontale, tonjolan pada kening dikanan kiri, parietal terbagi dua, kedepan dan kebelakang pada sisi dalam
arcus superciliaris, tonjolan yang melengkung diatas mata dari os.parietal, cabang-cabang kecil ke frontal dan occipital.
kanan dan kiri, glabela. Os. Nasale Os. Maksilare, dengan : Sekitar 3,5 cm didepan sutura lambdoidea terdapat foramen
fossa canina, cekungan di kanan kiri hidung, jugum alveolare, parietal yang merupakan tempat lewatnya vena emisaria.3
tonjolan yang didalamnya terdapat akar gigi, spina nasalis
anterior, Os. Maksila dan Os. Nasale membatasi apertura
nasalis anterior atau apertura piriformis. Os. Zygomaticum Os. Basis Kranii
Mandibula dengan bagian-bagian : ramus mandibula, pars
alveolare, protuberantia mentalis, tuberculum mentale, basis Cranial base dilihat dari dalam (internal surface) : Dasar
mandibulla dan angulus mandibulla.3 tengkorak dibagi menjadi beberapa fossa yaitu fossa anterior,
fossa media dan fossa pasterior. Dari aspek ini tampak jelas
cetakan dari otak. Pada dasar tengkorak durameter melekat
Norma Occipitalis erat dan masuk ke dalam foramen-foramen.3

Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan Fossa anterior dasar tengkorak terdiri dari lempeng
roti dengan lengkung pada bagian atas dan samping, datar cribiforme os.ethmoidal, pada bagian depannya terdapat
pada bagian bawahnya. Sutura lambdoid dapat tampak bagian yang menonjol keatas disebut crista gali. Bagian orbita

69 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Iqbal Rahim, Hesti Gunarti, Nurhuda Hendra Setyawan

os.frontal, merupakan bagian terbesar dari fossa anterior, cerebelum, pons dan medulla oblongata. Foramen magnum,
pada bagian depan medial terdapat sinus frontalis, bagian merupakan tempat peralihan dari medulla spinalis. Foramen
belakang berbatasan langsung dengan lesser wing of sphenoid juglare, merupakan tempat erjalannya n.glosopharingeous.
bone. Os.sphenoid, terdiri dari greater dan lesser wing yang Dibagian posterior terdapat sulkus sigmoid yang berisi sinus
menyatu pada sisi lateral fisura orbitalis superior. 3,14 signoid yang berlanjut menjadi v.jugularis interna. Canalis
hipoglosus, terletak lateral dari foramen magnum dan berisi
Fossa media dasar tengkorak, lebih dalam dibandingkan n.hipogrosus. Meatus acusticus interna terletak bagian depan
dengan fossa anterior. Pada bagian sentral terdapat carnalis dari foramen jugulare dan di bagian atasnya terdapat canalis
optikus tempat lewatnya nervus optikus, arteri ophtal milk fascialis yang merupakan tempat lewatnya n.fascialis.3,14
dan meningens. Pada bagian depan terdapat sella tursica
yang merupakan tempat hipofisis. Pada sisinya terdapat
fissura orbitalis superior, bagian tengah lebih lebar berisi Epidemiologi
n.opticus, v.ophtalmicus, n.occulomotor, n.trochleas dan
beberapa pembuluh darah kecil. Foramen rotundum yang Prevalensi total dari kraniosinostosis pada populasi
berjalan kearah depan menuju fossa pterigo palatina dan berkisar antara 43-48 tiap 100.000 kelahiran hidup. Insiden
berisi maksilaris (V-2). Foramen ovale, berjalan kearah bawah yang lebih tinggi dilaporkan di Colorado Amerika Serikat,
menuju fossa infra temporal dan berisi n.mandibulla (V-3). tetapi apa yang mengakibatkan hal tersebut masihlah belum
Foramen spinosum, terletak posterolateral dari foramen ovale diketahui. Pada populasi umum, kasus kraniosinostosis
dan berisi arteri meningea media. Foramen lacerum, terletak sindromik lebih jarang dijumpai dibandingkan non-
postero medial dari foramen ovale dan berisi arteri carotis sindromik. Kraniosinostosis sagital dan koronal merupakan
interna. 3,14 tipe kraniosinostosis yang paling banyak dijumpai yaitu 56%
dan 22% dari total keselurahan kasus kraniosinostosis. Pada
Fossa posterior dasar tengkorak merupakan fossa yang anak-anak dengan gangguan kraniosinostosis sindromik baik
paling besar dan dalam diantaranya fossa-fossa lainnya berisi sindrom Crouzon, Apert maupun Pfeifer, synostosis hampir
selalu dapat ditemukan.1

Patogenesis

Patogenesis dari kraniosinostosis non-sindromik


masih belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori
mengenai penyebab gangguan ini. Virchow menyatakan
bahwa defek utama terletak pada sutura yang kemudian
menjalar hingga basis kranii melalui mekanisme yang tidak
diketahui secara pasti. Teori yang disampaikan oleh Moss
menyatakan bahwa basis kranii merupakan sumber dari
defek utama pada kraniosinostosis yang kemudian berefek
pada sutura melalui duramater. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa duramater memiliki berbagai peran
penting dalam menentukan patensi sutura. Tetapi beberapa
peneliti lain yang meyakini bahwa otak yang berkembang
merupakan penyebab utama dari terdapatnya fenotipe
kraniosinostosis.2,12

Berkebalikan dengan kraniosinostosis non-sindromik,


kemajuan yang signifikan telah dibuat untuk menentukan
jalur genetik spesifik yang berkaitan dengan patogenesis
kraniosinostosis sindromik. Pada sindrom autosomal dominan
Crouzon dan Apert, ditemukan berbagai mutasi pada
reseptor fibroblast growth factor (FGFR2) yang merupakan
famili dari reseptor transmembran protein tyrosin kinase.
Reseptor ini diketahui mengalami mutasi pada semua
Gambar 2. Anatomi tulang kranial4 kasus kraniosinostosis. Mutasi pada gen ini menyebabkan
konsekuensi selular yang kompleks termasuk peningkatan

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 70


GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

proliferasi, diferensiasi dan apoptosis osteoblas yang Ct scan 3 dimensi dan helical dapat meningkatkan
membatasi mesenkim sutura kranialis.2,5,12 akurasi dalam mendiagnosis kraniosinostosis hingga 90%-
100%. CT scan memungkinkan dilakukannya evaluasi
Sindrom Asethre-Chotzen diketahui berkaitan dengan berkelanjutan dari pertumbuhan otak dan identifikasi adanya
mutasi pada gen TWIST. Gen ini berperan dalam menjaga batas deformitas kraniofasial serta volume ventrikel. CT scan juga
perkembangan antara neural crest dan mesoderm sefalik dapat menyingkirkan penyebab lain dari pertumbuhan kranial
pada lokasi sutura koronalis. Kraniosinostosis tipe Boston yang asimetris seperti hemiatrofi otak dan memfasilitasi
berkaitan dengan mutasi gen MSX2. Meskipun telah banyak perencanaan tindakan operatif untuk mengkoreksi gangguan
kemajuan dalam area ini tetapi masihlah diperlukan penelitian ini.6
lebih lanjut untuk memahami kompleks biokimia dan jalur
morfologi yang menyebabkan mutasi genetik sehingga dapat
menghasilkan fenotipe klinis pada kraniosinostosis.2,5,12 Tatalaksana

Tatalaksana operatif terutama diindikasikan pada


situasi emergensi. Hal ini bertujuan untuk memproteksi
saluran pernapasan, proteksi mata dan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Tatalaksana operatif yang bersifat elektif
ditujukan untuk mencegah berkembangnya deformitas dan
mencegah semakin bertambahnya peningkatan tekanan
intrakranial.11

Operasi untuk penderita kraniosinostosis dilakukan


untuk menghindari berbagai komplikasi jangka panjang
seperti gangguan psikis akibat deformitas tubuh dan alasan
kosmetik lainnya hingga untuk menghindari terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial. Rentang usia optimal untuk
dilakukannya tindakan operatif pada kraniosinostosis adalah
usia 9-12 bulan. Tindakan operatif terdiri dari kombinasi
pendekatan intrakranial dan ekstrakranial dimana dilakukan
bi-frontral kraniotomi. Potongan tengkorak dibentuk ulang
Gambar 3. Distribusi dan tipe mutasi yang sering terlihat pada kasus agar memungkinkan pertumbuhan otak selanjutnya. Insisi
craniosynostosis.5 biasanya luas dari telingan satu ke yang lain (Gambar 4).
Komplikasi dari tindakan operatif ini termasuk pembengkakan
Diagnosis wajah, kehilangan darah karena usia pasien yang masih
muda sehingga perlu diberikan tranfusi darah, dan kesulitan
Diagnosis kraniosinostosis didasarkan pada gambaran mempertahankan aliran napas.7,8,9,11
klinis seperti adanya penurunan ukuran tengkorak seiring
dengan adanya fusi tengkorak, pemanjangan perpendikuler
tengkorak seiring dengan fusi sutura dan lipatan tengkorak
seiring fusi sutura. Restriksi pertumbuhan pada sutura
menyebabkan kompensasi pertumbuhan pada sutura yang
masih membuka.

Ultrasonografi dan MRI fetal dapat digunakan untuk


melihat adanya kraniosinostosis selama dan setelah trimester
kedua. Meskipun pemeriksaan radiologis konvensional
dapat memperlihatkan fusi sutura, tetapi temuan radiologis
sering tidak dapat diandalkan pada trimester pertama.
Pada pemeriksaan CT scan, synostosis tiap sutura kranialis
memperlihatkan gambaran khas tiap tipe kraniosinostosis
mayor tetapi pemeriksaan CT scan 3 dimensi merupakan
pemeriksaan yang paling baik untuk menegakkan diagnosis
kraniosinostosis primer dan sekunder.6
Gambar 4. Garis insisi pada operasi rekonstruksi craniosynostosis9

71 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Iqbal Rahim, Hesti Gunarti, Nurhuda Hendra Setyawan

Penggunaan terapi endoskopi juga menjadi pilihan Foto polos pada mulanya digunakan sebagai modalitas
pada beberapa pasien anak yang memenuhi syarat. Biasanya diagnostik pertama dari kraniosinostosis. Hal ini karena
dilakukan pada bayi usia 3-6 bulan dengan deformitas yang pemeriksaan foto polos murah, memberiakan radiasi yang
tidak terlalu kompleks. Pada teknik ini, ahli bedah membuat Foto polos pada mulanya digunakan sebagai modalitas
insisi kecil yang memungkinkan endoskopi mereseksi diagnostik pertama dari kraniosinostosis. Hal ini karena
sutura yang tertutup kemudian dimasukkan plate yang pemeriksaan foto polos murah, memberiakan radiasi yang
dapat diabsosrbi tubuh (Gambar 5). Setelah itu pasien harus minimal dan mudah dijangkau. Pemeriksaan ini termasuk
menggunakan helm khusus untuk membentuk tulang foto posisi anteroposterior, projeksi Towne dan posisi lateral.
tengkorak hingga 6-8 bulan setelah operasi. Tindakan ini lebih Tetapi seiring dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
tidak invasif dan jarang membutuhkan tranfusi darah serta maka diketahui bahwa akurasi foto polos dalam mendeteksi
waktu perawatan di rumah sakit yang lebih singkat.7,8,9,11 kraniosinostosis tidaklah terlalu baik.1

Penggunaan CT scan merevolusi pemeriksaan


pencitraan pada kraniosinostosis. Modalitas pemeriksaan
ini tidak hanya menunjukkan patologi tulang tetapi juga
memungkinkan deteksi abnormalitas intrakranial lainnya
termasuk hidrosefalus dan anomali perkembangan otak
seperti agenesis korpus kalosum. Selain itu CT scan dapat
pula mengidentifikasi penyebab alternatif dari morfologi
kranial yang asimetris seperti herniatrofi otak dan gangguan
subdural kronik.1

Akhir-akhir ini mulai banyak ketertarikan dalam


Gambar 5. Garis insisi operasi endoskopi pada craniosynostosis9 penggunaan pemeriksaan ultrasonografi dalam menegakkan
diagnosis kraniosinostosis. Hal ini disebabkan karena
Pembahasan pemeriksaan USG memberikan efek radiasi ionisasi yang kecil
dan tidak perlu menggunakan sedasi. Tetapi pemeriksaan
Pemeriksaan radiologis bermanfaat untuk menegakkan ini sangat bergantung terhadap kemampuan operator
diagnosis kraniosinostosis. Pemeriksaan foto polos kranium yang memerlukan pelatihan khusus sebelumnya dan tidak
memberikan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Berbagai dianjurkan digunakan pada bayi berusia lebih dari 13 bulan.
penelitian menunjukkan CT scan 3D sebagai uji diagnostik Secara teknis, pemeriksaan ini mencangkup pemeriksaan
yang paling baik untuk kasus kraniosinostosis dengan pada sutura dengan transducer frekuensi tinggi (biasanya 7.5
sensitivitas hingga 96%-100%. Selain itu CT scan dapat MHz) dan menggunakan gel sebagai medium kontak.1
digunakan untuk mendeteksi patologis intrakranial lainnya.
Algoritma pemeriksaan radiologis dalam penegakkan Tengkorak anak normal menunjukkan berbagai
diagnosa kraniosinostosis dirangkum dalam Gambar 4. penampilan pada hari awal kelahiran hingga beberapa
Algorima diagnostik ini berdasarkan perbedaan klinis antara bulan setelahnya karena pertumbuhan otak disertai dengan
kraniosinostosis sindromik dengan non-sindromik.1 perubahan tulang kranial dan sutura terjadi pada 2 tahun
awal kehidupan (Gambar 5.) pemeriksaan foto polos dan CT
scan 3D sutura paten yang normal memberikan gambaran
radiolusen, dengan garis bergerigi yang tidak lurus (Gambar
5). Pemeriksaan USG terhadap sutura paten yang normal
memberikan gambaran celah fibrous hipoechoik antara tulang
kranial hiperechoik dengan tampilan ujung hingga ujung pada
scan transversal dari sinus sagitalis (Gambar 6). Pemeriksaan
MRI kurang dapat mengidentifikasi sutura dengan baik. Eley
dkk menyataan gambaran gradien echo baru pada sekuens
MRI (“Black bone”) yang meminimalkan kontras jaringan lunak
untuk meningkatkan batas tulang dengan jaringan lunak
dan dapat memberikan gambaran sutura paten yang normal
sebagai hiperintensitas yang dibedakan dari kekosongan
sinyal pada tulang tengkorak (Gambar 7).10

Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnostik craniosynostoisis1

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 72


GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

Fusi prematur pada sutura kranial akan membatasi pertumbuhan perpendikuler kranial dari sutura yang mengalami
gangguan dan diikuti sutura lainnya sebagai mekanisme kompensasi. Hal ini menyebabkan gangguan khas bentuk tengkorak
yang nampak pada kraniosinostosis. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mengkonfirmasi adanya fusi sutura tersebut dan
mengidentifikasi deformitas tulang, patologi intrakranial dan komplikasi lainnya.6,10

Gambar 5. Gambar anatomi normal sutura kranial pada neonatus usia 2 hari (A-G) dam 19 hari (H dan I) serta bayi usia 12 bulan (J-N)
menggunakan rontgen dan CT Scan 3D. Gambar A dan B merupakan tampilan AP menggunakan rontgen polos dan CT scan 3D; gambar
C dan D merupakan tampilam lateral; E dan F merupakan tampilan PA neonatus usia 2 hari; H dan I merupakan tampilan PA neonatus usia
19 hari dan J-N merupakan gambaran anak usia 12 bulan. Gambar tampilan superior (G dan N) hanya menunjukkan gambaran CT scan 3D.
Sutura normal metopik (M), coronal (C), sagital (S), lambdoid (L), mendosal (Ms), transversal ocipital (TO) dan sguamosal (SS) nampak sebagai
gambaran radioulsen, garis bergigi dan tidak lurus pada rontgen polos dan CT scan 3D. Fontanela anterior (AF), posterior (PF), sfenoidla (SF)
fan mastoid (MF) nampak sebagai ruang radioulsen. Sutura radioulsen dan bergigi menjadi lebih jelas seiring dengan bertambahnya usia.
Sutura metopik yang mengalami fusi sebagian, AF terbuka dan PF tertutup adalah normal pada usia 12 bulan (J,K,N).10

73 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Iqbal Rahim, Hesti Gunarti, Nurhuda Hendra Setyawan

Gambar 6. Temuan ultrasonografis dari sutura kranial normal Gambar 7. Gambaran MRI pada sutura kranial normal, aksial (deretan
pada anak usia 2 hari. A. Sonogram transversal dari sutura sagitalis atas) dan coronal (deretan bawah) merupakan gambaran “black bone”
menunjukkan sutura sebagai celah hipoechoic (S) antara tulang menunjukkan sutura kranial paten yang normal sebagai gambaran
kraniak hiperechoik (B) dengan tampilan dari ujung ke ujung. Sinus hiperintensitas yang berbeda dari kekosongan sinyal tulang kranial.
sagital supererior (SS) dan otak nampak dibawah tulang. B. Sonogram (sutura coronal: panah kuning; sutura lamdoid: panah biru; sutura
transversal dari sutura lambdoid menunjukkan sutura sebagai celah sagital: panah hijau; fontanela anterior: panah putih)10
hiperechoic (S) antara tulang hiperechoic (B).10

Fusi sutura yang prematur menunjukkan sklerosis perisutural, garis linear dan berkurangnya gambaran gerigi, atau tidak
nampaknya sutura tulang pada gambaran foto polos atau CT scan 3D. Tanda sekunder adanya peningkatan tekanan intrakranial
seperti gambaran “copper-beaten” juga nampak pada beberapa kasus. Soboleski dkk melaporkan temuan ultrasonografi pada
kraniosinostosis meliputi 1) hilangnya celah fibrous hipoechoic, 2) batas sutura bagian dalam menebal dan tidak teratur, 3)
hilangnya tepi “beveled” dan 4) fontanela yang asimetris. Pada MRI “black bone” sutura yang mengalami gangguan fusi nampak
dengan hilangnya gambaran sutura tersebut (Gambar 8).6,10

Gambar 8. Gambaran CT scan aksial dan coronal (a) axial dan coronal “black bone” MRI, (b) CT scan 3D, (c) MRI 3D “black bone”, (d) sinostosis
sagital (sutura coronal: panah kuning; sutura lamdoid: panah biru; lokasi sinostosis : panah hitam)10

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 74


GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

Restriksi pertumbuhan perpendikuler dari sutura pergeseran fontanela anterior ke arah kontraletral dan wajah
sagitalis menyebabkan penyempitan dan pemanjangan yang asimetris (Gambar 10).6,10
kranium dengan protrusio ocipital dan fusi sutura yang
bergerigi dan menumpuk. Deformitas ini dikarakteristikkan
dengan scaphocephaly (rangkak ranium yang masuk),
clinocephaly (kranium yang mendatar akibat hilangnya
kelengkungan tengkorak) dan leptocephaly (kranium yang
tinggi dan sempit) (Gambar 9).6,10

Gambar 10. Sinostosis unicoronal (kanan) panak anak perempuan


usia 12 bulan. A: foto polos dan CT scan 3D tampilan AP menunjukkan
fusi sutura coronal kanan, B: foto polos dan CT scan 3D tampilan
Gambar 9. Sinostosis sagital pada anak usia 11 tahun. Foto polos (A: superior dan lateral menunjukkan hilangnya sutura coronal kanan,
tampilan AP dan B: tampilan lateral) dan CT scan 3D (C) menunjukkan fossa kranial ipsilateral yang dangkal.10
hilangnya sutura sagital radioulsen (A da C) dan kranium yang
memanjang dengan protrusi ocipital (B dan c). Sutura coronal dan
lamdoid yang paten memiliki gambaran radioulsen, bergerigi dan
tidak lurus, dan fusi metopik adalah normal pada usia 11 bulan ini.10 Sinostosis bikoronal menyebabkan restriksi
pertumbuhan kearah anterior-posterior yang pada umumnya
menyebabkan brachycephaly (kranium pendek). Sinostosis
Sinostosis coronal menyebabkan terbatasnya bikoronal terisolasi jarang dijumpai sinostosis sindromik dan
pertumbuhan kearah anterior-posterior, bergerak lurus ke berkaitan dengan hipoplasia wajah bagian atas dan tengah
arah sutura coronaria dengan kompensasi pertumbuhan diikuti deformitas kraniofasial dan fusi prematur sutura basis
secara berlebih ke arah parietal, perpendikuler dengan sutura kranii yang menyebabkan pengecilan fossa posterior. Pada
sagittalis. Sinostosis unicoronal menyebabkan plagiocephaly gambar 11 menunjukkan fusi sutura bicoronal, dimensi
anterior (kranium obliq) dan terlihat pemendekan ipsilateral anterior-posterior yang memendek dan biparietal yang
dari fossa anterior kranial dengan pelebaran atap dan dinding memanjang dan deformitas bilateral “harlequin eye” dengan
lateral dari cavum orbita (Harlequin appearance), hipoplastik pemanjang jarak interorbital (hipertelorisme).6,10
supraorbital ridge, peninggian sphenoid wings ipsilateral,

75 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Iqbal Rahim, Hesti Gunarti, Nurhuda Hendra Setyawan

Fusi prematur dari sutura metopik menyebabkan bagian Fusi prematur unilateral menyebabkan plagiocephaly
depan kepala (regio frontal) teraba dan fossa kranial anterior posterior (deformitas oblik dari kranium posterior) yang sering
yang kecil dengan dahi berbentuk segitiga (trigonocephaly) disebabkan oleh masalah posisi dibandingkan fusi prematur
akibat kontriksi tulang frontal. Gambaran radiologi termasuk dari sutura kranialis. Oleh sebab itu, sinostosis lambdoid
pemendekan jarak interorbital (hipotelorisme), sinus ethmoid unilateral harus dapat dibedakan dari plagiocephaly posisional.
hipoplastik dan atap orbital yang naik ke arah medial (tampilan Gambar 13 menunjukkan pendataran ocipitoparietal
quizzical eye) (Gambar 12). Sinostosis metopik harus dapat ipsilateral kontralateral dan pergeseran fontanela posterior
dibedakan dari tepi metopik yang merupakan varian normal kearah kontralateral, penggandaan tepi ocipital akibat kranium
dari penutupan sutura metopik. Sepertiga kasus sinostosis posterior yang mengecil serta bergesernya dasar kranium.
metopik merupakan sindromik dan berkaitan dengan anomali Fusi bilateral dari sutura lamdoid menyebabkan turricephaly
otak dan palatum bagian tengah.6,10 (kranium yang tinggi atau dikenal juga sebagai oxycephaly
dan acrocephaly dengan pendataran ocipitoparietal bilateral
yang menyebabkan fossa kranial posterior mengecil.6,10

Gambar 11. Sinostosis bikoronal anak laki-lakii usia 1 bulan. Fusi


kedua sutura coronal nampak sebagai tepi yang sklerotik (panah)10

Gambar 12. Sinostosis metopik padan anak laki-laki usia 12 bulan.


Dusi sutura metopik nampak sebagai garis sklerotik linear pada foto
polos dan tepi menonjol pada CT scan 3D (panah). Nampak pula
Gambar 13. Sinostosis lamdoid unilateral (kiri) pada anak laki-laki
adanya trigonocephaly, hipotelorisme dan sinus ethmoid yang kecil
usia 8 bulan. Foto polos dan CT scan 3D menunjukkan fusi sutura
serta gambaran “quizzel eye”.10
dengan gambaran tepi linear dan sklsrotik (A dan B). Pendataran
ocipitoparietal ipsilateral (plagiocephaly posterior) dan pergeseran
fontanela posterioe kearah kontralateral. Kranium menunjukkan
konfigurasi trapezoid pada tampilan superior. Kranium unilateral
osterior yang kecil meyebabkan addanya gambaran kontur ganda
pada batas ocipital dari tampilan lateral (panah pada gambar B) dan
pergeseran dasar kranii nampak pada tampilan AP dan PA (garis pada
gambar A dan B).10

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 76


GAMBARAN RADIOLOGI PADA CRANIOSYNOSTOSIS

Sinostosis multisutura sering kali bersifat sindromik. KESIMPULAN


Pola sinostosis ini bervariasi tergantung kombinasi sutura.
Pansinostosis melibatkan sutura sagital, coronal dan lambdoid Kraniosinostosis dapat diklasifikasikan menjadi non-
dan merupakan bentuk paling berat sehingga menyebabkan sindromik (primer) dan sindromik (sekunder). Diagnosis
deformitas cloverleaf dari tulang (penonjulan regio temporal kraniosinostosis didasarkan pada gambaran klinis dan
dan proptosis berat) atau oxycephaly ( kranium yang sempit) pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologis penting
(Gambar 14). Sinostosis sagital dan lambdoid bilateral dikenal dilakukan untuk penegakkan diagnosis yang akurat,
sebagai sinostosis Mercedes Bens. Bentuk kompleks ini perencanaan operasi, evaluasi terapi dan identifikasi
sering disertai dengan komplikasi struktural dan fungsional anomali penyerta serta komplikasi yang berkaitan dengan
lainnya.6,10 kraniosinostosis.

Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan dengan


menggunakan rontgen polos, ultrasonografi, CT scan 3D
maupun MRI. Tatalaksana kraniosinostosis berupa tindakan
operatif yang diindikasikan pada situasi emergensi dan elektif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vinocur D.N., Medina L.S. (2010) Imaging in the Evaluation
of Children with Suspected Kraniosinostosis. In: Medina L.,
Applegate K., Blackmore C. (eds) Evidence-Based Imaging
in Pediatrics. Springer, New York, NY
2. Alex A. An Overview og Kraniosinostosis. JPO. 2004; 16(4):
50-55
3. Iskandar J. Anatomi Tulang Tengkorak. 2003 USU Digital
Library, Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara.
4. Gripp KW. Clinical approach to kraniosinostosis. In:
Muenke M, Kress W, Collman H, Solomon BD, editors.
Monographs in human genetics. Craniosynostoses:
molecular genetics, principles of diagnosis and treatment.
Vol. 19. Karger Publishing; Basel: 2011. pp. 199–215.
5. Johnson D, Andrew O. Kraniosinostosis. EJHG. 2011; 19:
369-76
6. Attaya, Hesham & Thomas, Joel & Alleman, Anthony.
(2011). Imaging of Kraniosinostosis from Diagnosis
through Reconstruction. Neurographics. 1. 121-128.
Gambar 14. Pansinostosis pada anak perempuasn usia 10 bulan
10.3174/ng.3110013.
dengan sindrom Crouzon. Foto polos dan CT scan 3D (B) menunjukkan
hilangnya sutura coronal, sagital dan lambdoid. Fontanela juga 7. Sharma R.Kraniosinostosis.Indian J Plast Surg.
nampak menutup. Kranium menyempit (oxycephaly). “Copper 2013;46(1):18-27.doi:10.4103/09700358.113702
beaten” juga nampak pada foto polas (A) yang menggambarkan 8. Burokas L. Kraniosinostosis: caring for infants and their
peningkatan tekanan intrakranial.10 families.Crit Care Nurse. 2013;33(4):39-51.
9. Surgical options for kraniosinostosis. John Hopkins
Medicine website. http://www.hopkinsmedicine.org/
neurology_neurosurgery/specialty_areas/pediatric_
neurosurgery/conditions/kraniosinostosis/surgery.html.
Accessed October 18,2017
10. Kim HJ, Roh HG, Lee IW. Kraniosinostosis : Updates
in Radiologic Diagnosis. Journal of Korean
Neurosurgical Society. 2016;59(3):219-226. doi:10.3340/
jkns.2016.59.3.219.

77 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Iqbal Rahim, Hesti Gunarti, Nurhuda Hendra Setyawan

11. Kirmi O, Lo SJ, Johnson D, Anslow P. Kraniosinostosis: A


radiological and surgical perspective. Semin ultrasound
CT MR. 2009; 30(6):492-512
12. Twigg SRF, Wilkie AOM. A Genetic-Pathophysiological
Framework for Kraniosinostosis. American Journal of
Human Genetics. 2015;97(3):359-377. doi:10.1016/j.
ajhg.2015.07.006.
13. avutoglu M, Okur N, Karabiber H, Guler E, Garipardic M,
Bodovoglu T. Kraniosinostosis associated with lacunar
skull : three-dimensional computed tomography features.
Eur J Gen Med. 2010;7(1):104-106
14. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Edisi 6, EGC, 2006;12:741-
750
15. Khanna, Paritos C, et al. Pictorial essay: The many faces of
kraniosinostosis. Indian J Radiol Imaging. 2011 Jan-Mar;
21(1): 49–56.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 78


GIANT INTRAMUSCULAR LIPOMA OTOT BICEPS BRACHII:

LAPORAN KASUS JARANG

Eristan N. Napitupulu1, Bambang Supriyadi2 , Yana Supriatna2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


2

GIANT INTRAMUSCULAR LIPOMA IN BICEPS BRACHII MUSCLE :

A RARE CASE

ABSTRACT
Intramuscular lipoma is a relatively uncommon condition and accounts for just 1,8% of all primary tumors of adipose tissue and less than
1% of all lipoma. This tumor arises within skeletal muscle fibers at various locations. However, giant intramuscular lipomas of biceps brachii
muscle are rare tumors.

