Anda di halaman 1dari 17

Penelitian

Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 79

Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an:


(Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an
atas Term al-Mala’)
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo
Email: musthofakamal82@gmail.com
Diterima redaksi tanggal 14 November 2015, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016

Abstract Abstrak
Elite society in the series of the Qur’anic Masyarakat elite dalam rangkaian kisah-
stories become interesting when those kisah al-Qur’an menjadi menarik ketika
stories contain educational mission and dikaitkan dengan penegasan al-Qur’an
enlightenment for mankind. The research bahwa kisah yang dimuatnya memiliki
misi pendidikan & pencerahan bagi umat
uses descriptive-qualitative method with manusia. Desain penelitian ini bersifat
literary anthropological approach. The deskriptif-kualitatif yang mengelaborasi
research focuses on how the implication sumber literer dengan pendekatan
of the attitude of elite society in the antropologi sastra. Penelitian ini
Qur'an. The research shows that the memfokuskan pada persoalan bagaimana
derivation of the word “al-mala'” (‫ )المال‬are implikasi dari model perilaku masyarakat
mentioned 30 times in the Qur'an and elite dalam al-Qur’an.Hasil penelitian
spread in twelve surah, in the form of menemukan bahwasanya konteks
ma'rifat” (gnosis) for 29 times and in the masyarakat elite termaktub dalam al-
Qur’an dalam derivasi kata al-mala’
form of “nakirah” for once only.
)ْ‫(المال‬yang disebutkan dalam al-Qur’an
Generally, the word “al-mala’” 'in the sebanyak 30 kali dan tersebar dalam 12
Qur'an refers to human, it is mentioned surat, dalam bentuk ma’rifat 29 kali dan
only two time that refers to angels namely nakirah 1 kali. Pada umumnya kata al-
in the Qur’an, chapter 37, verse 8 and mala’ dalam al-Qur’an merujuk pada
chapter 38, verse 69. The type of “al- manusia, hanya dua kali saja
mala'” can be divided into three, namely penyebutannya merujuk pada malaikat
propaganda against the apostle, who did yaitu pada QS.[37]:8 dan QS.[38]: 69.
not oppose the apostles preaching, and Tipologi al-mala’ ada tiga, yaitu yang
menentang dakwah rasul, tidak menentang
hypocrite. Term al-mala’ also has a
dakwah rasul& munafik.Kata al-mala’ juga
relationship with kubara’)‫ (كبراء‬and memiliki relasi dengan kubara’)‫ (كبراء‬and
syaazah )‫ (شاذة‬describing the social syaazah)‫(شاذة‬ yang menggambarkan
construction of the society. Some valuable konstruksi sosial masyarakatnya. Beberapa
lessons and implications of the research implikasi dari hasil elaborasi antropologis
results provide the urgency of the elite terhadap perilaku masyarakat elite dalam
society behavior (al-mala') in the story of kisah al-Qur’an adalah mengajarkan
the Qur’an in the order of civilization. It urgensi posisi elite dalam tatanan
shows the general trend of them, and the peradaban, menunjukkan kecenderungan
importance of elite cadres with the umum dari mereka & pentingnya
kaderisasi elite secara baik dengan
strengthening of theology and faith as they penguatan akidah dan keimananan karena
have a vital role in the progress and the memiliki peran vital bagi kemajuan &
collapse of a civilization. runtuhnya peradaban.
Keywordd: al-mala’, behavior, civilization, Kata kunci: al-mala’, perilaku, peradaban,
kubara’, story, elite society. kubara’, kisah, masyarakat elite.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1


80 Muhamad Ali Mustofa Kamal

Pendahuluan Tiga status pertama sudah dikenal


Kajian al-Qur’an yang diperkaya dengan sangat baik dan kisah kisahnya
dengan aspek antropologi merupakan mendapat perhatian cukup signifikan
sebuah upaya mencari setitik hidayah dari para ilmuwan sehingga karya-karya
dari lautan al-Qur’an yang tak bertepi tentang mereka sangat banyak. Nabi> dan
(Djuned, 2011:1). Dalam khazanah ilmu rasu>l adalah status tertinggi dalam
al-Qur’a>n, kisah al-Qur’an didefinisikan konteks agama wahyu. Mereka
dengan berita-berita tentang para nabi merupakan orang-orang pilihan yang
dan umat terdahulu serta peristiwa- mengemban tugas menyampaikan
peristiwa yang terkait dengan mereka agama Allah kepada umat manusia
yang mengandung pelajaran bagi umat (QS.[3]:33). Malik biasa diartikan dengan
manusia berikutnya (Hadi Ma’rifah, ‘raja’. Ia merujuk pada status tertinggi
2009: 418-419). Kisah al-Qur’an secara dalam sistem kekuasaan (al-Asfahani, tt:
tipologis berbeda dengan kisah dalam 492-493). Status yang terakhir yaitu mala’
konteks susastera, baik dari segi tema biasa diartikan dengan ‘para pemuka
maupun cara penyajiannya (Sayyid dan pemimpin’. Status ini mengacu pada
Qutb, 2004: 143). Kisah-kisah al-Qur’an para pemimpin, pemuka, dan tokoh
umumnya tidak utuh dan runtut serta masyarakat yang menempati posisi dan
terpenggal-penggal bertebaran di sela- berperan penting dalam tata sosial (Ibnu
sela ayat. Antara bagian awal, tengah, Manzur, tt: 4252). Semua status itu
dan akhir kisah terpisah-pisah. Sebagian mengindikasikan beberapa posisi dan
penggalan kisah disebutkan secara peranan penting dalam tata sosial
berulang-ulang. Selain itu unsur waktu masing-masing. Menurut sumber The
dan tempat sering tidak disebutkan. Dan Grolier Encyclopedia of Knowledge (tt:
karakter fisik tokoh-tokoh kisah bukan 6), Status-status tadi dalam istilah
menjadi perhatian. Al-Qur’an lebih fokus sosiologi dikenal dengan istilah ‘elite’,
pada kepribadian, motivasi-motivasi, yaitu individu-individu atau kelompok-
dan perilaku-perilakunya (Naqrah, 1974: kelompok dalam suatu masyarakat yang
348, 360). Kisah-kisah al-Qur’an terdiri memerankan kekuasaan, memiliki
dari tiga unsur utama pembentuknya, superioritas, atau kekayaan, atau status
yaitu tokoh (syakhs}), peritiwa (al-h}adas}), dan prestise yang tinggi. Merekalah yang
dan dialog (h}iwa>r) (Naqrah, 1974: 348). mengisi lembaran-lembaran catatan
Dalam unsur tokoh pada umumnya sejarah sehingga dalam antropologi
kisah al-Qur’an tidak terlepas dari dikenal ungkapan ‘sejarah adalah
individu-individu tertentu yang menjadi kuburan elite’ (Bottomore, 2006: 1). Maka
tokoh utama dan memiliki peran yang dapat dipahami jika semua unsur-unsur
signifikan dalam peristiwa yang elite juga menjadi dominan dalam
diceritakan. Jika dilihat dari segi status pembicaraan kisah-kisah al-Qur’an.
dari tokoh-tokoh tersebut ditemukan tiga Mengkaji kisah al-Qur’an dengan
status yang sangat menonjol, yaitu fokus pada sosok elite yang berperan
agamawan, penguasa, dan hartawan. dalam kisah-kisahnya menjadi menarik
Hal itu ditunjukan dengan penggunaan ketika dikaitkan dengan penegasan al-
istilah nabi>, rasu>l, malik, dan mala’. Qur’an bahwa kisah yang dimuatnya
memiliki misi pendidikan dan

