Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMERIKSAAN GCS” GLASGOW COMA SCALE“

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021
A. Pengertian GCS (Glasgow Coma Scale)
Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala neurologi yang digunakan untuk melakukan
penilaian tingkat kesadaran. Selanjutnya, tingkat kesadaran adalah ukuran kesadaran dan
juga respons seseorang terhadap rangsangan lingkungan. Ketahu cara menghitung dan
nilai normalnya.
Skala Koma Glasgow adalah skala neurologi yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran. Skala ini umumnya digunakan untuk menilai kesadaran setelah cedera kepala.
Ada tiga komponen yang dinilai dalam skala ini yaitu mata, verbal, dan motorik.

B. Tujuan
 Untuk mengetahui tingkat kesadaran orang yang mengalami cedera kepala.
 Untuk menilai tingkat kesadaran saat memberikan pertolongan darurat medis.

C. Indikasi Gcs
Untuk mengevaluasi gangguan fungsi sistem motorik seseorang yang disebabkan karena
gangguan pada aktivitas saraf pusat, seperti keadaan cedera kepala, cedera spinal, atau
pasien dengan gejala stroke.

D. Kontrainikasi Gcs
kontraindikasi relatif untuk melakukan pemeriksaan sistem motorik. Pada pasien ini
sistem motorik hanya dapat dinilai secara inspeksi dan palpasi. Pemeriksaan sistem
motorik membutuhkan kerja sama pasien untuk melakukan posisi dan gerakan tertentu.
Untuk mencegah penolakan dan ketidaknyamanan pasien saat dilakukan pemeriksaan,
maka pemeriksa harus menjelaskan dengan baik kepada pasien apakah tujuan dari
pemeriksaan ini.

E. Hal Hal yang perlu diperhatikan


1. Reaksi membuka mata (eye)
2. Pembicaraan (verbal)
3. Gerakan (motorik)
F. Nilai tingkat kesadaran GCS pada Dewasa

G. Nilai tingkat kesadaran GCS pada bayi dan anak


H. Cara menghitung nilai GCS dan intrepretasi hasilnya

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E-


V-M dan selanjutnya nilai GCS tersebut dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi
atau GCS normal adalah 15 yaitu E4V5M6 , sedangkan yang terendah adalah 3
yaitu E1V1M1.

Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat kesadaran :

1. Nilai GCS (15-14) : Composmentis


2. Nilai GCS (13-12) : Apatis
3. Nilai GCS (11-10) : Delirium
4. Nilai GCS (9-7) : Somnolen
5. Nilai GCS (6-5) : Sopor
6. Nilai GCS (4) : Semi-coma
7. Nilai GCS (3) : Coma

I. Cara Meningkatkan GCS

Penurunan GCS dapat terjadi karena cedera yang terjadi pada kepala. Untuk
meningkatkan nilai GCS dibutuhkan beberapa tindakan seperti:

a. Pemberian Obat

Obat yang diberikan dapat berupa:


 Obat Diuretik

Digunakan untuk mengurangi jumlah cairan dalam lapisan tissur dan


meningkatkan pengeluaran urin. Obat diuretik diberikan untuk seseorang dengan
cedera kepala untuk mengurangi tekanan yang terjadi dalam otak.

 Obat Anti Kejang

Seseorang yang mengalami cedera kepala ringan sampai berat mungkin


mengalami kejang selama minggu pertama setelah kecelakaan.

b. Operasi dan Rehabilitas

Operasi darurat mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko kerusakan tambahan


pada jaringan otak.

Kebanyakan orang yang mengalami kecelakaan otak mungkin akan membutuhkan


rehabilitasi. Pasien perlu belajar kembali hal-hal dasar seperti berjalan dan berbicara.
J. Melakukan Tindakan

1) Mata
Nilai GCS yang dievaluasi melalui pemeriksaan mata:

 Jika tim medis meminta membuka mata dan merangsang seseorang dengan nyeri tapi
mata orang tersebut tidak bereaksi dan tetap terpejam, maka poin GCS yang didapat
yaitu 1.
 Jika mata terbuka akibat rangsang nyeri saja, poin GCS yang didapat yaitu 2.
 Jika mata seseorang terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat mengikuti
perintah untuk membuka mata, poin GCS yang didapat yaitu 3.
 Jika mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan, maka poin yang
didapat yaitu 4.

