2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Craniosynostosis is a condition in which there is premature fusion of one or more cranial sutures, causing neurological disorders, distinctive
deformities of the face and skull, also accompanied by increased intracranial pressure, visual impairment, deafness and cognitive deficits.
Craniosynostosis may appear in primary or secondary secondary to other disorders. As many as 85% of primary craniosynostosis emerged as
a single condition while the remaining 15% as part of the multisystem syndrome.
Radiological examination is important for accurate diagnosis, surgical planning, therapeutic evaluation and identification of comorbid anom-
alies and complications related to craniosynostosis. Computed Tomography (CT) with 3-D reconstruction is a technique used to diagnose
craniosynostosis because it can provide a better picture of bone. Nevertheless, the presence of radiation exposure from CT scan, especially in
infants causes the authors to look for alternatives to other radiological examination techniques including the use of ultrasonography, plain
cranial rontgen and MRI.
ABSTRAK
Kraniosinostosis merupakan kondisi dimana terdapat fusi prematur dari satu atau lebih sutura kranial, yang menyebabkan kelainan neurolo-
gi, deformitas yang khas pada bentuk wajah dan tengkorak, juga disertai peningkatan tekanan intrakranial, gangguan penglihatan, tuli dan
defisit kognitif. Kraniosinostosis dapat muncul secara primer maupun secara sekunder yang diakibatkan gangguan lain. Sebanyak 85% krani-
osinostosis primer muncul sebagai kondisi tunggal sedangkan 15% sisanya sebagai bagian dari sindrom multisistem.
Pemeriksaan radiologis penting dilakukan untuk penegakkan diagnosis yang akurat, perencanaan operasi, evaluasi terapi dan identifikasi
anomali penyerta serta komplikasi yang berkaitan dengan kraniosinostosis. Computed Tomography (CT) dengan rekonstruksi 3 dimensi mer-
upakan teknik yang digunakan untuk menegakkan diagnosa kraniosinostosis karena dapat memberikan gambaran tulang yang lebih baik.
Meskipun demikian, adanya paparan radiasi dari CT scan terutama pada bayi menyebabkan penulis mencari alternatif teknik pemeriksaan
radiologis lain termasuk penggunaan ultrasonografi, rontgen kranium polos dan MRI.
Tujuan
Definisi
Gambar 1. CT scan 3 dimensi reformasi permukaan cranium pada craniosynostosis tipe non-sindromik2
Tengkorak dilihat dari belakang menyerupai potongan Fossa anterior dasar tengkorak terdiri dari lempeng
roti dengan lengkung pada bagian atas dan samping, datar cribiforme os.ethmoidal, pada bagian depannya terdapat
pada bagian bawahnya. Sutura lambdoid dapat tampak bagian yang menonjol keatas disebut crista gali. Bagian orbita
os.frontal, merupakan bagian terbesar dari fossa anterior, cerebelum, pons dan medulla oblongata. Foramen magnum,
pada bagian depan medial terdapat sinus frontalis, bagian merupakan tempat peralihan dari medulla spinalis. Foramen
belakang berbatasan langsung dengan lesser wing of sphenoid juglare, merupakan tempat erjalannya n.glosopharingeous.
bone. Os.sphenoid, terdiri dari greater dan lesser wing yang Dibagian posterior terdapat sulkus sigmoid yang berisi sinus
menyatu pada sisi lateral fisura orbitalis superior. 3,14 signoid yang berlanjut menjadi v.jugularis interna. Canalis
hipoglosus, terletak lateral dari foramen magnum dan berisi
Fossa media dasar tengkorak, lebih dalam dibandingkan n.hipogrosus. Meatus acusticus interna terletak bagian depan
dengan fossa anterior. Pada bagian sentral terdapat carnalis dari foramen jugulare dan di bagian atasnya terdapat canalis
optikus tempat lewatnya nervus optikus, arteri ophtal milk fascialis yang merupakan tempat lewatnya n.fascialis.3,14
dan meningens. Pada bagian depan terdapat sella tursica
yang merupakan tempat hipofisis. Pada sisinya terdapat
fissura orbitalis superior, bagian tengah lebih lebar berisi Epidemiologi
n.opticus, v.ophtalmicus, n.occulomotor, n.trochleas dan
beberapa pembuluh darah kecil. Foramen rotundum yang Prevalensi total dari kraniosinostosis pada populasi
berjalan kearah depan menuju fossa pterigo palatina dan berkisar antara 43-48 tiap 100.000 kelahiran hidup. Insiden
berisi maksilaris (V-2). Foramen ovale, berjalan kearah bawah yang lebih tinggi dilaporkan di Colorado Amerika Serikat,
menuju fossa infra temporal dan berisi n.mandibulla (V-3). tetapi apa yang mengakibatkan hal tersebut masihlah belum
Foramen spinosum, terletak posterolateral dari foramen ovale diketahui. Pada populasi umum, kasus kraniosinostosis
dan berisi arteri meningea media. Foramen lacerum, terletak sindromik lebih jarang dijumpai dibandingkan non-
postero medial dari foramen ovale dan berisi arteri carotis sindromik. Kraniosinostosis sagital dan koronal merupakan
interna. 3,14 tipe kraniosinostosis yang paling banyak dijumpai yaitu 56%
dan 22% dari total keselurahan kasus kraniosinostosis. Pada
Fossa posterior dasar tengkorak merupakan fossa yang anak-anak dengan gangguan kraniosinostosis sindromik baik
paling besar dan dalam diantaranya fossa-fossa lainnya berisi sindrom Crouzon, Apert maupun Pfeifer, synostosis hampir
selalu dapat ditemukan.1
Patogenesis
proliferasi, diferensiasi dan apoptosis osteoblas yang Ct scan 3 dimensi dan helical dapat meningkatkan
membatasi mesenkim sutura kranialis.2,5,12 akurasi dalam mendiagnosis kraniosinostosis hingga 90%-
100%. CT scan memungkinkan dilakukannya evaluasi
Sindrom Asethre-Chotzen diketahui berkaitan dengan berkelanjutan dari pertumbuhan otak dan identifikasi adanya
mutasi pada gen TWIST. Gen ini berperan dalam menjaga batas deformitas kraniofasial serta volume ventrikel. CT scan juga
perkembangan antara neural crest dan mesoderm sefalik dapat menyingkirkan penyebab lain dari pertumbuhan kranial
pada lokasi sutura koronalis. Kraniosinostosis tipe Boston yang asimetris seperti hemiatrofi otak dan memfasilitasi
berkaitan dengan mutasi gen MSX2. Meskipun telah banyak perencanaan tindakan operatif untuk mengkoreksi gangguan
kemajuan dalam area ini tetapi masihlah diperlukan penelitian ini.6
lebih lanjut untuk memahami kompleks biokimia dan jalur
morfologi yang menyebabkan mutasi genetik sehingga dapat
menghasilkan fenotipe klinis pada kraniosinostosis.2,5,12 Tatalaksana
Penggunaan terapi endoskopi juga menjadi pilihan Foto polos pada mulanya digunakan sebagai modalitas
pada beberapa pasien anak yang memenuhi syarat. Biasanya diagnostik pertama dari kraniosinostosis. Hal ini karena
dilakukan pada bayi usia 3-6 bulan dengan deformitas yang pemeriksaan foto polos murah, memberiakan radiasi yang
tidak terlalu kompleks. Pada teknik ini, ahli bedah membuat Foto polos pada mulanya digunakan sebagai modalitas
insisi kecil yang memungkinkan endoskopi mereseksi diagnostik pertama dari kraniosinostosis. Hal ini karena
sutura yang tertutup kemudian dimasukkan plate yang pemeriksaan foto polos murah, memberiakan radiasi yang
dapat diabsosrbi tubuh (Gambar 5). Setelah itu pasien harus minimal dan mudah dijangkau. Pemeriksaan ini termasuk
menggunakan helm khusus untuk membentuk tulang foto posisi anteroposterior, projeksi Towne dan posisi lateral.
tengkorak hingga 6-8 bulan setelah operasi. Tindakan ini lebih Tetapi seiring dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
tidak invasif dan jarang membutuhkan tranfusi darah serta maka diketahui bahwa akurasi foto polos dalam mendeteksi
waktu perawatan di rumah sakit yang lebih singkat.7,8,9,11 kraniosinostosis tidaklah terlalu baik.1
Fusi prematur pada sutura kranial akan membatasi pertumbuhan perpendikuler kranial dari sutura yang mengalami
gangguan dan diikuti sutura lainnya sebagai mekanisme kompensasi. Hal ini menyebabkan gangguan khas bentuk tengkorak
yang nampak pada kraniosinostosis. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mengkonfirmasi adanya fusi sutura tersebut dan
mengidentifikasi deformitas tulang, patologi intrakranial dan komplikasi lainnya.6,10
Gambar 5. Gambar anatomi normal sutura kranial pada neonatus usia 2 hari (A-G) dam 19 hari (H dan I) serta bayi usia 12 bulan (J-N)
menggunakan rontgen dan CT Scan 3D. Gambar A dan B merupakan tampilan AP menggunakan rontgen polos dan CT scan 3D; gambar
C dan D merupakan tampilam lateral; E dan F merupakan tampilan PA neonatus usia 2 hari; H dan I merupakan tampilan PA neonatus usia
19 hari dan J-N merupakan gambaran anak usia 12 bulan. Gambar tampilan superior (G dan N) hanya menunjukkan gambaran CT scan 3D.
Sutura normal metopik (M), coronal (C), sagital (S), lambdoid (L), mendosal (Ms), transversal ocipital (TO) dan sguamosal (SS) nampak sebagai
gambaran radioulsen, garis bergigi dan tidak lurus pada rontgen polos dan CT scan 3D. Fontanela anterior (AF), posterior (PF), sfenoidla (SF)
fan mastoid (MF) nampak sebagai ruang radioulsen. Sutura radioulsen dan bergigi menjadi lebih jelas seiring dengan bertambahnya usia.
Sutura metopik yang mengalami fusi sebagian, AF terbuka dan PF tertutup adalah normal pada usia 12 bulan (J,K,N).10
Gambar 6. Temuan ultrasonografis dari sutura kranial normal Gambar 7. Gambaran MRI pada sutura kranial normal, aksial (deretan
pada anak usia 2 hari. A. Sonogram transversal dari sutura sagitalis atas) dan coronal (deretan bawah) merupakan gambaran “black bone”
menunjukkan sutura sebagai celah hipoechoic (S) antara tulang menunjukkan sutura kranial paten yang normal sebagai gambaran
kraniak hiperechoik (B) dengan tampilan dari ujung ke ujung. Sinus hiperintensitas yang berbeda dari kekosongan sinyal tulang kranial.
sagital supererior (SS) dan otak nampak dibawah tulang. B. Sonogram (sutura coronal: panah kuning; sutura lamdoid: panah biru; sutura
transversal dari sutura lambdoid menunjukkan sutura sebagai celah sagital: panah hijau; fontanela anterior: panah putih)10
hiperechoic (S) antara tulang hiperechoic (B).10
Fusi sutura yang prematur menunjukkan sklerosis perisutural, garis linear dan berkurangnya gambaran gerigi, atau tidak
nampaknya sutura tulang pada gambaran foto polos atau CT scan 3D. Tanda sekunder adanya peningkatan tekanan intrakranial
seperti gambaran “copper-beaten” juga nampak pada beberapa kasus. Soboleski dkk melaporkan temuan ultrasonografi pada
kraniosinostosis meliputi 1) hilangnya celah fibrous hipoechoic, 2) batas sutura bagian dalam menebal dan tidak teratur, 3)
hilangnya tepi “beveled” dan 4) fontanela yang asimetris. Pada MRI “black bone” sutura yang mengalami gangguan fusi nampak
dengan hilangnya gambaran sutura tersebut (Gambar 8).6,10
Gambar 8. Gambaran CT scan aksial dan coronal (a) axial dan coronal “black bone” MRI, (b) CT scan 3D, (c) MRI 3D “black bone”, (d) sinostosis
sagital (sutura coronal: panah kuning; sutura lamdoid: panah biru; lokasi sinostosis : panah hitam)10
Restriksi pertumbuhan perpendikuler dari sutura pergeseran fontanela anterior ke arah kontraletral dan wajah
sagitalis menyebabkan penyempitan dan pemanjangan yang asimetris (Gambar 10).6,10
kranium dengan protrusio ocipital dan fusi sutura yang
bergerigi dan menumpuk. Deformitas ini dikarakteristikkan
dengan scaphocephaly (rangkak ranium yang masuk),
clinocephaly (kranium yang mendatar akibat hilangnya
kelengkungan tengkorak) dan leptocephaly (kranium yang
tinggi dan sempit) (Gambar 9).6,10
Fusi prematur dari sutura metopik menyebabkan bagian Fusi prematur unilateral menyebabkan plagiocephaly
depan kepala (regio frontal) teraba dan fossa kranial anterior posterior (deformitas oblik dari kranium posterior) yang sering
yang kecil dengan dahi berbentuk segitiga (trigonocephaly) disebabkan oleh masalah posisi dibandingkan fusi prematur
akibat kontriksi tulang frontal. Gambaran radiologi termasuk dari sutura kranialis. Oleh sebab itu, sinostosis lambdoid
pemendekan jarak interorbital (hipotelorisme), sinus ethmoid unilateral harus dapat dibedakan dari plagiocephaly posisional.
hipoplastik dan atap orbital yang naik ke arah medial (tampilan Gambar 13 menunjukkan pendataran ocipitoparietal
quizzical eye) (Gambar 12). Sinostosis metopik harus dapat ipsilateral kontralateral dan pergeseran fontanela posterior
dibedakan dari tepi metopik yang merupakan varian normal kearah kontralateral, penggandaan tepi ocipital akibat kranium
dari penutupan sutura metopik. Sepertiga kasus sinostosis posterior yang mengecil serta bergesernya dasar kranium.
metopik merupakan sindromik dan berkaitan dengan anomali Fusi bilateral dari sutura lamdoid menyebabkan turricephaly
otak dan palatum bagian tengah.6,10 (kranium yang tinggi atau dikenal juga sebagai oxycephaly
dan acrocephaly dengan pendataran ocipitoparietal bilateral
yang menyebabkan fossa kranial posterior mengecil.6,10
DAFTAR PUSTAKA
1. Vinocur D.N., Medina L.S. (2010) Imaging in the Evaluation
of Children with Suspected Kraniosinostosis. In: Medina L.,
Applegate K., Blackmore C. (eds) Evidence-Based Imaging
in Pediatrics. Springer, New York, NY
2. Alex A. An Overview og Kraniosinostosis. JPO. 2004; 16(4):
50-55
3. Iskandar J. Anatomi Tulang Tengkorak. 2003 USU Digital
Library, Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas
Sumatera Utara.
4. Gripp KW. Clinical approach to kraniosinostosis. In:
Muenke M, Kress W, Collman H, Solomon BD, editors.
Monographs in human genetics. Craniosynostoses:
molecular genetics, principles of diagnosis and treatment.
Vol. 19. Karger Publishing; Basel: 2011. pp. 199–215.
5. Johnson D, Andrew O. Kraniosinostosis. EJHG. 2011; 19:
369-76
6. Attaya, Hesham & Thomas, Joel & Alleman, Anthony.
(2011). Imaging of Kraniosinostosis from Diagnosis
through Reconstruction. Neurographics. 1. 121-128.
Gambar 14. Pansinostosis pada anak perempuasn usia 10 bulan
10.3174/ng.3110013.
dengan sindrom Crouzon. Foto polos dan CT scan 3D (B) menunjukkan
hilangnya sutura coronal, sagital dan lambdoid. Fontanela juga 7. Sharma R.Kraniosinostosis.Indian J Plast Surg.
nampak menutup. Kranium menyempit (oxycephaly). “Copper 2013;46(1):18-27.doi:10.4103/09700358.113702
beaten” juga nampak pada foto polas (A) yang menggambarkan 8. Burokas L. Kraniosinostosis: caring for infants and their
peningkatan tekanan intrakranial.10 families.Crit Care Nurse. 2013;33(4):39-51.
9. Surgical options for kraniosinostosis. John Hopkins
Medicine website. http://www.hopkinsmedicine.org/
neurology_neurosurgery/specialty_areas/pediatric_
neurosurgery/conditions/kraniosinostosis/surgery.html.
Accessed October 18,2017
10. Kim HJ, Roh HG, Lee IW. Kraniosinostosis : Updates
in Radiologic Diagnosis. Journal of Korean
Neurosurgical Society. 2016;59(3):219-226. doi:10.3340/
jkns.2016.59.3.219.
A RARE CASE
ABSTRACT
Intramuscular lipoma is a relatively uncommon condition and accounts for just 1,8% of all primary tumors of adipose tissue and less than
1% of all lipoma. This tumor arises within skeletal muscle fibers at various locations. However, giant intramuscular lipomas of biceps brachii
muscle are rare tumors.