A 48-years old man presented with a mass on his right upper-arm. The mass existed for one year and has since increased in size. On physical
examination, the mass was pain upon palpation and completely mobile. Plain radiography, the soft tissue mass unremarkable. Computed
tomography (CT) scan revealed a hypodense mass situated within right biceps brachii muscle with -72 until -83 Hounsfield. Magnetic
resonance imaging (MRI), the mass was found inside of biceps brachii muscle. In T1- and T2- weighted images, the lesion area demonstrated
high signal intensity, and SPAIR showed signal suppression similar to normal fat. The patient underwent radical excision of the lesion, which
was found to be greater than 12 cm in size. Final pathology revealed intramuscular lipoma.

A lipoma of greater than 5 cm is classified as a giant lipoma. Giant lipoma in the upper extremities and involving biceps brachii muscle are
rare. The plain radiographs may either be unremarkable or may demonstrate a radiolucent soft tissue mass of fat opacity. On CT and MRI, the
lipoma appears as an non-invasive mass with homogenous fat signal intensity. The main differential diagnosis of intramuscular lipomas is
well-differentiated liposarcomas. The proper management is open excision. The pathological report is vital to confirm the diagnosis.

We reported a rare case of giant intramuscular lipoma of biceps brachii who was successfully opened excision at our institute. CT scan and MRI
can identify and localize these tumours, and facilitate the operative planning.

Keywords : Intramuscular, lipoma, giant, biceps brachii.

ABSTRAK
Intramuscular lipoma adalah kondisi yang jarang dan terhitung sekitar 1,8% dari semua tumor primer jaringan adiposa dan kurang dari 1%
dari semua lipoma. Tumor ini berasal dari jaringan otot pada berbagai lokasi. Giant intramuscular lipoma otot biceps brachii adalah tumor
yang jarang.

Seorang laki-laki usia 48 tahun dengan massa di lengan kanan atas. Massa tersebut muncul sejak satu tahun yang lalu dan ukurannya semakin

79 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Eristan N. Napitupulu, Bambang Supriyadi, Yana Supriatna

bertambah besar. Pada pemeriksaan fisik, terasa nyeri pada saat Intramuscular lipoma relatif jarang, hanya sekitar 1,8%
palpasi dan mobile. Pada foto polos, tak tampak jelas massa soft tissue dari semua tumor primer jaringan adiposa dan kurang dari 1%
pada lengan atas. Computed tomography (CT) scan menunjukan dari semua lipoma. Intramuscular lipoma dapat terjadi pada
massa hipodens pada otot biceps brachii dextra dengan densitas semua kelompok umur, paling sering pada usia antara 40-70
tahun.2,6
-72 hingga -83 Hounsfield. Magnetic resonance imaging (MRI), massa
berasal dari otot biceps brachii. Pada T1 dan T2 weighted images, Secara umum diketahui, intramuscular lipoma paling
tampak lesi dengan intensitas yang tinggi, dan SPAIR menunjukan sering ditemukan di trunk, kepala dan leher, bahu, tungkai
densitas yang sama dengan lemak normal. Lesi tersebut di eksisi, atas dan tungkai bawah. Tumor ini jarang ditemukan pada
didapatkan lesi dengan ukuran lebih dari 12 cm. hasil patologi subscapularis, biceps brachii, dan sternocleidomastoideus.2,8
menunjukan intramuscular lipoma. Pada laporan kasus ini, kami melaporkan sebuah kasus jarang
giant intramuscular lipoma pada otot biceps brachii.
Lipoma berukuran lebih dari 5 cm di klasifikasikan sebagai giant
lipoma. Giant lipoma di ekstremitas atas, dari otot biceps brachii
adalah jarang. Pada pemeriksaan foto polos, dapat tidak terlihat, LAPORAN KASUS
atau tampak sebagai massa radiolusen dengan opasitas lemak. Pada
CT dan MRI, lipoma tampak sebagai massa non-invasive dengan Seorang laki-laki usia 48 tahun datang ke poliklinik
intensitas signal lemak yang homogen. Diagnosis banding utama rawat jalan RS. Sardjito dengan keluhan benjolan di lengan
atas kanan. Benjolan tersebut dikeluhkan sejak 1 tahun yang
intramuscular lipoma adalah liposarcoma berdiferensiasi baik.
lalu, awalnya berukuran sebesar telur ayam, dan semakin
Penatalaksanaan yang dipilih adalah eksisi. Pemeriksaan patologi
membesar. Pada pemeriksaan fisik, pada saat palpasi terasa
adalah pemeriksaan yang penting untuk konfirmasi diagnosis. nyeri dan dapat digerakkan.
Kami laporkan kasus jarang giant intramuscular lipoma biceps Pada pemeriksaan radiografi polos tak tampak ada massa
brachii yang berhasil di eksisi dengan baik. CT dan MRI dapat (Gambar 1). Pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan
mengidentifikasi dan melokalisasi tumor ini, dan memfasilitasi modalitas CT scan. Pada pemeriksaan CT scan ditemukan
perencanaan operasi. massa yang hipodens di dalam otot biceps brachii, berukuran
lk 2,88x5,73x11,36 cm dengan densitas sekitar -72 sampai -83
Kata kunci : intramuscular, lipoma, giant, biceps brachii Hounsfield (Gambar 2). Pada pemeriksaan MRI, massa berada
di otot biceps brachii, berukuran lk 3,04x3,59x12,30 cm. Pada
sekuen T1 dan T2, lesi tersebut menunjukkan intensitas sinyal
yang tinggi, dan pada SPAIR menunjukkan sinyal yang sama
dengan lemak normal (Gambar 3).

Pasien menjalani eksisi radikal, dan tampak secara


LATAR BELAKANG makroskopis massa tersebut berukuran lebih dari 12 cm
Lipoma adalah tumor jinak jaringan lunak yang paling (Gambar 4). Jaringan massa dikirim ke bagian patologi anatomi
banyak terjadi dengan insidensi kejadian sekitar 50% dari untuk diperiksa. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan
semua tumor jaringan lunak.1 Lipoma jaringan lunak dibagi jaringan adipocytes mature dengan ukuran yang hampir
atas superficial dan deep. Lipoma superficial secara khas sama, infiltrasi diantara serabut-serabut otot (Gambar 5).
berada di subkutaneus dan paling banyak ditemukan, sekitar
16-50% dari semua tumor jaringan lunak. Lipoma superficial
sering ditemukan di punggung, leher, dan ekstremitas atas
(khususnya bahu), dan abdomen. Jika lokasi lipoma berada
di dalam, dibawah fascia disebut sebagai deep-seated
lipoma.1–4 Menurut Myhre-Jensen deep lipoma hanya sekitar
1-2% dari semua tumor lipoma jaringan lunak.1 Weiss dan
Goldblum membagi deep lipoma menjadi intramuscular
dan intermuscular berdasarkan lokasi. Intramuscular lipoma
adalah deep-seated lipoma yang berasal dari otot.1,2,5 Lipoma
ini biasanya soliter dan jarang yang multipel, dapat ditemukan
dalam berbagai ukuran dan beberapa kasus melaporkan
lipoma berukuran raksasa, didefinisikan sebagai raksasa jika
berukuran lebih dari 5 cm. 6,7

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 80


GIANT INTRAMUSCULAR LIPOMA OTOT BICEPS BRACHII: LAPORAN KASUS JARANG

Gambar 1. Pada radiografi polos tak tampak adanya massa soft


tissue di lengan atas kanan.

Gambar 3. Pemeriksaan MRI menunjukkan intensitas sinyal yang


tinggi pada sekuen T1 dan T2 dan pada SPAIR fat-suppressed tampak
hipointens

Gambar 4. Gambaran massa setelah dieksisi, ukuran lebih dari 12

Gambar 2. Pemeriksaan CT scan potongan axial, coronal dan sagital


dengan rekonstruksi 3D menunjukkan massa hipodens di otot biceps
brachii kanan, berukuran 2,88x5,73x11,36 cm dengan densitas -72
sampai -83 Hounsfield.

81 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Eristan N. Napitupulu, Bambang Supriyadi, Yana Supriatna

Gambar 5. Gambaran histopatologi menunjukkan jaringan adipocytes mature, infiltrasi diantara serabut-serabut otot. Pembesaran 40x
dan 100x

PEMBAHASAN MRI merupakan modalitas pencitraan yang sangat baik


untuk membedakan massa lipomatous. Bentuk massa dapat
Lipoma adalah tumor mesenchymal yang terdiri dari jelas dilihat mulai dari bentuk bulat, oval, fusiform, hingga
jaringan lemak mature, paling banyak ditemukan di jaringan polygonal irregular. Jaringan lemak pada intramuscular
subkutaneus superficial pada tungkai dan batang tubuh. lipoma menunjukkan intensitas sinyal yang tinggi pada
Muscular lipoma menjadi penting untuk diperhatikan karena sekuen T1 dan T2. Pada sekuen fat-suppressed menunjukkan
ukurannya yang besar, infiltratif, dan cenderung berulang. sinyal yang sama dengan lemak normal. Intramuscular lipoma
Intramuscular lipoma biasanya berbatas tegas, tidak memiliki dapat homogen dengan intensitas yang sama dengan lemak
kapsul dan infiltrasi ke jaringan otot.9 Ada dua subgroup subkutaneus, atau heterogen karena bercampur dengan
intramuscular lipoma yaitu tipe infiltrasi dan tipe yang berbatas jaringan-jaringan otot atau jaringan lunak lain dari tumor.
tegas. 10 Jaringan otot yang tercampur menunjukkan isointens
hingga normal pada sekuen T1 dan T2. Karakteristik berupa
Pada kebanyakan kasus, intramuscular lipoma paling otot lurik merupakan pathognomonic untuk intramuscular
sering tidak menimbulkan gejala, atau hanya mengeluhkan lipoma. Kapsul yang mengelilingi lesi kadang dapat terlihat
masalah kosmetik saja, jarang menimbulkan gangguan dibagian luar intramuscular lipoma, kadang kapsul tidak dapat
pergerakan yang terbatas, kompresi neurovascular atau dibedakan dengan jaringan otot disekitarnya.2,8
lymphoedema. Pertumbuhan lesi biasanya lambat, kadang
menginfiltrasi lebih dalam dan membungkus nervus, Meskipun massa lipomatous lain mudah diidentifikasi
khususnya pada lesi yang berukuran raksasa. Ada perbedaan dengan pemeriksaan MRI, namun intramuscular lipoma tetap
dalam literatur tentang ukuran yang mendefinisikan giant dibedakan dengan liposarcoma yang berdiferensiasi baik, yang
lipoma. Beberapa literatur menyatakan, ukuran lesi 10 cm menjadi diagnosis banding utama, karena kadang sulit untuk
dalam dimensi apapun sebagai batasan lipoma yang dianggap membedakannya. Intramuscular lipoma dan liposarcoma
raksasa seperti dalam kasus kami, sementara literatur lain berdiferensiasi baik memiliki beberapa kesamaan yaitu
menyebutkan ukuran 5 cm sudah dianggap berukuran berukuran besar, lokasi lebih dalam, mampu menginfiltrasi ke
raksasa pada ekstremitas atas. Oleh karena itu, mungkin lebih jaringan otot sekitarnya, dan dapat timbul berulang.2,9 Pada
tepat jika lipoma diklasifikasikan sebagai giant lipoma jika MRI, liposarcoma cenderung berukuran besar, meskipun
ukurannya mendekati atau melebihi ukuran normal dari regio ukuran tidak menjadi faktor prediktif untuk keganasan.
anatomi lesi tersebut berada.3 Liposarcoma biasanya multilobular, memiliki septa yang tebal
dan nodul, dapat juga ditemukan area globular pada jaringan
Pada pemeriksaan radiografi polos, dapat dilihat massa tumor.2,11 Pemeriksaan histologi sangat penting dilakukan
radiolusen jaringan lunak dari opasitas lemak atau bahkan untuk membedakan intramuscular lipoma dan liposarcoma
tidak dapat diidentifikasi. Pemeriksaan CT scan sangat sesuai berdiferensiasi baik. Berikut tabel perbedaan keduanya secara
untuk diagnosis lipoma. CT scan menampilkan intramuscular histologi.
lipoma sebagai massa hipodens yang berada didalam otot
dengan densitas negatif, Hounsfield unit lipoma sekitar -65
sampai -120.8 Tampilan jaringan lunak dengan garis-garis tebal
dan tipis paling sering ditemukan pada lesi, struktur ini yang
membedakan pemeriksaan CT scan dengan MRI. Pemeriksaan

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 82


GIANT INTRAMUSCULAR LIPOMA OTOT BICEPS BRACHII: LAPORAN KASUS JARANG

Tabel 1. Perbedaan intramuscular lipoma dan liposarcoma berdifer- DAFTAR PUSTAKA


ensiasi baik secara histologi.9
Liposarcoma 1. Abbott RM, Levy AD, Aguilera NS, Gorospe L, Thompson
Intramuscular lipoma WM. From the Archives of the AFIP. RadioGraphics.
berdiferensiasi
(infiltrasi) 2004;24(4):1137–63.
baik
2. McTighe S, Chernev I. Intramuscular lipoma: a review of
Lipoblast Tidak ada Ada
the literature. Orthop Rev (Pavia). 2014;6(4).
Diferensiasi mixoid Tidak ada Ada 3. Slavchev S, Georgiev G, Penkov M, Landzhov B. Giant
Pleomorfik seluler Jarang Selalu Lipoma Extending Between the Heads of Biceps Brachii
Peningkatan Muscle and the Deltoid Muscle: Case Report. J Curr Surg.
Minimal Banyak 2012;2(4–5):146–8.
vaskularisasi
4. Allen B, Rader C, Babigian A. Giant lipomas of the upper
Mitosis Tidak ada Ada
extremity. Can J Plast Surg. 2007;15(3):141–4.
5. Sferopoulos NK. Anatomical Distribution of Intramuscular
Lipomas. J Forensic Sci Res. 2017;1:35–9.
Pada kasus yang dilaporkan, pemeriksaan radiografi 6. Med SJ, Rep C, Elghordaf I, Elbir Y, Bardouni A El, Berrada
polos tidak menunjukkan adanya massa jaringan lunak. MS. Scholars Journal of Medical Case Reports Giant
Pada CT scan menunjukkan massa hipodens di dalam otot intramuscular lipoma of the Sartorius : a case report.
biceps brachii kanan dengan densitas sekitar -72 sampai -83 2017;5(4):268–71.
Hounsfield. Pada pemeriksaan MRI, pada sekuen T1 dan T2, 7. Durmus M, Dal A, Yapici A, Avsar S, Bayram Y. Giant
lesi tersebut menunjukkan intensitas sinyal yang tinggi, dan intramuscular lipoma of arm: A case report and review of
pada SPAIR menunjukkan sinyal yang sama dengan lemak the literature. Hand Microsurg. 2014;3(3):87.
normal. 8. Kiruthiga KG, Sigamani E, Rebecca G. Intramuscular
Lipoma of Pectoralis Major- A Rare Case Report and A
Penatalaksanaan lipoma jaringan lunak tergantung Brief Review of Literature. 2015;4(3):40–2.
pada lokasi tumor, ukuran, dan gejala klinis yang ditimbulkan. 9. Akbulut M, Aksoy A, Bir F. Intramuscular lipoma of the
Penatalaksanaan yang tepat jika lesi telah menimbulkan tongue: A case report and review of the literature. Aegean
gejala dan juga untuk tujuan kosmetik adalah eksisi terbuka.2 Pathol J. 2005;2(2):146–9.
Eksisi marginal pada area berbatas tegas dan eksisi yang luas 10. Takeda Y. Intramuscular lipoma of the tongue: report of a
pada tipe infiltratif, dapat membantu mencegah timbul massa rare case. Ann Dent. 1989;48(2):22–4.
berulang. 11. Kransdorf MJ, Bancroft LW, Peterson JJ, Murphey MD,
Foster WC, Temple HT. Imaging of fatty tumors: distinction
Pada kasus yang dilaporkan, gambaran histologi of lipoma and well-differentiated liposarcoma. Radiology.
tidak menunjukkan area proliferasi lipoblastik, nucleus atipik 2002;224(1):99–104.
dan mitosis. Dari gambaran histologi menunjukkan sel-sel
adipocytes mature dengan ukuran monomorf, bervakuola dan
jernih. Pemeriksaan histopatologi dapat membedakan kedua
lesi tersebut.

KESIMPULAN

Laporan kasus ini menjelaskan seorang laki-laki berusia


48 tahun dengan intramuscular lipoma yang berukuran raksasa
pada otot biceps brachii kanan. Meskipun intramuscular lipoma
pada otot biceps brachii masih jarang dilaporkan, namun
liposarcoma berdiferensiasi baik sudah dapat disingkirkan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan CT scan dan
MRI, lesi berasal dari otot dengan karakteristik tampilan otot
lurik, tampak sebagai massa non-invasive dengan intensitas
sinyal lemak yang homogen. Pemeriksaan CT scan dan MRI
dapat mengidentifikasi dan melokalisir tumor dengan baik,
sehingga memudahkan bagi klinisi untuk perencanaan
operasi.

83 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


IMAGING OF CENTRAL NERVOUS SYSTEM TUBERCULOSIS:

A CASE REPORT

Anggraini Dwi Sensusiati

Department of Radiology, Medical Faculty of Airlangga University, Dr. Soetomo General Hospital Surabaya Indonesia

Pencitraan Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat:

Laporan Kasus

ABSTRACT
Tuberculosis, or TB, is an infectious bacterial disease caused by Mycobacterium tuberculosis. TB can occur in pulmonary or extra pulmonary.
Extra pulmonary TB occurs in locations other than the lung, such as larynx, lymph node, pleura, brain, kidneys and bones. CT Scan can detect
intracranial tuberculoma, and MRI is the best method to detect the abnormality in spinal tuberculosis.

Keywords : Tuberculosis, miliary TB, CNS TB, MRI.

ABSTRAK
Tuberkulosis atau TB, merupakan penyakit bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB dapat terjadi pada paru
atau diluar paru. TB diluar paru terjadi pada lokasi selain paru, seperti laring, kelenjar getah bening, pleura, otak, ginjal, dan tulang. CT Scan
dapat mendeteksi tuberkulosis intrakranial, dan MRI merupakan metode terbaik untuk mendeteksi pada tuberkulosis tulang belakang.

Kata Kunci : Tuberculosis, TB milier, CNS TB, MRI

INTRODUCTION

Tuberculosis, or TB, is an infectious bacterial disease caused by Mycobacterium tuberculosis (WHO). M. tuberculosis and
other seven species of mycobacterial (M. bovis, M. africanum, M. microti, M. caprae, M. pinnipedii, M. Canetti and M. mungi)
collectively referred to as M. tuberculosis complex (CDC). Although this disease mostly infects the lungs, tuberculosis can involve
many organ systems include the heart, central nervous system, musculoskeletal, gastrointestinal, and genitourinary system.

Clinically, miliary TB present in only 1-7% of patients of all forms of tuberculosis. Generally, this type occurs in older
patients, infants and those with impaired immunity (immunocompromised). Thorax radiographs is usually normal at the onset
symptoms. The classic radiological findings are of small nodules 2-3 mm that evenly distributed, with the dominance of the
lower lobe seen in 85% of cases. The nodules usually disappear within 2-6 months of therapy, without scarring or calcification.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 84


IMAGING OF CENTRAL NERVOUS SYSTEM TUBERCULOSIS: A CASE REPORT

TB with spinal involvement occurs in less than 1% of enlarged of lymphnodes were not found. In January 2016
patients with TB1,2. However, the increasing frequency of TB in the patient was diagnosed with miliary TB (sputum smear-
both developed and developing countries has continued to positive) and OAT given as drug therapy.
make spinal TB a health problem 2,3.
Patients had previously been hospitalized in February
CNS involvement was found in 5 to 10% of patients 2016 for 2 weeks. The chief complaint was headache. At that
with extrapulmonary tuberculosis4, and accounts for time the patients was diagnosed with cerebral tuberculoma
approximately 1% of all TB cases. Prevalence was greater in and miliary TB. Patients were assigned to OAT treatment and
patients with impaired immunity. CNS tuberculosis generally according to the patient, the therapy never interrupted.
occurs due to hematogenous spread. However, it can also be
caused due to rupture directly or extension of subependymal The patient does not smoke; do not consume alcohol,
or subpial and may be in the meninges, the brain or spinal and illicit drugs. She also doesn’t have hypertension, diabetes
cord. Manifestations of CNS tuberculosis may have meningitis, mellitus, and never had trauma nor surgery. She doesn’t have
tuberculoma, abscess, cerebritis and miliary. any contact with TB patients and there was no history of tumor.

The aim of this case report is to share and analyze a case Chest X-ray was taken on January 1st, February 11st,
of miliary pulmonary tuberculosis with spinal tuberculosis and and March 15th 2016. Head CT scan performed twice on
central nervous system tuberculoma. February 12nd and March 15th. On April 1st, thoracolumbar
MRI was conducted.

CASE REPORT Chest X-ray shows a diffuse myriad nodule pattern in


both lung fields (chest plain x-ray was dated on 01/19/2016).
A 25 years old female, came to consult with chief This picture was reduced (chest x-ray was dated on 11/02/2016)
complaint with constant spinning sensation that did not and these small nodules disappeared in the next chest x-ray
correlate with the body position since four days before (chest x-ray dated 03/15/2016).
hospitalized.
Head CT Scan with contrast showed multiple
Base on the history taking on current disease, patient homogenous enhancing lesions in the left basal ganglia,
suffer from dizziness since 4 days before hospitalized. cortical-subcortical right fronto-parietal, the left temporal
Patient also suffering from vomiting, weakness in both legs and right cerebellum which was concluded as tuberculoma
simultaneously gradually since 2 weeks before hospitalized process.
and getting worse in 8 days, well as back pain. There is no
other complain such as cold sweat, thick sensation in the Enhanced MRI showed destruction of 10th and
limbs, seizures, fever, headache, loss of speech, hemifacial 11th thoracic vertebral body, intraosseous abscess and
spasm, double sight, and hearing disorders. paravertebral abscess. Small nodule inside the spinal cord also
found in 11th vertebral level.
Previously the patients had cough for 3 weeks duration
(December 2015). Cold sweat, bloody cough, asphyxiate,

Figure 1. Serial chest x-ray. Miliary nodules spread diffusely on both lung, no sign of lymphnodes enlargement nor pleural
effusion (A). After 3 weeks OAT treatment the nodules decreasing (B) and at the third chest X-ray (C) the nodules disappear.

85 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Anggraini Dwi Sensusiati

Figure 3. From coronal view shows destruction of lower endplate


of 10th and upper endplate of 11th thoracicvertebral body (A).
Figure 2. Subligamentous abscess formation anterior to 7th to 12th Preservation of intervertebral disk of Th10-11 (B
thoracic vertebral body was seen on enhanced sagittal slice A and
B, and miliary nodule clearly seen on spinal cord posterior to 10-
11th thoracic vertebral body. Enhancement along arrachnoid space
consistent with spinal arrachnoiditis, and clumping of nerve root.

Figure 4. Enhanced axial thoracic MRI. Paravertebral abscess and small nodule also seen on A.
Intraosseous abscess clearly seen on B.

Figure 5. Enhanced head CT Scan. Multiple small enhancing nodular lesions spread to infra and
supratentorial with marked perifocal edema, seen on axial and coronal view.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 86


IMAGING OF CENTRAL NERVOUS SYSTEM TUBERCULOSIS: A CASE REPORT

Figure 6. The second head CT Scan shows decreasing of small nodules and perifocal edema. Some nodules look bigger than miliary
nodules, seen at cortical right parietal and left lentiform nuclei

DISCUSSION Tuberculosis

The prototype of spinal column infection is Tuberculosis is an infectious diseases caused by


spondylodiscitis (also known as osteomyelitis-discitis), with Mycobacterium tuberculosis. The natural history and various
its varying patterns of involvement of the vertebral body, clinical syndromes of tuberculosis are intimately related to
intervertebral disc, and soft tissue and even occasionally the the host’s defenses because tubercle bacilli do not elaborate
posterior element of the spine. An important epidemiologic on classicendo- or exotoxins and the inflammatory illness and
revision5 demonstrated that MRI is the most useful radiologic tissue destruction are immune mediated 7.
modality for investigating pyogenic spinal infection due to its
high sensitivity and specificity in diagnosing and localizing It is believed that skeletal involvement in tuberculosis
infection in this structure. Beyond that, there are already MRI occurs mainly by hematologic dissemination, whether by
analysis criteria that can differentiate the two most common arterial or venous route is still under debate. Tuberculosis
types of spondylodiscitis, pyogenic, and tuberculous6. Recent onset is insidious, with symptoms ranging from months to 2
technical advances have made spinal diffusion-weighted to 3 years8,9,10,11. Pyogenic infection tends to have symptoms
imaging (DWI) possible, adding value with the possibility of from days to months12. Mycobacterium tuberculosis enter
further characterizing, besides benign and malignant fracture the body from air, through airway, infected lung, if there is
of the spine, also spondylodiscitis and abscesses of the spine. immunosupressive, the entire lung can be infected, as seen
Although the final diagnosis of spondylodiscitis still relies on on the first chest x-ray (Figure.1A), after the treatment the
biopsy and culture, it is not infrequent to treat patients based TB process decreased (Figure. 1B), and miliary TB nodule has
solely on MRI findings because of the high rate of negative gone at third chest x-ray (Figure. 1C).
cultures.