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 81

pencerahan bagi umat manusia (QS.[7]: studi tafsir ada indikasi penyederhanaan
175; [11]: 111). Kaum elit bisa berperan atau simplikasi dalam memaknai al-mala’
positif dan bisa pula berperan negatif oleh beberapa mufassir baik yang klasik
dalam konteks peradaban. Ketika maupun modern. Penelitian ini
mengambil peran positif, kaum elit memfokuskan pada sebuah pertanyaan
menjadi penentu kemajuan peradaban penelitian antropologis, yaitu:
suatu masyarakat. Sebaliknya, ketika Bagaimana implikasi dari model
peran negatif menjadi pilihan, mereka perilaku masyarakat elite dalam al-
pula yang menghancurkan suatu Qur’an? Untuk menyelesaikan persoalan
peradaban (Keller, 1984: 1). Dengan kata tersebut, peneliti menggunakan metode
lain kaum elit bisa menjadi berkah dan antropologi sastra (Endraswara, 2013: 3-
anugrah bagi masyarakat dan bisa pula 4). Pada desain antropologi ini,
menjadi biang bencana bagi mereka dinisbatkan pada al-Qur’an sebagai kitab
sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah sastra, yaitu dilakukan dengan melihat
kejatuhan dan kemajuan bangsa-bangsa aspek budaya manusia dan masyarakat
di dunia. Dengan demikian, kajian kisah pada teks al-Qur’an sebagai kelompok
elit dalam al-Qur’an akan memberi variabel yang berinteraksi yang
wawasan bagaimana dan sejauh mana kemudian memberikan gambaran
peran kaum elit terhadap peradaban cerminan kehidupan masyarakat
masyarakat, dan bagaimana pula al- pendukungnya. Data-data ayat-ayat al-
Qur’an menyoroti perilaku mereka Qur’an dikategorisasikan menjadi
sehingga menyebabkannya layak paparan data etnografi (Endraswara,
menjadi pelajaran bagi umat manusia. 2013: 60). Pada tahap akhir dilakukan
analisis isi (content analysis) untuk
Dari tiga status elite yang dominan
menemukan aneka ragam kehidupan
dalam kisah al-Qur’an sebagaimana
manusia dari sisi pandang budayanya,
dijelaskan tadi, penelitian ini akan
dalam konteks penelitian ini adalah
membahas pada salah satu term saja
ragam masyarakat elite dan implikasinya
yaitu al-mala’. Ada beberapa alasan
pada tatanan kehidupan bermasyarakat.
pengkhususan tersebut. Pertama, al-mala’
dipandang sangat relevan dengan
problem sosial yang sering berulang Hasil dan Pembahasan
dalam sejarah yaitu mengenai peran dan
Pengertian dan Konsep Masyarakat Elite
moralitas elite. Kedua, term itu muncul
dalam Perspektif al-Qur’an
dalam konteks struktur sosial yang luas
dalam kisah-kisah al-Qur’an. Terutama Istilah ‘elite’ berasal dari bahasa
dalam kaitannya dengan misi reformasi Latin ‘eligere’ yang berarti memilih. Pada
para nabi dan rasul. Ketiga, term tersebut mulanya istilah itu berarti bagian yang
belum mendapatkan perhatian yang menjadi pilihan atau bunga dari barang-
signifikan dalam kajian kisah al-Qur’an barang yang ditawarkan untuk dijual.
Makna ini menunjukkan bahwa
dibanding dengan kisah nabi dan rasul,
penggunaan istilah ‘elite’ pertama kali
dan kisah penguasa. Di samping itu
adalah untuk merujuk objek-objek yang
semua secara lebih khusus dilihat dari
bernilai pilihan. Penggunaannya

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1


82 Muhamad Ali Mustofa Kamal

kemudian meluas tidak saja merujuk kalimat. Istilah ‘elite’ diartikan dengan
pada barang-barang berkualitas, tapi makna pertama ketika ia merupakan
juga merujuk pada bagian yang menjadi kata sifat seperti dalam kata sekolah elite,
pilihan atau bunga suatu bangsa, budaya, perumahan elite, dan sebagainya.
kelompok usia, dan orang-orang yang Sedangkan istilah ‘elite’ diartikan
menduduki posisi sosial yang tinggi dengan makna kedua ketika ia
(Keller, 1984:33). Senada dengan merupakan kata benda. Kedua makna
penjelasan di atas, T.B. Bottomore itu dan penggunaannya sama-sama
menyebutkan asal usulnya secara lebih lazim dalam komunikasi baik lisan
rinci. Menurutnya istilah ‘elite’ merujuk maupun tulis, dan juga sama-sama
pada dua makna. Pertama, elite diartikan tercatat dalam kamus. Maka tidak tepat
dengan barang-barang yang berkualitas apa yang dikatakan TB. Bottomore
tinggi, dan yang kedua elite diartikan bahwa hanya makna yang kedualah
dengan kelompok-kelompok sosial yang yang kemudian tercatat dalam kamus.
unggul. Makna yang pertama telah Makna elite yang berkaitan dengan studi
digunakan sejak abad ketujuh belas. Dan ini adalah makna yang kedua, yaitu
makna yang kedua merupakan kelompok sosial yang unggul atau pilihan
perluasan makna yang pertama dan yang menempati posisi sosial. yang tinggi.
menjadi makna resmi yang tercatat Makna ini masih belum cukup memberi
dalam kamus- kamus bahasa. Awal kejelasan mengenai sisi-sisi keunggulan
penggunaannya dalam bahasa Inggris dan posisi sosial yang dimaksud.
menurut Oxford English Dictionary adalah
Berdasarkan pengertian-pengertian
pada tahun 1823 ketika kata itu telah
di atas, ada beberapa catatan penting
diterapkan untuk kelompok-kelompok
mengenai konsep elite. Pertama, elite
sosial. Namun perkembangan
merupakan bagian kecil atau minoritas
selanjutnya menunjukkan bahwa istilah
dibanding keseluruhan anggota
itu baru digunakan secara luas dalam
masyarakat. Artinya hanya sebagian
tulisan-tulisan sosial dan politik pada
kecil saja dari anggota masyarakat yang
akhir abad kesembilan belas di Eropa,
unggul atau menjadi pilihan dan
atau pada tahun 1930-an di Inggris dan
menempati posisi sosial yang tinggi.
Amerika, ketika kata itu disebarkan
Kedua, keunggulan elite dapat dipilah
melalui teori-teori sosiologi tentang elite,
dalam tiga hal, yaitu unggul dalam
terutama dalam tulisan Vilfredo Pareto
kualitas pribadi, atau dalam posisi sosial,
(Bottomore, 2006: 1). Berdasarkan
dan atau dalam prestise. Masing-masing
informasi tersebut istilah ‘elite’ dalam
sisi keunggulan tersebut bisa dipilah lagi
konteks bahasa merujuk pada dua
menjadi dua, yaitu ada yang bedasarkan
makna. Pertama, elite berarti barang-
keturunan atau warisan dan ada pula
barang pilihan atau barang-barang yang
yang berdasarkan capaian atau upaya
berkualitas tinggi, dan kedua, elite berarti
pribadi. Ketiga, terlepas dari
kelompok sosial yang unggul atau pilihan
pertimbangan bentuk-bentuk atau
yang menempati posisi sosial yang tinggi.
macam-macam keunggulan di atas,
Penggunaan masing-masing keunggulan elite juga dapat ditandai
makna tersebut dapat dibedakan dengan dalam tiga sisi, yakni sisi ekonomi atau
melihat jenis katanya dalam konteks kekayaan, sisi politis atau kekuasaan,