A 48-years old man presented with a mass on his right upper-arm. The mass existed for one year and has since increased in size. On physical
examination, the mass was pain upon palpation and completely mobile. Plain radiography, the soft tissue mass unremarkable. Computed
tomography (CT) scan revealed a hypodense mass situated within right biceps brachii muscle with -72 until -83 Hounsfield. Magnetic
resonance imaging (MRI), the mass was found inside of biceps brachii muscle. In T1- and T2- weighted images, the lesion area demonstrated
high signal intensity, and SPAIR showed signal suppression similar to normal fat. The patient underwent radical excision of the lesion, which
was found to be greater than 12 cm in size. Final pathology revealed intramuscular lipoma.
A lipoma of greater than 5 cm is classified as a giant lipoma. Giant lipoma in the upper extremities and involving biceps brachii muscle are
rare. The plain radiographs may either be unremarkable or may demonstrate a radiolucent soft tissue mass of fat opacity. On CT and MRI, the
lipoma appears as an non-invasive mass with homogenous fat signal intensity. The main differential diagnosis of intramuscular lipomas is
well-differentiated liposarcomas. The proper management is open excision. The pathological report is vital to confirm the diagnosis.
We reported a rare case of giant intramuscular lipoma of biceps brachii who was successfully opened excision at our institute. CT scan and MRI
can identify and localize these tumours, and facilitate the operative planning.
ABSTRAK
Intramuscular lipoma adalah kondisi yang jarang dan terhitung sekitar 1,8% dari semua tumor primer jaringan adiposa dan kurang dari 1%
dari semua lipoma. Tumor ini berasal dari jaringan otot pada berbagai lokasi. Giant intramuscular lipoma otot biceps brachii adalah tumor
yang jarang.
Seorang laki-laki usia 48 tahun dengan massa di lengan kanan atas. Massa tersebut muncul sejak satu tahun yang lalu dan ukurannya semakin
bertambah besar. Pada pemeriksaan fisik, terasa nyeri pada saat Intramuscular lipoma relatif jarang, hanya sekitar 1,8%
palpasi dan mobile. Pada foto polos, tak tampak jelas massa soft tissue dari semua tumor primer jaringan adiposa dan kurang dari 1%
pada lengan atas. Computed tomography (CT) scan menunjukan dari semua lipoma. Intramuscular lipoma dapat terjadi pada
massa hipodens pada otot biceps brachii dextra dengan densitas semua kelompok umur, paling sering pada usia antara 40-70
tahun.2,6
-72 hingga -83 Hounsfield. Magnetic resonance imaging (MRI), massa
berasal dari otot biceps brachii. Pada T1 dan T2 weighted images, Secara umum diketahui, intramuscular lipoma paling
tampak lesi dengan intensitas yang tinggi, dan SPAIR menunjukan sering ditemukan di trunk, kepala dan leher, bahu, tungkai
densitas yang sama dengan lemak normal. Lesi tersebut di eksisi, atas dan tungkai bawah. Tumor ini jarang ditemukan pada
didapatkan lesi dengan ukuran lebih dari 12 cm. hasil patologi subscapularis, biceps brachii, dan sternocleidomastoideus.2,8
menunjukan intramuscular lipoma. Pada laporan kasus ini, kami melaporkan sebuah kasus jarang
giant intramuscular lipoma pada otot biceps brachii.
Lipoma berukuran lebih dari 5 cm di klasifikasikan sebagai giant
lipoma. Giant lipoma di ekstremitas atas, dari otot biceps brachii
adalah jarang. Pada pemeriksaan foto polos, dapat tidak terlihat, LAPORAN KASUS
atau tampak sebagai massa radiolusen dengan opasitas lemak. Pada
CT dan MRI, lipoma tampak sebagai massa non-invasive dengan Seorang laki-laki usia 48 tahun datang ke poliklinik
intensitas signal lemak yang homogen. Diagnosis banding utama rawat jalan RS. Sardjito dengan keluhan benjolan di lengan
atas kanan. Benjolan tersebut dikeluhkan sejak 1 tahun yang
intramuscular lipoma adalah liposarcoma berdiferensiasi baik.
lalu, awalnya berukuran sebesar telur ayam, dan semakin
Penatalaksanaan yang dipilih adalah eksisi. Pemeriksaan patologi
membesar. Pada pemeriksaan fisik, pada saat palpasi terasa
adalah pemeriksaan yang penting untuk konfirmasi diagnosis. nyeri dan dapat digerakkan.
Kami laporkan kasus jarang giant intramuscular lipoma biceps Pada pemeriksaan radiografi polos tak tampak ada massa
brachii yang berhasil di eksisi dengan baik. CT dan MRI dapat (Gambar 1). Pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan
mengidentifikasi dan melokalisasi tumor ini, dan memfasilitasi modalitas CT scan. Pada pemeriksaan CT scan ditemukan
perencanaan operasi. massa yang hipodens di dalam otot biceps brachii, berukuran
lk 2,88x5,73x11,36 cm dengan densitas sekitar -72 sampai -83
Kata kunci : intramuscular, lipoma, giant, biceps brachii Hounsfield (Gambar 2). Pada pemeriksaan MRI, massa berada
di otot biceps brachii, berukuran lk 3,04x3,59x12,30 cm. Pada
sekuen T1 dan T2, lesi tersebut menunjukkan intensitas sinyal
yang tinggi, dan pada SPAIR menunjukkan sinyal yang sama
dengan lemak normal (Gambar 3).
Gambar 5. Gambaran histopatologi menunjukkan jaringan adipocytes mature, infiltrasi diantara serabut-serabut otot. Pembesaran 40x
dan 100x
KESIMPULAN
A CASE REPORT
Department of Radiology, Medical Faculty of Airlangga University, Dr. Soetomo General Hospital Surabaya Indonesia
Laporan Kasus
ABSTRACT
Tuberculosis, or TB, is an infectious bacterial disease caused by Mycobacterium tuberculosis. TB can occur in pulmonary or extra pulmonary.
Extra pulmonary TB occurs in locations other than the lung, such as larynx, lymph node, pleura, brain, kidneys and bones. CT Scan can detect
intracranial tuberculoma, and MRI is the best method to detect the abnormality in spinal tuberculosis.
ABSTRAK
Tuberkulosis atau TB, merupakan penyakit bakteri menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB dapat terjadi pada paru
atau diluar paru. TB diluar paru terjadi pada lokasi selain paru, seperti laring, kelenjar getah bening, pleura, otak, ginjal, dan tulang. CT Scan
dapat mendeteksi tuberkulosis intrakranial, dan MRI merupakan metode terbaik untuk mendeteksi pada tuberkulosis tulang belakang.
INTRODUCTION
Tuberculosis, or TB, is an infectious bacterial disease caused by Mycobacterium tuberculosis (WHO). M. tuberculosis and
other seven species of mycobacterial (M. bovis, M. africanum, M. microti, M. caprae, M. pinnipedii, M. Canetti and M. mungi)
collectively referred to as M. tuberculosis complex (CDC). Although this disease mostly infects the lungs, tuberculosis can involve
many organ systems include the heart, central nervous system, musculoskeletal, gastrointestinal, and genitourinary system.
Clinically, miliary TB present in only 1-7% of patients of all forms of tuberculosis. Generally, this type occurs in older
patients, infants and those with impaired immunity (immunocompromised). Thorax radiographs is usually normal at the onset
symptoms. The classic radiological findings are of small nodules 2-3 mm that evenly distributed, with the dominance of the
lower lobe seen in 85% of cases. The nodules usually disappear within 2-6 months of therapy, without scarring or calcification.
TB with spinal involvement occurs in less than 1% of enlarged of lymphnodes were not found. In January 2016
patients with TB1,2. However, the increasing frequency of TB in the patient was diagnosed with miliary TB (sputum smear-
both developed and developing countries has continued to positive) and OAT given as drug therapy.
make spinal TB a health problem 2,3.
Patients had previously been hospitalized in February
CNS involvement was found in 5 to 10% of patients 2016 for 2 weeks. The chief complaint was headache. At that
with extrapulmonary tuberculosis4, and accounts for time the patients was diagnosed with cerebral tuberculoma
approximately 1% of all TB cases. Prevalence was greater in and miliary TB. Patients were assigned to OAT treatment and
patients with impaired immunity. CNS tuberculosis generally according to the patient, the therapy never interrupted.
occurs due to hematogenous spread. However, it can also be
caused due to rupture directly or extension of subependymal The patient does not smoke; do not consume alcohol,
or subpial and may be in the meninges, the brain or spinal and illicit drugs. She also doesn’t have hypertension, diabetes
cord. Manifestations of CNS tuberculosis may have meningitis, mellitus, and never had trauma nor surgery. She doesn’t have
tuberculoma, abscess, cerebritis and miliary. any contact with TB patients and there was no history of tumor.
The aim of this case report is to share and analyze a case Chest X-ray was taken on January 1st, February 11st,
of miliary pulmonary tuberculosis with spinal tuberculosis and and March 15th 2016. Head CT scan performed twice on
central nervous system tuberculoma. February 12nd and March 15th. On April 1st, thoracolumbar
MRI was conducted.
Figure 1. Serial chest x-ray. Miliary nodules spread diffusely on both lung, no sign of lymphnodes enlargement nor pleural
effusion (A). After 3 weeks OAT treatment the nodules decreasing (B) and at the third chest X-ray (C) the nodules disappear.
Figure 4. Enhanced axial thoracic MRI. Paravertebral abscess and small nodule also seen on A.
Intraosseous abscess clearly seen on B.
Figure 5. Enhanced head CT Scan. Multiple small enhancing nodular lesions spread to infra and
supratentorial with marked perifocal edema, seen on axial and coronal view.
Figure 6. The second head CT Scan shows decreasing of small nodules and perifocal edema. Some nodules look bigger than miliary
nodules, seen at cortical right parietal and left lentiform nuclei
DISCUSSION Tuberculosis
Tuberculous Spondylodiscitis and less frequently scoliosis. The degree of angulation varies
with the site and extent of vertebral disease, but despite the
Spinal tuberculosis usually starts in the antero-inferior sometimes striking deformity, the diameter of the spinal canal
portion of the vertebral body13. Spread of infection can occur may not be altered significantly. There may be destroyed and,
beneath the anterior longitudinal ligament involving the rarely, extruded vertebral bodies in the area of angulation22.
adjacent vertebral bodies, as shown on Fig. 2. Disc space Hematogenous seeding of the skeleton may arise from a
narrowing occurs secondarily and is usually limited to the primary infection of the lung, particularly in children, or, later
degree of bone destruction that allows herniation of the from a quiescent primary site or an extraosseous focus8.
disc material into the affected vertebral body11. A lack of
proteolytic enzymes in Mycobacterium as compared with In the past, osteoarticular tuberculosis usually was
pyogenic infection has been proposed as the cause of relative encountered mainly in children and young adult. Today,
preservation of the intervertebral disc (Fig. 3B). If uninvolved, patients of all ages are affected, although the condition is very
the disc will not show increased signal on T2-weighted rare before age 1 year. Men are affected slightly more frequently
image, one of the main finding of pyogenic infection14,15. In than women. Predisposing condition are underlying disorders
tuberculous spondylitis, the cortical definition of affected like diabetes or hepatic cirrhosis, corticosteroid medication,
vertebrae is invariably lost (Fig. 3A), in contrast to pyogenic alcoholism, intravenous drug abuse, and immune depressive
spondylitis. T1-weighted images usually show decreased condition including acquired immunodeficiency syndrome
signal from the affected vertebral marrow. On T2-weighted (AIDS)23,24.
images, an indiscriminate increase in signal intensity is noted
from the vertebrae, discs, and soft tissues. It is estimated that the vertebral column is affected
in 25% to 60% of cases of skeletal tuberculosis25. The
Although the vertebral body is involved more thoracolumbar junction is affected most commonly, and
commonly than the posterior elements, thislatter structure the disease is relatively infrequent in the cervical and sacral
may be affected initially or predominantly in some persons16. segments of the spine.
Although the reason for this is not known, it was speculated17
that in adults the aerophilic mycobacteria require the higher Neurologic abnormalities may be encountered as a
flow of the posterior equatorial artery. When there are result of spinal cord compression from abscess, granulation
posterior element abnormalities, with or without involvement tissue or bone fragments, arrachnoiditis, ischemia of the cord
of the vertebral body, differentiation of infection from tumor resulting from endarteritis, or intramedullary granulomas.
may become difficult, particularly when there is also a relative Intramedullary involvement of the spinal cord is rare and
preservation of the disc space, one of the criteria for the affects typically young adults, although children and elderly
imaging diagnosis of neoplasm rather than infection. patients may also be affected26. Lesions may be encountered
in the spinal cord or brain or both27.
Extension of tuberculous spondylodiscitis to the
adjacent ligaments and soft tissue is frequent, varying in the
literature from 55% to 96% [9,10,11]. This extension usually occurs Tubercular Spinal Arrachnoiditis
antero-laterally; it is rarely observed posteriorly in the peridural
space18. The paravertebral masses are characterized by thick, Tuberculosis is an important potentially treatable
irregular enhancement on CT and MR19. In a significant series20 cause of spinal arrachnoiditis. It is frequently associated
the paraspinal masses had no distinguishing features on the with radiculomyelitis, which helps to distinguish it from
sequences used, and most of them were hypointense on T1- other causes of arrachnoiditis28. The meninges show variable
weighted images and hyperintense on T2-weighted images. degree of congestion, and the spinal cord and nerve roots are
Enhanced MR studies are especially useful for characterizing surrounded by gelatinous exudates and may be edematous.
tuberculous spondylitis21. Rim enhancement around A tuberculoma may be located anywhere within the thecal
intraosseous (Fig. 4B) and paraspinal soft tissue abscess (Fig. sac. It usually closely adheres to the inner aspect of the dura
4A) is more common than in other spinal infections12. By and may even dig a crater in the cord, making it difficult to
using gadolinium-DTPA has also been shown to be useful determine whether it is extramedullary or intramedullary 29.
in delineating communication between the vertebral and On Fig. 2A shows a small nodule (tuberculoma) intramedullary.
paravertebral components of tuberculous spondylitis. The size In the chronic stages, dibrin-covered roots stick to each other
of the paraspinal masses has been noted to be generally larger and to the thecal sac, forming dense collagen adhesions by
in tuberculosis than in pyogenic infection. proliferating fibrocytes. As shown on Fig. 6B, there is arachnoid
enhancement, and clumping of caudaequina.Although the
Collapse of partially destroyed vertebral bodies can lead case may occur as a primary event, more than 50% of the
to severe deformities, typically kyphosis or gibbous deformity cases are associated with meningitis or spondylitis28. The
clinical features of tubercular spinal arrachnoiditis include 3. Barnes PF, Bloch AB, Davidson PT, Snider DE Jr.
paraplegia, quadriplegia, pain, and other radicular symptoms Tu¬berculosis in patients with human immunodeficiency
depending on the site involved. Early diagnosis of these virus infection. N Engl J Med 1991;324:1644-50.
cases is extremely important because timely institution of 4. Rieder, H. L., D. E. Snider, Jr., and G. M. Cauthen.
proper medical treatment may ensure good recovery30. It is Extrapulmonary tuberculosis in the United States. Am.
usually based on clinical features, CSF analysis, evidence of Rev. Respir. Dis. 1990;141:347-51.
tuberculosis elsewhere in the body, especially meningitis, and 5. Butler JS, Shelly MJ, Timlin M, et al. Nontuberculous
characteristic imaging finding. CSF analysis usually reveals an pyogenic spinal infection in adult. A 12 year experience
elevated protein level, a reduced glucose level, and an increase from a tertiary referral center. Spine 2003; 31(23):2695-
in the number of cells, mainly lymphocytes. Acid-fast bacilli 700.
are rarely identified. A negative India ink study is necessary to 6. Chang MC,Wu HTW, Liu CL. Tuberculous spondylitis and
rule out cryptococcal infection. pyogenic spondylitis. Comparative magnetic resonance
imaging fetures. Spine 2006; 31:782-88.