2) Suara

Nilai GCS yang dievaluasi dalam pemeriksaan respons suara:

 Jika seseorang tidak mengeluarkan suara sedikitpun, meski sudah dipanggil atau
dirangsang nyeri, maka orang tersebut mendapat poin 1.
 Jika suara yang keluar seperti rintihan tanpa kata-kata, poin yang didapat yaitu 2.
 Seseorang dapat berkomunikasi tapi tidak jelas atau hanya mengeluarkan kata-kata
tapi bukan kalimat yang jelas, poin GCS yang didapat yaitu 3.
 Jika seseorang dapat menjawab pertanyaan dari tim medis tapi pasien seperti
kebingungan atau percakapan tidak lancar, maka poin yang didapat adalah 4.
 Seseorang dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan benar dan sadar
penuh terhadap orientasi lokasi, lawan bicara, tempat, dan waktu, maka poin yang
didapat yaitu 5.

3) Gerakan

Nilai GCS yang dievaluasi dalam pemeriksaan respons gerakan:

o Tidak ada respons gerakan tubuh walau sudah diperintahkan atau diberi rangsangan
nyeri, poin GCS yang didapat yaitu 1.
o Seseorang hanya dapat mengepalkan jari tangan dan kaki, atau menekuk kaki dan
tangan saat diberi rangsangan nyeri, poin yang didapatkan adalah 2.
o Seseorang hanya menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi rangsangan nyeri,
poin GCS yang didapat yaitu 3.
o Seseorang dapat menggerakkan tubuh menjauhi sumber nyeri ketika dirangsang nyeri,
poin GCS yang diperoleh yaitu 4. Contohnya, seseorang dapat menjauhkan tangan
ketika dicubit.
o Bagian tubuh yang tersakiti dapat bergerak dan orang yang diperiksa dapat
menunjukkan lokasi nyeri, poin GCS yang didapat yaitu 5. Contohnya ketika tangan
diberi rangsangan nyeri, tangan akan mengangkat.
o Seseorang dapat melakukan gerakan ketika diperintahkan, poin GCS yang didapatkan
yaitu 6.
DAFTAR PUSTAKA

BrainLine. 2018. What Is the Glasgow Coma Scale?. https://www.brainline.org/article/what-


glasgow-coma-scale. (Diakses pada 20 November 2019).

Drugs.com. 2020. Glasgow Coma Scale. https://www.drugs.com/cg/glasgow-coma-scale.html.


(Diakses pada 20 November 2019).

Nickson, Dr Chris. 2019. Glasgow Coma Scale (GCS). https://litfl.com/glasgow-coma-scale-


gcs/. (Diakses pada 20 November 2019).
LAPORAN PENDAHULUAN

PEMERIKSAAN KEKUATAN OTOT

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021
A. Pengkajian Kekuatan Otot
Jenis pengkajian kekuatan otot yang sering digunakan adalah Manual Muscle Testing
(MMT) yang merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan yang mengukur
kemampuan klien menggerakkan tubuhnya selama dites melawan gravitasi, serta
melakukan rentang pergerakan sendi yang sesuai untuk melawan tahanan yang diberikan
oleh pemeriksa (Klein, 2007). Pengukuran dilakukan menggunakan skala klasik, yaitu
rentang nilai 0 - 5. Menurut Hislop & Montgomery (1995), tujuan dari pengkajian
kekuatan otot ini adalah untuk mengetahui kemampuan kontraksi otot secara volunteer.
Hasil pengkajian kekuatan otot dapat digunakan untuk menentukan intervensi yang akan
diberikan, misalnya pemilihan alat bantu ataupun jenis terapi yang sesuai (Priharjo,
2006).