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 83

dan sisi ilmu pengetahuan atau meraih posisi dan prestise yang tinggi dalam
intelektual. Jadi ada elite ekonomi yaitu masyarakat tersebut.
orang-orang terkaya, ada elite politik
Timbulnya fenomena elite dapat
yaitu orang-orang yang paling berkuasa,
diterangkan dengan dua teori, yaitu teori
dan ada elite intelektual yaitu orang-
stratifikasi sosial dan teori struktur
orang yang paling terdidik. Keempat,
sosial. Keduanya merupakan prinsip
keunggulan-keunggulan tadi bersifat
universal yang berlaku dalam konteks
relatif sesuai pandangan masyarakat
kehidupan sosial di mana pun dan
tertentu. Artinya keunggulan itu bisa
kapan pun. Yang pertama dicetuskan
jadi tidak dianggap suatu keunggulan
oleh Pareto bahwa fenomena elite
berdasarkan sudut pandang masyarakat
merupakan implikasi dari
atau pihak lain. Ini menjadi indikasi
ketidaksetaraan kualitas individu dalam
bahwa konseptualisasi yang diusung
setiap lingkup kehidupan sosial. Setiap
bahasa merupakan perekaman dari
manusia memiliki perbedaan kadar
konvensi-konvensi sosial atau
kemampuan yang menentukan
masyarakat terhadap suatu istilah yang
fungsinya dalam kehidupan sosial.
memungkinkan relatifitas makna sesuai
Orang-orang yang memiliki kemampuan
konteks tertentu dan juga
tertinggi di bidangnya itulah yang
memungkinkan perbedaan-perbedaan
disebut elite. Berdasarkan ini dan dalam
dengan pihak lain yang memiliki
rangka keseimbangan sosial menurut
konteks tertentu pula. Pada gilirannya
Pareto masyarakat dapat dibagi dua
konseptualisasi tersebut akan bersifat
lapisan: 1) lapisan nonelite atau
umum dan lebih merupakan penjelasan
masyarakat umum, dan 2) lapisan elite,
mengenai apa yang terjadi, bukan
yang dibagi menjadi dua lagi: a) elite
mengenai apa yang seharusnya. Konsep
yang memerintah; b) elite yang tidak
elite dalam konteks bahasa, seperti
memerintah (Bottomore, 2006 :2-3).
penjelasan di atas, lebih fokus pada
Adapun yang kedua yaitu teori struktur
kualifikasi elite dan implikasinya. Ia
sosial dicetuskan oleh Gaetano Mosca
memberi kesan bahwa ketika beberapa
bahwa dalam semua masyarakat, dari
individu mencapai kualifikasi unggul
yang paling terbelakang hingga yang
baik secara bawaan maupun capaian,
paling maju, selalu muncul dua kelas
dan baik secara ekonomi, politik, dan
manusia yaitu kelas yang berkuasa dan
intelektual, maka mereka akan mencapi
kelas yang dikuasai, atau yang
posisi sosial yang tinggi dan
memimpin dan yang dipimpin. Pihak
mendapatkan prestise atau
yang memimpin atau berkuasa
penghormatan dari masyarakatnya. Jadi
jumlahnya selalu lebih sedikit,
dengan merujuk konsepsi bahasa,
menjalankan fungsi politik, dan
pengertian elite dapat disimpulkan
menikmati keistimewaan-keistimewaan
sebagai berikut: bagian kecil dari suatu
yang diberikan oleh kekuasaan.
masyarakat yang memiliki atau dianggap
Sedangkan pihak yang dipimpin
memiliki kualifikasi berkualitas atau unggul,
jumlahnya lebih banyak, diperintah dan
baik secara bawaan maupun capaian, dan
dikendalikan oleh pihak yang pertama.
baik secara ekonomi, politik, maupun
Pihak yang pertama mencapai
intelektual, yang menyebabkan mereka
kekuasaan disebabkan mereka

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1


84 Muhamad Ali Mustofa Kamal

terorganisir dan terdiri dari individu- Yu>suf (12): 43; QS. Al-Mu’minu>n (23): 24,
individu yang unggul yang biasanya 33, 46; QS. Al-Syu‘ara>’ (26): 34; QS. Al-
memiliki atribut yang nyata yang sangat Naml (27): 29,32, 38; QS. Al-Qas}as} (28):
dihargai dan berpengaruh dalam 20, 32, 38; QS. Al-S}a>ffa>t (37): 8; QS. S}a>d
masyarakat di mana mereka hidup (38): 6, 69; QS. Al-Zukhru>f (43): 46. Fakta
(Bottomore, 2006: 4-5). Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa pembicaraan al-
skema konseptual Pareto dan Mosca Qur’an tentang al-mala’ hampir
mencakup gagasan umum berikut: 1) semuanya diungkapkan pada periode
dalam setiap masyarakat ada, dan harus Makkah dan hanya sekali saja
ada, suatu minoritas yang menguasai diungkapkan pada periode Madinah.
anggota masyarakat yang lain; 2) Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa
minoritas ini terdiri dari orang- orang keterikatan pembicaraan tentang al-mala’
yang menduduki jabatan-jabatan dalam kisah al-Qur’an dengan konteks
komando politik dan mereka yang secara historis kenabian Rasulullah SAW di
langsung mempengaruhi keputusan- Makkah lebih dominan dari pada
keputusan politik. pembicaraannya dalam konteks historis
kenabian di Madinah. Atau dengan kata
Dalam al-Qur’an, konteks
lain kontak umat Islam dengan
masyarakat elite termaktub dalam
kelompok al-mala’ lebih intensif terjadi di
derivasi kata al-mala’ )ْ‫ (المال‬yang
Makkah dari pada di Madinah.
disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak
tiga puluh kali dan tersebar dalam dua Term al-mala’ relatif disepakati
belas surat. Kata al-mala’ diungkapkan ulama dalam pemaknaannya. Term itu
al-Qur’an dalam bentuk ma’rifat dan diartikan dengan ‘para pemimpin dan
nakirah. Yang ma’rifah terbagi dua, 21 tokoh dalam suatu masyarakat’.
kali diungkapkan dengan memakai alif Perbedaan mengemuka dalam
la>m )ْ‫ (المال‬dan 8 kali dengan id}a>fah kepada menentukan asal-usul atau akar kata dari
d}ami>r atau kata ganti )‫ ملئهم‬, ‫ ملئه‬, ‫(مأله‬. term tersebut, dan dalam menentukan
Adapun dalam bentuk nakirah )ْ‫(مال‬ korelasi makna antara akar kata dan
hanya diungkapkan sekali saja. Kata al- makna yang disepakati tadi. Namun,
mala’ juga disebutkan al-Qur’an dalam pada gilirannya justru perbedaan itu
bentuk kata kerja baik bentuk mud}a>ri‘ memperkaya dan memperjelas
maupun ma>d}i> seperti )‫ إمتألت‬, ‫ ملئت‬, ‫(ألمألن‬. pemahaman terhadap konsep term
Bentuk lain yang juga ditemukan adalah tersebut. Ada dua pendapat mengenai
bentuk ism al-fa>‘il seperti )‫ (ملئون‬dan kata dasar al-mala’. Pendapat pertama
bentuk mas}dar seperti )‫(ملئ‬. Dari tiga mengatakan bahwa istilah al-mala’
puluh kali pengungkapannya, hanya berasal dari kata dasar mala’a yang
sekali saja terdapat dalam surat makna dasarnya menurut Ibnu Fa>ris
madaniah, dan selebihnya terdapat menunjukkan makna ‘kesetaraan dan
dalam surat makiah. Surat madaniyah kesempurnaan’ (al-musa>wah wa al-kama>l)
yang dimaksud adalah surat al-Baqarah (Ibnu Faris, 1979: 346). Kata dasar mala’a
ayat 246. Adapun kata al-mala’ dalam berarti ‘memenuhi’. Dalam memahami
surat-surat makiyah adalah sebagai kaitan antara makna ‘memenuhi’ dengan
berikut: QS. Al-A‘ra>f (7): 60, 66, 75, 88, 90, makna dasar ‘kesetaraan dan
103, 109,127; QS. Hu>d (11): 27, 38, 97; QS. kesempurnaan’ yang diungkapkan oleh