A large published series31 showed the result of the 7. Williams RL, Fukui MB, Meltzer CC, et al. Fungal spinal
retrospective analysis of MR finding in tubercular spinal osteomyelitis in the immunocompromised patient: MR
arrachnoiditis. Eighty-six percent of the patients had finding in three case. AJNR Am J Neuroradiol 1999;20:381-
involvement of more than one spinal region, with the dorsal 5.
region most commonly involved. CSF showed increased 8. Resnick D, Niwayama G. Osteomyelitis, septic arthritis, and
signal intensity on T1-weighted images in 77% of the patients, soft tissue infection organism. In: Resnick D, Niwayama G,
leading to complete loss of cord-CSF interface in some of the eds. Diagnosis of bone and joint disorders, Vol. 4, 3rd ed.
cases and shaggy cord outline in others. There were areas of Philadelphia: WB Saunders, 1995:2448-558.
increased signal intensity on T2-weighted images in the spinal 9. LaBerge JM, Brant-Zawadzki M. Evaluation of Pott’s
cord in 82% of the patients. In 10% of the patients there was disease with computer tomography. Neuroradiology
evidence of cord cavitation. Other findings on unenhanced 1984;26:429-34.
images were CSF loculations, nodules in subarachnoid 10. Shivaram U, Wollschlager C, Khan F, et al. Spinal
space, and clumping of caudaequina nerve roots. Meningeal tuberculosis revisited. South Med J 1985;78:681-4.
enhancement was seen in 80% of patients and nerve root 11. Weaver P, Lifeso RM. The radiological diagnosis
enhancement in 30%. Cord enhancement was seen in 20% of of tuberculosis of the adult spine. Skeletal Radiol
patients, along the surface of the cord in half of the cases and 1984;12:178-86.
central in the other half. Associated findings were tubercular 12. Whelan MA, Schonfeld S, Post JD, et al. Computed
spondylitis, basal meningitis, and intracranial granulomas. tomography of nontuberculous spinal infection. J Comput
Assist Tomogr 1985;9:280-7.
13. Westermark N, Frossman G. The rontgen diagnosis of
SUMMARY tuberculous spondylitis. Acta Radiol 1938;19:207.
14. Sharif HS. Role of MR imaging in management of spinal
Dissemination of miliary tuberculosis as shown in this infection. AJR Am J Roentgenol 1992;158:1333-45.
case not only in pulmonary region but also through brain and 15. Modic MT, Feiglin DH, Piraino DW, et al. Vertebral
spine. Although anti tuberculosis treatment is effective for osteomyelitis: assessment using MR. Radiology
lung, as proven by the clarity from miliary nodules, TB process 1985;157:157-66.
is still exist in the brain and thoracal spine. Enhanced CT Scan 16. Bell D, Cockshot WP. Tuberculosis of the vertebral pedicles.
can show clearly tuberculoma as well as perifocal edema. MRI Radiology 1971; 99:43-8
can detect spondytic tuberculosis, paravertebral abscess, small 17. Sharif HS, Aideyan OA, Clark DC, et al. Brucellar and
nodule intramedullary, clumping caud equina, arrachnoiditis. tuberculous spondylitis: comparative and imaging
features. Radiology 1989;171:419-25.
18. Postachini F, Montanaro A. Tuberculous spinal granuloma
REFERENCES simulating a herniated lumbar disk: a report of a case. Clin
Orthop 1980;148: 182.
1. Rezai AR, Lee M, Cooper PR, Errico TJ, Koslow M. Modern 19. Whelan MA, Naidich DP, Post DJ, et al. Computed
management of spinal tuberculosis. Neurosur¬gery tomography of spinal tuberculosis. J Comput Assist
1995;36:87-97. Tomogr 1983;7:25-30.
2. Turgut M. Spinal tuberculosis (Pott’s disease): its clinical 20. Ergan M, Marco M, Benhamou CL, Septic arthritis of
presentation, surgical management, and out¬come. A lumbar facet joints: a review of six case. Rev Rhum Engl Ed
survey study on 694 patients. Neurosurg Rev 2001;24:8- 1997;64:186-395.
13. 21. deRoss A, van Persijn van Meerten EL, Bloem JL,
LAPORAN KASUS
Siti Fatima Azzahra1, Anita Ekowati2, Evi Artsini2, Ajeng Visca Icanervilia2
2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
A CASE REPORT
ABSTRACT
Lung abscess is defined as a localized area of necrosis of the pulmonary tissue and formation of cavities containing necrotic debris or fluid
caused by microbial infection. Computed tomography (CT) scan allows optimal characterization of the lesion and effective evacuation.
We reported a case of female patient, with chief complain of fever, recurring productive cough with blood, and shortness of breath that
worsened since a week before admitted to hospital. The patient had these symptoms since 4 years ago and admitted to several other hospitals
with similar problems. She denied any decreased of weight or nocturnal fever. In November 2016, we did a thorax CT scan and chest X-ray
that revealed multiple round thick-walled and irregular cavities in lower lobe of right lung, measured 13.7 x 9.5 x 11.7 cm, air fluid level in
each cavity, fluid component density is 9-15 HU with consolidation and caused deviation of cardiac position. Histopathology examination
found suppurative chronic inflammation without malignant cell. After a throughout evaluation, the patient was diagnosed with tuberculosis
infection and treated with anti tuberculosis drugs. In January 2017, a follow up thorax CT was done and revealed a decrease in size of lesion.
The main purpose of this report is to show that plain film and thorax CT are useful examinations in assessing lung cavities entity, such as lung
abscess. In this case, both CT and chest X-ray finding showed consistent results.
ABSTRAK
Abses paru didefinisikan sebagai area lokal dari jaringan paru yang mengalami nekrosis dan pembentukan kavitas yang berisi debris nekrotik
atau cairan yang disebabkan oleh infeksi mikroba. Pencitraan CT dapat memberikan gambaran karakterisasi yang optimal dan evakuasi yang
efektif terhadap lesi.
Kami melaporkan kasus seorang pasien wanita, dengan keluhan utama demam, batuk berdahak yang hilang timbul disertai darah, serta sesak
nafas yang memberat sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tersebut mengaku telah mengalami keluhan tersebut sejak empat
tahun yang lalu dan dirawat di beberapa rumah sakit dengan keluhan serupa. Pasien menyangkal adanya penurunan berat badan dan demam
di malam hari. Pada bulan November 2016, telah dilakukan pemindaian CT dan foto polos toraks yang menunjukkan kavitas berbentuk bulat
dan berdinding tebal serta iregular dengan jumlah yang banyak di lobus inferior paru kanan, dengan ukuran 13.7x9.5x11.7 cm, terdapat air-
fluid level di tiap kavitas, densitas komponen cairan adalah 9-15 HU dengan konsolidasi disekitarnya, yang menyebabkan deviasi dari posisi
LAPORAN KASUS
Kami melaporkan kasus seorang pasien wanita,
dengan keluhan utama demam, batuk berdahak yang hilang
timbul disertai darah, serta sesak nafas yang memberat
sejak seminggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien tersebut
mengaku telah mengalami keluhan-keluhan tersebut sejak 4
tahun lalu dan dirawat di beberapa rumah sakit lain dengan
keluhan serupa. Pasien menyangkal adanya penurunan berat Gambar 2. Pemindaian CT toraks awal dengan pemberian
badan dan demam di malam hari. kontras pada potongan aksial (A) dan koronal (B) yang
dilakukan terhadap pasien. Tampak kavitas multiple yang
Pada bulan November 2016, telah dilakukan berdinding tebal disertai air-fluid level.
pemindaian foto polos toraks (Gambar 1) dan CT toraks
(Gambar 2) yang menunjukkan kavitas berbentuk bulat dan
berdinding tebal serta irregular dengan jumlah yang banyak Pemeriksaan histopatologi menunjukkan hasil
di lobus inferior paru kanan, dengan ukuran 13.7x9.5x11.7 inflamasi suppuratif kronis tanpa ditemukannya sel ganas.
cm, terdapat air-fluid level di tiap kavitas, densitas komponen Kemudian dilakukan juga pemeriksaan untuk tuberkulosis
cairan adalah 9-15 HU dengan konsolidasi disekitarnya, yang dan infeksi lainnya, dimana didapatkan hasil positif untuk
menyebabkan deviasi dari posisi jantung. tuberkulosis dan kemudian pasien mendapatkan terapi OAT
sesuai dengan hasil kultur tersebut.
REFERENSI
2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Renal Artery Stenosis (RAS) is a narrowing of the diameter renal artery diameter by more than or equal to 50%. Renal Artery Stenosis (RAS) is
an important cause of secondary hypertension and progressive renal insufficiency. The narrowing of the renal artery lumen may be due to
various causes, with the most common causes are atherosclerosis and fibromuscular dysplasia (FMD).
Percutaneous Transluminal Renal Angioplasty (PTRA) is one of the alternative treatments for RAS performed by interventional radiologist. This
technique is done by inserting a small balloon in the area of the blocked renal artery. When the balloon is developed, the plaque from the fat
or blockage will be pressed towards the arterial wall and dilated blood vessel diameter so that it can increase blood flow to the heart.
Uncontrolled hypertension and FMD treated with PTRA have a success rate of 82-100%. The use of stenting improves effectiveness with
94-100% success rate. This method is less effective for atherosclerotic RAS, due to its severity of RAS lesion and its potential to cause arterial
dissection.
Compared with revascularization of the renal artery with surgery, PTRA is preferred because it is not invasive, has faster hospitalization and
lower complications. Therefore, PTRA is considered a treatment option that is quite effective in treating hypertension, especially in patients
with uncontrolled hypertension and fibromuscular dysplasia.
ABSTRAK
Stenosis Arteri Renalis (SAR) adalah suatu kondisi penyempitan dari arteri renalis penyempitan diameter lumen sejumlah lebih atau sama
dengan 50%.2 Stenosis Arteri Renalis (SAR) merupakan penyebab penting dari hipertensi sekunder dan insufisiensi renal yang progresif.
Penyempitan lumen arteri renalis dapat disebabkan berbagai hal, dengan penyebab utamanya adalah aterosklerosis atau fibromuscular
dysplasia (FMD).
Percutaneous Transluminal Renal Angioplasty (PTRA) adalah salah satu alternative penanganan SAR yang dilakukan dokter spesialis radiologi
intervensi. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan balon kecil pada daerah arteri renalis yang tersumbat. Ketika balon dikembangkan, plak
dari lemak atau sumbatan akan tertekan ke arah dinding arteri dan diameter pembuluh darah melebar (dilatasi) sehingga dapat meningkatkan
aliran darah ke jantung.
Hipertensi yang tidak terkontrol dan FMD yang diterapi dengan PTRA memiliki angka kesuksesan 82-100%. Penggunaan stenting meningkatkan
efektivitas dengan kesuksesan 94-100%. Metode ini kurang efektif untuk SAR aterosklerotik, dikarenakan kakunya lesi SAR serta potensinya
untuk menimbulkan diseksi arteri.
Dibandingkan revaskularisasi arteri renalis dengan bedah, PTRA adalah prosedur invasif minimal untuk memperbaiki aliran
lebih dipilih dikarenakan tidak invasif, rawat inap yang lebih cepat darah pada arteri dan vena. Angioplasti dapat digunakan
dan komplikasi yang lebih rendah. Oleh karena itu, PTRA dianggap untuk memperbaiki beberapa kondisi, di antaranya
sebagai pilihan terapi yang cukup efektif menangani hipertensi, penyempitan arteri besar karena aterosklerosis, fibromuscular
dysplasia (FMD), penyakit arteri perifer atau PAD (Peripheral
terutama pada pasien hipertensi tak terkontrol dan fibromuscular
Artery Disease), stenosis arteri karotis, coronary artery disease,
dysplasia.
penyempitan vena atau fistula dialysis atau graft, dan juga
untuk hipertensi vaskular ginjal.2,5
Kata kunci : Stenosis, Arteri Renalis, Angioplasti, Aterosklerosis,
Fibromuscular Dysplasia
Epidemiologi
arterial bed tapi biasanya mengenai arteri renalis dan arteri Diagnosis
carotis externa pada lebih dari 65% kasus.8,10
Pencitraan radiologi merupakan modalitas yang dipilih
untuk mengidentifikasi SAR, seperti Magnetic resonance
angiography (MRA), helical computed tomographic angiography
(CTA), Doppler ultrasonography, renal scintigraphy, invasive
angiography,merupakan pemeriksaan pencitraan radiologis
yang dapat dilakukan untuk mendeteksi SAR.3,12
Terapi
Gambar 2. Angiogram ginjal. (Gambar Kiri) Stenosis ostial arteri renalis kanan yang berat. (Gambar Kanan). Setelah prosedur PTRA dan
implantasi stent pada stenosis arteri renalis tersebut.11
Indikasi dan kontraindikasi PTRA angulasi arteri renalis, adanya fibromuscular dysplasia dan
ukuran ginjal dari pole superior ke pole inferior. Informasi
Indikasi untuk angioplasti pada fibromuscular disease tambahan yang berpengaruh adalah keberadaan aneurisma
menurut ACR dan SIR 2,15 (Treshold – 95%) adalah: (1) aorta abdominalis dengan atau tanpa mural thrombus,
Gambaran angiografi SAR yang signifikan secara hemodinamik, kalsifikasi aorta dan aterosklerosia arteri iliaca. Informasi
(2) Stenosis yang signifikan secara hemodinamik, di mana tambahan ini berpengaruh terhadap pilihan akses untuk
terdapat 10% mean pressure gradient pada SAR, atau 20 mmHg angiografi dan revaskularisasi, yaitu melalui radial, brachial
mean pressure gradient dengan stimulasi dopamine pada SAR. atau femoral.16
Indikasi dilakukan angioplasti dan stenting pada ASVD Pasien diharuskan puasa minimal 6 jam sebelum
(Atherosclerotic vascular disease) adalah: (1) Stenosis lebih prosedur, namun pasien diperbolehkan minum air putih
dari 50% diameter atau penyempitan lebih dari 75% pada sampai 2 jam sebelum tindakan. Pasien harus dicek tanda
cross sectional area, atau (2) Stenosis yang signifikan secara vital, laboratorium darah lengkap dan fungsi ginjalnya. Pasien
hemodinamik, dengan 10% mean pressure gradient pada juga harus dicek apakah memiliki alergi terhadap kontras.
SAR, atau 20 mmHg mean pressure gradient dengan stimulasi Untuk pasien yang merokok, tidak diperbolehkan merokok
dopamine pada SAR.2,15 dalam waktu 24 jam sebelum tindakan.17
Alat yang perlu digunakan untuk tindakan PTRA adalah jarum untuk puncture, introducer sheath, guide catheter, balon
angioplasti, dan stent. Guide wire akan memandu kateter melalui pembuluh darah, di mana bentuknya kaku dan mengatur
tempat di mana angiogram akan dilaksanakan. Guide wire yang digunakan pada angiografi selektif pasien dewasa biasanya
memiliki panjang 100-150 cm dengan diameter 0.014 inchi.18,19
Untuk memasukkan kateter, diperlukan jarum untuk puncture pembuluh darah arteri. Ukuran jarum yang biasa
digunakan adalah 18 G, 19 G, 20 G, dan 21 G untuk pasien dewasa. Jarum tersebut akan ditusukkan dengan teknik Seldinger
(Gambar 3).
Gambar 3. Teknik Seldinger untuk memasukkan catheter pada angiografi dan PTRA. 23
Teknik PTRA Tanpa dan Dengan Stenting Balon ditahan selama beberapa detik untuk memberikan
tekanan sirkumferensial pada segmen arteri renalis dan
Sebelum dilakukan tindakan PTRA, pasien disiapkan kemudian dikempeskan dan akhirnya ditarik kembali ke guide
dengan sterilisasi area yang akan dilakukan puncture, catheter.14
kemudian diberikan anestesi local berupa lidokain 1% atau
2% yang diberikan pada akses femoral. Kemudian dimasukkan Angiogram diambil setelah PTRA dan setelah balon
sheath arteri yang ditempatkan pada arteri femoralis, dan kateter diambil, untuk memastikan diameter lumen arteri
guide catheter dimasukkan pada 0.035 inchi guide wire renalis yang stenosis telah melebar > 50%. Setelah pelebaran
dengan panduan fluoroskopi. Setelah ujung dari guide arteri renalis, aliran darah ke aorta akan bertambah, dan perlu
catheter diposisikan pada ostium dari arteri renalis, dibuat dilihat apakah ada diseksi pada dinding vaskuler atau apakah
gambar angiogram. ada filling defect yang menunjukkan kemungkinan thrombus.
Aliran darah ke cabang dari arteri renalis harus baik, dengan
Setelah guide wire dilepas, ujung proksimal dari guide penyangatan parenkim yang baik.1
catheter dihubungkan dengan manifold, kontras water soluble
sebanyak lebih kurang 4-8 ml diinjeksikan secara manual saat Untuk teknik PTRA dengan pemasangan stent, stent
rekaman cineangiographic. Material antithrombotic intravena, dipasang dengan memberi tekanan negatif pada balon dan
biasanya heparin, diberikan sebelum ahli radiologi intervensi kemudian diinflasikan dengan menginjeksikan campuran
melakukan angioplasti.14 kontras dan saline melalui device inflasi. Stent diinflasikan
untuk beberapa detik pada tekanan 5-10 bars. Balon kemudian
Guide wire berukuran 0.018 inchi dimasukkan melalui dikempeskan dan ditarik sedangkan stent tetap pada lesi.
sheath 6 French pada stenosis renal. Masuknya guide wire dan (Gambar 4)
injeksi sedikit kontras dipantau dengan fluoroskopi. (Gambar
23) Sebuah balon berukuran 6x18 mm diposisikan pada lesi
melalui guide wire. Balon kemudian dikembangkan dengan
memberi tekanan positif sampai lebih kurang 4-8 atmosfer.