87 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Anggraini Dwi Sensusiati

Tuberculous Spondylodiscitis and less frequently scoliosis. The degree of angulation varies
with the site and extent of vertebral disease, but despite the
Spinal tuberculosis usually starts in the antero-inferior sometimes striking deformity, the diameter of the spinal canal
portion of the vertebral body13. Spread of infection can occur may not be altered significantly. There may be destroyed and,
beneath the anterior longitudinal ligament involving the rarely, extruded vertebral bodies in the area of angulation22.
adjacent vertebral bodies, as shown on Fig. 2. Disc space Hematogenous seeding of the skeleton may arise from a
narrowing occurs secondarily and is usually limited to the primary infection of the lung, particularly in children, or, later
degree of bone destruction that allows herniation of the from a quiescent primary site or an extraosseous focus8.
disc material into the affected vertebral body11. A lack of
proteolytic enzymes in Mycobacterium as compared with In the past, osteoarticular tuberculosis usually was
pyogenic infection has been proposed as the cause of relative encountered mainly in children and young adult. Today,
preservation of the intervertebral disc (Fig. 3B). If uninvolved, patients of all ages are affected, although the condition is very
the disc will not show increased signal on T2-weighted rare before age 1 year. Men are affected slightly more frequently
image, one of the main finding of pyogenic infection14,15. In than women. Predisposing condition are underlying disorders
tuberculous spondylitis, the cortical definition of affected like diabetes or hepatic cirrhosis, corticosteroid medication,
vertebrae is invariably lost (Fig. 3A), in contrast to pyogenic alcoholism, intravenous drug abuse, and immune depressive
spondylitis. T1-weighted images usually show decreased condition including acquired immunodeficiency syndrome
signal from the affected vertebral marrow. On T2-weighted (AIDS)23,24.
images, an indiscriminate increase in signal intensity is noted
from the vertebrae, discs, and soft tissues. It is estimated that the vertebral column is affected
in 25% to 60% of cases of skeletal tuberculosis25. The
Although the vertebral body is involved more thoracolumbar junction is affected most commonly, and
commonly than the posterior elements, thislatter structure the disease is relatively infrequent in the cervical and sacral
may be affected initially or predominantly in some persons16. segments of the spine.
Although the reason for this is not known, it was speculated17
that in adults the aerophilic mycobacteria require the higher Neurologic abnormalities may be encountered as a
flow of the posterior equatorial artery. When there are result of spinal cord compression from abscess, granulation
posterior element abnormalities, with or without involvement tissue or bone fragments, arrachnoiditis, ischemia of the cord
of the vertebral body, differentiation of infection from tumor resulting from endarteritis, or intramedullary granulomas.
may become difficult, particularly when there is also a relative Intramedullary involvement of the spinal cord is rare and
preservation of the disc space, one of the criteria for the affects typically young adults, although children and elderly
imaging diagnosis of neoplasm rather than infection. patients may also be affected26. Lesions may be encountered
in the spinal cord or brain or both27.
Extension of tuberculous spondylodiscitis to the
adjacent ligaments and soft tissue is frequent, varying in the
literature from 55% to 96% [9,10,11]. This extension usually occurs Tubercular Spinal Arrachnoiditis
antero-laterally; it is rarely observed posteriorly in the peridural
space18. The paravertebral masses are characterized by thick, Tuberculosis is an important potentially treatable
irregular enhancement on CT and MR19. In a significant series20 cause of spinal arrachnoiditis. It is frequently associated
the paraspinal masses had no distinguishing features on the with radiculomyelitis, which helps to distinguish it from
sequences used, and most of them were hypointense on T1- other causes of arrachnoiditis28. The meninges show variable
weighted images and hyperintense on T2-weighted images. degree of congestion, and the spinal cord and nerve roots are
Enhanced MR studies are especially useful for characterizing surrounded by gelatinous exudates and may be edematous.
tuberculous spondylitis21. Rim enhancement around A tuberculoma may be located anywhere within the thecal
intraosseous (Fig. 4B) and paraspinal soft tissue abscess (Fig. sac. It usually closely adheres to the inner aspect of the dura
4A) is more common than in other spinal infections12. By and may even dig a crater in the cord, making it difficult to
using gadolinium-DTPA has also been shown to be useful determine whether it is extramedullary or intramedullary 29.
in delineating communication between the vertebral and On Fig. 2A shows a small nodule (tuberculoma) intramedullary.
paravertebral components of tuberculous spondylitis. The size In the chronic stages, dibrin-covered roots stick to each other
of the paraspinal masses has been noted to be generally larger and to the thecal sac, forming dense collagen adhesions by
in tuberculosis than in pyogenic infection. proliferating fibrocytes. As shown on Fig. 6B, there is arachnoid
enhancement, and clumping of caudaequina.Although the
Collapse of partially destroyed vertebral bodies can lead case may occur as a primary event, more than 50% of the
to severe deformities, typically kyphosis or gibbous deformity cases are associated with meningitis or spondylitis28. The

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 88


IMAGING OF CENTRAL NERVOUS SYSTEM TUBERCULOSIS: A CASE REPORT

clinical features of tubercular spinal arrachnoiditis include 3. Barnes PF, Bloch AB, Davidson PT, Snider DE Jr.
paraplegia, quadriplegia, pain, and other radicular symptoms Tu¬berculosis in patients with human immunodeficiency
depending on the site involved. Early diagnosis of these virus infection. N Engl J Med 1991;324:1644-50.
cases is extremely important because timely institution of 4. Rieder, H. L., D. E. Snider, Jr., and G. M. Cauthen.
proper medical treatment may ensure good recovery30. It is Extrapulmonary tuberculosis in the United States. Am.
usually based on clinical features, CSF analysis, evidence of Rev. Respir. Dis. 1990;141:347-51.
tuberculosis elsewhere in the body, especially meningitis, and 5. Butler JS, Shelly MJ, Timlin M, et al. Nontuberculous
characteristic imaging finding. CSF analysis usually reveals an pyogenic spinal infection in adult. A 12 year experience
elevated protein level, a reduced glucose level, and an increase from a tertiary referral center. Spine 2003; 31(23):2695-
in the number of cells, mainly lymphocytes. Acid-fast bacilli 700.
are rarely identified. A negative India ink study is necessary to 6. Chang MC,Wu HTW, Liu CL. Tuberculous spondylitis and
rule out cryptococcal infection. pyogenic spondylitis. Comparative magnetic resonance
imaging fetures. Spine 2006; 31:782-88.
A large published series31 showed the result of the 7. Williams RL, Fukui MB, Meltzer CC, et al. Fungal spinal
retrospective analysis of MR finding in tubercular spinal osteomyelitis in the immunocompromised patient: MR
arrachnoiditis. Eighty-six percent of the patients had finding in three case. AJNR Am J Neuroradiol 1999;20:381-
involvement of more than one spinal region, with the dorsal 5.
region most commonly involved. CSF showed increased 8. Resnick D, Niwayama G. Osteomyelitis, septic arthritis, and
signal intensity on T1-weighted images in 77% of the patients, soft tissue infection organism. In: Resnick D, Niwayama G,
leading to complete loss of cord-CSF interface in some of the eds. Diagnosis of bone and joint disorders, Vol. 4, 3rd ed.
cases and shaggy cord outline in others. There were areas of Philadelphia: WB Saunders, 1995:2448-558.
increased signal intensity on T2-weighted images in the spinal 9. LaBerge JM, Brant-Zawadzki M. Evaluation of Pott’s
cord in 82% of the patients. In 10% of the patients there was disease with computer tomography. Neuroradiology
evidence of cord cavitation. Other findings on unenhanced 1984;26:429-34.
images were CSF loculations, nodules in subarachnoid 10. Shivaram U, Wollschlager C, Khan F, et al. Spinal
space, and clumping of caudaequina nerve roots. Meningeal tuberculosis revisited. South Med J 1985;78:681-4.
enhancement was seen in 80% of patients and nerve root 11. Weaver P, Lifeso RM. The radiological diagnosis
enhancement in 30%. Cord enhancement was seen in 20% of of tuberculosis of the adult spine. Skeletal Radiol
patients, along the surface of the cord in half of the cases and 1984;12:178-86.
central in the other half. Associated findings were tubercular 12. Whelan MA, Schonfeld S, Post JD, et al. Computed
spondylitis, basal meningitis, and intracranial granulomas. tomography of nontuberculous spinal infection. J Comput
Assist Tomogr 1985;9:280-7.
13. Westermark N, Frossman G. The rontgen diagnosis of
SUMMARY tuberculous spondylitis. Acta Radiol 1938;19:207.
14. Sharif HS. Role of MR imaging in management of spinal
Dissemination of miliary tuberculosis as shown in this infection. AJR Am J Roentgenol 1992;158:1333-45.
case not only in pulmonary region but also through brain and 15. Modic MT, Feiglin DH, Piraino DW, et al. Vertebral
spine. Although anti tuberculosis treatment is effective for osteomyelitis: assessment using MR. Radiology
lung, as proven by the clarity from miliary nodules, TB process 1985;157:157-66.
is still exist in the brain and thoracal spine. Enhanced CT Scan 16. Bell D, Cockshot WP. Tuberculosis of the vertebral pedicles.
can show clearly tuberculoma as well as perifocal edema. MRI Radiology 1971; 99:43-8
can detect spondytic tuberculosis, paravertebral abscess, small 17. Sharif HS, Aideyan OA, Clark DC, et al. Brucellar and
nodule intramedullary, clumping caud equina, arrachnoiditis. tuberculous spondylitis: comparative and imaging
features. Radiology 1989;171:419-25.
18. Postachini F, Montanaro A. Tuberculous spinal granuloma
REFERENCES simulating a herniated lumbar disk: a report of a case. Clin
Orthop 1980;148: 182.
1. Rezai AR, Lee M, Cooper PR, Errico TJ, Koslow M. Modern 19. Whelan MA, Naidich DP, Post DJ, et al. Computed
management of spinal tuberculosis. Neurosur¬gery tomography of spinal tuberculosis. J Comput Assist
1995;36:87-97. Tomogr 1983;7:25-30.
2. Turgut M. Spinal tuberculosis (Pott’s disease): its clinical 20. Ergan M, Marco M, Benhamou CL, Septic arthritis of
presentation, surgical management, and out¬come. A lumbar facet joints: a review of six case. Rev Rhum Engl Ed
survey study on 694 patients. Neurosurg Rev 2001;24:8- 1997;64:186-395.
13. 21. deRoss A, van Persijn van Meerten EL, Bloem JL,

89 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Anggraini Dwi Sensusiati

et al. MRI of tuberculous spondylitis AJR Am J


Roentgenol1986;146:79-82.
22. Louw JA, Domisse GF. Spinal tuberculosis with
spontaneous ventral extrusion of two vertebral bodies: a
case report. Spine 1987;12:942.
23. Davies PDO, Humphries MJ, Byfield SP, et al. Bone and
joint tuberculosis. A survey of notification in England and
Wales. J Bone Joint Surg Br 1984;66: 326-30
24. Halsey JP, Reeback JS, Barnes CG. A decade of skeletal
tuberculosis. Am Rheum Dis 1982;41:7-10
25. Hodgson AR. Infectious diseases of the spine. In: Rothman
RH, Simeone FA, eds. The spine. Philadelphia: WB
Saunders, 1975:567.
26. Rhoton EL, Ballinger WE Jr, Wuisling R, et al. Intramedullary
spineal tuberculoma. Neurosurgery 1988;22: 773.
27. Kumar A, Montanera W, Willinsky R, et al. MR features
of tubercular arachnoiditis. J Comput Assist Tomogr
1993;17:127-30.
28. Wadia NH, Dastur DK. Spinal meningitis with
radiulomyelopathy. I. Clinical and radiological features. J
Neurol Sci 1969;8:239-60.
29. Golkap HZ, Ozkal E. Intradural tuberculoma of the spinal
cord. Report of two cases. J Neurosurg 1981;55:289-92.
30. Phadke RV, Kohli A, Jain VK, et al. Tubercular
radioculomyelitis (arachnoiditis): myelographic (and CT
myelographic) appearances. Australas Radiol 1994;38:10-
16.
31. Sarma A, Goyal M, Mishra NK, et al. MR imaging of
tubercular spinal arachnoiditis. AJR Am J Roentgenol
1997;168:289-92.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 90


ABSES PARU BESAR PADA HEMOTORAKS KANAN:

LAPORAN KASUS

Siti Fatima Azzahra1, Anita Ekowati2, Evi Artsini2, Ajeng Visca Icanervilia2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

GIANT LUNG ABSCESS OF THE RIGHT HEMITHORAX :

A CASE REPORT

ABSTRACT
Lung abscess is defined as a localized area of necrosis of the pulmonary tissue and formation of cavities containing necrotic debris or fluid
caused by microbial infection. Computed tomography (CT) scan allows optimal characterization of the lesion and effective evacuation.

We reported a case of female patient, with chief complain of fever, recurring productive cough with blood, and shortness of breath that
worsened since a week before admitted to hospital. The patient had these symptoms since 4 years ago and admitted to several other hospitals
with similar problems. She denied any decreased of weight or nocturnal fever. In November 2016, we did a thorax CT scan and chest X-ray
that revealed multiple round thick-walled and irregular cavities in lower lobe of right lung, measured 13.7 x 9.5 x 11.7 cm, air fluid level in
each cavity, fluid component density is 9-15 HU with consolidation and caused deviation of cardiac position. Histopathology examination
found suppurative chronic inflammation without malignant cell. After a throughout evaluation, the patient was diagnosed with tuberculosis
infection and treated with anti tuberculosis drugs. In January 2017, a follow up thorax CT was done and revealed a decrease in size of lesion.

The main purpose of this report is to show that plain film and thorax CT are useful examinations in assessing lung cavities entity, such as lung
abscess. In this case, both CT and chest X-ray finding showed consistent results.

Keywords : lung abscess, CT scan, chest x-ray.

ABSTRAK
Abses paru didefinisikan sebagai area lokal dari jaringan paru yang mengalami nekrosis dan pembentukan kavitas yang berisi debris nekrotik
atau cairan yang disebabkan oleh infeksi mikroba. Pencitraan CT dapat memberikan gambaran karakterisasi yang optimal dan evakuasi yang
efektif terhadap lesi.

Kami melaporkan kasus seorang pasien wanita, dengan keluhan utama demam, batuk berdahak yang hilang timbul disertai darah, serta sesak
nafas yang memberat sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tersebut mengaku telah mengalami keluhan tersebut sejak empat
tahun yang lalu dan dirawat di beberapa rumah sakit dengan keluhan serupa. Pasien menyangkal adanya penurunan berat badan dan demam
di malam hari. Pada bulan November 2016, telah dilakukan pemindaian CT dan foto polos toraks yang menunjukkan kavitas berbentuk bulat
dan berdinding tebal serta iregular dengan jumlah yang banyak di lobus inferior paru kanan, dengan ukuran 13.7x9.5x11.7 cm, terdapat air-
fluid level di tiap kavitas, densitas komponen cairan adalah 9-15 HU dengan konsolidasi disekitarnya, yang menyebabkan deviasi dari posisi

91 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Siti Fatima Azzahra, Anita Ekowati, Evi Artsini, Ajeng Visca Icanervilia

jantung. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan inflamasi


supuratif kronis tanpa ditemukannya sel ganas. Setelah pemeriksaan
lebih lanjut, pasien dinyatakan terinfeksi tuberkulosis dan sejak saat
itu diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pada bulan januari
2017, dilakukan pemeriksaan follow-up pada pasien dan ditemukan
penurunan ukuran lesi.

Tujuan dari pelaporan ini adalah untuk menunjukkan bahwa foto


polos dan CT toraks merupakan pemeriksaan yang berguna dalam
menilai identitas dari kavitas pada paru, seperti pada abses paru.
Pada kasus ini, temuan radiologis baik pada CT maupun foto polos
toraks memberikan gambaran yang konsisten.

Kata Kunci : abses paru, CT scan, foto polos toraks

LAPORAN KASUS
Kami melaporkan kasus seorang pasien wanita,
dengan keluhan utama demam, batuk berdahak yang hilang
timbul disertai darah, serta sesak nafas yang memberat
sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tersebut
mengaku telah mengalami keluhan-keluhan tersebut sejak 4
tahun lalu dan dirawat di beberapa rumah sakit lain dengan
keluhan serupa. Pasien menyangkal adanya penurunan berat Gambar 2. Pemindaian CT toraks awal dengan pemberian
badan dan demam di malam hari. kontras pada potongan aksial (A) dan koronal (B) yang
dilakukan terhadap pasien. Tampak kavitas multiple yang
Pada bulan November 2016, telah dilakukan berdinding tebal disertai air-fluid level.
pemindaian foto polos toraks (Gambar 1) dan CT toraks
(Gambar 2) yang menunjukkan kavitas berbentuk bulat dan
berdinding tebal serta irregular dengan jumlah yang banyak Pemeriksaan histopatologi menunjukkan hasil
di lobus inferior paru kanan, dengan ukuran 13.7x9.5x11.7 inflamasi suppuratif kronis tanpa ditemukannya sel ganas.
cm, terdapat air-fluid level di tiap kavitas, densitas komponen Kemudian dilakukan juga pemeriksaan untuk tuberkulosis
cairan adalah 9-15 HU dengan konsolidasi disekitarnya, yang dan infeksi lainnya, dimana didapatkan hasil positif untuk
menyebabkan deviasi dari posisi jantung. tuberkulosis dan kemudian pasien mendapatkan terapi OAT
sesuai dengan hasil kultur tersebut.

Follow-up terapi pada pasien ini dilakukan pada bulan


januari 2017, dengan radiografi konvesional (Gambar 3) dan
pemindaian CT (Gambar 4) dengan aplikasi media kontras
untuk menilai ukuran, karakterisasi dari dinding abses dan
akumuasi air fluid level didalamnya. Selang drainase tetap
dipertahankan untuk dekompresi dari lesi tersebut, guna
mengurangi pergeseran mediastinum. Pada evaluasi pasien
ini, tampak penurunan dari ukuran lesi, dimana diameter dari
abses yang mengecil dan air-fluid level yang berkurang bila
dibandingkan dengan pemeriksaan sebelumnya. Hingga saat
ini, pasien belum melakukan evaluasi lebih lanjut.
Gambar 1. Radiografi konvensional toraks dimana
tampak lusensi berdinding tebal dengan air-fluid level
didalamnya. Tampak terpasang selang drainase pada
hemitoraks dekstra yang berujung di lesi.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 92


ABSES PARU BESAR PADA HEMOTORAKS KANAN: LAPORAN KASUS

Empyema toraks merupakan suatu kondisi terdapatnya


pus pada rongga pleura, dimana semakin berkembangnya
empyema, pleura visceral dan parietalis akan terselubungi
oleh fibrin-fibrin.1,4 Lapisan ini akan berkelompok dan
membentuk gambaran radiologis empyema yang jelas,
yang lebih dikenal sebagai split pleura sign. Dari 68% kasus
empyema, dapat terlihat gambaran khas tersebut dimana
permukaan pleura viseralis dan parietalis yang menebal yang
terpisah, terutama pada pemeriksaan dengan pemberian
media kontras, karena adanya penyangatan oleh permukaan
pleura yang hipervaskular.4

Pada dinding abses, jarang terjadi keterlibatan pada


permukaan pleura dan menimbulkan penebalan pleura,
akan tetapi tepi lumen iregular yang merupkan karakteristik
dari abses.5 Empyema juga dapat dibedakan dengan adanya
Gambar 3. Radiografi konvensional toraks evaluasi, masih tampak obtuse angle yang terbentuk terhadap dinding dada, bentuk
lusensi berdinding tegas dengan air-fluid level didalamnya. lentikuler, dinding yang uniform dan mendorong jaringan
paru di sekitarnya.2 Perubahan posisi dari supine dan decubitus
juga dianjurkan untuk mengevaluasi perubahan karena
gravitasi pada bentuk lesi perifer yang menunjuk suatu
gambaran empyema, walaupun biasanya terlihat hanya pada
empyema dengan ukuran yang besar.

Pada kasus ini, tampak terlihat lesi di hemitoraks dextra


yang memiliki karakteristik dinding yang tebal dan iregular,
serta keberadaan air-fluid level yang tegas, dimana memiliki
gambaran yang berbeda bila dibandingkan dengan gambaran
empyema seperti split pleura sign, adanya penebalan
dari pleura viseralis dan juga terdorongnya jaringan paru
disekitar.4 Bula yang terinfeksi juga tereksklusi dari kasus ini
karena ukuran ketebalan dari kasus yang tidak sesuai dimana
gambaran bula akan menunjukkan dinding tipis, walaupun
Gambar 4. Pemindaian CT toraks evaluasi dengan pemberian sama- sama ireguler pada kasus bula yang terinfeksi.6,7
kontras, potongan aksial (A) dan koronal (B) pada pasien. Tampak
kavitas multiple yang disertai air-fluid level. Dibandingkan dengan
pemeriksaan CT toraks sebelumnya, tampak ukuran dari kavitas KESIMPULAN
yang mengecil, disertai dengan air-fluid level yang relatif berkurang.
Pengetahuan mengenai abses paru, yaitu dalam
pemilihan pencitraan radiologi yang tepat untuk diagnosis,
DISKUSI menyingkirkan diagnosis banding, dan evaluasi pengobatan
merupakan hal penting manajemen pasien. Dengan
Foto polos dan CT toraks merupakan pemeriksaan yang mengetahui gambaran khas dari abses paru sedini mungkin,
berguna dalam menilai identitas dari kavitas pada paru, seperti radiolog dapat membantu meminimalisasi waktu bagi klinisi
pada abses paru. Pemindaian CT baik dalam mengidentifikasi dalam merencanakan tatalaksana selanjutnya.
abses paru dengan memberikan gambaran lesi yang bulat,
dengan batas yang tegas pada area paru yang terinfeksi Kasus yang kami laporkan adalah seorang pasien
dengan dinding, tepi lumen dan permukaan eksterior yang wanita dengan abses paru dan riwayat tuberkulosis, dimana
ireguler.1,2 Temuan radiologis baik pada CT maupun foto pasien mengalami perbaikan setelah mendapatkan terapi.
polos toraks memberikan gambaran yang konsisten. Ukuran Evaluasi ukuran dan perubahan morfologi dari abses secara
dan kondisi kronis abses paru dapat terjadi akibat infeksi radiologi menunjukkan perbaikan yang sesuai dengan kondisi
tuberkulosis karena imunodefisiensi dari pasien.3 Diagnosis pasien.
banding dari abses paru adalah empyema toraks dan bula
yang terinfeksi.

93 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Siti Fatima Azzahra, Anita Ekowati, Evi Artsini, Ajeng Visca Icanervilia

REFERENSI

1. Stark DD, Federle MP, Goodman PC, Podrasky AE, Webb


WR. Differentiating lung abscess and empyema: radiog-
raphy and computed tomography. American Journal of
Roentgenology. 1983; 141(1):163-7.
2. Kuhajda I, Zarogoulidis K, Tsirgogianni K, Tsavlis D,
Kioumis I, Kosmidis C, Tsakiridis K, Mpakas A, Zarogoulid-
is P, Zissimopoulos A, Baloukas D. Lung abscess-etiology,
diagnostic and treatment options. Annals of translational
medicine. 2015; 3(13).
3. Burrill J, Williams CJ, Bain G, Conder G, Hine AL, Misra RR.
Tuberculosis: a radiologic review. Radiographics. 2007;
27(5):1255-73.
4. Walker CM, Abbott GF, Greene RE, Shepard JA, Vummidi
D, Digumarthy SR. ¬Imaging pulmonary infection: classic
signs and patterns. American Journal of Roentgenology.
2014; 202(3):479-92.
5. Urso B, Michaels S. Differentiation of lung cancer, empye-
ma, and abscess through the investigation of a dry cough.
Cureus. 2016; 8(11).
6. Yunus M. CT guided transthoracic catheter drainage of in-
trapulmonary abscess. JPMA. The Journal of the Pakistan
Medical Association. 2009; 59(10):703.
7. Taslakian B, Raad RA, Moore W. Catheter drainage of lung
abscess: in procedural dictations in image-guided inter-
vention. Springer International Publishing. 2016; 29-32.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 94


PERANAN ANGIOPLASTI PADA STENOSIS ARTERI RENALIS (SAR)

Patrisia Puspapriyanti1, Sudarmanta2 , Yana Supriatna2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

ROLE OF ANGIOPLASTY AS THE TREATMENT OF RENAL ARTERY STENOSIS (RAS)

ABSTRACT
Renal Artery Stenosis (RAS) is a narrowing of the diameter renal artery diameter by more than or equal to 50%. Renal Artery Stenosis (RAS) is
an important cause of secondary hypertension and progressive renal insufficiency. The narrowing of the renal artery lumen may be due to
various causes, with the most common causes are atherosclerosis and fibromuscular dysplasia (FMD).

Percutaneous Transluminal Renal Angioplasty (PTRA) is one of the alternative treatments for RAS performed by interventional radiologist. This
technique is done by inserting a small balloon in the area of the blocked renal artery. When the balloon is developed, the plaque from the fat
or blockage will be pressed towards the arterial wall and dilated blood vessel diameter so that it can increase blood flow to the heart.

Uncontrolled hypertension and FMD treated with PTRA have a success rate of 82-100%. The use of stenting improves effectiveness with
94-100% success rate. This method is less effective for atherosclerotic RAS, due to its severity of RAS lesion and its potential to cause arterial
dissection.

Compared with revascularization of the renal artery with surgery, PTRA is preferred because it is not invasive, has faster hospitalization and
lower complications. Therefore, PTRA is considered a treatment option that is quite effective in treating hypertension, especially in patients
with uncontrolled hypertension and fibromuscular dysplasia.

Keywords: Stenosis, Renal Artery, Angioplasty, Atherosclerosis, Fibromuscular Dysplasia

ABSTRAK
Stenosis Arteri Renalis (SAR) adalah suatu kondisi penyempitan dari arteri renalis penyempitan diameter lumen sejumlah lebih atau sama
dengan 50%.2 Stenosis Arteri Renalis (SAR) merupakan penyebab penting dari hipertensi sekunder dan insufisiensi renal yang progresif.
Penyempitan lumen arteri renalis dapat disebabkan berbagai hal, dengan penyebab utamanya adalah aterosklerosis atau fibromuscular
dysplasia (FMD).

Percutaneous Transluminal Renal Angioplasty (PTRA) adalah salah satu alternative penanganan SAR yang dilakukan dokter spesialis radiologi
intervensi. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan balon kecil pada daerah arteri renalis yang tersumbat. Ketika balon dikembangkan, plak
dari lemak atau sumbatan akan tertekan ke arah dinding arteri dan diameter pembuluh darah melebar (dilatasi) sehingga dapat meningkatkan
aliran darah ke jantung.

Hipertensi yang tidak terkontrol dan FMD yang diterapi dengan PTRA memiliki angka kesuksesan 82-100%. Penggunaan stenting meningkatkan
efektivitas dengan kesuksesan 94-100%. Metode ini kurang efektif untuk SAR aterosklerotik, dikarenakan kakunya lesi SAR serta potensinya
untuk menimbulkan diseksi arteri.

95 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Patrisia Puspapriyanti, Sudarmanta, Yana Supriatna

Dibandingkan revaskularisasi arteri renalis dengan bedah, PTRA adalah prosedur invasif minimal untuk memperbaiki aliran
lebih dipilih dikarenakan tidak invasif, rawat inap yang lebih cepat darah pada arteri dan vena. Angioplasti dapat digunakan
dan komplikasi yang lebih rendah. Oleh karena itu, PTRA dianggap untuk memperbaiki beberapa kondisi, di antaranya
sebagai pilihan terapi yang cukup efektif menangani hipertensi, penyempitan arteri besar karena aterosklerosis, fibromuscular
dysplasia (FMD), penyakit arteri perifer atau PAD (Peripheral
terutama pada pasien hipertensi tak terkontrol dan fibromuscular
Artery Disease), stenosis arteri karotis, coronary artery disease,
dysplasia.
penyempitan vena atau fistula dialysis atau graft, dan juga
untuk hipertensi vaskular ginjal.2,5
Kata kunci : Stenosis, Arteri Renalis, Angioplasti, Aterosklerosis,
Fibromuscular Dysplasia

Epidemiologi

Prevalensi SAR aterosklerotik meningkat seiring dengan


PENDAHULUAN
pertambahan umur, terutama pada pasien dengan diabetes
Hipertensi adalah salah satu faktor resiko terjadinya mellitus, hyperlipidemia, pengidap penyakit aterosklerosis
penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan penyakit lain, dan hipertensi. SAR aterosklerotik terdapat pada 1-5%
jantung koroner. Menurut WHO dan International Society pada 60 juta orang Amerika Serikat penderita hipertensi, dan
of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita pada 30% pasien dengan coronary artery disease (CAD), 7% di
hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal atas usia 65 tahun dan sampai 50% dari pasien tua dengan
setiap tahunnya. Penyakit renovaskuler, dalam hal ini Stenosis diffuse atherosclerotic disease.4,6
Arteri Renalis (SAR) merupakan penyebab penting dari
SAR muncul dua kali pada laki-laki daripada wanita
hipertensi sekunder dan insufisiensi renal yang progresif.1,2
serta orang tua, dan meningkat mencapai 53% pada pasien
Penyebab paling sering dari SAR adalah aterosklerosis dengan riwayat hipertensi diastolic >100mmHg. SAR
dan fibromuscular dysplasia. Pada populasi dewasa, penyebab merupakan penyebab end-stage renal disease dan insufisiensi
SAR tersering adalah aterosklerosis, sedangkan fibromuscular renal, serta penyebab sekunder dari hipertensi.4
dysplasia lebih sering ditemukan pada pasien usia muda.
Pasien dengan hipertensi dan SAR sering ditangani dengan
tindakan revaskularisasi ginjal, yaitu menghilangkan obstruksi Etiologi
arteri renalis ke ginjal, salah satunya dengan tindakan radiologi
intervensi Percutaneous Transluminal Renal Angioplasti Penyempitan lumen arteri renalis dapat disebabkan
(PTRA).3,4 beberapa hal, di antaranya atherosclerosis, fibromuscular
dysplasia (FMD), vasculitis, neurofibromatosis, congenital
bands, kompresi ekstrinsik, dan radiasi. Selain itu, penyebab
SAR lain yang lebih jarang adalah vaskulitis arteri yang besar
Definisi (Takayasu arteritis), antiphospholipid syndrome dan mid aortic
syndrome. Dua penyebab utama SAR adalah aterosklerosis
Hipertensi menurut WHO tahun 1999 adalah kondisi di atau FMD (Gambar 3).7,8
mana tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih, tekanan
darah diastolic 90 mmHg atau lebih, dan di atas angka tersebut SAR aterosklerotik terjadi pada lebih dari 90% kasus
pada pasien yang tidak meminum obat antihipertensi. Stenosis SAR. SAR aterosklerotik biasanya terjadi pada ostium dan
Arteri Renalis (SAR) adalah suatu kondisi penyempitan dari atau sepertiga proximal dari arteri renalis dan juga aorta yang
arteri renalis, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Definisi berdekatan. Prevalensi dari SAR aterosklerotik meningkat
stenosis arteri renalis Menurut American College of Radiology dengan pertambahan usia, terutama pada pasien dengan
(ACR) adalah penyempitan diameter lumen arteri renalis diabetes, aortoiliac occlusive disease, penyakit jantung koroner
sejumlah lebih atau sama dengan 50%, di mana parameternya atau hipertensi.8,9
adalah persentasi diameter dari normal pembuluh darah
renal, contohnya % SAR = 100 x (1-(diameter lumen yang Fibromuscular dysplasia (FMD) adalah penyakit vaskular
menyempit / diameter pembuluh darah normal )).2 non aterosklerotik dan non inflamasi yang dapat menyebabkan
stenosis arteri, oklusi, aneurisma atau diseksi. Penyebab dari
Stenosis arteri renalis ostial adalah penyempitan FMD dan prevalensinya belum diketahui secara pasti, namun
anatomis di proksimal 5 mm dari arteri. Stenosis arteri truncal terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan FMD
adalah SAR non ostial yang terjadi proksimal dari cabang dengan kelainan genetik. Berdasarkan US Registry, 91%
arteri renalis. Angioplasti dengan atau tanpa stent vaskuler penderita FMD adalah wanita. FMD dilaporkan mengenai