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 85

Ibnu Fa>ris tadi dapat ditelusuri dalam beriman kepada Al Quran ini dan tidak
penggunaanya. Dalam Asa>s al-Bala>gah (pula) kepada kitab yang sebelumnya".
Al-Zamakhsyari> memberi contoh dengan dan (alangkah hebatnya) kalau kamu
kalimat mala’tu al-wi‘a>’ wa (saya Lihat ketika orang-orang yang zalim itu
memenuhi sebuah wadah) (Zamakhsyari, dihadapkan kepada Tuhannya,
1998: 223). Artinya materi yang sebahagian dari mereka menghadap kan
dimasukkan pada wadah itu sudah Perkataan kepada sebagian yang lain;
dalam posisi setara dengan kapasitas orang-orang yang dianggap lemah
maksimal atau sempurna dari wadah berkata kepada orang-orang yang
tersebut. Makna ini menuntut menyombongkan diri: "Kalau tidaklah
terwujudnya dua hal, yaitu materi yang karena kamu tentulah Kami menjadi
memenuhi dan media yang dipenuhi. orang-orang yang beriman".
Jika materinya berupa air dan medianya
32. orang-orang yang menyombongkan
adalah gelas, maka makna ‘memenuhi’
diri berkata kepada orang-orang yang
baru bisa diterapkan ketika air setara
dianggap lemah: "Kamikah yang telah
dengan batas maksimal daya tampung
menghalangi kamu dari petunjuk
gelas. Pada saat itu baik gelas sebagai
sesudah petunjuk itu datang kepadamu?
media maupun air sebagai materi berada
(Tidak), sebenarnya kamu sendirilah
dalam kadar atau kapasitas sempurna.
orang-orang yang berdosa".
Kata al-Mala’ yang bersanding
33. dan orang-orang yang dianggap
dengan konteks kubara’ )‫(كبراء‬,
lemah berkata kepada orang-orang yang
sebagaimana disebutkan pada sejumlah
menyombongkan diri: "(Tidak)
ayat al-Qur’an, seperti firman Allah pada
sebenarnya tipu daya(mu) di waktu
surat Saba’ ayat 31-33:
malam dan siang (yang menghalangi
       kami), ketika kamu menyeru Kami
supaya Kami kafir kepada Allah dan
         menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya".
       kedua belah pihak menyatakan
penyesalan tatkala mereka melihat azab.
      dan Kami pasang belenggu di leher
       orang-orang yang kafir. mereka tidak
dibalas melainkan dengan apa yang
      telah mereka kerjakan.( QS. Saba’: ayat
     
    31-33).

       Penjelasan konteks kubara’ )‫(كبراء‬
dan dhu’afa’ )‫ (ضعفاء‬ini disinggung pada
         banyak ayat al-Qur’an lain, seperti QS.
        Al-A’raf ayat: 40, 75, 76, 88, 133; QS.
Yunus ayat: 75, Ibrahim: 21, al-
          Mukminun ayat: 46, al-Ankabut ayat: 39,
   Ghafir ayat: 47, 48, 15, 38). Ayat-ayat
diatas menggambarkan konteks elite
Artinya: 31. dan orang-orang kafir sebagai seorang pemerintah atau
berkata: "Kami sekali-kali tidak akan pemimpin pada kaumnya. Konotasi
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1
86 Muhamad Ali Mustofa Kamal

penggunaan Kubara’ disini lebih Orang-orang yang dimaksud


mengedepankan fenomana dhu’afa’ dengan konteks “man asyaddu” adalah
(kaum lemah) yang bisa dimaknai juga yang menonjolkan materinya dan
masyakarat kecil (wong cilik) sebagai kekuatannya. Dalam persoalan dengan
relasi hubungan sosial kemasyarakatan. kepemimpinan/pemerintahan, “man
Munculnya komunitas elite pada suatu asyaddu” ini adalah komunitas yang
wilayah menunjukkan adanya kapitalistik. Yang muka memamerkan
komunitas lemah (wong cilik) pada dan menyombongkan (kubara’) harta
komunitas tersebut. Al-Qur’an dan sisi materialistiknya. Penyebutkan
mengeskplorasi karakter Kubara’ ini syaadzah di ayat lain, disinggung juga
dengan tipologi orang-orang yang pada QS.Thoha ayat: 71, 127; Qof ayat:
materialistik, yang suka menyombong- 36; Zukhruf ayat: 8, Ghofir ayat: 21, 46,
kan harta kekayaannya dan mengagung- 82. Konteks pemaknaan syaazah dan
agungkan jabatan kekuasaan-nya yang kubara’ pada ayat-ayat al-Qur’an
sebagian menindas masyarakat lemah, menggambarkan fenomena sosiologis
pada persoalan theologis terjadi gesekan dan antropologis pada masyarakat yang
keimanan yang kebanyakan golongan mengindikasikan tipologi elite dan
yang masih ingkar pada ajaran Rasul. penguasa yang masih menjadikan
Pada dimensi yang lain, redaksi Kubara’ kekuasaan dan harta pada ranah
ini juga memiliki relasi makna dengan kapitalistik yang menumbuhkan celah
syaadzah )‫ (شاذة‬yang disebytkan oleh al- pembatas dan konfilik horizontal antara
Qur’an dengan redaksi asyaddu )‫(أشد‬ elite dan penguasa. Namun perlu dicatat
yang bermakna kuat. Sebagaimana pada bahwasanya elite pada konteks kubara’
ayat Fushilat ayat 15: dan syaazah ini adalah seperti logam
mata uang yang saling melengkapi dua
        sisinya. Kubara’ sebagai elite tinggi
(borjuis) sedangkan syaazah sebagai elite
          kuat.

        Dalam al-Qur’an sendiri akar kata
al-mala’ yang pertama ini yang
  digunakan, sebagaimana dalam al-
Qur’an QS. Al-A’ra>f [7]: 18; QS. Hu>d [11]:
Artinya: 15. Adapun kaum 'Aad Maka 119; QS. Al-Sajdah [32]: 13; QS. S}a>d
mereka menyombongkan diri di muka [38]:85; QS. Al-Kahf [18]: 18; QS. Al-Jinn
bumi tanpa alasan yang benar dan [72]: 8. Semua penggunaanya menunjuk-
berkata: "Siapakah yang lebih besar kan keterkaitan dengan makna dasar
kekuatannya dari kami?" dan Apakah ‘penuh’. Penggunaannya dalam al-
mereka itu tidak memperhatikan bahwa Qur’an umumnya berkaitan dengan fisik
Allah yang menciptakan mereka adalah dan terkadang berkaitan dengan jiwa.
lebih besar kekuatan-Nya daripada Al-mala’ yang dimaknai dengan ‘para
mereka? dan adalah mereka pemimpin dan tokoh terkemuka dalam
mengingkari tanda-tanda (kekuatan) suatu masyarakat’ sangat erat dengan
kami. (QS. Fushilat: 15). makna dasar ‘memenuhi’ atau ‘penuh’
dari kata itu, baik secara fisik maupun
secara jiwa. Menurut al-Ra>zi> para