Evaluasi
Secara klinis, hipertensi renovaskuler atau ischemia Gambar 6. Diseksi aorta bagian distal setelah pemasangan stent
dari arteri renalis kiri.21
dianggap sembuh bila tekanan darah kembali di bawah
140/90 mmHg dan pasien tidak lagi meminum obat anti
hipertensi. Untuk insufisiensi renal, dikatakan sembuh bila
eGFR kembali pada tingkat normal. Sedangkan hasil tindakan Diskusi
dikatakan partial response jika terdapat pengurangan
tekanan darah sistolik atau diastolic 10 mmHg, atau tekanan Walaupun PTRA dianggap sebagai pilihan terapi untuk
darah tetap stabil bila obat anti hipertensi dikurangi setelah pasien dengan hipertensi tak terkontrol dan fibromuscular
dilakukan tindakan intervensi. Renal insufisiensi dikatakan dysplasia, metode ini kurang begitu efektif untuk pasien
mengalami partial response bila eGFR mengalami perbaikan dengan SAR aterosklerotik, dikarenakan kakunya lesi
atau stabilisasi.2,13 SAR serta potensinya untuk menimbulkan diseksi arteri.
Dibandingkan dengan fibromuscular dysplasia, pasien dengan
Tidak ada standar yang jelas untuk follow-up rutin SAR aterosklerotik memiliki angka survival yang lebih rendah
setelah pemasangan stent pada arteri renalis. Kebanyakan dan patensi pembuluh darahnya kurang baik. Pasien dengan
ahli radiologi intervensi menggunakan RADUS (Renal Artery SAR saja tanpa kelainan hipertensi dapat mendapatkan
Duplex Ultrasonography) untuk evaluasi. Menurut guideline keuntungan dari revaskularisasi untuk mencegah hilangnya
dari AU (Appropriate Use) untuk ultrasonografi vaskuler bagian ginjal yang berfungsi baik.
perifer menyarankan ultrasonografi dilakukan 1 bulan setelah
tindakan. PTRA konvensional (Percutaneus Transluminal Renal
Angioplasti) dianggap sebagai terapi pilihan untuk pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol dan FMD. Prosedur
Komplikasi ini sukses pada 82-100% pasien, dan stenosis kembali muncul
pada 10-11 % pasien. Metode ini kurang efektif untuk SAR
Komplikasi pada Percutaneus Renal Revascularization aterosklerotik, karena potensi untuk diseksi dan elastic
dibagi menjadi komplikasi mayor dan komplikasi minor. Pasien recoil pada lesi ostial, dengan insidensi restenosis 10-47%.
yang mengalami komplikasi mayor memerlukan penanganan Penggunaan stenting meningkatkan efektivitas dari teknik
di rumah sakit, peningkatan penanganan, bertambah lamanya endovaskuler dengan kesuksesan 94-100%, residual diameter
waktu rawat inap, sequele yang permanen sampai kematian. stenosis < 10%, dan angka terjadinya re-stenosis 11-23%
Komplikasi minor tidak menyebabkan sequele, komplikasi ini dalam jangka waktu 1 tahun. Dibandingkan dengan teknik
mungkin memerlukan rawat inap untuk observasi, biasanya 1 revaskularisasi arteri renalis dengan bedah, PTRA lebih dipilih
hari saja. dikarenakan tidak invasif, dengan lama rawat inap yang lebih
cepat dan tingkat komplikasi yang lebih rendah.2
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah hematoma
pada regio iliaca dan trauma pada tempat puncture, dengan Menurut Daloul dan Morrison (2016), terdapat
laporan sebanyak 3-5%. Selain itu, komplikasi mayor yang dua kriteria yang harus ditemukan sehingga kita dapat
paling banyak terjadi adalah perburukan dari fungsi ginjal merekomendasikan stenting endovascular pada pasien
(4%), oklusi pada arteri renalis (2-3%), infark segmental (1-2%), dengan SAR aterosklerosis. Kriteria pertama adalah adanya
kebutuhan untuk intervensi bedah seperti nefrektomi (2%) presentasi klinis yang disebabkan SAR aterosklerosis, yaitu
dan kematian (1%). 2,13 hpertensi maligna atau hipertensi akselerasi dengan atau
tanpa gagal ginjal akut pada pasien dengan tekanan darah
yang sebelumnya terkontrol. Keberadaan hipertensi maligna
ini kemungkinan besar disebabkan oleh iskemik ginjal akut
yang berat, yang mungkin disebabkan oleh diseksi arteri
renalis atau rupture plak. Selain itu perburukan akut pada
pasien yang sebelumnya tekanan darahnya stabil tanpa
ada penjelasan yang cukup, serta penurunan fungsi ginjal [Internet]. 2009;6(3):176–90. Available from: http://www.
yang cepat (penurunan eGFR (Glomerular Filtration Rate) > ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19234498
30% dalam waktu ≤ 3 bulan pada pasien yang sebelumnya 5. Granata A, Fiorini F, Andrulli S, Logias F, Gallieni M, Romano
mengalami penyakit ginjal dengan progresi lambat atau G, et al. Doppler ultrasound and renal artery stenosis: An
stabil, serta adanya flash pulmonary edema (FPE) rekuren overview. J Ultrasound. 2009;12(4):133–43.
(sindroma Pickering) pada pasien SAR aterosklerotik. Kriteria 6. Dubel GJ, Murphy TP. The role of percutaneous
kedua adalah lesi fungsional yang ditunjukkan dengan revascularization for renal artery stenosis. Vasc Med
ultrasonografi Doppler ginjal. Kedua kriteria ini dapat menjadi [Internet]. 2008;13(2):141–56. Available from: http://www.
acuan kapan dilakukan tindakan intervensi pada pasien ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18593803
dengan SAR aterosklerotik.21 7. Dubel GJ, Murphy TP. The role of percutaneous
revascularization for renal artery stenosis. Vasc Med
[Internet]. 2008;13(2):141–56. Available from: http://www.
KESIMPULAN ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18593803
8. Baumgartner I, Lerman LO. Renovascular hypertension:
Stenosis arteri renalis (SAR) sebagai penyakit Screening and modern management. Eur Heart J.
renovaskuler merupakan penyebab penting dari hipertensi 2011;32(13):1590–8.
sekunder dan insufisiensi renal yang progresif dengan etiologi 9. Cheuck L. Kidney Anatomy. [Internet]. 2013 Oct [cited
utamanya adalah aterosklerosis dan fibromuscular dysplasia. 2017 May 12]. Available from: http:// http://emedicine.
Secara garis besar, SAR dapat ditangani dengan dua metode, medscape.com/article/1948775-overview
yaitu terapi obat dan revaskularisasi arteri renalis.Terdapat 10. Olin JW, Gornik HL, Bacharach JM, Biller J, Fine LJ, Gray BH,
dua jenis teknik revaskularisasi arteri renalis, yaitu dengan et al. Fibromuscular dysplasia: State of the science and
metode bedah dan dengan metode radiologi intervensi. critical unanswered questions: A scientific statement from
Revaskularisasi renal dengan angioplasti sering juga disebut the American Heart Association. Vol. 129, Circulation.
conventional PTRA (Percutaneus Transluminal Renal Angioplasti) 2014. 1048-1078 p.
tanpa atau dengan stenting. 11. Lao D, Parasher PS, Cho KC, Yeghiazarians Y. Atherosclerotic
renal artery stenosis--diagnosis and treatment. Mayo
PTRA dianggap lebih baik dibandingkan dengan teknik Clin Proc [Internet]. 2011;86(7):649–57. Available
revaskularisasi arteri renalis dengan bedah untuk penanganan from: http://www.mayoclinicproceedings.org/article/
SAR. PTRA dianggap sebagai terapi pilihan untuk pasien S0025619611600700/fulltext
dengan hipertensi tak terkontrol dan fibromuscular dysplasia, 12. Safian R. Renal artery stenosis. Nejm. 2001;344(6):431–42.
namun kurang efektif untuk pasien dengan SAR aterosklerotik. 13. Granata A, Fiorini F, Andrulli S, Logias F, Gallieni M, Romano
Dikarenakan pentingnya tindakan PTRA sebagai salah satu G, et al. Doppler ultrasound and renal artery stenosis: An
terapi alternative SAR, seorang dokter radiologi sebaiknya overview. J Ultrasound. 2009;12(4):133–43.
memahami teknik PTRA sebagai salah satu tindakan radiologi 14. Singh VN. Renal Artery Angioplasti . [Internet]. 2016 Jun
intervensi. [cited 2017 May 17]. Available from: http://emedicine.
medscape.com/article/1817671-overview
15. Martin LG, Rundback JH, Wallace MJ, Cardella JF, Angle
DAFTAR PUSTAKA JF, Kundu S, et al. Quality Improvement Guidelines for
Angiography, Angioplasti, and Stent Placement for the
1. Kemenkes RI. Infodatin : Situasi Kesehatan Jantung. Pus Diagnosis and Treatment of Renal Artery Stenosis in Adults.
Data dan Inf Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2014;1–8. J Vasc Interv Radiol [Internet]. 2010;21(4):421–30. Available
Available from: http://www.depkes.go.id/download. from: http://dx.doi.org/10.1016/ j.jvir.2009.12.391
php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin- 16. Parikh SA, Shishehbor MH, Gray BH, White CJ, Jaff
jantung.pdf MR. SCAI expert consensus statement for renal artery
2. American College of Radiology. Acr – Sir Practice Guideline stenting appropriate use. Catheter Cardiovasc Interv.
for the Performance of Angiography , Angioplasti , and 2014;84(7):1163–71.
Stenting for the Diagnosis and Treatment of Renal Artery 17. University of Washington Medical Center. [Internet]. 2006
Stenosis in Adults. 2009;1076(Revised 2008):1–21. March [cited 2017 May 18]. Available from: http://www.
3. Vashist A, Heller EN, Brown EJ, Alhaddad IA. Renal artery uwmedicine.org/services/radiology/documents/Articles/
stenosis: A cardiovascular perspective. Am Heart J. Renal-Angiogram.pdf
2002;143(4):559–64. 18. Brant WE, Helms CA. 2007. Fundamentals of Diagnostic
4. White CJ, Olin JW. Diagnosis and management of Radiology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
atherosclerotic renal artery stenosis: improving patient 2007. P 672-3
selection and outcomes. Nat Clin Pract Cardiovasc Med 19. Freed R, Urdaneta A, Darflinger R, Vatakencherry G.
2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Urolithiasis is a common disease with a reported prevalence between 4% and 20% in the worldwide. Determination of urinary calculi
composition is a key factor in preoperative evaluation, treatment, and recurrence prevention. Dual-energy computed tomography (DECT)
is available methods for determining urinary stone composition were only available after stone extraction, and thereby unable to aid in
optimized stone management prior to intervention. DECT utilizes the attenuation difference produced by two different x-ray energy spectra
to quantify urinary calculi composition while still providing the information attained with a conventional CT. Knowledge of DECT imaging
pitfalls and stone mimics is important, as the added benefit of dual-energy analysis is the determination of stone composition, which in turn
affects all aspects of stone management.
This article describes DECT principles, scanner types and acquisition protocols for the evaluation of urinary calculi as they relate to imaging
pitfalls (inconsistent characterization of small stones, small DECT field of view, and mischaracterization from surrounding material) and stone
mimics (drainage devices) that may adversely impact clinical decisions.
Keywords: Dual-Energy Computed Tomography, Determination Of Urinary Stone Composition, Image Interpretation, Pitfalls, Stone Mimics
ABSTRAK
Urolitiasis merupakan penyakit yang umum dengan prevalensi yang dilaporkan antara 4% dan 20% di seluruh dunia. Penentuan komposisi
batu urin merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, pengobatan, dan pencegahan kekambuhan. Dual-Energy Computed Tomography
(DECT) merupakan metode yang tersedia untuk menentukan komposisi batu kemih hanya tersedia setelah ekstraksi batu, dengan demikian
tidak dapat membantu dalam mengoptimalkan penanganan batu sebelum dilakukan intervensi. DECT memanfaatkan perbedaan atenuasi
yang dihasilkan oleh dua spektrum energi sinar-x yang berbeda untuk menentukan komposisi batu urin walaupun tetap menyediakan
informasi yang diperoleh dengan CT konvensional. Pengetahuan pencitraan DECT akan pitfall dan material menyerupai batu ini penting,
sebagai manfaat tambahan pada analisis DECT adalah penentuan komposisi batu, yang pada gilirannya mempengaruhi semua aspek dalam
penanganan batu.
Artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu urin yang berkaitan dengan pitfall
pencitraan (karakterisasi yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari
bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis.