B. Indikasi
1. Lansia secara umum
2. Lansia yang mengalami masalah atau gangguan mobilisasi
3. Lansia yang mengalami masalah atau gangguan neurologis

C. Kontra Indikasi
1. Fraktur
2. Inflamasi pada otot, tulang, atau sendi
3. Keluhan nyeri

D. Alat dan Bahan


Pulpen dan kertas pengkajian (untuk mencatat hasil)

E. Langkah Perawatan
Berikut merupan prosedurmanual muscle testing(Hislop & Montgomery, 1995; Priharjo,
2006):
1. Ucapkan salam dan perkenalkan diri.
2. Pastikam nama lansia.
3. Berikan penjelasan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Posisikan lansia pada posisi yang mudah diobservasi dan memungkinkan adanya
kontraksi otot. Pastikan lansia merasa nyaman.
5. Kondisikan agar pakaian lansia tidak mengganggu pergerakan.
6. Berikan penjelasan dan contohkan gerakan yang harus dilakukan oleh lansia.
7. Pandu lansia untuk melakukan gerakan rentang pergerakan sendi dan melawan
gravitasi, sambil perawat memberikan tahanan ke arah yang berlawanan.
8. Minta lansia memberikan perlawanan terhadap tahanan yang diberikan perawat.
Instrusksikan agar lansia tidak menahan napas.

Otot ekstrimitas atas

Otot bahu

Otot pergelangan tangan

Otot siku:Otot jari-jari tangan


Otot ekstrimitas bawah

Otot pinggul

Otot pergelangan kaki


Otot lutut:Otot jari-jari kaki

9. Selesaikan terlebih dahulu untuk mengkaji kekuatan otot pada sisi yang sama, kemudian
sisi yang berlawanan.
10. Kaji pergerakan yang dilakukan lansia.
11. Catat hasil pengkajian.

Kriteria hasil pengkajian menurut Berman dkk(2009) adalah sebagai berikut:


Nilai Kriteria Penjelasan
0 Zero Kontrakasi otot tidak dapat dipalpasi.
1 Trace Tidak ada gerakan sendi, namun kontraksi otot dapat
dipalpasi.
2 Poor Luas gerak sendi penuh tanpa melawan gravitasi.
3 fair (50%) Luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi tanpa
tahanan.
4 good (75%) Luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan
tahanan sedang.
5 normal (100%) Luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi, dan melawan
tahanan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Berman, et.al. (2009). Buku ajar praktik keperawatan klinis Kozier & Erb (ed. ke-5, penerjemah
Eny Meiliya, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti). Jakarta: EGC.

Hislop, H., & Montgomery, J. (1995). Daniels and Worthingham's muscle testing: Techniques of
manual examination (6th ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Klein, L.J. (2007). Fundamentals of hand therapy: Clinical reasoning and treatment guidelines
for common diagnoses of upper extremity (Cynthia Cooper Ed.). Missouri: Mosby Elsevier.

Priharjo, R. (2006). Pengkajian fisik keperawatan. Jakarta: EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN

PEMERIKSAAN SYARAF KRANIAL

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021
A. Pengertian
Saraf kranial (Latin: nervii craniales) adalah 12 pasang saraf pada manusia yang
mencuat dari otak, berbeda dari saraf spinal yang mencuat dari sumsum tulang belakang.
Saraf kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar.Dari 12 pasang saraf, 3 pasang
memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII); 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI,
XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X). Pasangan saraf-saraf ini diberi
nomor sesuai urutan dari depan hingga belakang, lazimnya menggunakan angka
romawiSaraf kranial sendiri merupakan bagian dari sistem saraf tepi namun berlokasi di
dekat sistem saraf pusat yakni kranium/tengkorak. Sehingga sering kali mereka disalah
klasifikasikan.Saraf-saraf ini terhubung utamanya dengan struktur yang ada di kepala dan
leher manusia seperti mata, hidung, telinga, mulut dan lidah. Pasangan I dan II mencuat
dari otak besar, sementara yang lainnya mencuat dari batang otak.(Wikipedia , 2020)
Saraf cranial terdiri atas serabut aferen atau eferen dan beberapa memiliki kedua serabut
tersebut yang dikenal dengan nama serabut campuran. Badan sel serabut aferen terdapat
pada ganglia di luar batang otak , sedangkan badan sel serabut eferen terdapat pada
nuclei batang ota. Menurut (Sidharta,1985) dalam buku Ajar Asuhan Keperawatan
Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Pemeriksaan saraf cranial dimulai dengan
mengatur posisi klien sehingga duduk di tepi tidur bila memungkinkan, perhatikan
kepalah, wajah dan leher. Catat apakah terdapat hidrosefalus (kepala dan wajah
menyerupai segitiga terbalik) atau akromegali.