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 87

pemimpin dan tokoh masyarakat disebut pendapat al-As}faha>ni> (tt: 526) dan al-
al-mala’ karena secara fisik biasanya Mara>gi> (1946: 214). Menurut mereka al-
merekalah yang memenuhi bagian mala’ adalah dewan musyawarah yang
depan perhelatan-perhelatan (al-Razi, berkumpul untuk memutuskan suatu
1981: 156). pendapat. Penekanan khusus ini
menegaskan peran utama al-mala’
Pendapat lain dikemukakan oleh
sebagai pihak-pihak yang memutuskan
Ibnu Manz}u>r dan al-Azhari>. Menurut
gerak laju peradaban suatu masyarakat
keduanya mereka disebut al-mala’ karena
melalui pendapat-pendapat mereka
para pemimpin merupakan orang-orang
dalam forum-forum musyawarah.
yang dipenuhi oleh hal-hal yang
dibutuhkan orang lain. Pendapat yang Pada umumnya kata al-mala’ dalam
mendekati dikemukakan oleh Ibnu al-Qur’an merujuk pada manusia, hanya
Fa>ris yang berargumen bahwa mereka dua kali saja penyebutannya merujuk
disebut al-mala’ karena mereka dipenuhi pada malaikat yaitu pada QS. [37]:8 dan
berbagai kemuliaan. Adapun dari sudut QS.[38]: 69. Dan semua kata al-mala’ yang
kejiwaan para pemimpin dan tokoh merujuk kepada manusia berkaitan
masyarakat disebut al-mala’ karena dengan kisah umat terdahulu selain
kharisma mereka memenuhi pandangan pada surat S}a>d ayat 6 yang merujuk pada
dan perasaan masyarakat umum kafir mekah. Adapun kisah-kisah yang
sehingga mereka sering menjadi pusat terkait dengan istilah al-mala’ adalah
perhatian dan menimbulkan rasa kagum kisah nabi Nu>h as, Hu>d as, Sha>lih} as,
dan hormat (al-Razi, 1981: 156-157). Syu‘aib as, Yu>suf as, Mu>sa> as, Sulaima>n as,
dan kisah seorang rasul38 dan seorang
Pendapat yang kedua mengatakan
nabi yang tidak disebutkan namanya.
bahwa al-mala’ berasal dari akar kata
Kata al-mala’ juga terkait dengan kisah
ma>la’a yuma>li’ (‫)مالء يملئ‬. Menurut Ibn
penguasa yaitu T}a>lu>t, Fir‘au>n, seorang
‘Asyur (1984: 190) akar kata tersebut
Raja di masa Yu>suf as, dan Ratu Saba’.
bermakna yu‘a>win wa yuwa>fiq (saling
Penggunaan term al-mala’ dalam al-
menolong dan bersepakat). Jika
Qur’an umumnya diikuti dengan
dikatakan ma>la’a al-qaum, maka sama
preposisi min )‫(من‬. Yang dominan adalah
dengan ‘a>wana wa wa>faqa artinya suatu
redaksi min qaumih (dari sebagian
masyarakat saling tolong-menolong dan
kaumnya). Preposisi ini menurut al-Ra>zi>
bersepakat. Para pemimpin dan tokoh
(1981:156) bermakna tab‘i>d (sebagian)
masyarakat disebut al-mala’ karena
yang mengindikasikan bahwa tokoh atau
mereka biasanya saling bahu membahu
pemimpin selalu merupakan minoritas
dan tolong menolong dalam
dari jumlah total anggota
pendapatnya sehingga mereka menyatu
masyarakatnya. Dan ini merupakan
dalam pendapat dan tindakan (Shihab,
hukum sosial universal yang juga
2002: 181). Ibnu Manz}u>r memberikan
ditemukan oleh para sosiolog maupun
penekanan khusus dalam definisinya
antropolog bahwa dalam masyarakat
dengan menambahkan batasan ‘yang
apapun, baik yang primitif maupun
dirujuk pendapatnya’. Jadi al-mala’
modern, selalu saja yang memiliki power
adalah para pemimpin dan tokoh
adalah bagian kecil dari masyarakat
masyarakat yang pendapatnya menjadi
tersebut (Bottomore, 2006 :4-5). Dengan
rujukan. Makna ini senada dengan

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1


88 Muhamad Ali Mustofa Kamal

demikian penggunaan preposisi tadi penelusuran penulis, karakterisitik al-


menjadi indikasi kuat bahwa di antara mala’ dapat dikategorisasikan menjadi 3
karakteristik golongan al-mala’ adalah hal:
mereka merupakan minoritas dalam
a) al-Mala’ yang menentang para Rasul
konteks sosialnya.
Dalam konteks yang pertama al-
Titik temu atau kesamaan yang
Qur’an merekam dialog para nabi dan
paling dekat antara kisah al-Qur’an
rasul dengan para tokoh dan pemimpin
dengan jenis kisah lainnya terletak pada
kaumnya. Ada dua model struktur sosial
unsur-unsurnya, yaitu, peristiwa (ah}da>s|),
dalam konteks dialog tersebut. Struktur
tokoh (syakhs}iyyah), dan dialog (h}iwa>r).
pertama terdiri dari rasul, al-mala’
Penyajian ketiga unsur ini disesuaikan
(pemimpin dan tokoh), dan masyarakat
dengan prinsip fokus terhadap tujuan,
umum. Model struktur ini tercermin
sehingga tidak detil dan bersifat global
dalam kisah Nu>h as, Hu>d as, S}a>lih} as dan
saja. Pada umumnya peristiwa-peristiwa
Syu‘aib as. Term ini digunakan sebanyak
dalam kisah al-Qur’an tidak
9 kali dalam konteks kisah keempat Nabi
menyebutkan unsur waktu dan tempat.
tersebut, yaitu 4 kali dalam kisah Nu>h} as,
Tokoh atau pelaku sejarahnya biasanya
masing-masing 1 kali dalam kisah Hu>d as
hanya disebutkan sebagian sifat-sifatnya
dan S}a>lih} as, dan 2 kali dalam kisah
saja. Dan unsur dialog sebagai ciri
Syu‘aib as. Satu kali lagi tepatnya dalam
utamanya menggambarkan peristiwa
surat al-Mu’minu>n diperdebatkan antara
dengan cara yang bisa mengungkap hal
merujuk pada Hu>d as atau pada S}a>lih} as.
yang tersembunyi dan menghentak
Dalam model struktur ini al-mala’
perasaan (Naqrah,1974: 348-349).
merupakan pemuka dan pemimpin
masyarakat yang menolak misi Nabi dan
Model dan Karakter Masyarakat Elite: Rasul. Mereka memimpin kendali dalam
Tinjauan Antropologi penolakan misi tersebut. Dalam istilah
Ibnu ‘Asyu>r mereka menjadi jubir yang
Penggunaan istilah al-mala’ dapat
mengatasnamakan kaumnya dalam
dibedakan ke dalam dua konteks utama.
menghadapi para nabi dan rasul (Ibnu
Konteks pertama dan yang paling
Asyur, 1984: 190). Golongan al-mala’
dominan adalah konteks perdebatan
dalam konteks ini lebih menyerupai
antara golongan al-mala’ dengan para
konteks para tokoh dan pemimpin
nabi dan rasul, dan konteks yang kedua
Mekah di masa Nabi SAW. Mereka
adalah konteks musyawarah antara raja
adalah para tokoh dan pemimpin yang
(al-Malik) dengan para pejabat dan tokoh
berkedudukan, kaya, cerdik pandai, dan
masyarakatnya. Pemilahan dan
terhormat. Karakteristik seperti itu
pemahaman terhadap dua konteks itu
tercermin dari persepsi mereka terhadap
sangat penting untuk mencapai
Nuh as dan pengikutnya (QS.[11]: 27).
pemaknaan yang komprehensip
terhadap term al-mala’ dan untuk Karakteristik golongan al-mala’
menghindari kesalahpahaman yang sebagai orang kaya ditunjukkan pula
sering terjadi yaitu membatasi makna oleh indikasi-indikasi lain dalam
almala’ hanya pada barisan penentang beberapa ayat. Di antaranya mereka
para nabi dan rasul saja. Menurut merupakan orang-orang yang diberi
keluasaan harta (QS.[23]: 33); mereka