mineral atau batu dalam urin pada ginjal, ureter dan vesika
Kata Kunci: Dual-Energy Computed Tomography, Penentuan urinaria.15 Urolithiasis merupakan penyakit yang umum
Komposisi Batu Urin, Interpretasi gambar, Pitfall Pencitraan, Material ditemukan dengan morbiditas yang cukup signifikan dan
Menyerupai Batu Urin prevalensinya dilaporkan antara 3% dan 20% di seluruh dunia,
dengan risiko kekambuhan seumur hidup 50-70%. Prevalensi
puncak terjadi pada usia antara 30-60 tahun. Lebih sering
terjadi pada laki-laki sebesar 12% daripada wanita sebesar
PENDAHULUAN 12%. Epidemiologi urolitiasis berbeda menurut wilayah
geografis dalam hal prevalensi dan kejadian, distribusi umur
Urolithiasis merupakan penyakit yang umum dan jenis kelamin, komposisi batu dan lokasi batu. Perbedaan
ditemukan dengan morbiditas yang cukup signifikan dan tersebut telah dijelaskan dalam hal faktor ras, diet dan
prevalensinya dilaporkan antara 3% dan 20% di seluruh dunia, iklim. Selanjutnya perubahan kondisi sosio-ekonomi telah
dengan risiko kekambuhan seumur hidup 50-70%.1 Jenis batu menghasilkan perubahan dalam prevalensi, kejadian dan
yang paling umum adalah kalsium oksalat (monohidrat atau distribusi untuk usia, jenis kelamin dan jenis batu baik dari
dihidrat), kalsium fosfat (brushite atau apatit), asam urat, dan segi bentuk maupun komposisi fisik kimia dari batu saluran
lainnya dengan perkiraan prevalensi masing-masing 70, 20, kemih.1,16
8% dan 2%.2 Pengobatan batu yang mengakibatkan obstruksi
saluran kemih akut meliputi: hidrasi, manajemen rasa sakit, Secara umum faktor risiko terjadinya urolithisasi
dan mungkin penambahan terapi alpha-blocker dengan dibagi menjadi tiga yaitu faktor individual, saluran kemih
atau tanpa prosedur yang lebih invasif, seperti extracorporeal dan lingkungan. Faktor individual dibagi menjadi dua yaitu
shock wave lithotripsy (ESWL), percutaneous nephrolithotripsy faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan yang berhubungan
(PCNL), dan ureteroscopy.3 Batu asam urat diobati bukan dengan gaya hidup. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
dengan intervensi melainkan dengan terapi obat penghancur diantarannya riwayat keluarga penderita urolithiasis, etnik,
berupa alkalinisasi urin, peningkatan asupan cairan dan usia dan jenis kelamin, sedangkan faktor gaya hidup
xanthine oxidase inhibitor.4 Oleh karena itu, komposisi batu terdiri dari diet, dehidrasi, kelebihan berat badan, obesitas,
ginjal merupakan faktor kunci dalam evaluasi pra operasi, diabetes melitus dan hipertensi. Faktor sistem saluran kemih
pengobatan, dan pencegahan urolithiasis berulang.3 diantaranya kelainan anatomi dari saluran kemih seperti
horseshoe kidney, duplex collecting system. Sedangkan faktor
Dual-energi computed tomography (DECT) menjadi lingkungan diantaranya keadaan geografi, pekerjaan, iklim
metode pencitraan yang digunakan dalam evaluasi urolithiasis dan temperatur.1,16-19
karena kemampuannya yang unik untuk menentukan
komposisi batu baik sebagai asam urat atau non-asam urat Pembentukan batu adalah proses kompleks yang
tanpa peningkatan dosis radiasi yang signifikan.5-11 Sangat melibatkan nukleasi kristal, agregasi dan / atau nukleasi
mungkin DECT menggantikan single-energy computed sekunder, fiksasi di dalam ginjal, dan agregasi lebih dan
tomography (SECT) konvensional karena menyediakan nukleasi sekunder. Langkah-langkah ini dimodulasi oleh
informasi anatomi yang sama serta komposisi batu.12 Metode sejumlah konstituen batu yang muncul dalam cairan tubular,
lain yang tersedia saat ini dalam menganalisis komposisi batu konsentrasinya dipengaruhi oleh ekskresi air, pH cairan tubular
seperti x-ray diffraction, infrared spectroscopy dan polarization dan / atau urin, dan keseimbangan promotor dan inhibitor
microscopy hanya dapat dilakukan setelah batu diekstrak dari yang bukan komponen utama dari komposisi batu.20-22
tubuh, oleh karena itu tidak memberikan manfaat selama
perencanaan pengobatan pra operasi.13,14 Gejala Urolithiasis tergantung pada letak batu, tingkat
infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih, meskipun
Tujuan artikel ini menjelaskan prinsip-prinsip DECT, beberapa batu ginjal tidak menimbulkan gejala klinis. Gejala
jenis-jenis alat DECT dan protokol akuisisi untuk evaluasi batu klinis dapat berupa nyeri yang bersifat klasik yaitu nyeri kolik
urin yang berkaitan dengan pitfall pencitraan (karakterisasi akibat strangulasi batu dan nyeri kostovertebral, hematuria
yang tidak konsisten pada batu-batu yang kecil, field of akibat gesekan batu dengan ginjal maupun ureter dan
view DECT yang sempit, dan kesalahan karakterisasi dari gangguan miksi. Sedangkan gejala sistemik yang muncul
bahan sekitarnya) dan material menyerupai batu (perangkat dapat berupa demam jika berhubungan dengan infeksi, mual
drainase) mungkin berdampak negatif pada keputusan klinis. maupun muntah.2
Urolithiasis mengacu pada pembentukan deposit Batu saluran kemih dibagi berdasarkan komposisi
mineral yang terdiri dari kombinasi kristal (baik organik Modalitas Pencitraan Urolithiasis
maupun anorganik) dan protein.3 Komposisi batu
berhubungan dengan faktor penyebab pembentukan Pencitraan memainkan peran penting dalam
batu yang penting dalam penentuan proses etiologi dan menetapkan diagnosis, manajemen perencanaan dan
mencegah kambuhnya, serta menjadi dasar untuk keputusan melakukan intervensi, menilai efektivitas terapi dan untuk
diagniostik dan manajemen terapi.22,24 surveilans pasien urolithiasis.14 Pencitraan dapat memberikan
informasi yang akurat dalam evaluasi urolithiasis tentang
Batu berbasis kalsium termasuk kalsium oksalat jumah, ukuran, komposisi, lokasi secara anatomis, temuan
monohidrat, kalsium oksalat dihidrat dan kalsium fosfat adalah yang berhubungan dengan batu, kelainan anatomi yang
batu yang paling umum ditemukan dengan prevalensi 70% mungkin berhubungan dengan batu dan kelainan-kelainan
dari semua batu. Batu asam urat terjadi pada urin yang asam yang mungkin berhubungan dengan sistem genitalia dan
(pH <5,8) dengan keunikan dapat larut dengan alkalinisasi saluran kemih.25 Modalitas pencitraan yang digunakan dalam
urin dengan prevalensi 8% dari semua batu. Batu magnesium evaluasi urolithiasis termasuk foto polos abdomen, intravenous
amonium fosfat (struvite) biasanya terjadi pada urin yang pyelography (IVP), ultrasonografi, computed tomography (CT)
bersifat alkali dan berhubungan dengan infeksi ginjal dengan dan magnetic resonance imaging (MRI) yang dapat dilihat
prevalensi 20% dari semua batu. Batu sistin jarang terjadi pada Tabel 2.22
dengan prevalensi 2% dari semua batu yang berhubungan
dengan defek tubular ginjal. Karakteristik komposisi batu Tabel 2. Modalitas Pencitraan pada Evaluasi Urolithiasis22
dalam pencitraan radiografi, densitas pada CT Scan, fragilitas, Modalitas Kelebihan Kekurangan Pemanfaatan
dan faktor etiologi batu dapat dilihat pada Tabel 1.3,22 Pencitraan Pilihan
Foto Polos Dosis radiasi lebih Sensitivitas Pemantauan
Tabel 1. Karakteristik Komposisi Batu Urin dalam Pencitraan Radio- Abdomen rendah dibanding hanya 60%, batu pada
grafi, Densitas pada CT Scan, Fragilitas, dan Faktor Etiologi.3,22 CT, 90% batu ber- sumber nyeri pasien yang
Komposisi Gambaran Densitas Fragilitas Faktor sifat radioopak pasien mung- sudah diket-
Batu Radiografi CT Scan Etiologi kin bukan ahui memiliki
(HU) urolithiasis urolithiasis
Kalsium Radioopak 1700 - sedang - Penyakit IVP Menunjukkan Paparan agen Pada kasus
oksalat 2800 keras Metab- gambaran kontras, lama yang memer-
monohidrat olik anatomi dan pemeriksaan, lukan evaluasi
dan dihidrat system collecting agen kontras anatomi dan
ginjal dapat meng- system collect-
Kalsium Radioopak 1200 - sedang Bukan aburkan batu ing ginjal
Fosfat 1600 Penyakit
Metab- Ultrasono- Tanpa radiasi, Tergantung Pasien hamil
olik grafi sensitivitas me- operator, sulit atau anak dan
nengah untuk de- menilai ureter riwayat batu
Magnesium Radioopak 600 - 900 sedang infeksi teksi batu ginjal berulang
ammoni- (batu ginjak dan hidronefrosis
um fosfat staghorn)
(struvite) MRI Tanpa radiasi, Kesulitan Evaluasi
pencitraan efek memvisualis- temuan
Asam urat Radiolusen 200 - 450 lunak Hiperuri- sekunder dari asikan batu saluran kemih
semia urolithiasis dan selain urolith-
Sistin Radioopak 600 - 1100 sangat Sistinu- kelainan genitou- iasis seperti
keras ria, rinari lainnya, ter- striktur
Defek masuk keganasan
tubular CT Scan Menggambarkan Paparan radi- Investigasi
ginjal anatomi saluran asi terutama pencitraan lini
kemih dan non pada pasien pertama pada
genitourinaria; hamil atau orang dewasa
Penentuan komposisi batu sangat penting karena akuisisi dan anak dan dengan nyeri
pada batu asam urat dapat diobati dengan alkalinisasi urin interpretasi yang riwayat batu panggul
sebagai pengobatan lini pertama, bila tidak merespon dengan cepat; memfokus- berulang
kan anatomi yang
alkalinisasi urin baru dipertimbangkan penanganan secara
sesuai dengan
bedah, dan pada batu dari komposisi tertentu seperti batu prosedur terapi
sistin dan batu kalsium sangat sulit dipecah dengan ESWL.3
Foto polos abdomen menjadi pemeriksaan pilihan spesifisitas gabungan 95% pada pasien dengan urolitiasis.23,29
pertama dalam evaluasi onset akut nyeri panggul. Sekitar Keunggulan CT Scan dibanding teknik pencitraan lainnya
90% dari batu saluran kemih bersifat radioopak.22 Foto polos termasuk dapat dilakukan dengan cepat, tidak memerlukan
abdomen tidak dapat mendeteksi batu radiolusen dan pemberian bahan kontras, sangat sensitif untuk mendeteksi
tidak mudah membedakan antara plebolith dengan batu batu dari semua ukuran, dan memungkinkan deteksi
ureter.14 Sayangnya, foto polos abdomen hanya memiliki abnormalitas diluar sistem saluran kemih.3,30,31 CT Scan
sensitifitas 44-77% dan spesifisitas 80-87% dalam mendeteksi dapat mengukur densitas batu, mengevaluasi efek samping
urolitiasis.3,22,24 Foto polos abdomen lebih sering digunakan sekunder dari obstruksi, menggambarkan anatomi yang
untuk evaluasi batu pada pasien yang diketahui memiliki sesuai kebutuhan operasi, dan mendeteksi sumber nyeri yang
urolithiasis dengan tujuan untuk mengurangi paparan radiasi lain atau kelainan patologis lainnya.22
pasien dibandingkan dengan CT Scan.22,24,26
Kekurangan CT tanpa kontras adalah hilangnya
Intravenous pyelography (IVP) memiliki kelebihan dalam informasi tentang fungsi ginjal dan anatomi urinary collecting
hal gambaran anatomi ginjal dan dapat mengungkapkan system serta menggunakan radiasi pengion. Dosis efektif
adanya batu yang menyebabkan obstruksi. Dalam kasus rata-rata yang dilaporkan untuk CT urografi tanpa kontras
batu asam urat yang bersifat radiolusen, identifikasi defek dilaporkan 8,5 mSv untuk multi detector computed tomography
kontras pada urinary collecting system dapat membantu.22 (MDCT). Risiko radiasi dapat dikurangi dengan CT dosis radiasi
IVP memberi informasi penting tentang aspek fisiologis dan rendah.32 Tabung modulasi berbeda yang digunakan mesin
fungsional ginjal dan saluran kemih, termasuk lokasi, derajat yang lebih baru lebih universal, bisa membantu mengurangi
dan sifat obstruksi serta adanya atau tidak adanya berbagai dosis. Teknologi pengurangan noise yang lebih baru
kemungkinan anomali kongenital.14 Obstruksi urin dapat seperti rekonstruksi gambar berulang dapat memfasilitasi
menyebabkan keterlambatan yang signifikan dalam ekskresi pengurangan dosis tanpa mengurangi kualitas gambar.22
agen kontras, sehingga meningkatkan waktu pemeriksaan.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, penggunaan media Akurasi SECT dalam menentukan komposisi batu
kontras dapat dikontraindikasikan.22 dilaporkan sebesar 64-81% karena tidak ada nilai cut-off yang
pasti untuk membedakan berbagai jenis batu.14,33 Pada studi
Ultrasonografi sangat baik diaplikasikan pada pasien meta-analisis dilaporkan DECT memiliki sensitifitas 95% dan
anak, pasien hamil, atau pasien dengan serangan urolithiasis spesifisitas 98% dalam membedakan batu asam urat dan non-
berulang, karena tidak menggunakan radiasi pengion, asam urat, serta sensitifitas 99% dan spesifisitas 97% dalam
dapat dilakukan berulang dan tidak mahal.14,22,24,27 Selain itu, membedakan batu kalsium.34
ultrasonografi tidak tergantung pada komposisi batu, karena
hampir semua batu akan menunjukkan ekogenisitas dan MRI tidak dianggap sebagai modalitas diagnostik
bayangan yang sama. Ultrasonografi dapat mendeteksi batu pilihan yang valid dalam evaluasi urolithiasis, namun
sekecil 0,5 mm sebagai echogenik fokal dengan bayangan merupakan modalitas yang sangat baik untuk menggabarkan
di dalam saluran kemih. Untuk mengkonfirmasi visualisasi efek sekunder dari urolithiasis seperti infeksi atau obstruksi.
batu, ultrasonografi color doppler dapat digunakan untuk Batu seringkali tidak tervisualisasikan dengan baik pada MRI
menghasilkan artefak di daerah bayangan yang diharapkan dan akan muncul sebagai signal void pada sekuens T1 dan
pada ultrasonografi gray-scale.22 Ultrasonografi dapat T2. Defek pengisian yang tidak spesifik untuk batu, namun
menunjukkan efek sekunder dari batu, seperti obstruksi, dapat dibedakan dari neoplasma berdasarkan kurangnya
infeksi, atau pembentukan abses. Visualisasi langsung dari penyengatan kontras. Seperti ultrasonografi, MRI tidak
batu ureter sulit dilakukan dengan ultrasonografi karena gas menggunakan radiasi pengion dan bisa berdiri sendiri atau
usus di atasnya dan kedalaman ureter yang relatif di dalam dikombinasikan dengan foto polos abdomen dalam evaluasi
panggul. Visualisasi ultrasonografi mungkin lebih rumit pada pasien anak, hamil, atau yang dilakukan pencitraan secara
pasien obesitas dengan lemak yang tebal.14,22 Kelemahan serial.22,26
ultrasonografi diantaranya adalah sensitivitas 45% dan
spesifisitas 94% untuk mendeteksi batu ureter, dan sensitivitas
45% dan spesifisitas 88% untuk mendeteksi batu ginjal, selain Pilihan Terapi
itu ultrasonografi sangat tergantung operator.22,28
Keputusan terapi urolithiasis tergantung pada lokasi
CT Scan baik dengan kontras maupun tanpa kontras batu, ukuran batu, komposisi batu, dan gejala pasien.3,35
telah menjadi modalitas pilihan dalam evaluasi dugaan Sedangkan keberhasilan terapi dipengaruhi oleh tapi
urolitiasis dan telah menggantikan IVP karena terbukti lebih lokasi batu, ukuran batu, jumlah batu, riwayat urolithiasis,
akurat.3,22,24-27 Studi meta-analisis akurasi CT dosis radiasi hidronefrosis, kolik ginjal, dan stent ureter.36,37 Pada batu ginjal
rendah menunjukkan sensitivitas gabungan 97% dan pilihan terapi dapat berupa ESWL, ureteroscopy, atau PCNL
yang tergantung dari gejala dan ukuran batu.3 Sedangkan batu berbeda dapat memiliki nilai atenuasi yang sama, sedangkan
ureter, pengobatan prosedur intervensi urologis seringkali pada DECT dapat membedakan dua material dengan atenuasi
bergantung pada ukuran dan jenis batu. Pengobatan lini yang sama pada SECT dengan menganalisis perubahan
pertama adalah terapi obat ekspulsif (α-blockers atau calcium atenuasi pada masing-masing energi.38,41,42
channel blockers dengan atau tanpa obat antiinflamasi steroid
dan non-steroid), serta hidrasi dan analgetik.3 Berdasarkan Kemampuan DECT untuk membedakan dua material
komposisi batu, hanya batu asam urat yang dapat hancur tergantung dari karakteristik nilai rasio DECT masing-masing
dengan obat oral. Asam urat mudah larut dalam urin yang material. Rasio DECT didefinisikan sebagai rasio antara nilai
alkali dan bisa larut dengan sedikit perubahan pH urin. Metode atenuasi material pada gambar yang diberikan energi rendah
alkalinisasi ini meliputi terapi kalium sitrat atau sodium dibandingkan dengan nilai atenuasi material yang sama pada
bikarbonat oral. Bila terapi oral gagal ataupun menimbulkan gambar dengan energi tinggi.