B. Fungsi dan Gangguan Serebral


Lobus Serebral Fungsi Gangguan
Frontal  Penilaian  Gangguan penilaian
 Kepribadian bawaan  Gangguan penampilan
 Keahlian mental kompleks dan kebersihan diri
(abstrak, membuat  Gangguan afek dan
konsep, memperkirakan proses berpikir
masa deoan)  Gangguan fungsi
motorik
Temporal  Memori pendegaran  Gangguan memori
 Memori kejadian yang kejadian yang baru
baru terjadi terjadi
 Daerah auditoris primer  Kejang psikomotor
yang memengaruhi  Tuli
kesadaran  Konfabulasi
Pariental  Bicara  Afasia, Agrafia,
Akalkulia, Agnosia
Dominan  Berhitung (matematika)  Gangguan sensorik
 Topofrafi kedua sisi (bilateral)
Nondominan  Kesadaran sensorik  Disorientasi
 Sintesis ingatan yang  Apraksia
kompleks  Distorsi konsep ruang
 Hilang kesadaran pada
sisi tubuh yang
berlawanan

Oksipital  Memori penglihatan  Kemampuan


penglihatan berkurang
dan buta

C. Syaraf Kranial
1. Syaraf I N. Olfaktorius)
Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya ditanyakan apakah
penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau dengan betul. Obyektif
dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya
bersifat aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun,
tembakau, kopi, vanili, dan sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang
mukosa hidung (alkohol, amonia) tidak dipakai karena akan merangsang saraf V.
Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan dan yang diperiksa dari yang normal. Ini
untuk pegangan, sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal dibandingkan
dengan yang normal. Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal
dahulu.
Cara Pemeriksaan :
a. Kedua mata ditutup
b. Lubang hidung ditutup
c. Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara
d. Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka dan
penderita diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi
bahan tersebut.

Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan adalah :

a. Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena)
akan menimbulkan positif palsu.
b. Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).
c. Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan
intranasal dan kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma
lobus frontalis, meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi
pembauan juga bisa hilang pada trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang
tipis) dan meningitis basalis (sifilis, tuberkulosa).
d. Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic dengan
organik, pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang merangsang N II, tapi juga
yang merangsang N V (seperti amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau
karena rusak, tetapi N V tetap dapat menerima rangsangan amoniak. Bila dengan
amoniak tetap tidak membau apa-apa maka kemungkinan kelainan psycis.
2. Saraf II (N. Opticus)
Pemeriksaan meliputi :
a. Penglihatan sentral Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi
dengan retina digunakan PIN HOLE (apabila penglihatan menjadi lebih
jelasmaka berarti gangguan visus akibat kelainan refraksi). Lebih tepat lagi
dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi memakai jari-jari tangan
dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan tangan dimana
secara normal dapat dilihat pada jarak 300 m.

b. Penglihatan Perifer
Diperiksa dengan :
1) Tes Konfrontasi.
a) Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata
pemeriksa sisi lain.
b) Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai denganlapang
pandang pasien.
c) Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang
pasien dari 8 arah.
d) Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.
Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
e) Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal.
2) Perimetri/Kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada tes
konfrontasi.

c. Melihat warna Persepsi warna dengan gambar stilling Ishihara. Untuk


mengetahui adanya polineuropati pada N II.

d. Pemeriksaan Fundus Occuli Pemeriksaan ini menggunakan alat oftalmoskop.


Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat apakah pada papilla N II terdapat :
1) Stuwing papil atau protusio N II
Kalau ada stuwing papil yang dilihat adalah papilla tersebut mencembung
atau menonjol oleh karena adanya tekanan intra cranial yang meninggi dan
disekitarnya tampak pembuluh darah yang berkelok-kelok dan adanya
bendungan.
2) Neuritis N II
Pada neuritis N II stadium pertama akan tampak adanya udema tetapi papilla
tidak menyembung dan bial neuritis tidak acut lagi akan terlihat pucat.
Dengan oftalmoskop yang perlu diperhatikan adalah :
a) Papilla N II, apakah mencembung batas-batasnya.
b) Warnanya
c) Pembuluh darah
d) Keadaan Retina.

3. Saraf III (N. Oculo-Motorius)


Pemeriksaan meliputi :
1. Retraksi kelopak mata atas
Bisa didapatkan pada keadaan :
a. Hidrosefalus (tanda matahari terbit)
b. Dilatasi ventrikel III/aquaductus Sylvii
c. Hipertiroidisme
2. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas kelopak mata
atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Bila salah satu
kelopak mata atas memotong iris lebih rendah daripada mata yang lain, atau bila
pasien mendongakkan kepala ke belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara
kronik atau mengangkat alis mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.
Penyebab Ptosis adalah:
a. False Ptosis : enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan kelopak mata
(chalazion).
b. Disfungsi simpatis (sindroma horner).
c. Kelumpuhan N. III
d. Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)
e. Miopati (miastenia gravis).

3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
a. Bentuk dan ukuran pupil
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada kemungkinan bekas
operasi mata. Pada sifilis bentuknya menjadi tidak teratur atau
lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah).
Pupil yang mengecil disebut Meiosis, yang biasanya terdapat pada Sindroma
Horner, pupil Argyl Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan
pupil yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/
paralisa m. sphincter dan kelainan psikis yaitu histeris
b. Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara
pupil kanan dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama
besar disebut anisokor. Pada penderita tidak sadar maka harus
dibedakanapakah anisokor akibat lesi non neurologis(kelainan iris, penurunan
visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf perifer N. III, herniasi
tentorium.
c. Refleks pupil
Terdiri atas :
1) Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan
penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya
otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya dari samping mata.
Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung
mengenai mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau
tidak maka ada kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---
N. Oculomotorius).

2) Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh
mengikuti gerak benda tersebut dimana benda tersebut digerakkan
pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata penderita. Maka
reflektoris pupil akan kontriksi. Reflek cahaya dan akomodasi penting
untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek cahayanya negatif
namun reflek akomodasi positif.

3) Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi
pada mata yang lain. Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara
kedua mata diletakkan selembar kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka
normal mata yang lain akan kontriksi juga.
d. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)
Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III, IV
dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik bala
mata keatas), m. rectus superior, m. rectus media, m. rectus inferior. N IV
menginervasi m. Obliq Superior dan N VI menginervasi m. rectus lateralis.
N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot
sphincter pupil. Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita
disuruh mengikuti suatu benda kedelapan jurusan. Yang harus diperhatikan
ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila pada 1 atau 2
gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang
atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang
parese otot bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic
interna. Jika hanya ada salah satu gangguan maka disebut opthalmoplegic
partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua macam otot luar dan dalam
disebut opthalmoplegic totalis

e. Sikap Bola Mata


Sikap bola mata yaitu kedudukan mata pada waktu istirahat. Kelainan –
kelaian yang tampak diantaranya adalah :
1) Exopthalmus, dimana mata terdorong kemuka karena proses mekanis
retroorbital
2) Strabismus yang dapat divergen atau convergen.Secara subyektif
ditanyakan apakah ada diplopia. Pemeriksaan subyektif ini penting karena
kadang-kadang strabismus yang ringan tak kelihatan pada pemeriksaan
obyektif.
3) Nystagmus atau gerakan bola mata yang spontan. Dalam hal ini tidak
hanya memeriksa otot-otot yang menggerakkan bola mata sja, tetapi
sekaligus melihat adanya kelainan dalam keseimbangan atau N VIII.
4) Deviasi conjugae, adalah sikap bola mata yang dalam keadaan istirahat
menuju kesatu jurusan tanpa dapat dipengaruhi oleh kesadaran, dengan
sumbu kedua mata tetap sejajar secara terus-menerus. Lesi penyebab bisa
di lobus frontalis atau di batang otak, bisa lesi destruktif (infark) atau
irirtatif (jaringan sikatriks post trauma/ epilepsi fokal & perdarahan).