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 89

tidak mau bergabung dengan orang mala’ berkolaborasi dengan penguasa


miskin dan meminta agar nabi mereka dalam menolak misi nabi atau rasul.
mengusir orang-orang tersebut dari Keduanya bahu membahu dalam
sisinya (QS.[11]: 29); dan mereka menekan rasul dan kaumnya sehingga
merendahkan orang-orang lemah misi yang dibawa terhambat dan tidak
(QS.[7]: 75). Karakteristik al-mala’ sebagai diterima oleh masyarakat. Model
para pemimpin ditunjukkan oleh struktur kedua ini tercermin dalam kisah
beberapa ayat bahwa mereka memiliki Musa as yang menghadapi Fir‘au>n dan
power dalam menghalang-halangi nabi al-mala’ sekaligus. Term al-mala’ dalam
dan para pengikutnya dan menakut- konteks ini merujuk pada para tokoh dan
nakuti serta mengancam mereka (QS.[7]: pejabat utama yang dekat dengan
86, 88). Indikasi lain bahwa al-mala’ Fir‘au>n, seperti Ha>ma>n (QS.[40]: 36).
adalah para pemimpin ditunjukkan oleh Dengan kedudukan seperti itu tentu saja
upaya-upaya mereka untuk mengarah- mereka mendapat fasilitas harta
kan dan mempengaruhi para sehingga selain dapat dikategorikan
pengikutnya agar tidak menjadi sebagai orang-orang berkedudukan juga
pengikut nabi atau rasul (QS.[23]: 24). dapat dianggap sebagai orang-orang
kaya. Kondisi demikian tersurat dalam
Adapun karakteristik al-mala’
pengaduan Musa as (QS.[10]: 88).
sebagai orang pandai bersiasat selain
ditunjukkan oleh anggapan mereka Kedua model struktur sosial yang
dalam ayat di atas, juga ditunjukkan oleh melatarbelakangi pengungkapan al-mala’
kemampuan mereka mengaburkan dalam al-Qur’an setidaknya memberikan
dakwah nabi dengan pengertian- gambaran bahwa ada dua model al-mala’
pengertian lain yang menyesatkan. dalam konteks perdebatan dengan para
Kemampuan seperti itu tentu nabi dan rasul. Model yang pertama
memerlukan kelihaian bermain logika yaitu al-mala’ yang independen dan
dan analisa sosio-historis di masa itu. Di dominan dalam aksi penolakannya
antaranya mereka menafsirkan dakwah terhadap misi rasul. Sedangkan model
Nabi Nu>h as sebagai upaya mencari yang kedua yaitu al-mala’ yang
popularitas dan kedudukan (QS.[23]: 24). disamping memanfaatkan kelebihan
Dalam ayat lain berkaitan dengan dirinya sendiri juga berkolaborasi
dakwah Syu‘aib as mereka mencoba dengan penguasa. Tentu menghadapi
mengkaburkannya dengan mengatakan model yang kedua ini lebih berat
bahwa dakwah tersebut akan membawa kondisinya dibanding yang pertama.
kerugian (QS.[7]: 90). Kerugian yang Dan mungkin inilah rahasia dominannya
dimaksud mereka adalah kerugian kisah Musa as dalam al-Qur’an untuk
berkurangnya harta karena mengikuti menjadi pelajaran bagi Nabi SAW dalam
saran Syu‘aib as untuk meninggalkan mengemban misi dakwahnya dalam
kecurangan dalam aktifitas menghadapi kelompok tokoh dan
perekonomian. pemimpin kafir Makkah. Penyebutan al-
mala’ dalam kisah Nabi Musa as
Sedangkan model struktur sosial
merupakan pengungkapan terbanyak
yang kedua terdiri dari rangkaian: rasul
dalam al-Qur’an yaitu sebanyak tiga
atau nabi, penguasa, al-mala’, dan
belas kali.
masyarakat. Dalam model kedua ini al-

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1


90 Muhamad Ali Mustofa Kamal

b) al-Mala’ yang tidak menentang pejabat (Ibnu Kasir Vol XIII, 2000 :47).
dakwah para Rasul Dan dalam konteks Ratu Saba>’, dia
memaknai al-mala’ dengan para pejabat,
Konteks yang kedua dari
menteri, dan para pemuka (Ibnu Kasir
pembicaraan al-Qur’an mengenai term
Vol X,2000 :403). Yang menarik dalam
al-mala’ dalam periode Makkah adalah
konteks ini adalah pembicaraan al-
konteks aktifitas musyawarah antara
Qur’an tentang golongan al-mala’ yang
penguasa dengan para pejabat dan para
menghadirkan karakter berbeda dengan
pemuka masyarakat. Pembicaraan
konteks pertama tadi. Tidak ada arogansi
mengenai golongan al-mala’ dalam
dan agresifitas pengingkaran kenabian.
konteks ini berkaitan dengan kisah
Jadi al-mala’ dalam konteks kedua ini
Sulaima>n as, Ratu Saba’, dan seorang Raja
adalah para pemimipin dan pemuka
di masa Yu>suf as. Dalam konteks ini
yang beriman, atau yang kafir dan
pembicaraan al-Qur’an lebih fokus pada
kemudian beriman, dan atau yang belum
peran golongan al-mala’ sebagai dewan
dapat dipastikan keimanannya tapi
musyarah yang diminta pendapat-
mereka tidak memusuhi nabi dan rasul.
pendapatnya oleh penguasa.
Dengan demikian tidak tepat kalau
Al-Qur’an mengisahkan dikatakan bahwa term al-mala’ dalam al-
permintaan para penguasa itu dengan Qur’an digunakan hanya untuk merujuk
redaksi aftu>ni> )‫ (أفتوني‬yang artinya para pemuka yang durhaka (Shihab
‘terangkanlah kepadaku’. Redaksi itu vol.IX, 2002: 181).
disampaikan oleh seorang Raja di masa
c) al-Mala’ yang berkarakter Munafik
Yusuf as ketika meminta al-mala’
menta’wil mimpinya (QS.[11]: 43). Karakter masyarakat elite munafik
Redaksi yang sama juga disampaikan dikisahkan al-Qur’an dalam surat al-
oleh Ratu Balqis ketika meminta Baqarah dari ayat 246 sampai ayat 252
pendapat al-mala’ dalam menanggapi berkaitan dengan krisis kepemimpinan
surat yang dilayangkan oleh Sulaima>n dan kaderisasi. Penggunaan term al-mala’
as (QS. [27]: 32). Cara yang senada juga dalam periode Madinah, seperti telah
dilakukan Sulaima>n as ketika meminta al- disebutkan sebelumnya, hanya sekali
mala’ menghadirkan istana Ratu Saba’ saja yaitu pada QS.[2]: 246; yang
sebelum kedatangannya (QS. [27]: 38). bercerita tentang permintaan pemuka
Pada umumnya para mufassir memaknai Bani Israil terhadap nabinya agar dipilih
al-mala’ dalam konteks ini dengan para seorang raja yang akan memimpin
pemuka dan para tokoh. Makna ini mereka dalam menghadapi penindasan
terlalu umum dan tidak memberikan Raja Jalu>t. Term al-Mala’ dalam konteks
pembeda dengan al-mala’ dalam konteks ini adalah pemuka-pemuka Bani Israil
struktur sosial yang pertama tadi. yang beriman yang telah mengalami
Konteks ini lebih dekat kepada kisah degradasi keimanan. Al-mala’ berada
Fir’aun di mana al-mala’ berada di bawah dalam struktur sosial yang terdiri dari
kekuasaan penguasa. Dalam hal ini Ibnu raja, nabi, al-mala’, dan Bani Israil.
Kas|i>r memberikan makna yang lebih Keimanan mereka ditunjukkan oleh
spesifik dan jelas. Menurutnya al-mala’ sikap mereka menyampaikan usulan
dalam konteks Raja di masa Yusuf as kepada nabi dan kata-kata ‘di jalan
adalah para dukun, pemuka, dan para Allah’ (fi> sabi>lilla>h) dalam usulan