gejala obstruksi, dapat dilanjutkan dengan terapi ESWL atau
ureteroscopy.3,25 Rasio DECT=(HU energi rendah)/(HU energi tinggi)
Dual-source DECT merupakan alat yang paling sering switching DECT), gambar campuran (dual-source DECT), atau
digunakan saat ini.14 Dual-source DECT memiliki dua tabung gambar konvensional (spectral detector). Selain itu, berbagai
sinar-x yang menghasilkan sinar-x energi rendah pada 70- rekonstruksi material-spesifik dapat diperoleh dengan
100 kVp dan energi tinggi pada 140 atau 150 kVp, dan dua menggunakan algoritma dekomposisi dua material (rapid-
rantai detektor yang menangkap spektrum energi rendah switching dan spectral detector) atau tiga material (dual-source
dan tinggi secara terpisah.38 Filtrasi tambahan sinar-x energi DECT). Dekomposisi material dapat dilakukan di ruang gambar
tinggi dengan menggunakan timah digunakan untuk setelah rekonstruksi gambar (dual-source DECT) atau di ruang
meningkatkan pemisahan spektral dari sinar-X berenergi proyeksi sebelum rekonstruksi gambar (rapid-switching dan
tinggi.46 Energi yang dikeluarkan dari tabung sinar-x energi spectral detector) dengan algoritma ruang proyeksi yang
rendah dapat bervariasi tergantung pada postur tubuh pasien memiliki keunggulan teoritis dalam dekomposisi material
untuk mencapai penetrasi yang lebih baik. Karena dua tabung dan memungkinkan koreksi koreksi data preprocessing untuk
sinar-x digunakan, arus tabung (mA) dapat dioptimalkan meminimalkan artefak dan meningkatan kualitas gambar.11,38,42
secara individual untuk setiap perolehan yang memungkinkan
penggunaan modulasi arus tabung otomatis. Tabung sinar-x
energi tinggi memiliki bidang pemindaian penuh dengan field Dosis Radiasi
of view (FOV) 50 cm, sedangkan tabung sinar-x energi rendah
memiliki bidang pemindaian yang lebih kecil yaitu 33 cm atau Dosis radiasi dari kebanyakan protokol DECT setara
35 cm. Karena pemindaian energi rendah dan tinggi diperoleh dengan SECT konvensional, walaupun dosis radiasi pada
pada waktu dan sudut yang sedikit berbeda, akan tampak DECT merupakan penjumlahan antara dosis radiasi energi
sedikit penundaan dalam registrasi sementara dan fase offset rendah dan tinggi.47 Kesetaraan ini dicapai melalui strategi
90 derajat dari data energi rendah dan tinggi.38,42 pengurangan dosis dan proteksi radiasi selama pemindaian
DECT, seperti sistem pelindung dengan penggunaan filter
timah pada energi tinggi (Sn140 kV), modulasi arus tabung
Rekonstruksi Gambar DECT otomatis, desain detektor yang baru yang dapat mengurangi
electronic noise, teknologi rekonstruksi gambar berulang,
Data dari energi tinggi dan rendah pada DECT dapat sehingga dapat membantu pengurangan dosis radiasi.11,14,48
diproses dengan berbagai cara. Data akan dikombinasikan Dosis radiasi rata-rata dalam pemeriksaan rutin untuk analisis
untuk membuat gambar yang memberikan nilai atenuasi komposisi batu dengan menggunakan teknik pemindaian
dan informasi struktural yang serupa dengan SECT. Gambar- dosis rendah didapatkan volume CT dose index (CTDIvol)
gambar ini disebut sebagai gambar ekivalen 120 kV (rapid- sebesar 8.3 mGy.14
Protokol Pencitraan DECT pada Batu Urin Karakterisasi komposisi batu ginjal pada DECT dengan
menggunakan algoritma dekomposisi tiga material yang
Pada pasien dengan dugaan urolithiasis digunakan membagi karakteristik material berdasarkan rasio atenuasi
protokol DECT untuk batu ginjal. DECT tanpa aplikasi kontras, menjadi 3 kelompok warna yang telah ditentukan. Kemudian
gambar dimulai dari diafragma bagian atas sampai ke simfisis dengan software post-processing dibuat gambar material
pubis. Pada pasien dengan jarak antara kedua ginjal <35 cm spesifik dengan diberi kode warna sesuai algoritma rasio
menggunakan energi rendah 80 kV dan energi tinggi 140 kV, atenuasi, masing-masing warna untuk tiap kelompok rasio
sedangkan pasien dengan jarak antara kedua ginjal >35 cm atenuasi. Voxel dengan rasio atenuasi yang serupa dengan
menggunakan energi rendah 100 kV dan energi tinggi 140 batu asam urat menunjukkan satu warna tertentu (umumnya
kV.49 berwarna merah) sedangkan material yang serupa dengan
non-asam urat menunjukkan warna yang berbeda (umumnya
Tabel 4. Protokol Dual Energy Computed Tomography untuk Batu berwarna biru), sedangkan voxels yang menunjukkan
Ginjal.49 karakteristik kepadatan yang linier pada kedua energi tetap
Parameter Value
berwarna abu-abu.14,49
DECT renal stone protocol
Scan type Helical
Rotation time (s) 0.5
Collimation (mm) 32 x 0.6
Pitch 0,7
Scan time (s) 16,26
Gambar 7. Pasien batu ginjal dengan BMI 47,7 kg/m2 dan diameter
cross-sectional 50 cm. (A) Batu pole bawah ginjal kiri (panah) terlihat
di tepi FOV pada analisis dual-energi (garis putus-putus). Akibatnya
ada bagian di sekitar voxel yang tidak cukup untuk dilakukan
analisis pada batu tersebut dan itu tidak ditandai pada gambaran
DECT (b) Gambar aksial DECT. Penyesuaian posisi pasien ke arah sisi
kontralateral akan memindahkan batu dalam FOV untuk dilakukan
analisis.49
Gambar 8. Pasien dengan batu non-asam urat (a) Gambar DECT awal dengan range pada 3 tampak kontras antara stent Boston Scientific
(merah) dan batu non-asam urat (biru) di ureter kanan. (b) Gambar DECT lanjutan dengan range pada 7 menyebabkan batu ditandai tidak
benar menjadi sama dengan material stent yang berdekatan (merah), yang menyebabkan keputusan pencabutan dini dari stent. (c) Gambar
setelah pencabutan stent menunjukkan biru batu non-asam urat (panah) masih ada.49
Pitfall pencitraan DECT yang terjadi karena kesalahan memilih kontras antara batu dengan stent ureter pada gambar
dua dimensi dapat diatasi dengan mengolah data pada berbagai pengaturan range dan dapat juga dinilai dengan rekontruksi
gambar tiga dimensi dengan menilai batu dengan stent dari sudut yang berbeda-beda tanpa melakukan pencitraan ulang pada
pasien.49,53
Gambar 9. Gambar rekonstruksi tiga dimensi DECT dari batu ginjal dan berbagai jenis stent ureter. Stent kiri dan kanan tampak merah dan
biru, sementara semua batu tampak biru karena komposisinya non-asam urat. Perbedaan warna stent dan batu pada ginjal kiri memungkinkan
visualisasi batu yang lebih baik (panah) daripada di ginjal kanan dimana stent dan batu memiliki warna yang sama. Efek kamulfase dapat
dihindari dengan menilai batu dengan stent dari sudut yang berbeda-beda pada gambar rekonstruksi tiga dimensi.53
Material yang menyerupai batu urin Dawson-Mueller drainage catheter dengan intro tip. (e) Rekonstruksi
Komposisi Percutaneous Nephrostomy Tube tiga dimensi secara in-vitro dari Cook Multipurpose Drainase Catheter
dengan radiopaque band (panah) ditandai berbeda dari bagian
Percutaneus nephrostomy tube berbeda dengan stent sisa kateter yang lainnya. (f ) Tampilan kasar dari Cook Multipurpose
Drainase Catheter dengan radiopaque band.49
ureter yang homogen, karena percutaneus nephrostomy
tube memiliki band radiopaque dan intro tips untuk menusuk
permukaan kulit. Bagian kateter ini mungkin termasuk bahan
yang berbeda dari bagian sisa kateter yang lainnya. Hasilnya,
kateter dapat ditandai sebagai biru dan band atau tip dapat
KESIMPULAN
ditandai sebagai merah, yang menyerupai gambaran batu
DECT merupakan modalitas pencitraan yang dapat
asam urat dalam pigtail coil.49 menentukan komposisi batu urin secara spesifik dengan
akurasi, sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi berdasarkan
karakteristik rasio DECT masing-masing batu urin tanpa
peningkatan dosis radiasi. Penentuan komposisi batu urin
sangat penting dalam pengambilan keputusan terapi dan
manajemen pasien.
DAFTAR PUSTAKA
tomography for the differentiation of uric acid stones: ex What the Radiologist Needs to Know About Urolithiasis:
vivo performance evaluation. Urol Res. 2008;36:133–8. Part 2—CT Findings, Reporting, and Treatment. AJR.
9. Primak AN, Fletcher JG, Vrtiska TJ, Dzyubak OP, Lieske JC, 2012;198:548–54.
Jackson ME, et al. Noninvasive Differentiation of Uric Acid 26. Villa L, Giusti G, Knoll T, Traxer O, Catto J. Imaging for Urinary
versus Non-Uric Acid Kidney Stones Using Dual-Energy Stones: Update in 2015. Eur Urol Focus. 2015;81:1–8.
CT. Acad Radiol. 2007;14(12):1441–7. 27. Mccarthy CJ, Baliyan V, Kordbacheh H, Sajjad Z, Sahani D,
10. Thomas C, Patschan O, Ketelsen D, Tsiflikas I, Brodoefel Kambadakone A. Radiology of renal stone disease. Int J
H, Kopp A, et al. Dual-energy CT for the characterization Surg. 2016;36:638–46.
of urinary calculi: In vitro and in vivo evaluation of a low- 28. Ray AA, Ghiculete D, Pace KT, Honey RJDA. Limitations to
dose scanning protocol. Eur Radiol. 2009;19:1553–9. Ultrasound in the Detection and Measurement of Urinary
11. Kaza RK, Ananthakrishnan L, Kambadakone A, Platt Tract Calculi. Urology. 2010;76(2):295–300.
JF. Update of Dual-Energy CT Applications in the 29. Niemann T, Kollmann T, Bongartz G. Diagnostic
Genitourinary Tract. AJR. 2017;208:1185–92. Performance of Low-Dose CT for the Detection of
12. Yu L, Primak AN, Liu X, Mccollough CH. Image quality Urolithiasis: A Meta-Analysis. AJR. 2008;191:396–401.
optimization and evaluation of linearly mixed images in 30. Heneghan JP, Mcguire KA, Leder RA, Delong DM,
dual-source, dual-energy CT. Med Phys. 2009;36(3):1019– Yoshizumi T, Nelson RC. Helical CT for Nephrolithiasis and
24. Ureterolithiasis: Comparison of Conventional and Reduced
13. Li X, Zhao R, Liu B, Yu Y. Determination of urinary stone Radiation-Dose Techniques. Radiology. 2003;229:575–80.
composition using dual-energy spectral CT: Initial in vitro 31. Zagoria RJ. Retrospective View of “ Diagnosis of Acute
analysis. Clin Radiol. 2013;68(2013):370–7. Flank Pain : Value of Unenhanced Helical CT .” AJR.
14. Rathore NS, Yadav S, Tu N, Wu G. Current Role of Dual- 2006;187:603–4.
Energy Computed Tomography in Predicting The 32. Katz SI, Saluja S, Brink JA, Forman HP. Radiation Dose
Chemical Composition of The Urinary Stones and Associated with Unenhanced CT for Suspected Renal
Radiation Concerns. EJPMR. 2017;4(5):510–7. Colic: Impact of Repetitive Studies. AJR. 2006;186:1120–4.
15. Hoppe B, Leumann E, Milliner DS. Urolithiasis and 33. Motley G, Dalrymple N, Keesling C, Fischer J, Harmon W.
Nephrocalcinosis in Childhood. In: Comprehensive Hounsfield unit density in the determination of urinary
Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. stone composition. Urology. 2001;58(2):170–3.
p. 499–525. 34. Zheng X, Liu Y, Li M, Wang Q, Song B. Dual-energy
16. Trinchieri A. Epidemiology of urolithiasis: an update. Clin computed tomography for characterizing urinary calcified
Cases Min Bone Metab. 2008;5(2):101–6. calculi and uric acid calculi : A meta-analysis. Eur J Radiol.
17. Shoag J, Tasian GE, Goldfarb DS, Eisner BH. The New 2016;85(10):1843–8.
Epidemiology of Nephrolithiasis. Adv Chronic Kidney Dis. 35. Preminger GM, Vieweg IJ, Leder RA, Nelson URC.
2015;22(4):273–8. Urolithiasis: Unenhanced Detection and Management
18. Piazza PFR, Bisi NGM, Ferrari GGG. Lithiasis and Risk with Spiral CT-A Urologic Perspective. Radiology.
Factors. Urol Int. 2007;79(suppl 1):8–15. 1998;207:308–9.
19. Trinchieri A, Cappoli S, Butti A, Esposito N, Acquati P. 36. Wang M, Shi Q, Wang X, Yang K, Yang R. Prediction of
Epidemiology of renal colic in a district general hospital. outcome of extracorporeal shock wave lithotripsy in the
Arch Ital Urol Androl. 2008;80(1):143–6. management of ureteric calculi. Urol Res. 2011;39:51–7.
20. Ratkalkar VN, Kleinman JG. Mechanisms of Stone 37. Gupta NP, Ansari MS, Kesarvani P, Kapoor A, Mukhopadhyay
Formation. Clin Rev Bone Min Metab. 2011;9(3–4):187–97. S. Role of computed tomography with no contrast
21. Evan AP. Physiopathology and etiology of stone formation medium enhancement in predicting the outcome of
in the kidney and the urinary tract. Pediatr Nephrol. extracorporeal shock wave lithotripsy for urinary calculi.
2010;25:831–41. BJU Int. 2005;95(9):1285–8.
22. Cheng PM, Dunn MD, Boswell WD, Duddalwar VA. What 38. Marin D, Boll DT, Mileto A, Nelson RC. State of the Art : Dual-
the Radiologist Needs to Know About Urolithiasis: Part 1— Energy CT of the Abdomen. Radiology. 2014;271(2):327–
Pathogenesis, Types, Assessment, and Variant Anatomy. 42.
AJR. 2012;(198):540–7. 39. Fletcher JG, Hartman R, Guimaraes L, Huprich JE, Hough
23. Tamm EP, Silverman PM, Shuman WP. Evaluation of the DM, Mccollough CH. Dual-Energy and Dual-Source CT:
Patient with Flank Pain and Possible Ureteral Calculus. Is There a Role in the Abdomen and Pelvis? Radiol Clin N
Radiology. 2003;228:319–29. Am. 2009;47:41–57.
24. Turk C, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Skolarikos A, Straub 40. Johnson TRC, Krauß B, Sedlmair M, Grasruck M, Reiser MF,
M, et al. EAU Guidelines on Diagnosis and Conservative Becker CR. Material differentiation by dual energy CT :
Management of Urolithiasis. Eur Urol. 2016;69:468–74. initial experience. Eur Radiol. 2007;17:1510–7.
25. Cheng PM, Moin P, Dunn MD, Boswell WD, Duddalwar VA. 41. Kaza RK, Platt JF, Cohan RH, Caoili EM, Al-Hawary MM,
2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Nasopharyngeal carcinoma (NPC) has different clinical, epidemiological, and histopathologic manifestations among squamous cell carcinoma
of the head and neck entities. Since the last decade, the prevalence of NPC has been significantly increasing especially in children. NPC in
children is closely related to Epstein-Barr virus infection and the most common histopathologic finding is the undifferentiated type. NPC
is radiosensitive and chemo sensitive, so the combination of these treatments gives good result. However, the result of chemo radiation
treatment depends on the staging of the tumor and the dose of the chemo radiation.
NPC treatment is given based on its staging. All steps of NPC patient management (diagnosing, staging, treatment, and follow-up) involve
radio imaging, this makes radiology plays an important role. This paper is presented to emphasize the importance of accuracy in diagnosing
and staging of NPC. To achieve 5-year survival rate, precise diagnosing and staging is required as a basis for therapy adjustment
ABSTRAK
Karsinoma Nasofaring adalah penyakit unik dengan manifestasi klinis, epidemiologis, dan histopatologis yang berbeda dari karsinoma sel
skuamosa kepala dan leher yang lain. Pada dekade terakhir, terdapat peningkatan yang signifikan kejadian KNF khususnya pada anak. KNF
pada anak berhubungan erat dengan infeksi virus Epstein-Barr dengan jenis undifferentiated menjadi temuan histopatologi yang paling
umum. KNF bersifat radiosensitif dan kemosensitif, sehingga kombinasi pengobatan kemoradiasi memberikan hasil yang baik, tetapi hal ini
tergantung pada staging tumor dan dosis kemoradiasi yang diberikan. Pengobatan KNF tergantung pada staging tumor dan dosis kemoradiasi
yang diberikan.
Terapi KNF diberikan berdasarkan staging KNF sehingga radiologi memiliki peran penting, karena semua langkah dari manajemen pasien
KNF, mulai dari diagnosis dan staging untuk pengobatan serta tindak lanjut, melibatkan pencitraan. Tujuan penulisan ini untuk menekankan
pentingnya akurasi dalam mendiagnosis dan staging KNF. Diagnosis dan staging yang lebih tepat menjadi dasar pengobatan yang adekuat
sehingga tingkat ketahanan hidup 5 tahun dapat tercapai.