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 96


PERANAN ANGIOPLASTI PADA STENOSIS ARTERI RENALIS (SAR)

arterial bed tapi biasanya mengenai arteri renalis dan arteri Diagnosis
carotis externa pada lebih dari 65% kasus.8,10
Pencitraan radiologi merupakan modalitas yang dipilih
untuk mengidentifikasi SAR, seperti Magnetic resonance
angiography (MRA), helical computed tomographic angiography
(CTA), Doppler ultrasonography, renal scintigraphy, invasive
angiography,merupakan pemeriksaan pencitraan radiologis
yang dapat dilakukan untuk mendeteksi SAR.3,12

Terapi

Terdapat 2 jenis penanganan yang diberikan untuk SAR,


yaitu terapi obat dan revaskularisasi.Terapi obat lebih dipilih
untuk digunakan pada pasien dengan SAR aterosklerosis
dan penyakit ginjal yang berat seperti gagal ginjal kronis,
proteinuria > 1 g/dl, diffuse intrarenal vascular disease, dan
atrofi ginjal, dibandingkan dengan revaskularisasi renal.11
Penggunaan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I)
dan angiotensin receptor blocker (ARB) untuk menghambat
sistem renin-angiotensin dan simpatis, direkomendasikan
untuk mengontrol hipertensi dan untuk mengurangi
gejala klinis pada pasien yang diketahui memiliki penyakit
Gambar 1. Gambaran arteriografi pada multifocal fibromuscular kardiovaskuler.11
dysplasia pada distal arteri carotis interna (A) dan renalis (B)
berdasarkan klasifikasi American Heart Association. Terdapat Terdapat dua jenis teknik revaskularisasi arteri renalis,
beberapa area dari stenosis dan dilatasi (string of beads). C. Gambaran yaitu dengan metode bedah dan radiologi intervensi.
fotomikrograf menunjukkan gap pada tunika media arteri.10 Revaskularisasi bedah dilakukan dengan teknik unilateral
aortorenal bypass surgery atau extra-anatomic bypass dari
arteri coeliaca atau cabang mesenterium. Revaskularisasi
renal dengan angioplasti sering juga disebut conventional
Gambaran Klinis PTRA (Percutaneus Transluminal Renal Angioplasti) tanpa atau
dengan pemasangan stent. Angioplasti dengan balon adalah
Manifestasi klinis dari stenosis arteri renalis bervariasi prosedur dimana balon kecil pada ujungnya yang dimasukkan
tergantung dari penyebabnya. Pada SAR aterosklerotik, gejala dekat daerah yang menyempit atau tersumbat pada arteri.
paling umum adalah hipertensi dengan onset kurang dari Secara teknis angioplasti pada arteri renalis dengan balon
30 tahun atau hipertensi berat setelah 55 tahun, yang terus disebut Percutaneous Transluminal Renal Angioplasti (PTRA).
berakselerasi dan resisten terhadap obat. Selain itu terdapat Ketika balon dikembangkan, plak dari lemak atau sumbatan
perburukan fungsi ginjal setelah pemberian ACE inhibitor, akan tertekan ke arah dinding arteri dan diameter pembuluh
atrofi ginjal, edema pulmonum, serta congestive heart failure darah melebar (dilatasi) sehingga dapat meningkatkan aliran
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.3,11 darah ke jantung.2,12-14

Pada SAR yang disebabkan oleh renal fibromuscular


dysplasia, gejala klinis bergantung dari distribusi pembuluh
darah yang terlibat, tipe FMD dan tingkat keparahan lesi
vaskuler. Gejala yang paling umum adalah hipertensi yang
berpotensi muncul pada umur yang lebih muda (di bawah 35
tahun) dan resisten terhadap obat. Selain hipertensi, gejala lain
yang umum ditemukan adalah bruit pada regio epigastrium
(17.5% pasien) atau bruit pada flank (6.1% pasien).10

97 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Patrisia Puspapriyanti, Sudarmanta, Yana Supriatna

Gambar 2. Angiogram ginjal. (Gambar Kiri) Stenosis ostial arteri renalis kanan yang berat. (Gambar Kanan). Setelah prosedur PTRA dan
implantasi stent pada stenosis arteri renalis tersebut.11

Indikasi dan kontraindikasi PTRA angulasi arteri renalis, adanya fibromuscular dysplasia dan
ukuran ginjal dari pole superior ke pole inferior. Informasi
Indikasi untuk angioplasti pada fibromuscular disease tambahan yang berpengaruh adalah keberadaan aneurisma
menurut ACR dan SIR 2,15 (Treshold – 95%) adalah: (1) aorta abdominalis dengan atau tanpa mural thrombus,
Gambaran angiografi SAR yang signifikan secara hemodinamik, kalsifikasi aorta dan aterosklerosia arteri iliaca. Informasi
(2) Stenosis yang signifikan secara hemodinamik, di mana tambahan ini berpengaruh terhadap pilihan akses untuk
terdapat 10% mean pressure gradient pada SAR, atau 20 mmHg angiografi dan revaskularisasi, yaitu melalui radial, brachial
mean pressure gradient dengan stimulasi dopamine pada SAR. atau femoral.16

Indikasi dilakukan angioplasti dan stenting pada ASVD Pasien diharuskan puasa minimal 6 jam sebelum
(Atherosclerotic vascular disease) adalah: (1) Stenosis lebih prosedur, namun pasien diperbolehkan minum air putih
dari 50% diameter atau penyempitan lebih dari 75% pada sampai 2 jam sebelum tindakan. Pasien harus dicek tanda
cross sectional area, atau (2) Stenosis yang signifikan secara vital, laboratorium darah lengkap dan fungsi ginjalnya. Pasien
hemodinamik, dengan 10% mean pressure gradient pada juga harus dicek apakah memiliki alergi terhadap kontras.
SAR, atau 20 mmHg mean pressure gradient dengan stimulasi Untuk pasien yang merokok, tidak diperbolehkan merokok
dopamine pada SAR.2,15 dalam waktu 24 jam sebelum tindakan.17

Sesaat sebelum tindakan, pasien akan dipasang IV


Persiapan PTRA (Intravenous) line untuk memasukkan obat. Rambut di region
pubis akan dicukur kemudian akan disuntikkan anestesi local
Sebelum dilakukan PTRA, perlu dilakukan beberapa pada lokasi puncture. Bila diperlukan akan diberikan injeksi
persiapan. Persiapan yang paling penting adalah memastikan antibiotik dan kortikosteroid di bangsal sebelum tindakan
adanya indikasi untuk dilakukan angioplasti melalui konfirmasi dimulai.17
beberapa pemeriksaan diagnostik non invasif maupun invasif.
Pemeriksaan diagnostik tersebut harus juga melihat adanya
aterosklerosis aorta, arteri renal asesorius, lokasi dari SAR,

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 98


PERANAN ANGIOPLASTI PADA STENOSIS ARTERI RENALIS (SAR)

Alat dan Bahan

Alat yang perlu digunakan untuk tindakan PTRA adalah jarum untuk puncture, introducer sheath, guide catheter, balon
angioplasti, dan stent. Guide wire akan memandu kateter melalui pembuluh darah, di mana bentuknya kaku dan mengatur
tempat di mana angiogram akan dilaksanakan. Guide wire yang digunakan pada angiografi selektif pasien dewasa biasanya
memiliki panjang 100-150 cm dengan diameter 0.014 inchi.18,19

Untuk memasukkan kateter, diperlukan jarum untuk puncture pembuluh darah arteri. Ukuran jarum yang biasa
digunakan adalah 18 G, 19 G, 20 G, dan 21 G untuk pasien dewasa. Jarum tersebut akan ditusukkan dengan teknik Seldinger
(Gambar 3).

Gambar 3. Teknik Seldinger untuk memasukkan catheter pada angiografi dan PTRA. 23

Balon kateter dapat berupa balon yang halus dan


elastis seperti balon untuk oklusi atau balon Fogarty untuk
membersihkan thrombosis, dapat juga kaku dan digunakan
untuk dilatasi atau angioplasti. Balon untuk dilatasi dapat
dibagi menjadi dua bagian besar bergantung dari ukuran
guide wire-nya, yaitu 0.018 inchi atau 0.035 inchi. Makin
kecil lumen guide wire-nya maka balon akan semakin kecil.
FDA (Food and Drug Administration) dari Amerika Serikat
menyetujui tiga balon kateter dengan stent ukuran 0.014 inchi
(Express SD, Boston Scientific, Natick, MA, USA; Formula, Cook
Incorporated, Bloomington, IN, USA; Herculink Elite, Abbott
Vascular, Santa Clara, CA, USA) (Gambar 4).16,17,18

Drug eluting stent adalah stent untuk coroner


maupun perifer yang perlahan akan melepaskan obat untuk
menghambat proliferasi sel (Gambar 20). Obat ini akan
mencegah fibrosis, yang bila bergabung dengan thrombus,
dapat menutup arteri yang sudah dipasang stent, yang sering
disebut proses restenosis. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa drug eluting stent memiliki efektivitas yang lebih baik
daripada bare-metal stent untuk penanganan SAR. 20

Gambar 4. Balon kateter22

99 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Patrisia Puspapriyanti, Sudarmanta, Yana Supriatna

Teknik PTRA Tanpa dan Dengan Stenting Balon ditahan selama beberapa detik untuk memberikan
tekanan sirkumferensial pada segmen arteri renalis dan
Sebelum dilakukan tindakan PTRA, pasien disiapkan kemudian dikempeskan dan akhirnya ditarik kembali ke guide
dengan sterilisasi area yang akan dilakukan puncture, catheter.14
kemudian diberikan anestesi local berupa lidokain 1% atau
2% yang diberikan pada akses femoral. Kemudian dimasukkan Angiogram diambil setelah PTRA dan setelah balon
sheath arteri yang ditempatkan pada arteri femoralis, dan kateter diambil, untuk memastikan diameter lumen arteri
guide catheter dimasukkan pada 0.035 inchi guide wire renalis yang stenosis telah melebar > 50%. Setelah pelebaran
dengan panduan fluoroskopi. Setelah ujung dari guide arteri renalis, aliran darah ke aorta akan bertambah, dan perlu
catheter diposisikan pada ostium dari arteri renalis, dibuat dilihat apakah ada diseksi pada dinding vaskuler atau apakah
gambar angiogram. ada filling defect yang menunjukkan kemungkinan thrombus.
Aliran darah ke cabang dari arteri renalis harus baik, dengan
Setelah guide wire dilepas, ujung proksimal dari guide penyangatan parenkim yang baik.1
catheter dihubungkan dengan manifold, kontras water soluble
sebanyak lebih kurang 4-8 ml diinjeksikan secara manual saat Untuk teknik PTRA dengan pemasangan stent, stent
rekaman cineangiographic. Material antithrombotic intravena, dipasang dengan memberi tekanan negatif pada balon dan
biasanya heparin, diberikan sebelum ahli radiologi intervensi kemudian diinflasikan dengan menginjeksikan campuran
melakukan angioplasti.14 kontras dan saline melalui device inflasi. Stent diinflasikan
untuk beberapa detik pada tekanan 5-10 bars. Balon kemudian
Guide wire berukuran 0.018 inchi dimasukkan melalui dikempeskan dan ditarik sedangkan stent tetap pada lesi.
sheath 6 French pada stenosis renal. Masuknya guide wire dan (Gambar 4)
injeksi sedikit kontras dipantau dengan fluoroskopi. (Gambar
23) Sebuah balon berukuran 6x18 mm diposisikan pada lesi
melalui guide wire. Balon kemudian dikembangkan dengan
memberi tekanan positif sampai lebih kurang 4-8 atmosfer.

Gambar 5. Tahapan PTRA dengan pengembangan balon dan pemasangan stent.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 100


PERANAN ANGIOPLASTI PADA STENOSIS ARTERI RENALIS (SAR)

Evaluasi

Secara teknis, keluaran terapi PTRA yang berhasil


adalah: (1) batas minimal sisa diameter stenosis < 30% yang
diukur pada titik tersempit dari lumen vaskuler dan gradient
tekanan kurang dari threshold untuk intervensi, atau gradient
sistolik < 10 mmHg, (2) Lesi bifurcatio awal tidak dimasukkan
pada analisa ini.2,13

Secara klinis, hipertensi renovaskuler atau ischemia Gambar 6. Diseksi aorta bagian distal setelah pemasangan stent
dari arteri renalis kiri.21
dianggap sembuh bila tekanan darah kembali di bawah
140/90 mmHg dan pasien tidak lagi meminum obat anti
hipertensi. Untuk insufisiensi renal, dikatakan sembuh bila
eGFR kembali pada tingkat normal. Sedangkan hasil tindakan Diskusi
dikatakan partial response jika terdapat pengurangan
tekanan darah sistolik atau diastolic 10 mmHg, atau tekanan Walaupun PTRA dianggap sebagai pilihan terapi untuk
darah tetap stabil bila obat anti hipertensi dikurangi setelah pasien dengan hipertensi tak terkontrol dan fibromuscular
dilakukan tindakan intervensi. Renal insufisiensi dikatakan dysplasia, metode ini kurang begitu efektif untuk pasien
mengalami partial response bila eGFR mengalami perbaikan dengan SAR aterosklerotik, dikarenakan kakunya lesi
atau stabilisasi.2,13 SAR serta potensinya untuk menimbulkan diseksi arteri.
Dibandingkan dengan fibromuscular dysplasia, pasien dengan
Tidak ada standar yang jelas untuk follow-up rutin SAR aterosklerotik memiliki angka survival yang lebih rendah
setelah pemasangan stent pada arteri renalis. Kebanyakan dan patensi pembuluh darahnya kurang baik. Pasien dengan
ahli radiologi intervensi menggunakan RADUS (Renal Artery SAR saja tanpa kelainan hipertensi dapat mendapatkan
Duplex Ultrasonography) untuk evaluasi. Menurut guideline keuntungan dari revaskularisasi untuk mencegah hilangnya
dari AU (Appropriate Use) untuk ultrasonografi vaskuler bagian ginjal yang berfungsi baik.
perifer menyarankan ultrasonografi dilakukan 1 bulan setelah
tindakan. PTRA konvensional (Percutaneus Transluminal Renal
Angioplasti) dianggap sebagai terapi pilihan untuk pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan FMD. Prosedur
Komplikasi ini sukses pada 82-100% pasien, dan stenosis kembali muncul
pada 10-11 % pasien. Metode ini kurang efektif untuk SAR
Komplikasi pada Percutaneus Renal Revascularization aterosklerotik, karena potensi untuk diseksi dan elastic
dibagi menjadi komplikasi mayor dan komplikasi minor. Pasien recoil pada lesi ostial, dengan insidensi restenosis 10-47%.
yang mengalami komplikasi mayor memerlukan penanganan Penggunaan stenting meningkatkan efektivitas dari teknik
di rumah sakit, peningkatan penanganan, bertambah lamanya endovaskuler dengan kesuksesan 94-100%, residual diameter
waktu rawat inap, sequele yang permanen sampai kematian. stenosis < 10%, dan angka terjadinya re-stenosis 11-23%
Komplikasi minor tidak menyebabkan sequele, komplikasi ini dalam jangka waktu 1 tahun. Dibandingkan dengan teknik
mungkin memerlukan rawat inap untuk observasi, biasanya 1 revaskularisasi arteri renalis dengan bedah, PTRA lebih dipilih
hari saja. dikarenakan tidak invasif, dengan lama rawat inap yang lebih
cepat dan tingkat komplikasi yang lebih rendah.2
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah hematoma
pada regio iliaca dan trauma pada tempat puncture, dengan Menurut Daloul dan Morrison (2016), terdapat
laporan sebanyak 3-5%. Selain itu, komplikasi mayor yang dua kriteria yang harus ditemukan sehingga kita dapat
paling banyak terjadi adalah perburukan dari fungsi ginjal merekomendasikan stenting endovascular pada pasien
(4%), oklusi pada arteri renalis (2-3%), infark segmental (1-2%), dengan SAR aterosklerosis. Kriteria pertama adalah adanya
kebutuhan untuk intervensi bedah seperti nefrektomi (2%) presentasi klinis yang disebabkan SAR aterosklerosis, yaitu
dan kematian (1%). 2,13 hpertensi maligna atau hipertensi akselerasi dengan atau
tanpa gagal ginjal akut pada pasien dengan tekanan darah
yang sebelumnya terkontrol. Keberadaan hipertensi maligna
ini kemungkinan besar disebabkan oleh iskemik ginjal akut
yang berat, yang mungkin disebabkan oleh diseksi arteri
renalis atau rupture plak. Selain itu perburukan akut pada
pasien yang sebelumnya tekanan darahnya stabil tanpa

101 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Patrisia Puspapriyanti, Sudarmanta, Yana Supriatna

ada penjelasan yang cukup, serta penurunan fungsi ginjal [Internet]. 2009;6(3):176–90. Available from: http://www.
yang cepat (penurunan eGFR (Glomerular Filtration Rate) > ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19234498
30% dalam waktu ≤ 3 bulan pada pasien yang sebelumnya 5. Granata A, Fiorini F, Andrulli S, Logias F, Gallieni M, Romano
mengalami penyakit ginjal dengan progresi lambat atau G, et al. Doppler ultrasound and renal artery stenosis: An
stabil, serta adanya flash pulmonary edema (FPE) rekuren overview. J Ultrasound. 2009;12(4):133–43.
(sindroma Pickering) pada pasien SAR aterosklerotik. Kriteria 6. Dubel GJ, Murphy TP. The role of percutaneous
kedua adalah lesi fungsional yang ditunjukkan dengan revascularization for renal artery stenosis. Vasc Med
ultrasonografi Doppler ginjal. Kedua kriteria ini dapat menjadi [Internet]. 2008;13(2):141–56. Available from: http://www.
acuan kapan dilakukan tindakan intervensi pada pasien ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18593803
dengan SAR aterosklerotik.21 7. Dubel GJ, Murphy TP. The role of percutaneous
revascularization for renal artery stenosis. Vasc Med
[Internet]. 2008;13(2):141–56. Available from: http://www.
KESIMPULAN ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18593803
8. Baumgartner I, Lerman LO. Renovascular hypertension:
Stenosis arteri renalis (SAR) sebagai penyakit Screening and modern management. Eur Heart J.
renovaskuler merupakan penyebab penting dari hipertensi 2011;32(13):1590–8.
sekunder dan insufisiensi renal yang progresif dengan etiologi 9. Cheuck L. Kidney Anatomy. [Internet]. 2013 Oct [cited
utamanya adalah aterosklerosis dan fibromuscular dysplasia. 2017 May 12]. Available from: http:// http://emedicine.
Secara garis besar, SAR dapat ditangani dengan dua metode, medscape.com/article/1948775-overview
yaitu terapi obat dan revaskularisasi arteri renalis.Terdapat 10. Olin JW, Gornik HL, Bacharach JM, Biller J, Fine LJ, Gray BH,
dua jenis teknik revaskularisasi arteri renalis, yaitu dengan et al. Fibromuscular dysplasia: State of the science and
metode bedah dan dengan metode radiologi intervensi. critical unanswered questions: A scientific statement from
Revaskularisasi renal dengan angioplasti sering juga disebut the American Heart Association. Vol. 129, Circulation.
conventional PTRA (Percutaneus Transluminal Renal Angioplasti) 2014. 1048-1078 p.
tanpa atau dengan stenting. 11. Lao D, Parasher PS, Cho KC, Yeghiazarians Y. Atherosclerotic
renal artery stenosis--diagnosis and treatment. Mayo
PTRA dianggap lebih baik dibandingkan dengan teknik Clin Proc [Internet]. 2011;86(7):649–57. Available
revaskularisasi arteri renalis dengan bedah untuk penanganan from: http://www.mayoclinicproceedings.org/article/
SAR. PTRA dianggap sebagai terapi pilihan untuk pasien S0025619611600700/fulltext
dengan hipertensi tak terkontrol dan fibromuscular dysplasia, 12. Safian R. Renal artery stenosis. Nejm. 2001;344(6):431–42.
namun kurang efektif untuk pasien dengan SAR aterosklerotik. 13. Granata A, Fiorini F, Andrulli S, Logias F, Gallieni M, Romano
Dikarenakan pentingnya tindakan PTRA sebagai salah satu G, et al. Doppler ultrasound and renal artery stenosis: An
terapi alternative SAR, seorang dokter radiologi sebaiknya overview. J Ultrasound. 2009;12(4):133–43.
memahami teknik PTRA sebagai salah satu tindakan radiologi 14. Singh VN. Renal Artery Angioplasti . [Internet]. 2016 Jun
intervensi. [cited 2017 May 17]. Available from: http://emedicine.
medscape.com/article/1817671-overview
15. Martin LG, Rundback JH, Wallace MJ, Cardella JF, Angle
DAFTAR PUSTAKA JF, Kundu S, et al. Quality Improvement Guidelines for
Angiography, Angioplasti, and Stent Placement for the
1. Kemenkes RI. Infodatin : Situasi Kesehatan Jantung. Pus Diagnosis and Treatment of Renal Artery Stenosis in Adults.
Data dan Inf Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2014;1–8. J Vasc Interv Radiol [Internet]. 2010;21(4):421–30. Available
Available from: http://www.depkes.go.id/download. from: http://dx.doi.org/10.1016/ j.jvir.2009.12.391
php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin- 16. Parikh SA, Shishehbor MH, Gray BH, White CJ, Jaff
jantung.pdf MR. SCAI expert consensus statement for renal artery
2. American College of Radiology. Acr – Sir Practice Guideline stenting appropriate use. Catheter Cardiovasc Interv.
for the Performance of Angiography , Angioplasti , and 2014;84(7):1163–71.
Stenting for the Diagnosis and Treatment of Renal Artery 17. University of Washington Medical Center. [Internet]. 2006
Stenosis in Adults. 2009;1076(Revised 2008):1–21. March [cited 2017 May 18]. Available from: http://www.
3. Vashist A, Heller EN, Brown EJ, Alhaddad IA. Renal artery uwmedicine.org/services/radiology/documents/Articles/
stenosis: A cardiovascular perspective. Am Heart J. Renal-Angiogram.pdf
2002;143(4):559–64. 18. Brant WE, Helms CA. 2007. Fundamentals of Diagnostic
4. White CJ, Olin JW. Diagnosis and management of Radiology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
atherosclerotic renal artery stenosis: improving patient 2007. P 672-3
selection and outcomes. Nat Clin Pract Cardiovasc Med 19. Freed R, Urdaneta A, Darflinger R, Vatakencherry G.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 102


PERANAN ANGIOPLASTI PADA STENOSIS ARTERI RENALIS (SAR)

Angiographic catheters: a comprehensive review for the


interventionalist in-training. [Internet]. 2006 March [cited
2017 May 18]. Available from: http://www.ciraweb.org/
uploads/files/pdf/angio-catheters.pdf
20. Parikh SA, Shishehbor MH, Gray BH, White CJ, Jaff
MR. SCAI expert consensus statement for renal artery
stenting appropriate use. Catheter Cardiovasc Interv.
2014;84(7):1163–71.
21. Daloul R, Morrison AR. Approach to atherosclerotic
renovascular disease: 2016. Clin Kidney J. 2016;9(5):713–
21.

103 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY
UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

Pramiadi1, Bambang Purwanto Utomo2, Nurhuda Hendra Setyawan2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY

FOR THE DETERMINATION OF URINARY STONE COMPOSITION

ABSTRACT
Urolithiasis is a common disease with a reported prevalence between 4% and 20% in the worldwide. Determination of urinary calculi
composition is a key factor in preoperative evaluation, treatment, and recurrence prevention. Dual-energy computed tomography (DECT)
is available methods for determining urinary stone composition were only available after stone extraction, and thereby unable to aid in
optimized stone management prior to intervention. DECT utilizes the attenuation difference produced by two different x-ray energy spectra
to quantify urinary calculi composition while still providing the information attained with a conventional CT. Knowledge of DECT imaging
pitfalls and stone mimics is important, as the added benefit of dual-energy analysis is the determination of stone composition, which in turn
affects all aspects of stone management.

This article describes DECT principles, scanner types and acquisition protocols for the evaluation of urinary calculi as they relate to imaging
pitfalls (inconsistent characterization of small stones, small DECT field of view, and mischaracterization from surrounding material) and stone
mimics (drainage devices) that may adversely impact clinical decisions.

Keywords: Dual-Energy Computed Tomography, Determination Of Urinary Stone Composition, Image Interpretation, Pitfalls, Stone Mimics

ABSTRAK
Urolitiasis merupakan penyakit yang umum dengan prevalensi yang dilaporkan antara 4% dan 20% di seluruh dunia. Penentuan komposisi
batu urin merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, pengobatan, dan pencegahan kekambuhan. Dual-Energy Computed Tomography
(DECT) merupakan metode yang tersedia untuk menentukan komposisi batu kemih hanya tersedia setelah ekstraksi batu, dengan demikian
tidak dapat membantu dalam mengoptimalkan penanganan batu sebelum dilakukan intervensi. DECT memanfaatkan perbedaan atenuasi
yang dihasilkan oleh dua spektrum energi sinar-x yang berbeda untuk menentukan komposisi batu urin walaupun tetap menyediakan
informasi yang diperoleh dengan CT konvensional. Pengetahuan pencitraan DECT akan pitfall dan material menyerupai batu ini penting,
sebagai manfaat tambahan pada analisis DECT adalah penentuan komposisi batu, yang pada gilirannya mempengaruhi semua aspek dalam
penanganan batu.

Artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu urin yang berkaitan dengan pitfall
pencitraan (karakterisasi yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari
bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 104


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

mineral atau batu dalam urin pada ginjal, ureter dan vesika
Kata Kunci: Dual-Energy Computed Tomography, Penentuan urinaria.15 Urolithiasis merupakan penyakit yang umum
Komposisi Batu Urin, Interpretasi gambar, Pitfall Pencitraan, Material ditemukan dengan morbiditas yang cukup signifikan dan
Menyerupai Batu Urin prevalensinya dilaporkan antara 3% dan 20% di seluruh dunia,
dengan risiko kekambuhan seumur hidup 50-70%. Prevalensi
puncak terjadi pada usia antara 30-60 tahun. Lebih sering
terjadi pada laki-laki sebesar 12% daripada wanita sebesar
PENDAHULUAN 12%. Epidemiologi urolitiasis berbeda menurut wilayah
geografis dalam hal prevalensi dan kejadian, distribusi umur
Urolithiasis merupakan penyakit yang umum dan jenis kelamin, komposisi batu dan lokasi batu. Perbedaan
ditemukan dengan morbiditas yang cukup signifikan dan tersebut telah dijelaskan dalam hal faktor ras, diet dan
prevalensinya dilaporkan antara 3% dan 20% di seluruh dunia, iklim. Selanjutnya perubahan kondisi sosio-ekonomi telah
dengan risiko kekambuhan seumur hidup 50-70%.1 Jenis batu menghasilkan perubahan dalam prevalensi, kejadian dan
yang paling umum adalah kalsium oksalat (monohidrat atau distribusi untuk usia, jenis kelamin dan jenis batu baik dari
dihidrat), kalsium fosfat (brushite atau apatit), asam urat, dan segi bentuk maupun komposisi fisik kimia dari batu saluran
lainnya dengan perkiraan prevalensi masing-masing 70, 20, kemih.1,16
8% dan 2%.2 Pengobatan batu yang mengakibatkan obstruksi
saluran kemih akut meliputi: hidrasi, manajemen rasa sakit, Secara umum faktor risiko terjadinya urolithisasi
dan mungkin penambahan terapi alpha-blocker dengan dibagi menjadi tiga yaitu faktor individual, saluran kemih
atau tanpa prosedur yang lebih invasif, seperti extracorporeal dan lingkungan. Faktor individual dibagi menjadi dua yaitu
shock wave lithotripsy (ESWL), percutaneous nephrolithotripsy faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan yang berhubungan
(PCNL), dan ureteroscopy.3 Batu asam urat diobati bukan dengan gaya hidup. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
dengan intervensi melainkan dengan terapi obat penghancur diantarannya riwayat keluarga penderita urolithiasis, etnik,
berupa alkalinisasi urin, peningkatan asupan cairan dan usia dan jenis kelamin, sedangkan faktor gaya hidup
xanthine oxidase inhibitor.4 Oleh karena itu, komposisi batu terdiri dari diet, dehidrasi, kelebihan berat badan, obesitas,
ginjal merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, diabetes melitus dan hipertensi. Faktor sistem saluran kemih
pengobatan, dan pencegahan urolithiasis berulang.3 diantaranya kelainan anatomi dari saluran kemih seperti
horseshoe kidney, duplex collecting system. Sedangkan faktor
Dual-energi computed tomography (DECT) menjadi lingkungan diantaranya keadaan geografi, pekerjaan, iklim
metode pencitraan yang digunakan dalam evaluasi urolithiasis dan temperatur.1,16-19
karena kemampuannya yang unik untuk menentukan
komposisi batu baik sebagai asam urat atau non-asam urat Pembentukan batu adalah proses kompleks yang
tanpa peningkatan dosis radiasi yang signifikan.5-11 Sangat melibatkan nukleasi kristal, agregasi dan / atau nukleasi
mungkin DECT menggantikan single-energy computed sekunder, fiksasi di dalam ginjal, dan agregasi lebih dan
tomography (SECT) konvensional karena menyediakan nukleasi sekunder. Langkah-langkah ini dimodulasi oleh
informasi anatomi yang sama serta komposisi batu.12 Metode sejumlah konstituen batu yang muncul dalam cairan tubular,
lain yang tersedia saat ini dalam menganalisis komposisi batu konsentrasinya dipengaruhi oleh ekskresi air, pH cairan tubular
seperti x-ray diffraction, infrared spectroscopy dan polarization dan / atau urin, dan keseimbangan promotor dan inhibitor
microscopy hanya dapat dilakukan setelah batu diekstrak dari yang bukan komponen utama dari komposisi batu.20-22
tubuh, oleh karena itu tidak memberikan manfaat selama
perencanaan pengobatan pra operasi.13,14 Gejala Urolithiasis tergantung pada letak batu, tingkat
infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih, meskipun
Tujuan artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, beberapa batu ginjal tidak menimbulkan gejala klinis. Gejala
jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu klinis dapat berupa nyeri yang bersifat klasik yaitu nyeri kolik
urin yang berkaitan dengan pitfall pencitraan (karakterisasi akibat strangulasi batu dan nyeri kostovertebral, hematuria
yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of akibat gesekan batu dengan ginjal maupun ureter dan
view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari gangguan miksi. Sedangkan gejala sistemik yang muncul
bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat dapat berupa demam jika berhubungan dengan infeksi, mual
drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis. maupun muntah.2

Urolithiasis Komposisi Batu Urin

Urolithiasis mengacu pada pembentukan deposit Batu saluran kemih dibagi berdasarkan komposisi

105 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

mineral yang terdiri dari kombinasi kristal (baik organik Modalitas Pencitraan Urolithiasis
maupun anorganik) dan protein.3 Komposisi batu
berhubungan dengan faktor penyebab pembentukan Pencitraan memainkan peran penting dalam
batu yang penting dalam penentuan proses etiologi dan menetapkan diagnosis, manajemen perencanaan dan
mencegah kambuhnya, serta menjadi dasar untuk keputusan melakukan intervensi, menilai efektivitas terapi dan untuk
diagniostik dan manajemen terapi.22,24 surveilans pasien urolithiasis.14 Pencitraan dapat memberikan
informasi yang akurat dalam evaluasi urolithiasis tentang
Batu berbasis kalsium termasuk kalsium oksalat jumah, ukuran, komposisi, lokasi secara anatomis, temuan
monohidrat, kalsium oksalat dihidrat dan kalsium fosfat adalah yang berhubungan dengan batu, kelainan anatomi yang
batu yang paling umum ditemukan dengan prevalensi 70% mungkin berhubungan dengan batu dan kelainan-kelainan
dari semua batu. Batu asam urat terjadi pada urin yang asam yang mungkin berhubungan dengan sistem genitalia dan
(pH <5,8) dengan keunikan dapat larut dengan alkalinisasi saluran kemih.25 Modalitas pencitraan yang digunakan dalam
urin dengan prevalensi 8% dari semua batu. Batu magnesium evaluasi urolithiasis termasuk foto polos abdomen, intravenous
amonium fosfat (struvite) biasanya terjadi pada urin yang pyelography (IVP), ultrasonografi, computed tomography (CT)
bersifat alkali dan berhubungan dengan infeksi ginjal dengan dan magnetic resonance imaging (MRI) yang dapat dilihat
prevalensi 20% dari semua batu. Batu sistin jarang terjadi pada Tabel 2.22
dengan prevalensi 2% dari semua batu yang berhubungan
dengan defek tubular ginjal. Karakteristik komposisi batu Tabel 2. Modalitas Pencitraan pada Evaluasi Urolithiasis22
dalam pencitraan radiografi, densitas pada CT Scan, fragilitas, Modalitas Kelebihan Kekurangan Pemanfaatan
dan faktor etiologi batu dapat dilihat pada Tabel 1.3,22 Pencitraan Pilihan
Foto Polos Dosis radiasi lebih Sensitivitas Pemantauan
Tabel 1. Karakteristik Komposisi Batu Urin dalam Pencitraan Radio- Abdomen rendah dibanding hanya 60%, batu pada
grafi, Densitas pada CT Scan, Fragilitas, dan Faktor Etiologi.3,22 CT, 90% batu ber- sumber nyeri pasien yang
Komposisi Gambaran Densitas Fragilitas Faktor sifat radioopak pasien mung- sudah diket-
Batu Radiografi CT Scan Etiologi kin bukan ahui memiliki
(HU) urolithiasis urolithiasis

Kalsium Radioopak 1700 - sedang - Penyakit IVP Menunjukkan Paparan agen Pada kasus
oksalat 2800 keras Metab- gambaran kontras, lama yang memer-
monohidrat olik anatomi dan pemeriksaan, lukan evaluasi
dan dihidrat system collecting agen kontras anatomi dan
ginjal dapat meng- system collect-
Kalsium Radioopak 1200 - sedang Bukan aburkan batu ing ginjal
Fosfat 1600 Penyakit
Metab- Ultrasono- Tanpa radiasi, Tergantung Pasien hamil
olik grafi sensitivitas me- operator, sulit atau anak dan
nengah untuk de- menilai ureter riwayat batu
Magnesium Radioopak 600 - 900 sedang infeksi teksi batu ginjal berulang
ammoni- (batu ginjak dan hidronefrosis
um fosfat staghorn)
(struvite) MRI Tanpa radiasi, Kesulitan Evaluasi
pencitraan efek memvisualis- temuan
Asam urat Radiolusen 200 - 450 lunak Hiperuri- sekunder dari asikan batu saluran kemih
semia urolithiasis dan selain urolith-
Sistin Radioopak 600 - 1100 sangat Sistinu- kelainan genitou- iasis seperti
keras ria, rinari lainnya, ter- striktur
Defek masuk keganasan
tubular CT Scan Menggambarkan Paparan radi- Investigasi
ginjal anatomi saluran asi terutama pencitraan lini
kemih dan non pada pasien pertama pada
genitourinaria; hamil atau orang dewasa
Penentuan komposisi batu sangat penting karena akuisisi dan anak dan dengan nyeri
pada batu asam urat dapat diobati dengan alkalinisasi urin interpretasi yang riwayat batu panggul
sebagai pengobatan lini pertama, bila tidak merespon dengan cepat; memfokus- berulang
kan anatomi yang
alkalinisasi urin baru dipertimbangkan penanganan secara
sesuai dengan
bedah, dan pada batu dari komposisi tertentu seperti batu prosedur terapi
sistin dan batu kalsium sangat sulit dipecah dengan ESWL.3

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 106


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

Foto polos abdomen menjadi pemeriksaan pilihan spesifisitas gabungan 95% pada pasien dengan urolitiasis.23,29
pertama dalam evaluasi onset akut nyeri panggul. Sekitar Keunggulan CT Scan dibanding teknik pencitraan lainnya
90% dari batu saluran kemih bersifat radioopak.22 Foto polos termasuk dapat dilakukan dengan cepat, tidak memerlukan
abdomen tidak dapat mendeteksi batu radiolusen dan pemberian bahan kontras, sangat sensitif untuk mendeteksi
tidak mudah membedakan antara plebolith dengan batu batu dari semua ukuran, dan memungkinkan deteksi
ureter.14 Sayangnya, foto polos abdomen hanya memiliki abnormalitas diluar sistem saluran kemih.3,30,31 CT Scan
sensitifitas 44-77% dan spesifisitas 80-87% dalam mendeteksi dapat mengukur densitas batu, mengevaluasi efek samping
urolitiasis.3,22,24 Foto polos abdomen lebih sering digunakan sekunder dari obstruksi, menggambarkan anatomi yang
untuk evaluasi batu pada pasien yang diketahui memiliki sesuai kebutuhan operasi, dan mendeteksi sumber nyeri yang
urolithiasis dengan tujuan untuk mengurangi paparan radiasi lain atau kelainan patologis lainnya.22
pasien dibandingkan dengan CT Scan.22,24,26
Kekurangan CT tanpa kontras adalah hilangnya
Intravenous pyelography (IVP) memiliki kelebihan dalam informasi tentang fungsi ginjal dan anatomi urinary collecting
hal gambaran anatomi ginjal dan dapat mengungkapkan system serta menggunakan radiasi pengion. Dosis efektif
adanya batu yang menyebabkan obstruksi. Dalam kasus rata-rata yang dilaporkan untuk CT urografi tanpa kontras
batu asam urat yang bersifat radiolusen, identifikasi defek dilaporkan 8,5 mSv untuk multi detector computed tomography
kontras pada urinary collecting system dapat membantu.22 (MDCT). Risiko radiasi dapat dikurangi dengan CT dosis radiasi
IVP memberi informasi penting tentang aspek fisiologis dan rendah.32 Tabung modulasi berbeda yang digunakan mesin
fungsional ginjal dan saluran kemih, termasuk lokasi, derajat yang lebih baru lebih universal, bisa membantu mengurangi
dan sifat obstruksi serta adanya atau tidak adanya berbagai dosis. Teknologi pengurangan noise yang lebih baru
kemungkinan anomali kongenital.14 Obstruksi urin dapat seperti rekonstruksi gambar berulang dapat memfasilitasi
menyebabkan keterlambatan yang signifikan dalam ekskresi pengurangan dosis tanpa mengurangi kualitas gambar.22
agen kontras, sehingga meningkatkan waktu pemeriksaan.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, penggunaan media Akurasi SECT dalam menentukan komposisi batu
kontras dapat dikontraindikasikan.22 dilaporkan sebesar 64-81% karena tidak ada nilai cut-off yang
pasti untuk membedakan berbagai jenis batu.14,33 Pada studi
Ultrasonografi sangat baik diaplikasikan pada pasien meta-analisis dilaporkan DECT memiliki sensitifitas 95% dan
anak, pasien hamil, atau pasien dengan serangan urolithiasis spesifisitas 98% dalam membedakan batu asam urat dan non-
berulang, karena tidak menggunakan radiasi pengion, asam urat, serta sensitifitas 99% dan spesifisitas 97% dalam
dapat dilakukan berulang dan tidak mahal.14,22,24,27 Selain itu, membedakan batu kalsium.34
ultrasonografi tidak tergantung pada komposisi batu, karena
hampir semua batu akan menunjukkan ekogenisitas dan MRI tidak dianggap sebagai modalitas diagnostik
bayangan yang sama. Ultrasonografi dapat mendeteksi batu pilihan yang valid dalam evaluasi urolithiasis, namun
sekecil 0,5 mm sebagai echogenik fokal dengan bayangan merupakan modalitas yang sangat baik untuk menggabarkan
di dalam saluran kemih. Untuk mengkonfirmasi visualisasi efek sekunder dari urolithiasis seperti infeksi atau obstruksi.
batu, ultrasonografi color doppler dapat digunakan untuk Batu seringkali tidak tervisualisasikan dengan baik pada MRI
menghasilkan artefak di daerah bayangan yang diharapkan dan akan muncul sebagai signal void pada sekuens T1 dan
pada ultrasonografi gray-scale.22 Ultrasonografi dapat T2. Defek pengisian yang tidak spesifik untuk batu, namun
menunjukkan efek sekunder dari batu, seperti obstruksi, dapat dibedakan dari neoplasma berdasarkan kurangnya
infeksi, atau pembentukan abses. Visualisasi langsung dari penyengatan kontras. Seperti ultrasonografi, MRI tidak
batu ureter sulit dilakukan dengan ultrasonografi karena gas menggunakan radiasi pengion dan bisa berdiri sendiri atau
usus di atasnya dan kedalaman ureter yang relatif di dalam dikombinasikan dengan foto polos abdomen dalam evaluasi
panggul. Visualisasi ultrasonografi mungkin lebih rumit pada pasien anak, hamil, atau yang dilakukan pencitraan secara
pasien obesitas dengan lemak yang tebal.14,22 Kelemahan serial.22,26
ultrasonografi diantaranya adalah sensitivitas 45% dan
spesifisitas 94% untuk mendeteksi batu ureter, dan sensitivitas
45% dan spesifisitas 88% untuk mendeteksi batu ginjal, selain Pilihan Terapi
itu ultrasonografi sangat tergantung operator.22,28
Keputusan terapi urolithiasis tergantung pada lokasi
CT Scan baik dengan kontras maupun tanpa kontras batu, ukuran batu, komposisi batu, dan gejala pasien.3,35
telah menjadi modalitas pilihan dalam evaluasi dugaan Sedangkan keberhasilan terapi dipengaruhi oleh tapi
urolitiasis dan telah menggantikan IVP karena terbukti lebih lokasi batu, ukuran batu, jumlah batu, riwayat urolithiasis,
akurat.3,22,24-27 Studi meta-analisis akurasi CT dosis radiasi hidronefrosis, kolik ginjal, dan stent ureter.36,37 Pada batu ginjal
rendah menunjukkan sensitivitas gabungan 97% dan pilihan terapi dapat berupa ESWL, ureteroscopy, atau PCNL

107 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

yang tergantung dari gejala dan ukuran batu.3 Sedangkan batu berbeda dapat memiliki nilai atenuasi yang sama, sedangkan
ureter, pengobatan prosedur intervensi urologis seringkali pada DECT dapat membedakan dua material dengan atenuasi
bergantung pada ukuran dan jenis batu. Pengobatan lini yang sama pada SECT dengan menganalisis perubahan
pertama adalah terapi obat ekspulsif (α-blockers atau calcium atenuasi pada masing-masing energi.38,41,42
channel blockers dengan atau tanpa obat antiinflamasi steroid
dan non-steroid), serta hidrasi dan analgetik.3 Berdasarkan Kemampuan DECT untuk membedakan dua material
komposisi batu, hanya batu asam urat yang dapat hancur tergantung dari karakteristik nilai rasio DECT masing-masing
dengan obat oral. Asam urat mudah larut dalam urin yang material. Rasio DECT didefinisikan sebagai rasio antara nilai
alkali dan bisa larut dengan sedikit perubahan pH urin. Metode atenuasi material pada gambar yang diberikan energi rendah
alkalinisasi ini meliputi terapi kalium sitrat atau sodium dibandingkan dengan nilai atenuasi material yang sama pada
bikarbonat oral. Bila terapi oral gagal ataupun menimbulkan gambar dengan energi tinggi.
gejala obstruksi, dapat dilanjutkan dengan terapi ESWL atau
ureteroscopy.3,25 Rasio DECT=(HU energi rendah)/(HU energi tinggi)

Perbedaan antara nilai rasio DECT untuk dua bahan


Dual-Energy Computed Tomography ditentukan oleh pemisahan antara spektrum energi rendah
dan tinggi dan jumlah atom yang efektif dari bahan.43 Akurasi
DECT menggunakan dua sumber sinar-x (energi membedakan material oleh DECT ditingkatkan dengan
rendah dan energi tinggi) dan dua detektor sinar-x yang mengurangi perbedaan spektral antara energi rendah dan
dipasang pada perangkat CT baik dalam model energi ganda tinggi dan registrasi spasial dan temporal yang akurat antara
atau energi tunggal yang memungkinkan membedakan spektrum energi rendah dan tinggi. Pemisahan spektral
dan mengklasifikasi jaringan untuk mendapatkan informasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan filtrasi timah yang
gambar anatomi dan karakterisasi material yang spesifik berbeda pada dua tabung sinar-x.14,44
berdasarkan komposisi unsur pembentuknya.38,39

Jenis-jenis Alat DECT


Prinsip-prinsip Dasar DECT
Terdapat beberapa desain alat dan metode untuk
Material pencitraan ditampilkan dalam nilai-nilai memperoleh data dari DECT yang tersedia untuk penggunaan
atenuasi, diukur dalam Hounsfield Unit, sebagai hasil dari klinis meliputi dual-source, rapid-switching, dual-layer detector,
faktor-faktor material spesifik (komposisi atom, densitas dan dan sequential.
ketebalan) serta energi foton sinar-x pada saat pemindaian
dilakukan.40 Dua mekanisme penting yang bertanggung
jawab atas atenuasi jaringan dan material dalam CT adalah
efek Compton scattering dan efek photoelectric, juga
tergantung energi foton sinar-x. Efek photoelectric tergantung
pada nomor atom dan energi yang dominan pada energi
rendah dimana terdapat penyerapan sinar-x yang komplit,
sedangkan efek Compton tergantung pada kerapatan elektron Gambar 1. Jenis-jenis alat DECTdan teknik akuisisi data. 45
yang dominan pada energi tinggi dimana terjadi hamburan
sinar-x.14 Pencitraan DECT dihasilkan dari perbandingan Ada beberapa perbedaan penting dalam bagaimana
atenuasi antara energi rendah dan tinggi, pada energi rendah spektrum energi rendah dan tinggi yang diperoleh dan
menghasilkan lebih banyak noise dengan kontras yang lebih diproses oleh perangkat DECT yang berbeda yang dirangkum
baik sedangkan energi tinggi menghasilkan gambar dengan dalam Tabel 3.11,42,44,45
noise yang lebih sedikit namun kontras yang rendah. Besarnya
perubahan atenuasi antara spektrum energi rendah dan
tinggi ditentukan oleh jumlah atom yang efektif dari material.
Karakterisasi material dengan akuisisi DECT bertujuan untuk
mendapatkan karakteristik atenuasi dari material pada energi
rendah dan tinggi, dengan menganalisa spektrum atenuasi
pada energi yang berbeda namun lokasi anatomi yang sama.
Sebaliknya dengan SECT konvensional, hanya memberikan
pengukuran Hounsfield Unit (HU) pada energi sinar x tunggal.
Pada SECT, dua material dengan komposisi kimia yang

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 108


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

Tabel 3. Karakteristik Jenis-jenis Alat Dual-Energy Computed Tomography. 11


Jenis Alat Mekanisme Mendapatkan Spektrum Kelebihan Kekurangan
DECT Energi Rendah Dan Tinggi
Dual-source Dua sumber sinar-x berjalan simultan Pemisahan spektral yang lebih baik antara Keterbatasan pemindaian
pada tabung potensial rendah (70-100 spektrum energi rendah dan tinggi, filter tambahan FOV energi ganda pada 33-
kV) dan tinggi (100-140 kV), dua rantai sinar-x energi tinggi untuk memperbaiki 38 cm, sedikit keterlambatan
detektor menangkap spektrum energi pemisahan spektral, memungkinan untuk memilih dalam registrasi temporal,
rendah dan tinggi arus tabung yang berbeda untuk energi rendah fase offset 90° pada data
dan tinggi dan menggunakan ATCM energi rendah dan tinggi
Rapid-switching Tabung sinar-x tunggal bergantian dari Pemindaian FOV hingga 50 cm untuk analisis Tidak memungkinkan
energi rendah (80 kV) ke tinggi (140 kV) DECT, yang secara simultan mengakuisisi memodifikasi tabung antara
dalam 0,4 ms, detektor tunggal respon spektrum energi rendah dan tinggi yang pemindaian energi rendah
cepat menangkap spektrum energi rendah menyediakan registrasi temporal yang baik dan tinggi, tidak dapat
dan tinggi bergantian dengan cepat. menggunakan ATCM
Spectral detector Sumber sinar-x tunggal (120 atau 140 Registrasi spasial dan temporal yang sempurna Tingginya tumpang tindih
kV), detektor khusus dengan dua lapisan dari spektrum energi rendah dan tinggi, data antara spektrum energi
scintillation menangkap foton berenergi energi ganda tersedia secara retrospektif untuk rendah dan tinggi
rendah (lapisan superfisial) dan tinggi analisis pada semua pemindaian yang dilakukan
(lebih dalam) pada 120 atau 140 kV
Sequential Tabung sinar-x tunggal bergantian antara Memungkinkan untuk memvariasikan arus tabung Keterbatasan registrasi
energi rendah (80 kV) dan tinggi (135 antara pemindaian energi rendah dan tinggi temporal dan spasial
kV) setelah selesai putaran

Keterangan: ATCM = Automated Tube Current Modulation

Dual-source DECT merupakan alat yang paling sering switching DECT), gambar campuran (dual-source DECT), atau
digunakan saat ini.14 Dual-source DECT memiliki dua tabung gambar konvensional (spectral detector). Selain itu, berbagai
sinar-x yang menghasilkan sinar-x energi rendah pada 70- rekonstruksi material-spesifik dapat diperoleh dengan
100 kVp dan energi tinggi pada 140 atau 150 kVp, dan dua menggunakan algoritma dekomposisi dua material (rapid-
rantai detektor yang menangkap spektrum energi rendah switching dan spectral detector) atau tiga material (dual-source
dan tinggi secara terpisah.38 Filtrasi tambahan sinar-x energi DECT). Dekomposisi material dapat dilakukan di ruang gambar
tinggi dengan menggunakan timah digunakan untuk setelah rekonstruksi gambar (dual-source DECT) atau di ruang
meningkatkan pemisahan spektral dari sinar-X berenergi proyeksi sebelum rekonstruksi gambar (rapid-switching dan
tinggi.46 Energi yang dikeluarkan dari tabung sinar-x energi spectral detector) dengan algoritma ruang proyeksi yang
rendah dapat bervariasi tergantung pada postur tubuh pasien memiliki keunggulan teoritis dalam dekomposisi material
untuk mencapai penetrasi yang lebih baik. Karena dua tabung dan memungkinkan koreksi koreksi data preprocessing untuk
sinar-x digunakan, arus tabung (mA) dapat dioptimalkan meminimalkan artefak dan meningkatan kualitas gambar.11,38,42
secara individual untuk setiap perolehan yang memungkinkan
penggunaan modulasi arus tabung otomatis. Tabung sinar-x
energi tinggi memiliki bidang pemindaian penuh dengan field Dosis Radiasi
of view (FOV) 50 cm, sedangkan tabung sinar-x energi rendah
memiliki bidang pemindaian yang lebih kecil yaitu 33 cm atau Dosis radiasi dari kebanyakan protokol DECT setara
35 cm. Karena pemindaian energi rendah dan tinggi diperoleh dengan SECT konvensional, walaupun dosis radiasi pada
pada waktu dan sudut yang sedikit berbeda, akan tampak DECT merupakan penjumlahan antara dosis radiasi energi
sedikit penundaan dalam registrasi sementara dan fase offset rendah dan tinggi.47 Kesetaraan ini dicapai melalui strategi
90 derajat dari data energi rendah dan tinggi.38,42 pengurangan dosis dan proteksi radiasi selama pemindaian
DECT, seperti sistem pelindung dengan penggunaan filter
timah pada energi tinggi (Sn140 kV), modulasi arus tabung
Rekonstruksi Gambar DECT otomatis, desain detektor yang baru yang dapat mengurangi
electronic noise, teknologi rekonstruksi gambar berulang,
Data dari energi tinggi dan rendah pada DECT dapat sehingga dapat membantu pengurangan dosis radiasi.11,14,48
diproses dengan berbagai cara. Data akan dikombinasikan Dosis radiasi rata-rata dalam pemeriksaan rutin untuk analisis
untuk membuat gambar yang memberikan nilai atenuasi komposisi batu dengan menggunakan teknik pemindaian
dan informasi struktural yang serupa dengan SECT. Gambar- dosis rendah didapatkan volume CT dose index (CTDIvol)
gambar ini disebut sebagai gambar ekivalen 120 kV (rapid- sebesar 8.3 mGy.14

109 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Protokol Pencitraan DECT pada Batu Urin Karakterisasi komposisi batu ginjal pada DECT dengan
menggunakan algoritma dekomposisi tiga material yang
Pada pasien dengan dugaan urolithiasis digunakan membagi karakteristik material berdasarkan rasio atenuasi
protokol DECT untuk batu ginjal. DECT tanpa aplikasi kontras, menjadi 3 kelompok warna yang telah ditentukan. Kemudian
gambar dimulai dari diafragma bagian atas sampai ke simfisis dengan software post-processing dibuat gambar material
pubis. Pada pasien dengan jarak antara kedua ginjal <35 cm spesifik dengan diberi kode warna sesuai algoritma rasio
menggunakan energi rendah 80 kV dan energi tinggi 140 kV, atenuasi, masing-masing warna untuk tiap kelompok rasio
sedangkan pasien dengan jarak antara kedua ginjal >35 cm atenuasi. Voxel dengan rasio atenuasi yang serupa dengan
menggunakan energi rendah 100 kV dan energi tinggi 140 batu asam urat menunjukkan satu warna tertentu (umumnya
kV.49 berwarna merah) sedangkan material yang serupa dengan
non-asam urat menunjukkan warna yang berbeda (umumnya
Tabel 4. Protokol Dual Energy Computed Tomography untuk Batu berwarna biru), sedangkan voxels yang menunjukkan
Ginjal.49 karakteristik kepadatan yang linier pada kedua energi tetap
Parameter Value
berwarna abu-abu.14,49
DECT renal stone protocol
Scan type Helical
Rotation time (s) 0.5
Collimation (mm) 32 x 0.6
Pitch 0,7
Scan time (s) 16,26

Parameter Tube A Tube B


Inter-kidney distance 35 cm and
below
kVp (kV) 80 140
Quality ref (mAs) 419 162
CARE dose ON ON
CTDI-vol (mGy) 15.51 15.51

Parameter Tube A Tube B


Inter-kidney distance 36 cm and
above
kVp (kV) 100 140
Quality ref (mAs) 210 162
CARE dose ON ON
CTDI-vol (mGy) 16.61 16.61

Gambar 2. Software post-processing DECT batu ginjal dengan


algoritma dekomposisi untuk karakterisisasi batu asam urat murni,
Post-processing Pencitraan DECT pada Batu Urin batu asam urat campuran dan batu kalsium.10

Data dari hasil pemindaian DECT dapat diproses untuk


menghasilkan tiga jenis set gambar:
1. Gambar yang memberikan informasi struktural Interpretasi Pencitraan DECT pada Batu Urin
dengan nilai atenuasi yang serupa dengan SECT
konvensional yang biasa disebut sebagai gambar Parameter yang digunakan untuk menginterpretasikan
ekivalen 120 kV. Gambar-gambar ini digunakan komposisi batu ginjal pada DECT berdasarkan rasio DECT
untuk interpretasi diagnostik rutin. dari material batu, yang ditentukan oleh perbedaan nomor
2. Gambar material spesifik yang bisa menghilangkan atom dan pemisahan spektral. Perbedaan nomor atom asam
atau menyoroti material spesifik tertentu. urat dan non-asam urat yang besar menjadi dasar untuk
3. Gambar monokromatik virtual yang menampilkan membedakan batu asam urat dari batu asam non-urat pada
atenuasi bergantung energi.14 DECT dengan akurasi tinggi. Namun, perbedaan bilangan
atom efektif di antara batu asam non-asam yang umum,
seperti sistin, struvit, kalsium oksalat, sitrat, dan apatit, jauh
lebih kecil.50 Identifikasi komposisi batu ginjal berdasarkan

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 110


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

nilai rasio DECT dapat juga dilakukan melalui diagram alir


berdasarkan studi dari Mahalingam dkk.51

Gambar 3. Diagram alir menggambarkan pendekatan untuk


Gambar 5. Gambar DECT menggunakan pemisahan spektral yang
mengidentifikasi komposisi batu berdasarkan nilai rasio DECT.51
ditingkatkan yang dihasilkan dari penggunaan filter timah pada
sumber energi tinggi.42
a). Batu asam urat ginjal kiri pada gambar DECT potongan aksial
Penggunaan software post-processing algoritma berwarna merah
dekomposisi tiga material ini memungkinkan untuk b). Batu sistin ginjal kiri pada gambar DECT potongan aksial
membedakan asam urat murni, asam urat campuran dan batu berwarna kuning
non-asam urat.14,49 Sedangkan untuk membedakan antara c). Batu kalsium oksalat ginjal kiri pada gambar DECT potongan
jenis batu non-asam urat (batu sistin, hidroksiapatit, kalsium aksial berwarna hijau
oksalat dan lain-lain) dengan menggunakan pemisahan d). Batu apatit ginjal kanan pada gambar DECT potongan aksial
spektral yang ditingkatkan yang dihasilkan dari penggunaan berwarna biru
filter timah pada sumber energi tinggi pada alat DECT.42,50