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 91

tersebut. Sedangkan degradasi keimanan degradasi yang akan menjadi hambatan


mereka ditunjukkan oleh pengingkaran dalam menggapai kejayaan.
sebagian besar dari mereka untuk ambil
bagian dalam jihad yang mereka usulkan
sendiri. Mereka juga menolak 3. Peranan Masyarakat Elite
kepemimpinan T}a>lu>t yang merupakan Di antara peran elite yang sangat
wahyu melalui sang nabi dengan alasan berpengaruh terhadap masyarakat
kemiskinan dan bukan keturunan adalah upaya mereka mempertahankan
bangsawan(QS.[2]: 247). Tema strata sosialnya. Mereka melakukan
pembicaraan tentang al-mala’ dalam ayat upaya-upaya dalam rangka
di atas fokus pada pembinaan dan mempertahankan hak-hak istimewanya.
kaderisasi kaum beriman untuk Ada dua upaya yang dilakukan elite
menghasilkan generasi unggul dalam untuk mencapai hal itu: pertama,
mencapai kejayaan. Dan hal itu mengendalikan ide atau kekuasaan
dikemukakan dalam konteks ideologi; kedua, mengendalikan informasi
kepemimpinan yang kuat seperti yang dan menggunakan teknologi. Dua upaya
dilakukan T}a>lu>t. Kepemimpinan T}a>lu>t ini bisa dilakukan secara damai, dan bisa
dipilih sebagai contoh bukan tanpa pula secara paksa (Henslin, 2007: 188-
makna. Ia dipilih karena kepemimpi- 189).
nannya dengan seizin Allah menjadi
Melihat peran yang dimainkannya
cikal bakal kejayaan Bani Israil di masa
al-mala’ dikategorikan sebagai pengelola
kerajaan Daud as dan Sulaiman as
pemerintahan Mekah sehingga Khali>l
(Sayyid Qutb Juz I, 2004: 3-4). Daud as
‘Abd al-Kari>m (1997: 131) dan Eltija>ni>‘
sendiri adalah salah satu lulusan
Abd al-Qadi>r (1995: 133) menyebutnya
kaderisasi T}a>lu>t yang perang tandingnya
dengan h}uku>mah al-mala’ (pemerintahan
dengan Ja>lu>t menjadi legenda dunia
al-mala’). Model pemerintahan ini adalah
sepanjang masa. Pembicaraan al-mala’
model pemerintahan yang dikenal dalam
seperti itu jelas menjadi pelajaran bagi
ilmu sosial dengan pemerintahan elite
orang-orang beriman pengikut Nabi
atau oligarki, yaitu model pemerintahan
SAW yang sedang meretas negara
yang dikelola oleh para tokoh dan orang-
Madinah yang mulai dirongrong oleh
orang terkemuka dalam suatu
gerakan kemunafikan. Kisah tadi
masyarakat. Dalam konteks ini al-mala’
mengingatkan bahwa keimanan tidak
adalah kelompok minoritas yang
cukup menjadi garansi untuk mencapai
menguasai simpul-simpul kekuasaan
kejayaan, tapi keimanan harus teruji
pada masyarakat Mekah karena harta,
dalam aksi nyata.
kehormatan, dan pengaruh mereka;
Penjelasan lebih lanjut mengenai mereka mempertahankan fungsi-fungsi
al-mala’ merujuk pada pemuka-pemuka politik agar selalu dalam genggamannya;
masyarakat yang beriman tapi masih dan mereka berupaya melanggengkan
mengalami degradasi yang serius dari penguasaannya atas anggota masyarakat
keimanannya. Pembicaraan (khitab) yang lain yang terdiri dari orang-orang
diarahkan kepada orang-orang beriman miskin, para budak, kaum mawa>li>,dan
untuk meraih keimanan yang sejati orang-orang asing yang datang ke
dengan mengeliminasi degradasi-

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1


92 Muhamad Ali Mustofa Kamal

Mekah untuk tujuan beribadah atau garis besar cara-cara masyarakat elite
berniaga. dalam menolak dan menentang dakwah
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
Kisah al-mala’ sebagaimana
mempropagandakan kerancuan-
tercermin dalam pembahasan diatas
kerancuan untuk mempengaruhi ide
sangat terkait erat dengan sosok nabi
atau pemikiran, dan yang mengarah
dan rasul. Semua pembicaraan al-Qur’an
pada pemaksaan. Sebab-sebab yang
tentang mereka tidak terlepas dari
melatarbelakangi kaum elite menolak
konteks interaksi mereka dengan para
dakwah rasul diantaranya adalah sikap
nabi dan rasul. Setidaknya ada dua
sombong,taklid pada ajaran leluhur,
alasan yang menyebabkan keterkaitan
cinta kedudukan dan kekuasaan,
itu yaitu: pertama, misi para nabi dan
kemewahan hidup dan kebodohan,
rasul bersifat universal mencakup
pengaruh elite yang lain, mengingkari
seluruh lapisan manusia tidak terkecuali
kebangkitan di hari kiamat, tidak
al-mala’ sebagai kaum elite; dan kedua,
menyukai nasihat.
kaum al-mala’ merupakan pihak yang
menduduki posisi penting yang sangat Pembicaraan al-Qur’an mengenai
berpengaruh terhadap tatanan peran dan pengaruh al-mala’ sebagai
masyarakat yang menjadi sasaran kaum elite berbeda dengan model studi
dakwah. Misi para nabi dan rasul elite dalam ilmu sosial yang hanya fokus
merupakan ruh dan basis pada tataran kehidupan dunia saja. Al-
berlangsungnya kisah al-mala’, yaitu Qur’an memberi penjelasan lebih dari itu
pada persoalan penegakan dakwah dengan memberi informasi dan
tauhid dan transformasi sosial. pemahaman kepada manusia bahwa
peran dan pengaruh elite tidak saja
Al-Mala’ dalam konteks
sebatas di dunia ini, tapi juga
problematika sosial yang intens disoroti
menentukan nasib masyarakatnya di
oleh al-Qur’an adalah berkaitan dengan
kehidupan akhirat kelak.
dua hal, yaitu pertama adalah problem
ekploitasi dan penindasan kaum elite a) Konteks Kehidupan Dunia
terhadap masyarakat lemah. Persoalan
Peranan al-mala’ atau elite dalam
ini dikisahkan dalam kisah Nuh as, Hud
konteks dunia secara garis besar bisa
as, Salih as, Syu’aib as dan kisah Musa
dipilah lagi sesuai dengan tipe dan
as. Adapun yang kedua adalah problem
modelnya menjadi peranan negatif dan
kecurangan dalam aktifitas
peranan positif. Peranan negatif
perekonomian. Sedangkan ketiga adalah
diperankan oleh elite yang menentang
problem hegemoni kekuasaan. Problem
dakwah rasul dan elite munafik. Elite
pertama terdapat dalam kisah Nu>h} as
kafir di dunia berperan dalam
(QS.[11]: 27-29), Hu>d as, S}alih} as (Qs.[7]:
menimbulkan krisis-krisis atau problem-
74; QS.[4]:147), Syu‘aib as (QS.[7]: 85-90),
dan kisah Mu>sa> as (QS.[7]: 105; QS.[2]: 49), problem sosial seperti yang sudah
problem yang kedua hanya diceritakan dibahas sebelumnya. Mereka
al-Qur’an dalam kisah Syu‘aib as, mengeksploitasi dan menindas
Sedangkan problem yang ketiga hanya rakyatnya demi nafsu materi dan
dalam kisah Musa as dan kekuasaan. Elite munafik tidak jauh
perseteruannya dengan Fir’aun. Secara berbeda dari mereka. Akibat pengakuan
iman yang palsu mereka menjadi sebab