EPIDEMIOLOGI
Protokol MRI rutin untuk massa nasofaring meliputi T1 Staging pada KNF sesuai dengan AJCC edisi ke 7,TNM
weighted images non kontras untuk mendeteksi keterlibatan staging system, bergantung pada evaluasi tumor primer
basis kranii dan fat plane (setidaknya dalam potongan aksial (kategori T), limfadenopati (kategori N), dan ada atau tidaknya
dan sagital). T2-weighted fast spin-echo potongan aksial suatu metastasis (Kategori M).12 Kategori T ditentukan oleh
digunakan untuk tambahan penilaian penyebaran awal hubungan tumor primer dengan struktur yang berdekatan.
tumor ke parapharyngeal, invasi sinus paranasal, efusi telinga Penyebaran mukosal tumor menunjukkan kecenderungan
tengah, dan deteksi limfonodi cervical. T1 weighted images menyebar ke arah superior ke basis cranii, bukan menyebar
dengan media kontras potongan aksial dan koronal (dengan ke inferior ke arah orofaring. Tumor sering menyebar
dan tanpa fat suppression) digunakan untuk mendeteksi batas lewat submukosal dan melalui bidang yang lebih rendah
tumor, termasuk penyebaran perineural dan perluasan tumor resistensinya dari fasia pharyngobasilar dan ke dalam ruang
ke intrakranial. Ketebalan tiap potongan adalah 3-5 mm3-7. leher bagian dalam.13
satu daerah yang paling umum dari penyebaran nodal dari 5. Guruprasad B et al. Paediatric nasopharyngeal carcinoma:
KNF dan telah dianggap tingkatan pertama penyebaran an 8-year study from a tertiary care cancer centre in
metastasis. Keterlibatan Nodus retropharyngeal sekarang South India. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013
diklasifikasikan sebagai kategori N1, baik unilateral atau Jul;65(Suppl 1):131-4.
bilateral 1. Nodal metastasis posterior menuju ke vena 6. Keiji T et al. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma.
jugularis di leher bagian atas adalah situs yang paling umum International Journal of Otolaryngology. 2011 : 1-6.
untuk nodal nonretropharyngeal dan ditetapkan sebagai 7. King A, Bhatia KS. Magnetic resonance imagingstaging of
high internal jugular nodus, meskipun pada situs ini, nodus nasopharyngeal carcinoma in the headand neck. World J
jugularis interna dan rantai nodus aksesorius spinal menyatu. Radiol. 2010; 2:159–165
Nodus biasanya menyebar secara berurutan ke leher bawah. 8. Chong VF, Ong CK. Nasopharyngeal carcinoma. Eur J
Nodus di daerah submandibula dan parotis atau periparotid Radiol. 2008; 66:437–447
jauh lebih umum pada diagnosis. Nodal metastasis sentral 9. Glastonbury C. Nasopharyngeal carcinoma: the role
pada fossa supraklavikula mempertinggi kejadian metastasis of magnetic resonance imaging in diagnosis, staging,
jauh 1. treatment, and follow-up. Top Magn ResonImaging. 2007;
18:225–235
KNF menunjukkan angka frekuensi yang tinggi 10. Dubrulle F, Souillard R, Hermans R. Extensionpatterns of
pada metastasis jauh (5-41%). Situs yang paling umum dari nasopharyngeal carcinoma. Eur Radiol. 2007; 17:2622–
metastasis meliputi tulang (20%), paru-paru (13%), dan 2630
hati (9%). Pasien dengan limfadenopati supraklavikula atau 11. Chin S, Fatterpekar G, Chen C, Som P. MR imaging of
ekstensi tumor ke parapharyngeal dan retropharyngeal diverse manifestations of nasopharyngeal carcinomas.
space secara signifikan memiliki risiko lebih tinggi terjadinya AJR. 2003; 180:1715–1722
metastasis jauh. PET/CT sensitif untuk mendeteksi deposit 12. Weber AL, al-Arayedh S, Rashid A. Nasopharynx:clinical,
metastasis pada tulang dan jaringan lunak8. Whole–body MRI pathologic, and radiologic assessment. Neuroimaging
menunjukkan kapasitas diagnostik mirip dengan FDG PET/CT Clin N Am. 2003; 13:465–483
dalam menilai status situs jauh pada pasien KNF yang tidak 13. Goh J, Lim K. Imaging of nasopharyngeal carcinoma. Ann
diobati; kombinasi interpretasi Whole–body MRI dan FDG Acad Med Singapore. 2009; 38:809–816
PET/CT tidak menunjukkan manfaat yang lebih baik secara 14. Ng S, Chan S, Yen T, et al. Pretreatment evaluationof
signifikan dibandingkan teknik tersebut dikerjakan tersendiri. distant-site status in patients with nasopharyngeal
carcinoma: accuracy of whole-body MRI at 3-Tesla and
FDG-PET-CT. Eur Radiol. 2009;19:2965–2976
KESIMPULAN 15. Fong D, Bhatia KS, Yeung D, King AD. Diagnosticaccuracy
of diffusion-weighted MR imaging for nasopharyngeal
Terapi KNF diberikan berdasarkan staging KNF dan carcinoma, head and neck lymphoma and squamous cell
radiologi memiliki peran penting karena semua langkah carcinoma at theprimary site. Oral Oncol. 2010; 46:603–
dari manajemen pasien KNF, mulai diagnosis, staging 606
untuk pengobatan dan tindak lanjutnya, melibatkan peran 16. King A, Yeung D, Ahuja A, Leung S, Tse G, vanHasselt A.
pencitraan. Mengingat kasus KNF pada anak-anak hadir In vivo proton MR spectroscopy of primary and nodal
dengan gejala lanjut, diagnosis dan staging harus diketahui nasopharyngeal carcinoma. AJNR 2004; 25:484–490
dengan cepat dan akurat, sehingga pengobatan yang bisa 17. King AD, Vlantis AC, Bhatia KS, et al. Primarynasopharyngeal
diberikan secara memadai dan baik tingkat ketahanan hidup carcinoma: diagnostic accuracyof mr imaging versus that
5 tahun dapat tercapai. of endoscopy and endoscopicbiopsy. Radiology. 2011;
258:531–537
18. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, Fritz AG,Greene FL, Trotti
A. American Joint Committeeon Cancer Staging Manual,
REFERENSI 7th ed. New York:Springer-Verlag, 2010:41–49
1. Ahmed A, Khalek AR, Ann K. MRI and CT of Nasopharyngeal
Carcinoma. Am J Roentgenol. 2012; 11-8.
2. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Draft acuan
panduan praktik klinis Kanker Nasofaring di Indonesia.
Indonesia: KNPK; 2015; 1.
3. Rolf M et al. Treatment of Nasopharyngeal Carcinoma in
Children and Adolescents. Cancer. 2005;104:1083–9.
4. TNM Classification of Malignant Tumours - 7 th ed. 2009;
13. Diambil dari http:// www.uicc.org.
2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) is the most common type (87%) of all pulmonary carcinomas. Staging in the TNM classification system
and Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) are constantly changing because of improvements.
We reported a case of 44 year old man with 6 months coughing and chest discomfort. The patient has been receiving OAT treatment for 1.5
months. Thoracic CT on May 11, 2016 showed a right pulmonary mass extending anteriorly to the thoracic wall with destruction of the sternal
body accompanied by right malignant pleural effusion, no enlargement of lymph nodes seen (T3N0M1a). Thoracic CT scan evaluation on April
28, 2017, a right pulmonary mass increases with extension to anterior mediastinum, pleura, soft tissue anterior to the sternal region and a
presence of skeletal metastasis in the second thoracic vertebrae (T4N0M1b). This result is classified as progressive disease according to RECIST
1.1. The anatomical pathology result of NSCLC are highly match to a type of adenocarcinoma, EGFR mutation test found mutations in Exon 21
Gene EGFR. Patients were treated with Iressa® (Gefitinib) tablets at a dose of once daily, with addition of cisplatin, and intravenous injection
etoposid.
CT scan can be used to determine tumor diagnosing and staging, evaluate tumor responses to therapy. Some studies shown the role of CT
Scan characteristics to predict the presence of EGFR gene mutations that can be utilized in the management of therapy.
ABSTRAK
Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) adalah jenis yang paling sering (87%) dari semua karsinoma paru. Penentuan stadium dalam sistem
klasifikasi TNM senantiasa berkembang dan Kriteria Evaluasi Respon pada Tumor Solid yang dikenal dengan RECIST (Response Evaluation
Criteria in Solid Tumors) terus mengalami perbaikan.
Kami laporkan seorang laki-laki umur 44 tahun, dengan keluhan batuk lebih kurang 6 bulan dan dada tidak nyaman. Pasien telah menjalani
pengobatan OAT selama 1,5 bulan. Dilakukan CT toraks 11 Mei 2016 dengan hasil adanya massa pulmo kanan yang meluas ke anterior hingga
dinding toraks dan mendestruksi korpus sterni, tak tampak adanya pembesaran limfonodi, disertai efusi maligna pleura kanan (T3N0M1a).
Dilakukan evaluasi CT scan toraks 28 April 2017, ukuran massa pulmo kanan bertambah dengan perluasan ke mediastinum anterior, pleura,
jaringan lunak di anterior regio sternum dan adanya metastasis mengkorelasikan penyakit dengan nilai prognostik dan
skeletal di korpus vertebra torakal 2 (T4N0M1b). Dibandingkan strategi pengobatan. Dengan mengenali gambaran radiologis
dengan CT scan toraks tanggal 11 Mei 2016 menurut RECIST 1.1 NSCLC, memahami kesesuaian stadium penyakit dengan
disimpulkan sebagai penyakit progresif. Hasil patologi anatomi sistem klasifikasi TNM, spesialis radiologi dapat memberikan
NSCLC sesuai dengan gambaran adenocarcinoma, tes mutasi EGFR kontribusi penting pengobatan pada pasien NSCLC.1
ditemukan mutasi di Exon 21 Gene EGFR. Pasien diterapi dengan
kemoterapi IRESSA® (Gefitinib) tablet dengan dosis 1 tablet perhari, Penilaian obyektif pada perubahan tumor adalah
Cisplatin, dan Etoposid injeksi intravena. penting untuk evaluasi respon tumor terhadap terapi. Kriteria
Evaluasi Respon pada Tumor Solid (RECIST) diperkenalkan
CT scan dapat menentukan diagnosis, staging dan mengevaluasi pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan ilmiah
respon terapi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakteristik internasional untuk membakukan dan menyederhanakan
CT Scan dapat memprediksi adanya mutasi EGFR sehingga dapat kriteria respon tumor. RECIST terus mengalami perbaikan
dimanfaatkan dalam penatalaksanaan terapi. dan spesialis radiologi sebaiknya mengikuti revisi terbaru dan
menerapkannya di institusi masing-masing. RECIST 1.1 adalah
Kata Kunci: NSCLC, CT-Scan, RECIST, mutasi EGFR versi yang terbaru yang diterapkan pada laporan kasus ini.6
Karsinoma paru adalah penyebab utama terjadinya Dilaporkan seorang laki-laki umur 44 tahun, dengan
kematian terkait kanker di Amerika Serikat, dengan tingkat pleuritik pain suspek massa paru kanan. Pasien mengeluhkan
kelangsungan hidup 5 tahun hanya 15%. Karsinoma paru batuk lebih kurang 6 bulan, dada tidak nyaman, tidak sesak
terbagi menjadi Small Cell Lung Carcinoma (SCLC) dan Non nafas dan tidak hemoptisis. Dinding dada terasa menonjol
Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC). Kanker paru mencapai yang semakin lama semakin jelas. Berat badan terus menurun
14% dari keseluruhan jenis kanker.1,2 meskipun nafsu makan masih baik. Badan terasa lemah. Tidak
pusing, mual atau muntah. Tidak ada riwayat kejang. Tidak ada
Pencitraan memainkan peran penting dalam penentuan benjolan di tempat lain selain dinding dada. Tidak ada riwayat
stadium pasien NSCLC. Terapi yang tepat bergantung pada patah tulang. Pasien telah menjalani pengobatan OAT selama
stadium yang akurat untuk menentukan pasien yang sesuai 1,5 bulan, tetapi karena tidak ada perbaikan, pengobatan
menjalani operasi dan atau kemoterapi maupun terapi radiasi. dihentikan dan pasien dirujuk ke RSUP Dr Sardjito.
Penderita NSCLC stadium dini memiliki harapan hidup yang
panjang dengan reseksi bedah, tetapi mayoritas pasien Pemeriksaan CT scan toraks tanggal 11 Mei 2016
apabila terdiagnosis NSCLC dengan stadium lanjut (III atau IV) (Gambar 1) tampak massa paru kanan yang meluas ke anterior
yang memiliki prognosis buruk berupa penyakit progresif.3,4,5 hingga dinding toraks dan mendestruksi korpus sterni,
limfonodi tak tampak adanya pembesaran, tampak juga efusi
Spesialis radiologi harus memahami rincian yang pleura maligna kanan (T3N0M1a sesuai Stadium IV menurut
ditetapkan dalam sistem klasifikasi TNM, yang dapat AJCC ed 7).
Gambar 1. NSCLC pemeriksaan awal. CT scan toraks potongan aksial (A), koronal (B) dan sagital (C) menunjukkan
massa paru kanan ukuran lk. 9 x 7,9 x 10,2 cm (> 7 cm) yang meluas ke anterior hingga dinding toraks dan mendestruksi
manubrium sterni (T3), tak tampak pembesaran limfonodi (N0), disertai efusi pleura maligna kanan (M1a).
Pasien dilakukan evaluasi CT scan toraks tanggal 28 April 2017 (Gambar 2) dengan pengantar klinis NSCLC. Massa
di paru kanan bertambah dengan perluasan ke mediastinum anterior, pleura, jaringan lunak di anterior regio sternum dan
mendestruksi os sternum disertai adanya metastasis skeletal di corpus vertebra torakal 2 (T4N0M1b sesuai stadium IV menurut
AJCC ed 7). Dibandingkan dengan CT scan toraks tanggal 11 Mei 2016 menurut RECIST 1.1 sesuai dengan penyakit progresif.
Gambar 2. NSCLC evaluasi. CT scan toraks menunjukkan massa paru kanan ukuran lk. 9,5 x 8 x 13 cm dengan perluasan ke
mediastinum anterior, pleura, jaringan lunak di anterior regio sternum dan mendestruksi os sternum (T4), tak tampak pembesaran
limfonodi (N0), disertai efusi pleura maligna kanan dan metastasis skeletal di korpus vertebra torakal 2 (M1b).
Pasien dilakukan biopsi pada tanggal 17 Mei 2016 nyeri sudah dirasakan dengan penilaian VAS 7 (skala 0-10).
dengan kesimpulan AJH massa paru didapatkan sel ganas, Pada pasien ini sudah terjadi penyebaran perkontinuitatum
pendapat spesialis patologi anatomi adalah NSCLC sangat yaitu adanya perluasan massa ke dinding dada depan yang
mungkin jenis adenokarsinoma. Beberapa penelitian dapat teraba pada pemeriksaan fisik. Tidak didapatkan adanya
menunjukkan bahwa karakteristik CT Scan dapat memprediksi sindroma vena cava superior yang biasanya ditandai dengan
adanya mutasi EGFR. Penderita adenokarsinoma paru dengan adanya pelebaran vena-vena dinding dada. Pasien juga belum
gambaran CT-Scan menunjukkan adanya pertumbuhan mengeluhkan adanya gejala dan tanda metastasis jauh pada
agresif diduga mengalami mutasi EGFR. Pada tanggal 7 Juni tulang, cerebral dan abdomen.
2016, dilakukan tes mutasi Epidermal Growth Factor Reseptor
(EGFR), dengan hasil ditemukan mutasi gen EGFR di Exon Hasil pemeriksaan EGFR ditemukan mutasi gen EGFR
21(C.2361 G>A). di Exon 21(C.2361 G>A). EGFR adalah reseptor sel-permukaan
yang memodulasi proliferasi seluler dan pertumbuhan
Tidak dilakukan operasi pada pasien. Pasien menjalani neoplastik melalui transduksi sinyal. Pemeriksaan ini sangat
kemoterapi Iressa (Gefitinib) tablet dengan dosis satu kali membantu dalam memprediksi kelangsungan hidup atau
perhari, Cisplatin, Etoposid injeksi intravena, MST continuous, respons terhadap pengobatan. EGFR positif (overexpression)
curcuma, sistenol, dan ondansetron. ditentukan dengan pewarnaan imunohistokimia berkaitan
dengan prognosis yang buruk pada NSCLC jika hanya
mendapatkan kemoterapi konvensional. Mutasi pada gen
PEMBAHASAN EGFR menyebabkan banyak kegagalan terapi konvensional,
akan tetapi cukup berhasil jika diobati dengan tirosin kinase
Pasien sebelumnya menjalani terapi OAT berdasarkan inhibitor seperti gefitinib dan erlotinib.7
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
sederhana, dan pemeriksaan radiografi toraks konvensional Penentuan stadium NSCLC merupakan faktor penting
tanpa pemeriksaan CT scan. Modalitas pencitraan dalam menentukan strategi pengobatan yang optimal
konvensional yang belum memadai dapat mengakibatkan meliputi operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Strategi ini
diagnosis yang tidak akurat, sehingga terapi yang diberikan bisa digunakan sendiri, bersamaan, sebagai adjuvan atau
tidak tepat yang mengakibatkan perkembangan penyakit dan neoadjuvant. Pada penyakit NSCLC pencitraan CT cukup
prognosis menjadi lebih buruk. membantu untuk tujuan ini, lebih baik lagi jika dikombinasikan
dengan pemeriksaan PET/CT. 3
Gejala klinis karsinoma paru sering tidak spesifik
sehingga tidak dapat diandalkan dalam menegakkan diagnosis Penentuan stadium NSCLC menggunakan sistem TNM
tanpa melibatkan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala edisi 7 (Gambar 3), sistem klasifikasi ini memperhitungkan
ukuran dan stadium invasi lokoregional lesi primer (T), ada atau tidaknya keterlibatan limfadenopati mediastinum atau
supraklavikular (N), dan ada atau tidak adanya metastasis intratoraks maupun metastasis jauh (M). Stasiun limfonodi terdiri dari
zona supraklavikular, paratrakea, paraaorta dan subaorta, subkarinal, paraesofageal, ligamen pulmonum, hilus, interlobaris,
lobaris, segmental, dan subsegmental.1,5,8,9,10
Gambar 3. Deskriptor stadium berdasar sistem TNM Karsinoma Paru edisi ke 7.1
Pada kasus ini ukuran awal tumor 9 x 7,9 x 10,2 cm lainnya tidak didapatkan adanya metastasis jauh sehingga
(> 7 cm), juga menginvasi dinding dada, tidak menginvasi sesuai dengan stadium M1a.