Pitfall Pencitraan DECT pada Batu Urin


Batu Urin Yang Sangat Kecil (<3mm)

Faktor-faktor yang menurunkan spesifisitas DECT dalam


menentukan komposisi batu urin meliputi peningkatan postur
tubuh pasien (yang mengakibatkan peningkatan quantum
noise) dan ukuran batu yang sangat kecil mengakibatkan
Gambar 4. Interpretasi gambar DECT.49 berkurangnya signal-to-noise ratio (SNR).49 Sebelum evaluasi
a). Batu ginjal kanan pada gambar SECT potongan koronal yang in-vitro dari gambaran batu <3 mm dalam phantom yang
dibuat dari data campuran linear energi rendah dan tinggi sangat besar memiliki spesifisitas sekitar 88%.9 Keterbatasan
b). Batu asam urat ginjal kanan pada gambar DECT potongan akurasi ini terlihat sebagai karakterisasi yang tidak konsisten
koronal berwarna merah
dari batu yang sangat kecil pada pasien dengan postur
c). Batu non-asam urat ginjal kiri pada gambar DECT potongan
koronal berwarna biru tubuh yang besar. Akurasi masih mungkin ditingkatkan
d). Batu komposisi campuran ginjal kiri pada gambar DECT dengan penambahan filter timah pada sinar energi tinggi
potongan koronal berwarna warna merah dan biru untuk meningkatkan pemisahan spektral, serta penggunaan
sinar 100 kV daripada 80 kV pada energi rendah untuk untuk
meningkatkan penetrasi sinar pada pasien dengan diameter
cross-sectional > 35 cm.49

111 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Pitfall pencitraan dapat diatasi dengan melakukan


pemindaian pendahuluan sebelum untuk memastikan
kedua ginjal berada dalam margin analisis. Jika kedua ginjal
berada diluar margin analisis, dilakukan reposisi pasien agar
memungkinkan untuk analisis DECT dengan tepat. Namun,
manfaat dan risiko dari paparan radiasi kedua harus dievaluasi
sebelum dilakukan pencitraan ulang.49

Karakterisasi Batu Yang Salah

Pitfall pencitraan DECT terjadi pada pasien yang


Gambar 6. Karakteristik komposisi batu ginjal yang tidak konsisten diterapi dengan stent ureter atau nephrostomy tube. Algoritma
sebagai non-asam urat atau asam urat pada pasien dengan postur DECT mengkode stent ureter dengan tanda warna merah
yang gemuk dengan ukuran batu <3 mm. (a) DECT awal menunjukkan atau biru.52 Oleh karena, penanda stent sebagai satu warna
batu di pole atas ginjal kiri ukuran 2 mm ditandai sebagai non-asam
oleh algoritma DECT (misalnya, merah) dapat ditempatkan
urat (biru); (b) Pemeriksaan lanjutan ditandai sebagai batu asam urat
(merah).49 pada pasien dengan batu yang ditandai sebagai warna yang
berlawanan (misalnya, biru) untuk membuat kontras warna
yang berguna secara klinis. Karakterisasi DECT terhadap
stent juga dapat menjadi kelemahan jika pengaturan post-
processing tidak dioptimalkan.49
Field of View DECT
Range ini merupakan parameter yang diatur
Pada desain dual-souce DECT, FOV ditentukan oleh secara manual pada software post-processing DECT yang
FOV pada tabung kedua dengan ukuran 33 cm, yang jauh menentukan radius dari kehalusan filter dalam analisis DECT
lebih kecil dari FOV diagnostik tabung pertama ukuran 50 untuk mengurangi efek quantum noise, dimana nilai range
cm. Terdapat area minimal sekitar 5 mm dari overlap antara merupakan penjumlahan antara resolusi spasial dan SNR.
data energi tinggi dan rendah yang tidak masuk dalam Range yang lebih kecil, terjadi penurunan dari piksel yang
analisis secara akurat. Oleh karena itu, objek yang berada di berdekatan digunakan dalam mengkarakterisasikan batu,
perifer FOV tabung kedua tidak termasuk dalam area analisis. begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, jika pengaturan
Akibatnya, batu yang berada di perifer FOV tidak ditandai.49 range terlalu tinggi dan fragmen batu sangat dekat dengan
stent, material stent akan dimasukkan dalam perhitungan
komposisi material batu dan dapat dimasukkan kedalam
batu yang memberikan warna yang sama seperti stent yang
berdekatan. Pitfall ini mengakibatkan kamuflase dari fragmen
batu dan kesalahan membedakan pada susunan batu.
Akibatnya, perubahan keputusan manajemen batu yang
dapat mengakibatkan pilihan intervensi yang suboptimal
dan pencabutan stent lebih dini, keduanya menghasilkan
peningkatan morbiditas pasien yang disebabkan oleh
kesalahan karakterisasi material batu ukuran kecil yang
berdekatan dengan stent ureter.49

Gambar 7. Pasien batu ginjal dengan BMI 47,7 kg/m2 dan diameter
cross-sectional 50 cm. (A) Batu pole bawah ginjal kiri (panah) terlihat
di tepi FOV pada analisis dual-energi (garis putus-putus). Akibatnya
ada bagian di sekitar voxel yang tidak cukup untuk dilakukan
analisis pada batu tersebut dan itu tidak ditandai pada gambaran
DECT (b) Gambar aksial DECT. Penyesuaian posisi pasien ke arah sisi
kontralateral akan memindahkan batu dalam FOV untuk dilakukan
analisis.49

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 112


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

Gambar 8. Pasien dengan batu non-asam urat (a) Gambar DECT awal dengan range pada 3 tampak kontras antara stent Boston Scientific
(merah) dan batu non-asam urat (biru) di ureter kanan. (b) Gambar DECT lanjutan dengan range pada 7 menyebabkan batu ditandai tidak
benar menjadi sama dengan material stent yang berdekatan (merah), yang menyebabkan keputusan pencabutan dini dari stent. (c) Gambar
setelah pencabutan stent menunjukkan biru batu non-asam urat (panah) masih ada.49

Pitfall pencitraan DECT yang terjadi karena kesalahan memilih kontras antara batu dengan stent ureter pada gambar
dua dimensi dapat diatasi dengan mengolah data pada berbagai pengaturan range dan dapat juga dinilai dengan rekontruksi
gambar tiga dimensi dengan menilai batu dengan stent dari sudut yang berbeda-beda tanpa melakukan pencitraan ulang pada
pasien.49,53

Gambar 9. Gambar rekonstruksi tiga dimensi DECT dari batu ginjal dan berbagai jenis stent ureter. Stent kiri dan kanan tampak merah dan
biru, sementara semua batu tampak biru karena komposisinya non-asam urat. Perbedaan warna stent dan batu pada ginjal kiri memungkinkan
visualisasi batu yang lebih baik (panah) daripada di ginjal kanan dimana stent dan batu memiliki warna yang sama. Efek kamulfase dapat
dihindari dengan menilai batu dengan stent dari sudut yang berbeda-beda pada gambar rekonstruksi tiga dimensi.53

113 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Material yang menyerupai batu urin Dawson-Mueller drainage catheter dengan intro tip. (e) Rekonstruksi
Komposisi Percutaneous Nephrostomy Tube tiga dimensi secara in-vitro dari Cook Multipurpose Drainase Catheter
dengan radiopaque band (panah) ditandai berbeda dari bagian
Percutaneus nephrostomy tube berbeda dengan stent sisa kateter yang lainnya. (f ) Tampilan kasar dari Cook Multipurpose
Drainase Catheter dengan radiopaque band.49
ureter yang homogen, karena percutaneus nephrostomy
tube memiliki band radiopaque dan intro tips untuk menusuk
permukaan kulit. Bagian kateter ini mungkin termasuk bahan
yang berbeda dari bagian sisa kateter yang lainnya. Hasilnya,
kateter dapat ditandai sebagai biru dan band atau tip dapat
KESIMPULAN
ditandai sebagai merah, yang menyerupai gambaran batu
DECT merupakan modalitas pencitraan yang dapat
asam urat dalam pigtail coil.49 menentukan komposisi batu urin secara spesifik dengan
akurasi, sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi berdasarkan
karakteristik rasio DECT masing-masing batu urin tanpa
peningkatan dosis radiasi. Penentuan komposisi batu urin
sangat penting dalam pengambilan keputusan terapi dan
manajemen pasien.

Pemahaman tentang prinsip dasar, jenis alat, protokol,


post-processing gambar pencitraan DECT sangat penting
dalam melakukan interpretasi yang tepat pada analisis
penentuan komposisi batu urin. Pengetahuan akan pitfall
pencitraan dan material menyerupai batu menyajikan
tantangan diagnostik yang dapat diminimalkan dengan
pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip DECT yang
dapat mencegah kesalahan interpretasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Curhan GC. Epidemiology of Stone Disease. Urol Clin N


Am. 2007;34:287–93.
2. Saita A, Bonaccorsi A, Motta M. Stone Composition :
Where Do We Stand? Urol Int. 2007;79(suppl 1):16–9.
3. Kambadakone AR, Eisner BH, Catalano OA, Sahani D V. New
and Evolving Concepts in the Imaging and Management
of Urolithiasis: Urologists’ Perspective. RadioGraphics.
2010;30:603–23.
4. Ngo TC, Assimos DG. Uric Acid Nephrolithiasis: Recent
Progress and Future Directions. Rev Urol. 2007;9(1):17–27.
5. Boli DT, Patil NA, Paulson EK, Merkle EM, Simmons WN,
Pierre SA, et al. Renal Stone Assessment with Dual-
Energy Multidetector CT and Advanced Postprocessing
Techniques: Improved Characterization of Renal Stone
Composition — Pilot Study. Radiology. 2009;250:813–20.
6. Matlaga BR, Kawamoto S, Fishman E. Dual Source
Gambar 10. Pasien dengan batu asam urat menjalani pemasangan Computed Tomography: A Novel Technique to Determine
percutaneous nephrostomy tube dengan Cook Dawson-Mueller Stone Composition. Urology. 2008;72(5):1164–8.
drainage catheter. (a) Gambaran DECT setelah tindakan menunjukkan 7. Stolzmann P, Kozomara M, Chuck N, Muntener M, Leschka
batu asam urat di ginjal kiri (panah pendek). (b) Gambaran DECT
S, Scheffel H, et al. In vivo identification of uric acid stones
evaluasi menunjukkan resolusi dari batu ginjal dengan fokus tunggal
merah yang tersisa pada ujung distal dari pigtail (panah panjang). with dual-energy CT : diagnostic performance evaluation
(c) Pemindaian secara in-vitro dari Cook Dawson-Mueller drainage in patients. Abdom Imaging. 2010;35:629–35.
catheter menunjukkan intro tip (panah) akan ditandai berbeda 8. Stolzmann P, Scheffel H, Katharina V, Thomas R,
dari bagian sisa kateter yang lainnya. (d) Tampilan kasar dari Cook Frauenfelder T, Leschka S, et al. Dual-energy computed

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 114


DUAL-ENERGY COMPUTED TOMOGRAPHY UNTUK MENENTUKAN KOMPOSISI BATU URIN

tomography for the differentiation of uric acid stones: ex What the Radiologist Needs to Know About Urolithiasis:
vivo performance evaluation. Urol Res. 2008;36:133–8. Part 2—CT Findings, Reporting, and Treatment. AJR.
9. Primak AN, Fletcher JG, Vrtiska TJ, Dzyubak OP, Lieske JC, 2012;198:548–54.
Jackson ME, et al. Noninvasive Differentiation of Uric Acid 26. Villa L, Giusti G, Knoll T, Traxer O, Catto J. Imaging for Urinary
versus Non-Uric Acid Kidney Stones Using Dual-Energy Stones: Update in 2015. Eur Urol Focus. 2015;81:1–8.
CT. Acad Radiol. 2007;14(12):1441–7. 27. Mccarthy CJ, Baliyan V, Kordbacheh H, Sajjad Z, Sahani D,
10. Thomas C, Patschan O, Ketelsen D, Tsiflikas I, Brodoefel Kambadakone A. Radiology of renal stone disease. Int J
H, Kopp A, et al. Dual-energy CT for the characterization Surg. 2016;36:638–46.
of urinary calculi: In vitro and in vivo evaluation of a low- 28. Ray AA, Ghiculete D, Pace KT, Honey RJDA. Limitations to
dose scanning protocol. Eur Radiol. 2009;19:1553–9. Ultrasound in the Detection and Measurement of Urinary
11. Kaza RK, Ananthakrishnan L, Kambadakone A, Platt Tract Calculi. Urology. 2010;76(2):295–300.
JF. Update of Dual-Energy CT Applications in the 29. Niemann T, Kollmann T, Bongartz G. Diagnostic
Genitourinary Tract. AJR. 2017;208:1185–92. Performance of Low-Dose CT for the Detection of
12. Yu L, Primak AN, Liu X, Mccollough CH. Image quality Urolithiasis: A Meta-Analysis. AJR. 2008;191:396–401.
optimization and evaluation of linearly mixed images in 30. Heneghan JP, Mcguire KA, Leder RA, Delong DM,
dual-source, dual-energy CT. Med Phys. 2009;36(3):1019– Yoshizumi T, Nelson RC. Helical CT for Nephrolithiasis and
24. Ureterolithiasis: Comparison of Conventional and Reduced
13. Li X, Zhao R, Liu B, Yu Y. Determination of urinary stone Radiation-Dose Techniques. Radiology. 2003;229:575–80.
composition using dual-energy spectral CT: Initial in vitro 31. Zagoria RJ. Retrospective View of “ Diagnosis of Acute
analysis. Clin Radiol. 2013;68(2013):370–7. Flank Pain : Value of Unenhanced Helical CT .” AJR.
14. Rathore NS, Yadav S, Tu N, Wu G. Current Role of Dual- 2006;187:603–4.
Energy Computed Tomography in Predicting The 32. Katz SI, Saluja S, Brink JA, Forman HP. Radiation Dose
Chemical Composition of The Urinary Stones and Associated with Unenhanced CT for Suspected Renal
Radiation Concerns. EJPMR. 2017;4(5):510–7. Colic: Impact of Repetitive Studies. AJR. 2006;186:1120–4.
15. Hoppe B, Leumann E, Milliner DS. Urolithiasis and 33. Motley G, Dalrymple N, Keesling C, Fischer J, Harmon W.
Nephrocalcinosis in Childhood. In: Comprehensive Hounsfield unit density in the determination of urinary
Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. stone composition. Urology. 2001;58(2):170–3.
p. 499–525. 34. Zheng X, Liu Y, Li M, Wang Q, Song B. Dual-energy
16. Trinchieri A. Epidemiology of urolithiasis: an update. Clin computed tomography for characterizing urinary calcified
Cases Min Bone Metab. 2008;5(2):101–6. calculi and uric acid calculi : A meta-analysis. Eur J Radiol.
17. Shoag J, Tasian GE, Goldfarb DS, Eisner BH. The New 2016;85(10):1843–8.
Epidemiology of Nephrolithiasis. Adv Chronic Kidney Dis. 35. Preminger GM, Vieweg IJ, Leder RA, Nelson URC.
2015;22(4):273–8. Urolithiasis: Unenhanced Detection and Management
18. Piazza PFR, Bisi NGM, Ferrari GGG. Lithiasis and Risk with Spiral CT-A Urologic Perspective. Radiology.
Factors. Urol Int. 2007;79(suppl 1):8–15. 1998;207:308–9.
19. Trinchieri A, Cappoli S, Butti A, Esposito N, Acquati P. 36. Wang M, Shi Q, Wang X, Yang K, Yang R. Prediction of
Epidemiology of renal colic in a district general hospital. outcome of extracorporeal shock wave lithotripsy in the
Arch Ital Urol Androl. 2008;80(1):143–6. management of ureteric calculi. Urol Res. 2011;39:51–7.
20. Ratkalkar VN, Kleinman JG. Mechanisms of Stone 37. Gupta NP, Ansari MS, Kesarvani P, Kapoor A, Mukhopadhyay
Formation. Clin Rev Bone Min Metab. 2011;9(3–4):187–97. S. Role of computed tomography with no contrast
21. Evan AP. Physiopathology and etiology of stone formation medium enhancement in predicting the outcome of
in the kidney and the urinary tract. Pediatr Nephrol. extracorporeal shock wave lithotripsy for urinary calculi.
2010;25:831–41. BJU Int. 2005;95(9):1285–8.
22. Cheng PM, Dunn MD, Boswell WD, Duddalwar VA. What 38. Marin D, Boll DT, Mileto A, Nelson RC. State of the Art : Dual-
the Radiologist Needs to Know About Urolithiasis: Part 1— Energy CT of the Abdomen. Radiology. 2014;271(2):327–
Pathogenesis, Types, Assessment, and Variant Anatomy. 42.
AJR. 2012;(198):540–7. 39. Fletcher JG, Hartman R, Guimaraes L, Huprich JE, Hough
23. Tamm EP, Silverman PM, Shuman WP. Evaluation of the DM, Mccollough CH. Dual-Energy and Dual-Source CT:
Patient with Flank Pain and Possible Ureteral Calculus. Is There a Role in the Abdomen and Pelvis? Radiol Clin N
Radiology. 2003;228:319–29. Am. 2009;47:41–57.
24. Turk C, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Skolarikos A, Straub 40. Johnson TRC, Krauß B, Sedlmair M, Grasruck M, Reiser MF,
M, et al. EAU Guidelines on Diagnosis and Conservative Becker CR. Material differentiation by dual energy CT :
Management of Urolithiasis. Eur Urol. 2016;69:468–74. initial experience. Eur Radiol. 2007;17:1510–7.
25. Cheng PM, Moin P, Dunn MD, Boswell WD, Duddalwar VA. 41. Kaza RK, Platt JF, Cohan RH, Caoili EM, Al-Hawary MM,

115 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Pramiadi, Bambang Purwanto Utomo, Nurhuda Hendra Setyawan

Wasnik A. Dual-Energy CT with Single- and Dual-Source


Scanners  : Current Appli- cations in Evaluating the
Genitourinary Tract. RadioGraphics. 2012;32:353–69.
42. McCollough CH, Leng S, Yu L, Fletcher JG. Dual- and Multi-
Energy CT: Principles, Technical Approaches, and Clinical
Applications. Radiology. 2015;276(3):637–53.
43. Primak AN, Giraldo JCR, Eusemann CD, Schmidt B,
Kantor B, Fletcher JG, et al. Dual-Source Dual-Energy CT
With Additional Tin Filtration: Dose and Image Quality
Evaluation in Phantoms and In Vivo. AJR. 2010;195:1164–
74.
44. Johnson T. Dual-Energy CT : General Principles. AJR.
2012;199:3–8.
45. Forghani R, Man B De, Gupta R. Dual-Energy Computed
Tomography Physical Principles, Approaches to Scanning,
Usage, and Implementation: Part 1. Neuroimaging Clin N
Am. 2017;27(3):371–84.
46. Karlo C, Lauber A, Götti RP, Baumüller S. Dual-energy CT
with tin filter technology for the discrimination of renal
lesion proxies containing blood, protein, and contrast-
agent. An experimental phantom study. Eur Radiol.
2011;21:385–92.
47. Hidas G, Eliahou R, Duvdevani M, Coulon P, Lemaitre L,
Gofrit O, et al. Determination of Renal Stone Composition
with Dual-Energy CT: In Vivo Analysis and Comparison
with X-ray Diffraction. Radiology. 2010;257(2):394–401.
48. Henzler T, Fink C, Schoenberg SO, Schoep UJ. Dual-Energy
CT: Radiation Dose Aspects. AJR. 2012;199:16–25.
49. Jepperson MA, Cernigliaro JG, Sella D, Ibrahim E, Thiel DD,
Leng S, et al. Dual-energy CT for the evaluation of urinary
calculi: Image interpretation, pitfalls and stone mimics.
Clin Radiol. 2013;68(12):e707–14.
50. Qu M, Ramirez-Giraldo JC, Leng S, Williams JC, Vrtiska
TJ, Lieske JC, et al. Dual-Energy Dual-Source CT
With Additional Spectral Filtration Can Improve the
Differentiation of Non–Uric Acid Renal Stones: An Ex Vivo
Phantom Study. AJR. 2011;196:1279–87.
51. Mahalingam H, Lal A, Mandal AK, Singh SK, Bhattacharyya
S, Khandelwal N. Evaluation of low-dose dual energy
computed tomography for in vivo assessment of renal/
ureteric calculus composition. Korean J Urol. 2015;56:587–
93.
52. Jepperson MA, Thiel DD, Cernigliaro JG, Broderick GA,
Parker AS, Haley WE. Determination of Ureter Stent
Appearance on Dual-energy Computed Tomography
Scan. Urology. 2012;80(5):986–9.
53. Ibrahim EH, Haley WE, Jepperson MA, Wehle MJ,
Cernigliaro JG. Characterization of ureteral stents by dual-
energy computed tomography: Clinical implications.
World J Radiol. 2014;6(8):625–9.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 116


MODALITAS IMEJING PADA KARSINOMA NASOFARING

Muhammad Lukman Hermansyah1, Wigati Dhamiyati2 , Lina Choridah2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

IMAGING MODALITY ON NASOPHARYNGEAL CARCINOMA

ABSTRACT
Nasopharyngeal carcinoma (NPC) has different clinical, epidemiological, and histopathologic manifestations among squamous cell carcinoma
of the head and neck entities. Since the last decade, the prevalence of NPC has been significantly increasing especially in children. NPC in
children is closely related to Epstein-Barr virus infection and the most common histopathologic finding is the undifferentiated type. NPC
is radiosensitive and chemo sensitive, so the combination of these treatments gives good result. However, the result of chemo radiation
treatment depends on the staging of the tumor and the dose of the chemo radiation.

NPC treatment is given based on its staging. All steps of NPC patient management (diagnosing, staging, treatment, and follow-up) involve
radio imaging, this makes radiology plays an important role. This paper is presented to emphasize the importance of accuracy in diagnosing
and staging of NPC. To achieve 5-year survival rate, precise diagnosing and staging is required as a basis for therapy adjustment

Keywords : Nasopharyngeal Carcinoma, Imaging, Staging, Radiology.

ABSTRAK
Karsinoma Nasofaring adalah penyakit unik dengan manifestasi klinis, epidemiologis, dan histopatologis yang berbeda dari karsinoma sel
skuamosa kepala dan leher yang lain. Pada dekade terakhir, terdapat peningkatan yang signifikan kejadian KNF khususnya pada anak. KNF
pada anak berhubungan erat dengan infeksi virus Epstein-Barr dengan jenis undifferentiated menjadi temuan histopatologi yang paling
umum. KNF bersifat radiosensitif dan kemosensitif, sehingga kombinasi pengobatan kemoradiasi memberikan hasil yang baik, tetapi hal ini
tergantung pada staging tumor dan dosis kemoradiasi yang diberikan. Pengobatan KNF tergantung pada staging tumor dan dosis kemoradiasi
yang diberikan.

Terapi KNF diberikan berdasarkan staging KNF sehingga radiologi memiliki peran penting, karena semua langkah dari manajemen pasien
KNF, mulai dari diagnosis dan staging untuk pengobatan serta tindak lanjut, melibatkan pencitraan. Tujuan penulisan ini untuk menekankan
pentingnya akurasi dalam mendiagnosis dan staging KNF. Diagnosis dan staging yang lebih tepat menjadi dasar pengobatan yang adekuat
sehingga tingkat ketahanan hidup 5 tahun dapat tercapai.

Kata Kunci : Karsinoma Nasofaring, Imejing, Staging, Radiologi.

117 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Lukman Hermansyah, Wigati Dhamiyati, Lina Choridah

PENDAHULUAN dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga, Hidung dan


Tenggorokan (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu leher merupakan KNF. Dari data Departemen Kesehatan,
bentuk keganasan kepala dan leher yang mempunyai tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau
karakteristik yang khas baik secara histologi, epidemiologi diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun. Dari data laporan
dan biologi, yang berbeda dari karsinoma sel skuamosa kepala profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran
dan leher.1 Hal inilah yang menentukan gejala klinis mupun Universitas Hasanuddin Makassar, periode Januari 2000
pendekatan terapinya. KNF adalah tumor yang berasal dari sel sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang
epitel yang menutupi permukaan nasofaring. KNF merupakan THT adalah KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang sangat 2002 -2007 ditemukan 684 penderita KNF.2
mencolok.2-3

Terapi KNF diberikan berdasarkan staging nya, dan ANATOMI


radiologi memiliki peran penting karena semua langkah
manajemen pasien KNF, mulai diagnosis, staging untuk Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang
pengobatan maupun tindak lanjutnya melibatkan peran membuka ke arah rongga nasal melalui dua naris internal
pencitraan 4 Mengingat kasus KNF pada anak-anak hadir (koana). Dua tuba eustachius (auditorik) menghubungkan
dengan gejala lanjut, diagnosis dan staging harus diketahui nasofaring dengan telinga tengah. Tuba ini berfungsi untuk
dengan cepat dan akurat, sehingga pengobatan yang bisa menyetarakan tekanan udara pada kedua sisi gendang
diberikan secara memadai dan baik tingkat ketahanan hidup telinga.12 Nasofaring merupakan rongga dengan dinding
5 tahun dapat tercapai.5-6 kaku di atas, belakang dan lateral. Ke depan berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan
KNF disebabkan oleh interaksi dari kerentanan genetik, hidung meruapakan gangguan yang sering timbul. Demikian
faktor lingkungan (misalnya, paparan karsinogen kimia) dan juga penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara
infeksi dengan virus Epstein-Barr. Titer antibodi yang tinggi tuba eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta
untuk antigen virus Epstein Barr berguna sebagai marker menimbulkan cairan di telinga tengah. Ke arah belakang
diagnostik dan ada banyak tes untuk mendeteksi titer IgG dinding melengkung ke atas dan ke depan dan terletak di
dan IgA. Sedangkan di Cina, faktor makanan untuk KNF bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os oksipital
termasuk makanan asin yang kaya nitrosamine.6-7 Pasien (Gambar 1,2).13
sering bermanifestasi dengan gejala lokal, seperti epistaksis
dan hidung tersumbat, tetapi mungkin juga hadir dengan
gangguan pendengaran, otalgia, sakit kepala atau keterlibatan
saraf kranial (CN). Namun nasofaring relatif berada di clinically
silent area; oleh karena itu, manifestasi pertama mungkin
disertai dengan nodal cervikal atau metastasis jauh. Tujuan
penulisan ini untuk menekankan pentingnya akurasi dalam
mendiagnosis dan penentuan staging pada KNF.8-9

EPIDEMIOLOGI

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas


yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa
Rossenmuller dan atap nasofaring.10 KNF dapat terjadi pada
setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah
usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-
laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2
– 3 : 1.11 Insiden paling tinggi pada ras Mongoloid terutama
pada penduduk di daerah Cina bagian selatan, Hongkong, Gambar 1. Fossa Rosenmuller.1
Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit
ini ditemukan pertama kali oleh Banker pada tahun 1926,
kemudian laporan kasus dalam jumlah cukup banyak baru
setelah tahun 1953. Di Indonesia KNF menempati urutan ke-5
dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 118


MODALITAS IMEJING PADA KARSINOMA NASOFARING

Gambar 2. Anatomi Nasofaring.1

GEJALA KLINIS merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan


pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih
Diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering
memegang peranan penting. Gejala klinis yang dapat diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat
dijumpai antara lain sumbatan Tuba Eutachius yang berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di
menyebabkan keluhan rasa penuh di telinga, rasa dengung bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Kelainan lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama
lanjutan yang bisa terjadi akibat penyumbatan muara tuba yang mendorong pasien datang ke dokter.14
sehingga rongga telinga tengah akan terisi cairan adalah
peradangan telinga tengah sampai pecahnya gendang Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
telinga. Apabila cairan yang diproduksi makin lama makin Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang
banyak akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
akibat gangguan pendengaran. Gejala pada hidung adalah menyebabkan penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati
epistaksis, perdarahan yang terjadi akibat rangsangan dan rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan
sentuhan pada dinding tumor yang rapuh. Keluarnya darah lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan
ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat
bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat
Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor.
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh
koana menyebabkan gejala menyerupai pilek kronis, kadang- saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya mengenai ke dua sisi tubuh.15
ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan
gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker mengalir
pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain- bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
menderita radang.12 jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini
terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat
Gejala lanjutan yang sering terjadi adalah pembesaran buruk.16
kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5
sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini

119 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Lukman Hermansyah, Wigati Dhamiyati, Lina Choridah

STAGING weighted imaging, untuk membedakan KNF dari limfoma


dan menilai karakteristik dari limfadenopati servikal8,9 dan MRI
Penegakan staging KNF didasarkan pada sistem spektroskopi, dimana rasio choline-to-creatine untuk KNF dan
TNM. Tumor Primer (T). TX - tumor primer tidak dapat dinilai. nodal metastasis dapat dibandingkan dengan baik dengan
T0 - Tidak ada bukti tumor primer. Tis - Karsinoma in situ. otot leher yang normal10.
T1 - Tumor terbatas pada nasofaring. T2 - Tumor meluas ke
jaringan lunak orofaring dan / atau hidung fosa. T2a - Tanpa
ekstensi parafaring. T2b - Dengan perpanjangan parafarin. T3 PEMBAHASAN
- Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal.
T4 - Tumor dengan ekstensi intrakranial dan atau keterlibatan Terdapat pendapat bahwa persoalan diagnostik sudah
sistem saraf pusat, fosa infratemporal, hipofaring, atau orbit. dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala
N = Nodule. N – Pembesaran kelenjar getah bening regional dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun
(KGB). N0 - Tidak ada pembesaran. N1 - Terdapat metastesis tidak akan terlalu sulit ditemukan. CT telah lama digunakan
unilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm merupakan untuk staging KNF, terutama untuk deteksi keterlibatan tumor
ukuran terbesar diatas fossa supraklavikular. N2 - Terdapat pada basis cranii ditandai dengan lesi litik atau sklerotik6, 7,
metastesis bilateral KGB dengan ukuran kurang dari 6cm tetapi sekarang sebagian besar perannya telah digantikan oleh
merupakan ukuran terbesar diatas fossa supraklavikula. N3 MRI untuk staging lesi primer dan nodal, Namun, CT masih
- Terdapat metastasis. N3.a- KGB dengan ukuran kurang dari digunakan untuk perencanaan radioterapi dan di beberapa
6cm. N3.b- KGB diatas fossa supraklavikular. M = Metastasis. centers, digunakan bersama-sama dengan PET menggunakan
Mx = Adanya Metastasis jauh yang tidak ditentukan. M0 Tidak 18F-FDG. PET/CT telah terbukti bermanfaat dalam staging
ada metastasis jauh. M1 Terdapat metastasis jauh. KNF, dimana kelebihan utamanya adalah untuk mendeteksi
metastasis jauh8. PET/CT juga digunakan untuk memantau
pasien setelah terapi dan mendeteksi kekambuhan KNF.17

GAMBARAN RADIOLOGI MRI adalah tes yang akurat untuk mendiagnosis


KNF. MRI menggambarkan kanker subklinis yang missed
CT telah lama digunakan untuk staging KNF, terutama di endoskopi dan biopsi endoskopi serta mengidentifikasi
untuk deteksi keterlibatan tumor pada basis cranii ditandai pasien yang tidak memiliki KNF, oleh karena itu mereka tidak
dengan lesi litik atau sklerotik6, 7, tetapi sekarang sebagian perlu menjalani biopsi sampel invasif. KNF biasanya terlihat
besar perannya telah digantikan oleh MRI untuk staging dengan intensitas sinyal menengah, lebih tinggi dari sinyal
lesi primer dan nodal, Namun, CT masih digunakan untuk otot, pada T2-weighted images, intensitas sinyal rendah pada
perencanaan radioterapi dan di beberapa center, digunakan T1-weighted images, dan enhance ke tingkat yang lebih
bersama-sama dengan PET menggunakan 18F-FDG. PET/ rendah daripada mukosa normal. Delapan puluh dua persen
CT telah terbukti bermanfaat dalam staging KNF, dimana KNF muncul di resesus posterolateral dinding faring (fossa
kelebihan utamanya adalah untuk mendeteksi metastasis Rosenmüller) (gambar 3) dan 12% muncul di midline. Pada
jauh8. PET/CT juga digunakan untuk memantau pasien setelah 6-10% dari pasien, mukosa nasofaring muncul normal pada
terapi dan mendeteksi kekambuhan KNF. endoskopi3-5.

Protokol MRI rutin untuk massa nasofaring meliputi T1 Staging pada KNF sesuai dengan AJCC edisi ke 7,TNM
weighted images non kontras untuk mendeteksi keterlibatan staging system, bergantung pada evaluasi tumor primer
basis kranii dan fat plane (setidaknya dalam potongan aksial (kategori T), limfadenopati (kategori N), dan ada atau tidaknya
dan sagital). T2-weighted fast spin-echo potongan aksial suatu metastasis (Kategori M).12 Kategori T ditentukan oleh
digunakan untuk tambahan penilaian penyebaran awal hubungan tumor primer dengan struktur yang berdekatan.
tumor ke parapharyngeal, invasi sinus paranasal, efusi telinga Penyebaran mukosal tumor menunjukkan kecenderungan
tengah, dan deteksi limfonodi cervical. T1 weighted images menyebar ke arah superior ke basis cranii, bukan menyebar
dengan media kontras potongan aksial dan koronal (dengan ke inferior ke arah orofaring. Tumor sering menyebar
dan tanpa fat suppression) digunakan untuk mendeteksi batas lewat submukosal dan melalui bidang yang lebih rendah
tumor, termasuk penyebaran perineural dan perluasan tumor resistensinya dari fasia pharyngobasilar dan ke dalam ruang
ke intrakranial. Ketebalan tiap potongan adalah 3-5 mm3-7. leher bagian dalam.13

Sekuen tambahan pada MRI dapat digunakan


dalam evaluasi KNF tetapi, saat ini, belum teruji secara klinis,
meskipun wholebody MRI cukup menjanjikan untuk melihat
adanya metastasis. Teknik MRI lainnya termasuk diffusion-

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 120


MODALITAS IMEJING PADA KARSINOMA NASOFARING

rongga hidung dan fossa kranial bagian tengah. Keterlibatan


sinus paranasal terjadi sebagai akibat perluasan langsung.
Keterlibatan sinus diketahui dengan hilangnya kontinuitas
dinding sinus. Sinus ethmoid dan sphenoid umumnya kurang
terlibat. Tumor dapat dibedakan dengan penebalan reaktif
mukosa dengan menggunakan MRI, di mana penebalan
mukosa akibat peradangan terlihat sebagai sinyal T2-weighted
homogen yang lebih kuat, juga lebih enhance dibandingkan
tumor1, 10.

Kategori T4 KNF-Keterlibatan meningeal terlihat


sebagai lesi nodular yang enhance, sering berada di
sepanjang dasar fossa kranial bagian tengah atau posterior
clivus. Invasi langsung ke otak jarang ditemui. Invasi ke
sinus kavernosa dapat menyebabkan beberapa cranial palsy.
Pada MRI keterlibatan CN terlihat ketika terdapat gambaran
enhance tumor jaringan lunak sepanjang jaras saraf ipsilateral,
menggantikan struktur normal dari CN pada T1-weighted
images dengan kontras gadolinium; atau penyebaran
perineural, dengan pembesaran atau enhance abnormal saraf,
obliterasi neural fat pads yang berdekatan dengan foramen
Gambar 3. Gambaran MRI pada KNF, KNF kecil (panah pendek)
neurovaskular, atau pembesaran neuroforaminal. Keterlibatan
berpusat di fossa Rosenmüller kiri (panah panjang) 8. saraf Maksilaris dan mandibularis paling baik dilihat pada
potongan koronal T1-weighted menggunakan kontras media
dengan fat saturation. Mungkin juga didapat keterlibatan
saraf hypoglossal13.
Kategori T1 KNF-Tumor yang terbatas pada nasofaring
hanya ditemukan pada seperlima pasien. Penyebaran Invasi Orbital merupakan penanda penyakit yang
mukosa KNF cenderung untuk melibatkan bagian superior meluas. Invasi orbital langsung jarang terjadi, tetapi ketika
dari nasofaring. Infiltrasi tumor ke bagian dalam mungkin terjadi, invasi ini dapat menyerang melalui fissura orbitalis
ditemukan bahkan pada lesi nasofaring yang kecil 1, 14. Rongga inferior (dari tumor di fossa pterygopalatine), kanalis optikus
hidung sering terlibat pada KNF. 3,14 Penyebaran ke inferior dan fisura orbitalis superior.Keterlibatan masticator space
superficial di bawah mukosa orofaring jarang terjadi. Invasi secara anatomis mempengaruhi overall survival dan local
pada orofaring jarang terjadi sebagai peristiwa tersendiri, oleh relapse free survival pasien dengan KNF. Hipofaring adalah
karena itu biasanya tidak merupakan tanda awal penyakit 1, 14. daerah paling inferior dari invasi tumor yang termasuk dalam
klasifikasi staging, tetapi sangat jarang.
Kategori T2 KNF-Penyebaran parapharyngeal terjadi
ketika tumor menyebar secara posterolateral dan biasanya KNF memiliki kecenderungan untuk menyebar ke
melibatkan penetrasi lateralis melalui otot levator palatini limfonodi dan pada sekitar 75-90% kasus, oleh pencitraan,
dan fasia pharyngobasilar melibatkan otot tensor palatini memiliki kecenderungan menyebar ke coli bilateral. Nodal
dan ruang lemak parapharyngeal. Hal ini dapat menyebabkan metastasis didiagnosis jika diameter aksial nodal minimal
kompresi tuba eustachius disertai efusi pada telinga tengah mencapai 5 mm atau lebih di lateral regio retropharyngeal,
dan mastoid.15 Penyebaran retropharyngeal terjadi ketika 11 mm di regio jugulodigastric, atau 10 mm pada nodus leher
tumor menyebar ke arah posterior melibatkan muskulus nonretropharyngeal lainnya; jika ada sekelompok nodus
capitis longus dan prevertebral space. dengan jumlah tiga atau lebih dengan ukuran borderline;
atau jika terlihat adanya nekrosis pada limfonodi atau
Kategori T3 KNF-KNF memiliki kecenderungan untuk penyebaran ekstrakapsular. Penyebaran ekstrakapsular juga
menyerang basis cranii saat didiagnosis. Clivus, tulang telah terbukti menjadi Faktor prognostik mandiri 8. Diagnosis
pterygoid, corpus sphenoid dan apeks dari petrous temporal pembesaran kelenjar getah bening retropharyngeal pada
bones paling sering terserang. Tumor sering menyerang pasien dengan KNF hanya bisa dilakukan dengan pencitraan,
foramen di basis cranii (foramen rotundum, ovale dan MRI memiliki keunggulan dibandingkan CT karena lebih
lacerum serta kanalis vidian) dan fissura (Pterygomaxillary dan mampu memisahkan limfonodi retropharyngeal lateralis
petroclival). Tumor meluas ke dalam fossa pterygopalatine dari tumor primer di posterolateral yang berdekatan dengan
menghasilkan rute penyebaran ke orbita, fossa infratemporal, nasofaring. Limfonodi Retropharyngeal Lateral adalah salah

121 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Muhammad Lukman Hermansyah, Wigati Dhamiyati, Lina Choridah

satu daerah yang paling umum dari penyebaran nodal dari 5. Guruprasad B et al. Paediatric nasopharyngeal carcinoma:
KNF dan telah dianggap tingkatan pertama penyebaran an 8-year study from a tertiary care cancer centre in
metastasis. Keterlibatan Nodus retropharyngeal sekarang South India. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013
diklasifikasikan sebagai kategori N1, baik unilateral atau Jul;65(Suppl 1):131-4.
bilateral 1. Nodal metastasis posterior menuju ke vena 6. Keiji T et al. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma.
jugularis di leher bagian atas adalah situs yang paling umum International Journal of Otolaryngology. 2011 : 1-6.
untuk nodal nonretropharyngeal dan ditetapkan sebagai 7. King A, Bhatia KS. Magnetic resonance imagingstaging of
high internal jugular nodus, meskipun pada situs ini, nodus nasopharyngeal carcinoma in the headand neck. World J
jugularis interna dan rantai nodus aksesorius spinal menyatu. Radiol. 2010; 2:159–165
Nodus biasanya menyebar secara berurutan ke leher bawah. 8. Chong VF, Ong CK. Nasopharyngeal carcinoma. Eur J
Nodus di daerah submandibula dan parotis atau periparotid Radiol. 2008; 66:437–447
jauh lebih umum pada diagnosis. Nodal metastasis sentral 9. Glastonbury C. Nasopharyngeal carcinoma: the role
pada fossa supraklavikula mempertinggi kejadian metastasis of magnetic resonance imaging in diagnosis, staging,
jauh 1. treatment, and follow-up. Top Magn ResonImaging. 2007;
18:225–235
KNF menunjukkan angka frekuensi yang tinggi 10. Dubrulle F, Souillard R, Hermans R. Extensionpatterns of
pada metastasis jauh (5-41%). Situs yang paling umum dari nasopharyngeal carcinoma. Eur Radiol. 2007; 17:2622–
metastasis meliputi tulang (20%), paru-paru (13%), dan 2630
hati (9%). Pasien dengan limfadenopati supraklavikula atau 11. Chin S, Fatterpekar G, Chen C, Som P. MR imaging of
ekstensi tumor ke parapharyngeal dan retropharyngeal diverse manifestations of nasopharyngeal carcinomas.
space secara signifikan memiliki risiko lebih tinggi terjadinya AJR. 2003; 180:1715–1722
metastasis jauh. PET/CT sensitif untuk mendeteksi deposit 12. Weber AL, al-Arayedh S, Rashid A. Nasopharynx:clinical,
metastasis pada tulang dan jaringan lunak8. Whole–body MRI pathologic, and radiologic assessment. Neuroimaging
menunjukkan kapasitas diagnostik mirip dengan FDG PET/CT Clin N Am. 2003; 13:465–483
dalam menilai status situs jauh pada pasien KNF yang tidak 13. Goh J, Lim K. Imaging of nasopharyngeal carcinoma. Ann
diobati; kombinasi interpretasi Whole–body MRI dan FDG Acad Med Singapore. 2009; 38:809–816
PET/CT tidak menunjukkan manfaat yang lebih baik secara 14. Ng S, Chan S, Yen T, et al. Pretreatment evaluationof
signifikan dibandingkan teknik tersebut dikerjakan tersendiri. distant-site status in patients with nasopharyngeal
carcinoma: accuracy of whole-body MRI at 3-Tesla and
FDG-PET-CT. Eur Radiol. 2009;19:2965–2976
KESIMPULAN 15. Fong D, Bhatia KS, Yeung D, King AD. Diagnosticaccuracy
of diffusion-weighted MR imaging for nasopharyngeal
Terapi KNF diberikan berdasarkan staging KNF dan carcinoma, head and neck lymphoma and squamous cell
radiologi memiliki peran penting karena semua langkah carcinoma at theprimary site. Oral Oncol. 2010; 46:603–
dari manajemen pasien KNF, mulai diagnosis, staging 606
untuk pengobatan dan tindak lanjutnya, melibatkan peran 16. King A, Yeung D, Ahuja A, Leung S, Tse G, vanHasselt A.
pencitraan. Mengingat kasus KNF pada anak-anak hadir In vivo proton MR spectroscopy of primary and nodal
dengan gejala lanjut, diagnosis dan staging harus diketahui nasopharyngeal carcinoma. AJNR 2004; 25:484–490
dengan cepat dan akurat, sehingga pengobatan yang bisa 17. King AD, Vlantis AC, Bhatia KS, et al. Primarynasopharyngeal
diberikan secara memadai dan baik tingkat ketahanan hidup carcinoma: diagnostic accuracyof mr imaging versus that
5 tahun dapat tercapai. of endoscopy and endoscopicbiopsy. Radiology. 2011;
258:531–537
18. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, Fritz AG,Greene FL, Trotti
A. American Joint Committeeon Cancer Staging Manual,
REFERENSI 7th ed. New York:Springer-Verlag, 2010:41–49
1. Ahmed A, Khalek AR, Ann K. MRI and CT of Nasopharyngeal
Carcinoma. Am J Roentgenol. 2012; 11-8.
2. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Draft acuan
panduan praktik klinis Kanker Nasofaring di Indonesia.
Indonesia: KNPK; 2015; 1.
3. Rolf M et al. Treatment of Nasopharyngeal Carcinoma in
Children and Adolescents. Cancer. 2005;104:1083–9.
4. TNM Classification of Malignant Tumours - 7 th ed. 2009;
13. Diambil dari http:// www.uicc.org.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 122


NON SMALL CELL LUNG CARCINOMA:
PERANAN CT SCAN DALAM PENENTUAN STADIUM DAN EVALUASI
RESPON TUMOR TERHADAP TERAPI

Suwandi1, Evi Artsini2, Lina Choridah2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

NON SMALL CELL LUNG CARCINOMA:

The Role of CT scan in Staging and Evaluation of Tumor Response to Therapy

ABSTRACT
Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) is the most common type (87%) of all pulmonary carcinomas. Staging in the TNM classification system
and Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) are constantly changing because of improvements.

We reported a case of 44 year old man with 6 months coughing and chest discomfort. The patient has been receiving OAT treatment for 1.5
months. Thoracic CT on May 11, 2016 showed a right pulmonary mass extending anteriorly to the thoracic wall with destruction of the sternal
body accompanied by right malignant pleural effusion, no enlargement of lymph nodes seen (T3N0M1a). Thoracic CT scan evaluation on April
28, 2017, a right pulmonary mass increases with extension to anterior mediastinum, pleura, soft tissue anterior to the sternal region and a
presence of skeletal metastasis in the second thoracic vertebrae (T4N0M1b). This result is classified as progressive disease according to RECIST
1.1. The anatomical pathology result of NSCLC are highly match to a type of adenocarcinoma, EGFR mutation test found mutations in Exon 21
Gene EGFR. Patients were treated with Iressa® (Gefitinib) tablets at a dose of once daily, with addition of cisplatin, and intravenous injection
etoposid.

CT scan can be used to determine tumor diagnosing and staging, evaluate tumor responses to therapy. Some studies shown the role of CT
Scan characteristics to predict the presence of EGFR gene mutations that can be utilized in the management of therapy.

Keywords: NSCLC, CT-Scan , RECIST, EGFR mutation

ABSTRAK
Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) adalah jenis yang paling sering (87%) dari semua karsinoma paru. Penentuan stadium dalam sistem
klasifikasi TNM senantiasa berkembang dan Kriteria Evaluasi Respon pada Tumor Solid yang dikenal dengan RECIST (Response Evaluation
Criteria in Solid Tumors) terus mengalami perbaikan.

Kami laporkan seorang laki-laki umur 44 tahun, dengan keluhan batuk lebih kurang 6 bulan dan dada tidak nyaman. Pasien telah menjalani
pengobatan OAT selama 1,5 bulan. Dilakukan CT toraks 11 Mei 2016 dengan hasil adanya massa pulmo kanan yang meluas ke anterior hingga
dinding toraks dan mendestruksi korpus sterni, tak tampak adanya pembesaran limfonodi, disertai efusi maligna pleura kanan (T3N0M1a).
Dilakukan evaluasi CT scan toraks 28 April 2017, ukuran massa pulmo kanan bertambah dengan perluasan ke mediastinum anterior, pleura,

123 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Suwandi, Evi Artsini, Lina Choridah

jaringan lunak di anterior regio sternum dan adanya metastasis mengkorelasikan penyakit dengan nilai prognostik dan
skeletal di korpus vertebra torakal 2 (T4N0M1b). Dibandingkan strategi pengobatan. Dengan mengenali gambaran radiologis
dengan CT scan toraks tanggal 11 Mei 2016 menurut RECIST 1.1 NSCLC, memahami kesesuaian stadium penyakit dengan
disimpulkan sebagai penyakit progresif. Hasil patologi anatomi sistem klasifikasi TNM, spesialis radiologi dapat memberikan
NSCLC sesuai dengan gambaran adenocarcinoma, tes mutasi EGFR kontribusi penting pengobatan pada pasien NSCLC.1
ditemukan mutasi di Exon 21 Gene EGFR. Pasien diterapi dengan
kemoterapi IRESSA® (Gefitinib) tablet dengan dosis 1 tablet perhari, Penilaian obyektif pada perubahan tumor adalah
Cisplatin, dan Etoposid injeksi intravena. penting untuk evaluasi respon tumor terhadap terapi. Kriteria
Evaluasi Respon pada Tumor Solid (RECIST) diperkenalkan
CT scan dapat menentukan diagnosis, staging dan mengevaluasi pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan ilmiah
respon terapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakteristik internasional untuk membakukan dan menyederhanakan
CT Scan dapat memprediksi adanya mutasi EGFR sehingga dapat kriteria respon tumor. RECIST terus mengalami perbaikan
dimanfaatkan dalam penatalaksanaan terapi. dan spesialis radiologi sebaiknya mengikuti revisi terbaru dan
menerapkannya di institusi masing-masing. RECIST 1.1 adalah
Kata Kunci: NSCLC, CT-Scan, RECIST, mutasi EGFR versi yang terbaru yang diterapkan pada laporan kasus ini.6

PENDAHULUAN LAPORAN KASUS

Karsinoma paru adalah penyebab utama terjadinya Dilaporkan seorang laki-laki umur 44 tahun, dengan
kematian terkait kanker di Amerika Serikat, dengan tingkat pleuritik pain suspek massa paru kanan. Pasien mengeluhkan
kelangsungan hidup 5 tahun hanya 15%. Karsinoma paru batuk lebih kurang 6 bulan, dada tidak nyaman, tidak sesak
terbagi menjadi Small Cell Lung Carcinoma (SCLC) dan Non nafas dan tidak hemoptisis. Dinding dada terasa menonjol
Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC). Kanker paru mencapai yang semakin lama semakin jelas. Berat badan terus menurun
14% dari keseluruhan jenis kanker.1,2 meskipun nafsu makan masih baik. Badan terasa lemah. Tidak
pusing, mual atau muntah. Tidak ada riwayat kejang. Tidak ada
Pencitraan memainkan peran penting dalam penentuan benjolan di tempat lain selain dinding dada. Tidak ada riwayat
stadium pasien NSCLC. Terapi yang tepat bergantung pada patah tulang. Pasien telah menjalani pengobatan OAT selama
stadium yang akurat untuk menentukan pasien yang sesuai 1,5 bulan, tetapi karena tidak ada perbaikan, pengobatan
menjalani operasi dan atau kemoterapi maupun terapi radiasi. dihentikan dan pasien dirujuk ke RSUP Dr Sardjito.
Penderita NSCLC stadium dini memiliki harapan hidup yang
panjang dengan reseksi bedah, tetapi mayoritas pasien Pemeriksaan CT scan toraks tanggal 11 Mei 2016
apabila terdiagnosis NSCLC dengan stadium lanjut (III atau IV) (Gambar 1) tampak massa paru kanan yang meluas ke anterior
yang memiliki prognosis buruk berupa penyakit progresif.3,4,5 hingga dinding toraks dan mendestruksi korpus sterni,
limfonodi tak tampak adanya pembesaran, tampak juga efusi
Spesialis radiologi harus memahami rincian yang pleura maligna kanan (T3N0M1a sesuai Stadium IV menurut
ditetapkan dalam sistem klasifikasi TNM, yang dapat AJCC ed 7).

Gambar 1. NSCLC pemeriksaan awal. CT scan toraks potongan aksial (A), koronal (B) dan sagital (C) menunjukkan
massa paru kanan ukuran lk. 9 x 7,9 x 10,2 cm (> 7 cm) yang meluas ke anterior hingga dinding toraks dan mendestruksi
manubrium sterni (T3), tak tampak pembesaran limfonodi (N0), disertai efusi pleura maligna kanan (M1a).

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 124


NON SMALL CELL LUNG CARCINOMA: PERANAN CT SCAN DALAM PENENTUAN STADIUM DAN EVALUASI RESPON TUMOR TERHADAP TERAPI

Pasien dilakukan evaluasi CT scan toraks tanggal 28 April 2017 (Gambar 2) dengan pengantar klinis NSCLC. Massa
di paru kanan bertambah dengan perluasan ke mediastinum anterior, pleura, jaringan lunak di anterior regio sternum dan
mendestruksi os sternum disertai adanya metastasis skeletal di corpus vertebra torakal 2 (T4N0M1b sesuai stadium IV menurut
AJCC ed 7). Dibandingkan dengan CT scan toraks tanggal 11 Mei 2016 menurut RECIST 1.1 sesuai dengan penyakit progresif.

Gambar 2. NSCLC evaluasi. CT scan toraks menunjukkan massa paru kanan ukuran lk. 9,5 x 8 x 13 cm dengan perluasan ke
mediastinum anterior, pleura, jaringan lunak di anterior regio sternum dan mendestruksi os sternum (T4), tak tampak pembesaran
limfonodi (N0), disertai efusi pleura maligna kanan dan metastasis skeletal di korpus vertebra torakal 2 (M1b).