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 93

keterpurukan dan ketertindasan. Menurut mereka rakyatnya sendiri yang


Imannya tidak lagi efektif dalam memilih kesesatan (QS.[34]:31-33). Ini
mencerahkan peradaban mereka, seperti menegaskan bahwa Allah tidak akan
dalam kisah T}a>lu>t. Peran mereka yang menerima alasan apapun dari manusia
lebih mengerikan dan membahayakan yang merasa terpengaruh oleh orang lain
adalah perilaku-perilakunya telah dalam berbuat kesesatan. Allah telah
mengundang azab Allah. Semua elite menciptakan manusi suci dan berpotensi
yang menentang dakwah rasul agar bisa memilih jalan hidayah.
dibinasakan bersama peradaban yang Sebaliknya, orang-orang yang beriman di
dibangunnya tanpa meninggalkan sisa akhirat nanti merasakan kebahagiaan
kecuali puing-puing kehancuran. karena aliansi mereka dengan sesama
orang beriman di dunia (QS.[43]: 67-73).
Kontras dengan elite seperti itu,
elite yang tidak menentang dakwah Melalui kisah al-mala’ al-Qur’an
rasul telah memberikan peran yang sangat intens menyoroti perilaku negatif
positif bagi masyarakatnya. Kisah al- elite. Kecenderungan perilaku mereka di
mala’ menunjukkan elite seperti itu telah sepanjang sejarah kenabian umumnya
menghadirkan kesejahteraan dan hampir sama. Semuanya berporos
kemakmuran dengan tetap mampu penindasan dan perilaku sewenang-
mengontrol diri dengan bersyukur dan wenang terhadap masyarakat umum
tunduk pada koridor-koridor Ilahi. karena memperturutkan nafsu material
Kemegahan kerajaan Sulaima>n as dan dan kekuasaan. Pada gilirannya
Ratu Saba’ menjadi bukti nyata dalam kebijakan-kebijakan mereka jauh dari
sejarah. orientasi pro rakyat, bahkan sebaliknya
merugikan dan menyengsarakan
b) Konteks kehidupan akhirat
mereka. Klimaksnya sikap demikian
Peranan elite dalam pandangan al- menyebabkan kehancuran peradaban
Qur’an jauh melampaui kehidupan dengan turunnya siksa Allah. Di sisi lain
dunia. Kehancuran dan kebinasaan al-Qur’an menunjukkan sikap sebagian
bukan akhir dari peranan mereka. kecil elite yang berperilaku positif. Sikap
Beberapa ayat menunjukkan di akhirat mereka berbasis pada sikap syukur yang
nanti akan terjadi pertentangan dan mendalam dan continue, serta sikap
perdebatan (takhas}um) di antara toleran meskipun berbeda keyakinan.
penduduk neraka. Masyarakat lemah Implikasi sikap demikian ternyata
yang merasa tertipu oleh elite-elite menghadirkan stabilitas dan
mereka mengadu kepada Allah bahwa kesejahteraan sosial yang luar biasa.
kesesatan mereka dikarenakan Penjelasan al-Qur’an tersebut
kungkungan elite-elite itu dan mereka memberikan pelajaran berharga bagi
meminta agar elite-elite tersebut diberi orang-orang yang sedang berada dalam
azab yang lebih berat. Di antaranya al- posisi elite agar menghindari sikap
Qur’an mencatat berita demikian dalam sombong dan berbuat semena-mena
QS.[33]: 67-68; Namun ayat lain terhadap masyarakatnya dengan
menunjukkan bahwa kaum elite kembali meluruskan motivasi dan
menolak dakwaan rakyatnya tersebut. mengekang nafsu material dan
Mereka berlepas diri dan merasa tidak kekuasaan yang tidak benar. Sebaliknya
pernah menyesatkan rakyatnya.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1
94 Muhamad Ali Mustofa Kamal

mereka harus mengambil sikap syukur sosial budaya. Ada tiga nilai inti yang
dengan menyadari besarnya anugrah merupakan pelajaran berharga dari hasil
Allah kepada mereka dan elaborasi antropologis terhadap kisah al-
mendayagunakan anugerah tersebut mala’ atau elite dalam kisah al-Qur’an.
untuk kebaikan diri mereka dan Kisah itu mengajarkan urgensi posisi
masyarakatnya. Bagi para agamawan elite dalam tatanan peradaban,
dan cendekiawan sudah seharusnya menunjukkan kecenderungan umum
mereka mengambil peran kenabian dari mereka, dan pentingnya kaderisasi
dengan melakukan kontrol terhadap elite secara baik. Masyarakat Elite
kaum elite dan berpihak kepada kaum memiliki peran yang vital bagi kemajuan
lemah serta selalu memperjuangkan dan runtuhnya suatu peradaban.
nasib mereka, sebagaimana telah Tipologi mereka secara umum
dicontohkan para rasul. Menghindari cenderung menzalimi masyarakat kecil.
kerjasama dan kompromi dengan Oleh karena itu diperlukan kaderisasi
penguasa dan elite-elite yang zalim. elite yang berpijak pada basis nilai
keimanan dan profesionalitas untuk
menjamin hadirnya peran positif mereka
Penutup dalam membangun peradaban.
Sosok al-mala’ (masyarakat elite) Kaderisasi elite ini dilakukan dengan
dalam kisah al-Qur’an adalah orang- menguatkan aspek akidah dan keimanan
orang yang memiliki keunggulan baik masyarakat elite tersebut pada content
secara ekonomi, politis, intelektual, dan dan urgensi dakwah rasulullah.[ ]

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan terjemahan-nya, dalam al-Qur’an in word.1.3


Abd al-Kari>m, Khali>l‘.Quraisy min al-Qabi>lah ila> al-Daulah al-Markaziyah. Beirut: Muassasah
al-Intisya>r al-‘Arabi. Cet. II, 1997.
Abd al-Qadi>r, Eltija>ni. Us}u>l al-Fikr al-Siya>si> fi> al-Qur’a>n al-Makki>. ‘Amma>n:Da>r al-Basyi>r.
Cet. I. 1995.
al-As}faha>ni. tt. Mu‘ja>m Mufrada>t AlFa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr.
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986.
Djuned, Daniel. Antropologi Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga. 2011.
al-Dujja>ni>, Za>hiyah. Ah}san al-Qas}as} baina I‘za>j a-Qur’a>n wa Tah}ri>f al-Taurah. Beirut: Da>r al-
Taqri>b bain al-Maz|a.hib al-Isla>miyyah, cet.III. 2001.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Ombak.
2013
Fathulla>h, Abd al-Satta>r. al-Madkhal ila> al-Tafsi>r al-Maud}u>`i>. Kairo: Da>r al-Tauzi>` wa al-Nasyr
al-Islamiyyah. 1991.

HARMONI Januari - April 2016


Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) 95

Henslin, James M. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, ter. Kamanto Sunarto. Jakarta:
Erlangga. 2007.
Ibnu ‘A>syu>r, Muh}ammad T}a>hir. Tafs>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Tunisia: Al-Da>r al-Tu>nisiah li
al-Nasyr. 1984.
Ibnu Fa>ris. Mu’jam Maqa>yis al-Lugah., Beirut: Da>r al-Fikr. Juz V. 1979.
Ibnu Kas}i>r, Muhammad bin Isma‘i>l. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Kairo: Muassasah
Qurt}ubah. 2000.
Ibnu Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif. Vol. VI. tt..
Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit-Penentu dalam Masyarakat
Modern, terj. Zahara D. Noer. Jakarta: Rajawali. 1984.
Ma’rifah, Muh}ammad Ha>di>. Syubuha>t wa Rudu>d H}aul al-Qur’a>n al-Kari>m. Qum: Muassasah
al-Tamhi>d. Cet. IV. 2009.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. edisi iv.
cet.2. 2000.
al-Mara>gi>, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>gi>. Mesir: Syirkah Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H}alabi. Juz
II. 1946.
Naqrah, Al-Taha>mi>. Si>ku>lu>jiyyah al-Qis}s}ah fi> al-Qur’a>n. Aljazair: Syirkah Tu>nisiah. 1974.
Qut}b, Sayyid . Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Syuru>q. 2004.
al-Tas}wi>r al-Fanniy fi> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Syuru>q. 2004.
al-Qat|t|a>n, Manna>’. Maba>his} fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000.
al-Ra>zi>, Fakhruddi>n. Mafa>tih} al-Gaib. Beirut: Da>r al-Fikr. Juz XIV. Cet. I. 1981.
al-Ru>mi>, Fahd bin ‘Abd al-Rah|ma>n. Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riyad: Maktabah al-Malik
al-Fahd. 2004.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishba>h. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Sugono, Dendy dkk. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Metode Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. 1982.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
Nawesea Press. 2009.
al-Sya‘ra>wi>, Mutawa>li>. Qas}as} al-Anbiya>’. tk.: Da>r al-Quds. cet.I. 2006.
T.B. Bottomore. Elite dan Masyarakat, Terj. Abdul Harris dan Sayid Umar. Jakarta:
Akbar Tanjung Institute. 2006.
The Grolier Encyclopedia of Knowledge. Vol. VII. Amerika: Grolier Incorporated. artikel
‘elite’. tt.
al-Zamakhsyari>. Asa>s al-Bala>gah. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Juz II. Cet. I. 1998.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15 No. 1

Anda mungkin juga menyukai