diafragma, pleura mediastinum, perikardium parietal, tidak
berada dalam bronkus primarius, tidak menyebabkan Penyakit stadium M1a meliputi efusi pleura maligna,
atelektasis, tidak tampak pneumonitis obstruktif, tak diseminasi pleura, penyakit perikardial, dan nodul paru di
tampak adanya nodul tumor terpisah pada lobus yang sama kontralateral. Gambaran metastasis ke pleura pada CT scan
sehingga sesuai dengan stadium T3. Tidak didapatkan adanya sebagai berikut: (1) efusi pleura masif dengan atau tanpa
keterlibatan metastasis limfonodi sehingga sesuai dengan penebalan pleura, (2) penebalan melingkar, (3) nodularitas
stadium N0. Salah satu keterbatasan CT scan adalah menilai fokal dan / atau difus pada pleura, (4) penebalan pleura
keterlibatan limfonodi, hal ini dapat ditingkatkan sensitivitas parietal> 1 cm, dan (5) penebalan pleura mediastinum.
dan spesifitasnya dengan pemeriksaan PET/CT.11 1,4,12
Stadium M didefinisikan dengan tidak adanya (M0) atau Sulit untuk memprediksi keterlibatan pleura pada CT,
keberadaan (M1) metastasis. Karena perbedaan prognosis, karena kedekatan neoplasma dengan permukaan pleura.
kategori M disubkategori menjadi metastasis intratoraks Temuan CT yang utama dengan nilai prediktif positif lebih
(M1a) dan metastasis ekstratoraks atau metastasis jauh (M1b), tinggi untuk mendeteksi keterlibatan pleura berkaitan
M1a memiliki prognosis yang lebih baik. Dengan tidak adanya dengan kerusakan tulang atau massa dinding toraks. Kriteria
gejala, nilai prediksi negatif biasanya 95% untuk metastasis morfologis CT scan lainnya, seperti (1) tingkat kontak massa
hepar, serebral, dan kelenjar adrenal, dan 90% untuk metatasis dan sudutnya dengan pleura dan (2) keberadaan bidang
skeletal. 1,5 lemak antara tumor dan dinding toraks, kurang membantu
dalam penilaian invasi dinding toraks.1,13
Pada kasus ini awalnya terjadi efusi pleura maligna
kanan, tidak tampak adanya nodul tumor terpisah di lobus Penyakit stadium M1b melibatkan penyebaran ke
kiri (kontralateral), maupun nodul pleura, yang menunjukkan hepar, kelenjar adrenal, serebral, skeletal, dan lokasi lainnya
adanya metastasis intratorakal, yang pada pemeriksaan yang jauh dari toraks. Hampir setengah dari karsinoma paru
yang baru didiagnosis sudah menunjukkan metastasis di Tabel 1. Evaluasi Lesi Target dan Non target dengan Response
dalam pulmo, serebral, hepar, kelenjar adrenal, dan struktur Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST), Versi 1.0.6
osseus. Setiap penyakit metastatik secara otomatis termasuk Penilaian Respon RECIST Guideline, Versi 1.0
penyakit stadium IV dan biasanya tidak dapat dioperasi.1,12,14
Evaluasi lesi target
Penilaian obyektif pada perubahan tumor adalah CR Hilangnya semua lesi target
penting untuk evaluasi respon tumor terhadap terapi, yang PR ≥ 30% penurunan jumlah diameter terpanjang
digunakan sebagai panduan saat ini adalah RECIST versi lesi target dibandingkan dengan garis dasar
1.1. Fitur utama meliputi ukuran minimum lesi terukur, lesi (ukuran lesi sebelumnya)
tidak terukur, lesi target, berapa banyak lesi yang diikuti, dan PD ≥ Peningkatan 20% dalam jumlah diameter
pengukuran satu dimensi untuk evaluasi keseluruhan beban terpanjang dari lesi target dibandingkan
tumor. 5,6,15 dengan jumlah terkecil diameter terpanjang
sebelumnya atau munculnya satu atau lebih
lesi baru
Lesi terukur harus memiliki diameter terpanjang
≥ 10 mm pada CT scan dengan ketebalan irisan ≤ 5 mm SD Bukan PR atau PD
(atau diameter terpanjang ≥ 20 mm CT nonhelical dengan Evaluasi lesi non target
ketebalan slice> 10 mm).6,16 Lesi tidak terukur meliputi lesi CR Hilangnya semua lesi non target dan
lain yang tidak memenuhi kriteria sebagai lesi terukur, seperti normalisasi tingkat tumor marker
lesi kecil dengan diameter <10 mm, metastasis skeletal tanpa Incomplete Persisten satu atau beberapa lesi non target dan
komponen jaringan lunak, asites, efusi pleura, penyebaran Respon, SD / atau tetapnya tingkat penanda tumor di atas
tumor limfangitik, penyakit leptomeningeal, penyakit batas normal
inflamasi mammae, lesi kistik atau nekrotik, lesi daerah PD Penampilan satu atau beberapa lesi baru dan /
iradiasi, dan massa perut yang tidak terkonfirmasi dengan atau perkembangan yang jelas lesi non target
pencitraan.6,16 yang ada
CR = respon lengkap, PR = respon parsial, PD = penyakit progresif,
Setelah mengidentifikasi lesi terukur dan tidak terukur, SD = penyakit stabil.
dipilih lesi target pada awal. Lesi target mencakup semua lesi
terukur dipilih berdasarkan ukuran diameter terpanjang dan
dapat dilakukan pengukuran berulang yang akurat. Jumlah Evaluasi respon tumor terhadap terapi pada kasus ini
diameter terpanjang untuk semua lesi target dicatat dan dilakukan setahun setelah pengobatan, diameter terpanjang
digunakan untuk tujuan penilaian respon tumor. Lesi non tumor bertambah > 20%, dan didapatkan lesi baru yaitu lesi
target mencakup semua lesi lainnya atau lokasi penyakit. sklerotik di corpus vertebra torakal 2 yang menunjukkan
Pengukuran lesi non target tidak diperlukan, tetapi ada atau adanya metastasis skeletal, sehingga sesuai dengan kategori
tidak adanya masing-masing lesi non target harus dicatat pada penyakit progresif.
pemeriksaan awal dan tindak lanjut. Jumlah lesi target yang
akan dinilai dua lokasi per organ dan maksimal keseluruhan Penyakit progresif untuk lesi target menurut RECIST
5 lesi target.6,16 1.1 membutuhkan peningkatan absolut 5 mm dari jumlah
diameter terpanjang dari lesi target selain peningkatan
Limfonodi dengan aksis pendek ≥ 15 mm diukur dan 20% dalam jumlah dari lesi target. Perubahan ukuran 5 mm
dinilai sebagai lesi target, dan pengukuran aksis pendek harus mutlak terutama penting dalam penilaian tindak lanjut pasien
dimasukkan dalam jumlah pengukuran lesi target dalam dengan penyakit volume kecil setelah mendapat respon
perhitungan respon tumor. Limfonodi dengan aksis pendek terapi karena peningkatan minimal ukuran karena variabilitas
<10 mm dianggap “tidak patologis”. Limfonodi patologis pengukuran bisa memenuhi kriteria kenaikan 20% RECIST 1.0
dengan aksis pendek ≥ 10 mm tapi <15 mm dianggap lesi tanpa peningkatan tumor yang sejati pada pasien. 6,16
non target.6,16
menggunakan sistem TNM edisi 7, spesialis radiologi CHEST J [Internet]. 2009;136(3):701–9. Available from:
sebaiknya mengikuti kriteria yang ditetapkan sehingga dapat http://dx.doi.org/10.1378/chest.08-2968
menentukan stadium yang akurat. 12. Kligerman S, Kligerman S, Abbott G. A Radiologic Review
of the New TNM Classification for Lung Cancer. Am J
Penilaian obyektif pada perubahan tumor adalah Radiol. 2010;194(March):562–73.
penting untuk evaluasi respon tumor terhadap terapi. 13. Pet I, Lee KS, Kim B, Kwon OJ. Non – Small Cell Lung
Penilaian ini menggunakan RECIST 1.1, penilaian respon tumor Cancer Staging : Efficacy Comparison of Integrated PET/
yang ditentukan dapat dijadikan panduan terapi selanjutnya. CT versus 3.0-T Whole Body MR Imaging. Radiol RSNA.
2008;248(2):632–42.
14. Colombi D, Di Lauro E, Silva M, Manna C, Rossi C, De Filippo
REFERENSI M, et al. Non-small cell lung cancer after surgery and
chemoradiotherapy: Follow-up and response assessment.
1. UyBico SJ, Carol Wu BC, Robert Suh BD, Nanette BH. Diagnostic Interv Radiol. 2013;19(6):447–56.
Lung Cancer Staging Essentials: The New TNM Staging 15. Eisenhauer EA, Therasse P, Bogaerts J, Schwartz LH,
System and Potential Imaging Pitfalls. RadioGraphics. Sargent D, Ford R, et al. New response evaluation criteria
2010;30(September-October):1163–81. in solid tumours : Revised RECIST guideline ( version 1 . 1 ).
2. Anonim. Key Statistics for Lung Cancer. Am Cancer Soc. Eur J Cancer [Internet]. 2008;45(2):228–47. Available from:
2017;5(January):1–3. http://dx.doi.org/10.1016/j.ejca.2008.10.026
3. Choe DH, Park SH, Park JH, Lee JC. CT findings in non-
small-cell lung cancer patients treated with gefitinib or
erlotinib. J Cancer Res Ther. 2012;8(2):247–54.
4. Knoepp UW, Ravenel JG. CT and PET imaging in non-small
cell lung cancer. Crit Rev Oncol Hematol. 2006;58(1):15–
30.
5. Ramaiya NH. Revised RECIST Guideline Version 1.1: What
Oncologists Want to Know and What Radiologists Need
to Know. Am J Roentgenol. 2011;195(August 2010):281–9.
6. Lee Y, Lee H-J, Kim YT, Kang CH, Goo JM, Park CM, et al.
Imaging Characteristics of Stage I Non-Small Cell Lung
Cancer on CT and FDG-PET: Relationship with Epidermal
Growth Factor Receptor Protein Expression Status and
Survival. Korean J Radiol [Internet]. 2013;14(2):375–83.
Available from: http://synapse.koreamed.org/DOIx.
php?id=10.3348/kjr.2013.14.2.375%5Cnhttp://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23483676%5Cnhttp://
w w w . p u b m e d c e n t r a l . n i h . g o v / a r t i c l e r e n d e r.
fcgi?artid=PMC3590355
7. Kligerman S, Digumarthy S. Staging of Non-Small Cell
Lung Cancer Using Integrated PET/CT. Am J Roentgenol.
2009;193(5):1203–11.
8. Munden RF, Swisher SS, Stevens CW, Stewart DJ. Imaging
of the Patient with Non – Small Cell Lung Cancer.
Radiology. 2005;237(3):803–18.
9. Chao F, Zhang H. PET/CT in the staging of the non-small-
cell lung cancer. J Biomed Biotechnol. 2012;2012.
10. Miziara JM, Rocha ET da, Miziara JEA, Garcia GF, Simões
MIP, Lopes MA, et al. Preoperative nodal staging of non-
small cell lung cancer using 99mTc-sestamibi spect/ct
imaging. Clinics [Internet]. 2011;66(11):1901–9. Available
from: http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_
arttext&pid=S1807-59322011001100009&lng=en&nrm=i
so&tlng=en
11. William WN, Lin HY, Lee JJ, Lippman SM, Roth JA, Kim ES.
Revisiting Stage IIIB and IV Non-Small Cell Lung Cancer.
2
Staf Pengajar Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
ABSTRACT
Scoliosis, a lateral curvature deformity of the spine with Cobb’s angle of 100 or more, is a common condition found in adolescent. Spinal
growth deterioration is higher in girls and patients with Cobb’s angle more than 250. Good comprehension of radiography technique, curve
measurement and classification is important for a radiologist in seeing that scoliosis has substantial shape of curvature. Good reporting will
help clinicians to choose appropriate management for each patient’s condition. Radiological examination plays major role in determining the
cause, as well as monitoring deformity progression.
ABSTRAK
Skoliosis yang memiliki definisi deformitas kurvatura lateral tulang belakang dengan sudut Cobb 100atau lebih, merupakan kasus yang
sangat umum ditemukan pada anak usia remaja Progresi perburukan lebih tinggi pada kelompok anak wanita dan pasien sudut Cobb yang
lebih dari 250.Karena banyaknya macam pola dari kurva skoliosis, pemahaman mengenai teknik pengambilan gambar, pengukuran kurva
dan klasifikasinya sangat penting diketahui seorang radiologis. Pelaporan yang baik akan membantu klinisi memilih tatalaksana yang sesuai
dengan keadaan pasien. Pemeriksaan radiologi memegang peranan penentuan penyebab, serta monitoring perubahan deformitas.
PENDAHULUAN
Skoliosis merupakan deformitas bentuk tulang belakang yang umum ditemui pada anak-anak dan remaja, dimana
80% dari kasusnya idiopatik.1-2 Insiden skoliosis sama pada laki-laki dan wanita, namun wanita memiliki resiko terjadinya
progresifitas 10 kali lebih besar daripada laki-laki.1,3 Saat ini pemeriksaan x-ray merupakan metode yang paling cost efficient
untuk mendiagnosa skoliosis disamping Computed Tomography (CT), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang juga
memainkan peran penting pada diagnosis, monitoring, dan tatalaksana.1-2
2. Pengukuran Sudut Cobb perturbasi dari keseimbangan yang menyertai progresi kurva
mayor dengan mereposisi kepala dan tubuh terhadap pelvis
Tingkat keparahan skoliosis dinilai dengan untuk menjaga keseimbangan.
menggunakan teknik yang diebut metode Cobb yang
menentukan magnitude kurva (derajat kurvatura) pada Karena perubahan pada morfologi vertebra (contoh :
radiograf coronal berdiri. Saat ini, sudut Cobb adalah metode wedging dan rotasi) kurva struktural tidak membaik dengan
pengukuran kurva spinal yang paling banyak digunakan dan ipsilateral bending. Sedangkan pada kurva non struktural,
paling akurat. 5,6 dapat terlihat membaik dengan adanya bending. Pembagian
antara kurva struktural dan non-struktural penting pada
Tarik garis pada endplate vertebra pada ujung pemilihan level fusi yang sesuai. Kurva struktural dapat
proksimal dan distal kurve, missal pada upper endplate pada didefinisikan sebagai kurva yang memiliki sudut Cobb lebih
ujung atas vertebra dan lowe endplate pada ujung bawah dari 250 atau lebih pada ipsilateral side bending.2
vertebra. Sudut yang dibentuk antara kedua garis inilah
yang disebut sudut Cobb (Gambar.4). The Scoliosis Reasearch
Society (SRS) mengidentifikasi skoliosis klinis jika ditemukan
kurve struktural lateral dengan sudut Cobb lebih besar dari 10
derajat.
Gambar 6. Cara menghitung keseimbangan sagittal, mengukur jarak antara plumb line di C7 dengan aspek posterosuperior
corpus vertebra S1. Sedangkan untuk keseimbangan coronal, diukur jarak antara plumb line C7 dengan central sacral
vertical line (CSVL)2,4
Grade 4 pada klasifikasi Risser, dapat dipertimbangkan sebagai pertanda selesainya pertumbuhan spinal dan perhentian
progresivitas kurve pada anak wanita. Beberapa berpendapat klasifikasi Risser kurang dapat digunakan pada anak laki laki
yang proses ossiffikasinya mulai pada usia yang lebih lanjut dari anak perempuan sehingga pada anak laki-laki pertumbuhan
dianggap komplit bila sudah mencapai Risser grade 5.
Gambar 8. Diagram yang menunjukkan gambaran anatomi pada grade maturitas skeletal yang terlihat seperti
yang didefinisikan oleh index Risser: grade 1: ossifikasi 25% lateral apofisis iliac; grade 2: ossifikasi 50% lateral
apofisis iliac; grade 3: ossifikasi 75% lateral apofisis iliac; grade 4: ossifikasi komplit sebelum terjadinya fusi; dan
grade 5, fusi komplit dari iliac apofisis. Index Risser grade 0 (tidak terlihatnya ossifikasi pada apofisis iliac) tidak
ditunjukkan pada diagram6
KLASIFIKSASI LENKE4,8-10
Pasien AIS mempunyai beragam pola kurva, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada prosedur bedah,
maka klasifikasi baru dan detail bermunculan. Sistem klasifikasi skoliosis penting untuk klinisi untuk menentukan tatalaksana
yang efektif, berikut penjelasan klasifikasi Lenke yang sering digunakan sebagai komunikasi dengan klinisi.
Klasifikasi Lenke membantu klinisi untuk menentukan regio spine yang tepat untuk dilakukan fusi, untuk menentukan
upper instrumented vertebra dan lower instrumented vertebra yang paling sesuai. 4,8