Pasien dilakukan biopsi pada tanggal 17 Mei 2016 nyeri sudah dirasakan dengan penilaian VAS 7 (skala 0-10).
dengan kesimpulan AJH massa paru didapatkan sel ganas, Pada pasien ini sudah terjadi penyebaran perkontinuitatum
pendapat spesialis patologi anatomi adalah NSCLC sangat yaitu adanya perluasan massa ke dinding dada depan yang
mungkin jenis adenokarsinoma. Beberapa penelitian dapat teraba pada pemeriksaan fisik. Tidak didapatkan adanya
menunjukkan bahwa karakteristik CT Scan dapat memprediksi sindroma vena cava superior yang biasanya ditandai dengan
adanya mutasi EGFR. Penderita adenokarsinoma paru dengan adanya pelebaran vena-vena dinding dada. Pasien juga belum
gambaran CT-Scan menunjukkan adanya pertumbuhan mengeluhkan adanya gejala dan tanda metastasis jauh pada
agresif diduga mengalami mutasi EGFR. Pada tanggal 7 Juni tulang, cerebral dan abdomen.
2016, dilakukan tes mutasi Epidermal Growth Factor Reseptor
(EGFR), dengan hasil ditemukan mutasi gen EGFR di Exon Hasil pemeriksaan EGFR ditemukan mutasi gen EGFR
21(C.2361 G>A). di Exon 21(C.2361 G>A). EGFR adalah reseptor sel-permukaan
yang memodulasi proliferasi seluler dan pertumbuhan
Tidak dilakukan operasi pada pasien. Pasien menjalani neoplastik melalui transduksi sinyal. Pemeriksaan ini sangat
kemoterapi Iressa (Gefitinib) tablet dengan dosis satu kali membantu dalam memprediksi kelangsungan hidup atau
perhari, Cisplatin, Etoposid injeksi intravena, MST continuous, respons terhadap pengobatan. EGFR positif (overexpression)
curcuma, sistenol, dan ondansetron. ditentukan dengan pewarnaan imunohistokimia berkaitan
dengan prognosis yang buruk pada NSCLC jika hanya
mendapatkan kemoterapi konvensional. Mutasi pada gen
PEMBAHASAN EGFR menyebabkan banyak kegagalan terapi konvensional,
akan tetapi cukup berhasil jika diobati dengan tirosin kinase
Pasien sebelumnya menjalani terapi OAT berdasarkan inhibitor seperti gefitinib dan erlotinib.7
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
sederhana, dan pemeriksaan radiografi toraks konvensional Penentuan stadium NSCLC merupakan faktor penting
tanpa pemeriksaan CT scan. Modalitas pencitraan dalam menentukan strategi pengobatan yang optimal
konvensional yang belum memadai dapat mengakibatkan meliputi operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Strategi ini
diagnosis yang tidak akurat, sehingga terapi yang diberikan bisa digunakan sendiri, bersamaan, sebagai adjuvan atau
tidak tepat yang mengakibatkan perkembangan penyakit dan neoadjuvant. Pada penyakit NSCLC pencitraan CT cukup
prognosis menjadi lebih buruk. membantu untuk tujuan ini, lebih baik lagi jika dikombinasikan
dengan pemeriksaan PET/CT. 3
Gejala klinis karsinoma paru sering tidak spesifik
sehingga tidak dapat diandalkan dalam menegakkan diagnosis Penentuan stadium NSCLC menggunakan sistem TNM
tanpa melibatkan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala edisi 7 (Gambar 3), sistem klasifikasi ini memperhitungkan

125 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Suwandi, Evi Artsini, Lina Choridah

ukuran dan stadium invasi lokoregional lesi primer (T), ada atau tidaknya keterlibatan limfadenopati mediastinum atau
supraklavikular (N), dan ada atau tidak adanya metastasis intratoraks maupun metastasis jauh (M). Stasiun limfonodi terdiri dari
zona supraklavikular, paratrakea, paraaorta dan subaorta, subkarinal, paraesofageal, ligamen pulmonum, hilus, interlobaris,
lobaris, segmental, dan subsegmental.1,5,8,9,10

Gambar 3. Deskriptor stadium berdasar sistem TNM Karsinoma Paru edisi ke 7.1

Pada kasus ini ukuran awal tumor 9 x 7,9 x 10,2 cm lainnya tidak didapatkan adanya metastasis jauh sehingga
(> 7 cm), juga menginvasi dinding dada, tidak menginvasi sesuai dengan stadium M1a.
diafragma, pleura mediastinum, perikardium parietal, tidak
berada dalam bronkus primarius, tidak menyebabkan Penyakit stadium M1a meliputi efusi pleura maligna,
atelektasis, tidak tampak pneumonitis obstruktif, tak diseminasi pleura, penyakit perikardial, dan nodul paru di
tampak adanya nodul tumor terpisah pada lobus yang sama kontralateral. Gambaran metastasis ke pleura pada CT scan
sehingga sesuai dengan stadium T3. Tidak didapatkan adanya sebagai berikut: (1) efusi pleura masif dengan atau tanpa
keterlibatan metastasis limfonodi sehingga sesuai dengan penebalan pleura, (2) penebalan melingkar, (3) nodularitas
stadium N0. Salah satu keterbatasan CT scan adalah menilai fokal dan / atau difus pada pleura, (4) penebalan pleura
keterlibatan limfonodi, hal ini dapat ditingkatkan sensitivitas parietal> 1 cm, dan (5) penebalan pleura mediastinum.
dan spesifitasnya dengan pemeriksaan PET/CT.11 1,4,12

Stadium M didefinisikan dengan tidak adanya (M0) atau Sulit untuk memprediksi keterlibatan pleura pada CT,
keberadaan (M1) metastasis. Karena perbedaan prognosis, karena kedekatan neoplasma dengan permukaan pleura.
kategori M disubkategori menjadi metastasis intratoraks Temuan CT yang utama dengan nilai prediktif positif lebih
(M1a) dan metastasis ekstratoraks atau metastasis jauh (M1b), tinggi untuk mendeteksi keterlibatan pleura berkaitan
M1a memiliki prognosis yang lebih baik. Dengan tidak adanya dengan kerusakan tulang atau massa dinding toraks. Kriteria
gejala, nilai prediksi negatif biasanya 95% untuk metastasis morfologis CT scan lainnya, seperti (1) tingkat kontak massa
hepar, serebral, dan kelenjar adrenal, dan 90% untuk metatasis dan sudutnya dengan pleura dan (2) keberadaan bidang
skeletal. 1,5 lemak antara tumor dan dinding toraks, kurang membantu
dalam penilaian invasi dinding toraks.1,13
Pada kasus ini awalnya terjadi efusi pleura maligna
kanan, tidak tampak adanya nodul tumor terpisah di lobus Penyakit stadium M1b melibatkan penyebaran ke
kiri (kontralateral), maupun nodul pleura, yang menunjukkan hepar, kelenjar adrenal, serebral, skeletal, dan lokasi lainnya
adanya metastasis intratorakal, yang pada pemeriksaan yang jauh dari toraks. Hampir setengah dari karsinoma paru

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 126


NON SMALL CELL LUNG CARCINOMA: PERANAN CT SCAN DALAM PENENTUAN STADIUM DAN EVALUASI RESPON TUMOR TERHADAP TERAPI

yang baru didiagnosis sudah menunjukkan metastasis di Tabel 1. Evaluasi Lesi Target dan Non target dengan Response
dalam pulmo, serebral, hepar, kelenjar adrenal, dan struktur Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST), Versi 1.0.6
osseus. Setiap penyakit metastatik secara otomatis termasuk Penilaian Respon RECIST Guideline, Versi 1.0
penyakit stadium IV dan biasanya tidak dapat dioperasi.1,12,14
Evaluasi lesi target
Penilaian obyektif pada perubahan tumor adalah CR Hilangnya semua lesi target
penting untuk evaluasi respon tumor terhadap terapi, yang PR ≥ 30% penurunan jumlah diameter terpanjang
digunakan sebagai panduan saat ini adalah RECIST versi lesi target dibandingkan dengan garis dasar
1.1. Fitur utama meliputi ukuran minimum lesi terukur, lesi (ukuran lesi sebelumnya)
tidak terukur, lesi target, berapa banyak lesi yang diikuti, dan PD ≥ Peningkatan 20% dalam jumlah diameter
pengukuran satu dimensi untuk evaluasi keseluruhan beban terpanjang dari lesi target dibandingkan
tumor. 5,6,15 dengan jumlah terkecil diameter terpanjang
sebelumnya atau munculnya satu atau lebih
lesi baru
Lesi terukur harus memiliki diameter terpanjang
≥ 10 mm pada CT scan dengan ketebalan irisan ≤ 5 mm SD Bukan PR atau PD
(atau diameter terpanjang ≥ 20 mm CT nonhelical dengan Evaluasi lesi non target
ketebalan slice> 10 mm).6,16 Lesi tidak terukur meliputi lesi CR Hilangnya semua lesi non target dan
lain yang tidak memenuhi kriteria sebagai lesi terukur, seperti normalisasi tingkat tumor marker
lesi kecil dengan diameter <10 mm, metastasis skeletal tanpa Incomplete Persisten satu atau beberapa lesi non target dan
komponen jaringan lunak, asites, efusi pleura, penyebaran Respon, SD / atau tetapnya tingkat penanda tumor di atas
tumor limfangitik, penyakit leptomeningeal, penyakit batas normal
inflamasi mammae, lesi kistik atau nekrotik, lesi daerah PD Penampilan satu atau beberapa lesi baru dan /
iradiasi, dan massa perut yang tidak terkonfirmasi dengan atau perkembangan yang jelas lesi non target
pencitraan.6,16 yang ada
CR = respon lengkap, PR = respon parsial, PD = penyakit progresif,
Setelah mengidentifikasi lesi terukur dan tidak terukur, SD = penyakit stabil.
dipilih lesi target pada awal. Lesi target mencakup semua lesi
terukur dipilih berdasarkan ukuran diameter terpanjang dan
dapat dilakukan pengukuran berulang yang akurat. Jumlah Evaluasi respon tumor terhadap terapi pada kasus ini
diameter terpanjang untuk semua lesi target dicatat dan dilakukan setahun setelah pengobatan, diameter terpanjang
digunakan untuk tujuan penilaian respon tumor. Lesi non tumor bertambah > 20%, dan didapatkan lesi baru yaitu lesi
target mencakup semua lesi lainnya atau lokasi penyakit. sklerotik di corpus vertebra torakal 2 yang menunjukkan
Pengukuran lesi non target tidak diperlukan, tetapi ada atau adanya metastasis skeletal, sehingga sesuai dengan kategori
tidak adanya masing-masing lesi non target harus dicatat pada penyakit progresif.
pemeriksaan awal dan tindak lanjut. Jumlah lesi target yang
akan dinilai dua lokasi per organ dan maksimal keseluruhan Penyakit progresif untuk lesi target menurut RECIST
5 lesi target.6,16 1.1 membutuhkan peningkatan absolut 5 mm dari jumlah
diameter terpanjang dari lesi target selain peningkatan
Limfonodi dengan aksis pendek ≥ 15 mm diukur dan 20% dalam jumlah dari lesi target. Perubahan ukuran 5 mm
dinilai sebagai lesi target, dan pengukuran aksis pendek harus mutlak terutama penting dalam penilaian tindak lanjut pasien
dimasukkan dalam jumlah pengukuran lesi target dalam dengan penyakit volume kecil setelah mendapat respon
perhitungan respon tumor. Limfonodi dengan aksis pendek terapi karena peningkatan minimal ukuran karena variabilitas
<10 mm dianggap “tidak patologis”. Limfonodi patologis pengukuran bisa memenuhi kriteria kenaikan 20% RECIST 1.0
dengan aksis pendek ≥ 10 mm tapi <15 mm dianggap lesi tanpa peningkatan tumor yang sejati pada pasien. 6,16
non target.6,16

RECIST menetapkan empat kategori respon: respon KESIMPULAN


lengkap (CR), respons parsial (PR), penyakit stabil (SD), dan
penyakit progresif (PD). Kriteria respon evaluasi lesi target dan CT scan adalah alat utama untuk evaluasi anatomis lesi
non target dirangkum dalam Tabel. Penilaian respon secara primer, limfadenopati, metastasis intratorakal dan metastasis
keseluruhan didasarkan pada evaluasi lesi target dan non ekstratorakal (jauh) pada non small cell lung carcinoma.
target pada setiap waktu tindak lanjut.6,16 Penentuan stadium NSCLC merupakan faktor penting dalam
menentukan strategi pengobatan yang optimal meliputi
operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Penentuan stadium

127 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Suwandi, Evi Artsini, Lina Choridah

menggunakan sistem TNM edisi 7, spesialis radiologi CHEST J [Internet]. 2009;136(3):701–9. Available from:
sebaiknya mengikuti kriteria yang ditetapkan sehingga dapat http://dx.doi.org/10.1378/chest.08-2968
menentukan stadium yang akurat. 12. Kligerman S, Kligerman S, Abbott G. A Radiologic Review
of the New TNM Classification for Lung Cancer. Am J
Penilaian obyektif pada perubahan tumor adalah Radiol. 2010;194(March):562–73.
penting untuk evaluasi respon tumor terhadap terapi. 13. Pet I, Lee KS, Kim B, Kwon OJ. Non – Small Cell Lung
Penilaian ini menggunakan RECIST 1.1, penilaian respon tumor Cancer Staging : Efficacy Comparison of Integrated PET/
yang ditentukan dapat dijadikan panduan terapi selanjutnya. CT versus 3.0-T Whole Body MR Imaging. Radiol RSNA.
2008;248(2):632–42.
14. Colombi D, Di Lauro E, Silva M, Manna C, Rossi C, De Filippo
REFERENSI M, et al. Non-small cell lung cancer after surgery and
chemoradiotherapy: Follow-up and response assessment.
1. UyBico SJ, Carol Wu BC, Robert Suh BD, Nanette BH. Diagnostic Interv Radiol. 2013;19(6):447–56.
Lung Cancer Staging Essentials: The New TNM Staging 15. Eisenhauer EA, Therasse P, Bogaerts J, Schwartz LH,
System and Potential Imaging Pitfalls. RadioGraphics. Sargent D, Ford R, et al. New response evaluation criteria
2010;30(September-October):1163–81. in solid tumours : Revised RECIST guideline ( version 1 . 1 ).
2. Anonim. Key Statistics for Lung Cancer. Am Cancer Soc. Eur J Cancer [Internet]. 2008;45(2):228–47. Available from:
2017;5(January):1–3. http://dx.doi.org/10.1016/j.ejca.2008.10.026
3. Choe DH, Park SH, Park JH, Lee JC. CT findings in non-
small-cell lung cancer patients treated with gefitinib or
erlotinib. J Cancer Res Ther. 2012;8(2):247–54.
4. Knoepp UW, Ravenel JG. CT and PET imaging in non-small
cell lung cancer. Crit Rev Oncol Hematol. 2006;58(1):15–
30.
5. Ramaiya NH. Revised RECIST Guideline Version 1.1: What
Oncologists Want to Know and What Radiologists Need
to Know. Am J Roentgenol. 2011;195(August 2010):281–9.
6. Lee Y, Lee H-J, Kim YT, Kang CH, Goo JM, Park CM, et al.
Imaging Characteristics of Stage I Non-Small Cell Lung
Cancer on CT and FDG-PET: Relationship with Epidermal
Growth Factor Receptor Protein Expression Status and
Survival. Korean J Radiol [Internet]. 2013;14(2):375–83.
Available from: http://synapse.koreamed.org/DOIx.
php?id=10.3348/kjr.2013.14.2.375%5Cnhttp://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23483676%5Cnhttp://
w w w . p u b m e d c e n t r a l . n i h . g o v / a r t i c l e r e n d e r.
fcgi?artid=PMC3590355
7. Kligerman S, Digumarthy S. Staging of Non-Small Cell
Lung Cancer Using Integrated PET/CT. Am J Roentgenol.
2009;193(5):1203–11.
8. Munden RF, Swisher SS, Stevens CW, Stewart DJ. Imaging
of the Patient with Non – Small Cell Lung Cancer.
Radiology. 2005;237(3):803–18.
9. Chao F, Zhang H. PET/CT in the staging of the non-small-
cell lung cancer. J Biomed Biotechnol. 2012;2012.
10. Miziara JM, Rocha ET da, Miziara JEA, Garcia GF, Simões
MIP, Lopes MA, et al. Preoperative nodal staging of non-
small cell lung cancer using 99mTc-sestamibi spect/ct
imaging. Clinics [Internet]. 2011;66(11):1901–9. Available
from: http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_
arttext&pid=S1807-59322011001100009&lng=en&nrm=i
so&tlng=en
11. William WN, Lin HY, Lee JJ, Lippman SM, Roth JA, Kim ES.
Revisiting Stage IIIB and IV Non-Small Cell Lung Cancer.

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 128


PERANAN RADIOLOGI PADA SKOLIOSIS:
PENGUKURAN DAN KLASIFIKASI

Kartika1, Elysanti Dwi Martadiani2, Firman Parulian Sitanggang2

Residen Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana


1

2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

The Role of Radiology on Scoliosis: Measurement and Classification

ABSTRACT
Scoliosis, a lateral curvature deformity of the spine with Cobb’s angle of 100 or more, is a common condition found in adolescent. Spinal
growth deterioration is higher in girls and patients with Cobb’s angle more than 250. Good comprehension of radiography technique, curve
measurement and classification is important for a radiologist in seeing that scoliosis has substantial shape of curvature. Good reporting will
help clinicians to choose appropriate management for each patient’s condition. Radiological examination plays major role in determining the
cause, as well as monitoring deformity progression.

ABSTRAK
Skoliosis yang memiliki definisi deformitas kurvatura lateral tulang belakang dengan sudut Cobb 100atau lebih, merupakan kasus yang
sangat umum ditemukan pada anak usia remaja Progresi perburukan lebih tinggi pada kelompok anak wanita dan pasien sudut Cobb yang
lebih dari 250.Karena banyaknya macam pola dari kurva skoliosis, pemahaman mengenai teknik pengambilan gambar, pengukuran kurva
dan klasifikasinya sangat penting diketahui seorang radiologis. Pelaporan yang baik akan membantu klinisi memilih tatalaksana yang sesuai
dengan keadaan pasien. Pemeriksaan radiologi memegang peranan penentuan penyebab, serta monitoring perubahan deformitas.

PENDAHULUAN
Skoliosis merupakan deformitas bentuk tulang belakang yang umum ditemui pada anak-anak dan remaja, dimana
80% dari kasusnya idiopatik.1-2 Insiden skoliosis sama pada laki-laki dan wanita, namun wanita memiliki resiko terjadinya
progresifitas 10 kali lebih besar daripada laki-laki.1,3 Saat ini pemeriksaan x-ray merupakan metode yang paling cost efficient
untuk mendiagnosa skoliosis disamping Computed Tomography (CT), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang juga
memainkan peran penting pada diagnosis, monitoring, dan tatalaksana.1-2

TEKNIK PENGAMBILAN GAMBAR PADA PASIEN SKOLIOSIS


Dalam radiografi skoliosis, teknik pengambilan gambar memegang peranan penting. Rotasi ataupun magnifikasi sekecil

129 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Kartika, Elysanti Dwi Martadiani, Firman Parulian Sitanggang

apapun dapat menimbukan perbedaan yang mengganggu PENGUKURAN KURVA


pengukuran kurva. Gambar radiolograf skoliosis perlu
mempertimbangkan keperluan menilai keseimbangan 1. Mengidentifikasi apeks dan vertebra signifikan 2
sagittal, maka penting untuk mendapatkan cranium sampai
dengan head femur. Namun view ini tentunya terlalu besar Identifikasi apeks kurva dan vertebra signifikan penting
untuk 1 proyeksi, terutama bila ada deformitas yang signifikan, untuk menentukan tipe kurva, menentukan pendekatan
maka dapat diambil 2 gambar digital yang kemudian bedah dan sistem instrumental, serta menentukan tingkat
‘ditempelkan’ menjadi satu. optimal untuk dilakukannya fusi. Apeks merupakan vertebra
atau diskus dengan rotasi terberat atau deviasi terjauh dari
kolum vertebra sentral. End vertebra adalah vertebra dengan
kemiringan maksimal yang mengarah ke apeks kurva, dan
digunakan untuk mengukur sudut Cobb. Neutral vertebra
adalah vertebra yang tidak mengalami rotasi pada posisi
frontal berdiri (baik posteroanteror ataupun ateroposterior),
dengan pedicle yang normal dan posisi yang simetris. Neutral
vertebra dapat merupakan end vertebra pada level yang
sama, antara di atas (proksimal terhadap) atau dibawah (distal
terhadap) kurva, tetapi tidak pernah lebih dekat ke apeks
daripada end vertebra. Vertebrae stable merupakan vertebra
terjauh dari cephalad yang bisected atau hampir bisected oleh
central sacral vertical line (CSVL), pada level dibawah end
vertebra atau kurve distal. Sedangkan garis CSVL secara kasar
Gambar 1. Posisi pasien saat pengambilan foto.4
merupakan garis vertikal yang digambar perpendicular pada
garis lurus tangensial imaginer yang dibuat menyebrangi atap
iliac crest pada radiograf, garis ini membelah sacrum.
Pasien dapat diposisikan 183 cm dari sumber radiasi
dengan kaki selebar bahu, dan lutut ekstensi.4 Untuk posisi
lateral, pasien memandang lurus ke depan, dengan siku
fleksi dan tangan di clavicula, sudut 450, untuk menghindari
superimposisi. Pelindung payudara dan pelvic dapat
digunakan untuk melindungi radiasi, mengingat akan ada
serial foto apabila nantinya pasien akan diterapi.

Gambar 3. Komponen penting pada kurva yang abnormal: (E) End


vertebra, merupakan vertebra yang paling miring dan (A) Apex
merupakan diskus atau vertebra yang terdeviasi terjauh dari pusat
kolom vertebra. (N) Neutral vertebra adalah vertebra yang tidak
mengalami rotasi dan (S) Stable vertebra adalah vertebra yang
Gambar 2. Radiograf ideal posisi (A) anteroposterior dan (B) lateral terbagi/bisected atau hamper terbagi dua oleh CSVL (garis titik titik),
untuk pengukuran skoliosis, mencakup cranial sampai head femur.5 yang tegak lurus dengan garis singgung yang ditarik melintasi krista
iliaca2

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 130


PERANAN RADIOLOGI PADA SKOLIOSIS: PENGUKURAN DAN KLASIFIKASI

2. Pengukuran Sudut Cobb perturbasi dari keseimbangan yang menyertai progresi kurva
mayor dengan mereposisi kepala dan tubuh terhadap pelvis
Tingkat keparahan skoliosis dinilai dengan untuk menjaga keseimbangan.
menggunakan teknik yang diebut metode Cobb yang
menentukan magnitude kurva (derajat kurvatura) pada Karena perubahan pada morfologi vertebra (contoh :
radiograf coronal berdiri. Saat ini, sudut Cobb adalah metode wedging dan rotasi) kurva struktural tidak membaik dengan
pengukuran kurva spinal yang paling banyak digunakan dan ipsilateral bending. Sedangkan pada kurva non struktural,
paling akurat. 5,6 dapat terlihat membaik dengan adanya bending. Pembagian
antara kurva struktural dan non-struktural penting pada
Tarik garis pada endplate vertebra pada ujung pemilihan level fusi yang sesuai. Kurva struktural dapat
proksimal dan distal kurve, missal pada upper endplate pada didefinisikan sebagai kurva yang memiliki sudut Cobb lebih
ujung atas vertebra dan lowe endplate pada ujung bawah dari 250 atau lebih pada ipsilateral side bending.2
vertebra. Sudut yang dibentuk antara kedua garis inilah
yang disebut sudut Cobb (Gambar.4). The Scoliosis Reasearch
Society (SRS) mengidentifikasi skoliosis klinis jika ditemukan
kurve struktural lateral dengan sudut Cobb lebih besar dari 10
derajat.

Gambar 5. Kurva struktural dan non struktural pada anak perempuan


usia 14 tahun. (a) Radiograf AP berdiri netral menunjukkan
dextroskoliosis pada upper thoracic(terukur 58.80) dan levoskoliosis
pada thoracolumbar (terukur 32.60). (b) Bending kanan menunjukkan
pengukuran 320 (>250) pada upper thoracic mengindikasikan kurva
struktural. (c) bending kiri menunjukkan pengukuran 150 (<250) pada
thoracolumbal, menunjukkan kurve non struktural2

4. Penilaian alignment vertebra dan keseimbangan

Garis CSVL pada radiograf berguna sebagai referensi


untuk identifikasi stable vertebra, mengevaluasi keseimbangan
Gambar 4. Sudut Cobb. Garis tangensial digambar dari superior coronal, dan menentukan tipe kurva. The plumb line adalah
endplate milik vertebra superior dan pada inferior endplate milik garis vertical yang digambar tegak lurus ke bawah dari pusat
inferior vertebra. Sudut yang dibentuk pada perpotongan kedua
corpus vertebra C7, pararel dengan tepi lateral radiograf. Garis
garis inilah yang disebut dengan sudut Cobb2, 7
ini digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan coronal
pada radiografi berdiri frontal dan keseimbangan sagital pada
3. Identifikasi kurva primer dan sekunder radiograf berdiri lateral. Keseimbangan koronal dievaluasi
dengan mengukur jarak antara CSVL dengan plumb line, dan
Kurva mayor, yang juga disebut kurva primer, merupakan keseimbangan sagittal dievaluasi dengan mengukur jarak
kurva abnormal terbesar pada spine yang skoliotik. Kurva antara aspek posterosuperior corpus vertebra S1 dengan
minor, juga disebut kurva sekunder, lebih kecil dan biasanya plumb line.
muncul setelah kurva primer, untuk mengkompensasi

131 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Kartika, Elysanti Dwi Martadiani, Firman Parulian Sitanggang

Gambar 6. Cara menghitung keseimbangan sagittal, mengukur jarak antara plumb line di C7 dengan aspek posterosuperior
corpus vertebra S1. Sedangkan untuk keseimbangan coronal, diukur jarak antara plumb line C7 dengan central sacral
vertical line (CSVL)2,4

Untuk kedua keseimbangan coronal dan sagittal,


pengukuran dianggap abnormal jika jaraknya lebih dari 2 cm
(Gambar 6). Untuk pengukuran keseimbangan coronal, garis
plumb line yang berada di kanan CSVL dianggap merefleksikan
positif keseimbangan coronal, sedangkan jika berada di kiri
CSVL menunjukkan keseimbangan negatif koronal. Untuk
pengukuran keseimbangan sagittal, plumb line yang berada
di anterior dari aspek posterosuperior corpus S1 dianggap
merefleksikan keseimbangan positif, sedangkan yang di
posterior merefleksikan keseimbangan negatif.

5. Pengukuran rotasi vertebra2,4

Salah satu kekurangan sudut Cobb dalam


mendeskripsikan rotasi vertebra dapat ditutupi oleh metode
Nash Moe, yang menggunakan lokasi pedikel pada radiograf
frontal sebagai indikasi rotasi vertebra.

Gambar 7. (I) Diagram menjelaskan tingkatan rotasi vertebra


6. Menentukan maturasi skeletal6 menurun metode Nash-Moe. Pada foto frontal, corpus vertebra
dibelah dua dengan garis imajiner, dan separuh vertebra pada sisi
konvek di segmentasi menjadi outer, second dan inner atau midline
Untuk menentukan stadium maturasi skeletal,
ketiga. Normalnya, kedua pedikel terlihat pada lapisan terluar dari
kita dapat menilai pusat ossifikasi pada iliac crest dengan vertebra.2(II) Ilustrasi dan radiografi gambaran rotasi veretebra4
mencocokan dengan indeks Risser. Grade 0 sampai 5
menggambarkan adanya apophyseal osifikasi, yang dimulai
dari lateral dan menuju ke medial (gambar 8) Perjalanan
osifikasi apofisis untuk menjadi komplit memakan waktu kira-
kira 1 tahun, dan fusi dari pusat osifikasi terhadap crista iliaca

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 132


PERANAN RADIOLOGI PADA SKOLIOSIS: PENGUKURAN DAN KLASIFIKASI

terjadi dalam waktu 2 tahun kemudain.

Grade 4 pada klasifikasi Risser, dapat dipertimbangkan sebagai pertanda selesainya pertumbuhan spinal dan perhentian
progresivitas kurve pada anak wanita. Beberapa berpendapat klasifikasi Risser kurang dapat digunakan pada anak laki laki
yang proses ossiffikasinya mulai pada usia yang lebih lanjut dari anak perempuan sehingga pada anak laki-laki pertumbuhan
dianggap komplit bila sudah mencapai Risser grade 5.

Gambar 8. Diagram yang menunjukkan gambaran anatomi pada grade maturitas skeletal yang terlihat seperti
yang didefinisikan oleh index Risser: grade 1: ossifikasi 25% lateral apofisis iliac; grade 2: ossifikasi 50% lateral
apofisis iliac; grade 3: ossifikasi 75% lateral apofisis iliac; grade 4: ossifikasi komplit sebelum terjadinya fusi; dan
grade 5, fusi komplit dari iliac apofisis. Index Risser grade 0 (tidak terlihatnya ossifikasi pada apofisis iliac) tidak
ditunjukkan pada diagram6

KLASIFIKSASI LENKE4,8-10

Pasien AIS mempunyai beragam pola kurva, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada prosedur bedah,
maka klasifikasi baru dan detail bermunculan. Sistem klasifikasi skoliosis penting untuk klinisi untuk menentukan tatalaksana
yang efektif, berikut penjelasan klasifikasi Lenke yang sering digunakan sebagai komunikasi dengan klinisi.

Klasifikasi Lenke membantu klinisi untuk menentukan regio spine yang tepat untuk dilakukan fusi, untuk menentukan
upper instrumented vertebra dan lower instrumented vertebra yang paling sesuai. 4,8

133 Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017


Kartika, Elysanti Dwi Martadiani, Firman Parulian Sitanggang

Gambar 9. Sinopsis klasifikasi Lenke 4,8-10

KESIMPULAN 4. O’Brien MF, Kuklo TR, Lenke L. Radiographic Measurement


Manual. Spinal Deformity Study Group. Medtronic
Karena banyaknya macam pola dari kurva skoliosis, Sofamor Danek. 2008
pemahaman mengenai teknik pengambilan gambar, 5. Malfair D, Flemming AK, Dvorak MF, Munk PL,Vertinsky
pengukuran kurva dan klasifikasinya sangat penting diketahui AT,Heran MK, Graeb DA. Radiographic Evaluation of
seorang radiologis. Pelaporan yang baik akan berhubungan Scoliosis : Review. AJR 2010;194:S8-S22
dengan pilihan tatalaksana yang sesuai dengan keadaan 6. Langensiepen S, Semler O, Sobottke R, et al. Measuring
pasien. Pemeriksaan radiologi memegang peranan penentuan procedures to determine the Cobb angle in idiopathic
penyebab, serta monitoring perubahan deformitas. scoliosis : a systematic review. Eur Spine J.2013; DOI
10.1007/s00586-013-2693-9
7. Greiner KA. Adolescent Idiopathic Scoliosis: Radiologic
REFERENSI Decision-Making. AFP; 2002. 65(9):1817-22
8. Lenke LG. The Lenke Classification System of Operative
1. Horne JP, Flannery R, Usman S. Adolesent Idiopathic Adolesent Idiopathic Scoliosis. Neurosurg Clin N Am
Scoliosis : Diagnosis and Management. American Family 2007;18:199-206
Physician.2014. 89(3):193-8 9. Keenan BE. Medical Imaging and Biomechanical Analysis
2. Kim H, Moon ES, Kim HS, Yoon CS, Chung TS, et.al. Scoliosis of Scoliosis Progression in The Growing Adolescent Spine
Imaging: What Radiologist Should Know. RadioGraphics (PhD thesis). Queensland: Queensland University of
2010; 30:1823–42 Technology. 2015
3. Konieczny MR, Senyurt H, Krauspe R. Epidemiology of 10. Waldt S, Gersing A, Bruger M. Measurements and
adolescent idiopathic scoliosis. J Child Orthop (2013) Classification in Spine imaging. Semin Musculoskelet
7:3–9 Radiol. 2014;18:219-27

Jurnal Radiologi Indonesia Volume 2 Nomor 2, Januari 2017 134

Anda mungkin juga menyukai