4. Saraf V (N. Trigeminus)


Pemeriksaan meliputi :
a. Sensibilitas
Sensibilitas N V ini dapat dibagi 3 yaitu :
1) Bagian dahi, cabang keluar dari foramen supraorbitalis
2) Bagian pipi, keluar dari foramen infraorbitalis
3) Bagian dagu, keluar dari foramen mentale.

Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan dengan kiri.
b. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh
kira-kira didaerah otot maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka
akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau ada parese maka dirasakan salah
satu otot lebih keras.

c. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari arah lain tepi
kornea disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif,
maka mata akan ditutupkan.

5. Saraf VII (N. Facialis)


a. Dalam keadaan diam, perhatikan :
1) Asimetri muka (lipatan nasolabial)
2) Gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhesus
sardonicus, tremor, dsb).

b. Atas perintah pemeriksa


1) Mengangkat alis, bandingkan kanan dengan kiri.
2) Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri), kemudian pemeriksa
mencoba membuka kedua mata tersebut (bandingkan kekuatan kanan dan
kiri).
3) Memperlihatkan gigi (asimetri).
4) Bersiul dan mencucu (asimetri/deviasi ujung bibir).
5) Meniup sekuatnya (bandingkan kekuatan udara dari pipi masing-masing).
6) Menarik sudut mulut ke bawah (bandingkan konsistensi otot platisma
kanan dan kiri). Pada kelemahan ringan, kadang-kadang tes ini dapat
untuk mendeteksi kelemahan saraf fasialis pada stadium dini.

c. Sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah)


Melalui chorda tympani. Pemeriksaan ini membutuhkan zat-zat yang
mempunyai rasa :
1) Manis, dipakai gula
2) Pahit, dipakai kinine
3) Asin, dipakai garam
4) Asam, dipakai cuka
Paling sedikit menggunakan 3 macam. Penderita tidak boleh menutup mulut
dan mengatakan perasaannya dengan menggunakan kode-kode yang telah
disetujui bersama antara pemeriksa dan penderita. Penderita diminta
membuka mulut dan lidah dikeluarkan. Zat-zat diletakkan di 2/3 bagian depan
lidah. Kanan dan kiri diperiksa sendiri-sendiri, mula-mula diperiksa yang
normal.
6. Saraf VIII (N. Acusticus)
Pemeriksaan pendengaran
a. Detik arloji
Arloji ditempelkan ditelinga, kemudian dijauhkan sedikit demi sedikit,
sampai tak mendengar lagi, dibandingkan kanan dan kiri.
b. Gesekan Jari

c. Tes weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan
mana yang lebih keras, kanan/ kiri.

d. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah
tak mendengar lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena
penghantaran udara lebih baik daripada tulang.

Pemeriksaan dengan garpu tala penting dalam menentukan nervus deafness


atau tranmission deafness. Pemeriksaan pendengaran lebih baik kalau
penderita ditutup matanya untuk menghindari kebohongan.
Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan

Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :

a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber

Cara untuk menilai keseimbangan :

a. Tes romberg yang dipertajam :


1) Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang
satu berada di depan jari-jari kaki yang lain
2) Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
3) Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30
detik atau lebih
b. Tes melangkah di tempat
1) Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah
dengan kecepatan berjalan seperti biasa
2) Suruh pasien untuk tetap di tempat
3) Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula
atau badan berputar lebih 30 o
c. Tes salah tunjuk
1) Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk
pemeriksa
2) Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan
kemudian kembali ke posisi semula
3) Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk

7. Saraf IX-X (N. Glossopharyngeus-N. Vagus)


Pemeriksaan saraf IX dan X terbatas pada sensasi bagian belakang rongga mulut
atau 1/3 belakang lidah dan faring, otot-otot faring dan pita suara serta reflek
muntah/menelan/batuk.
a. Gerakan Palatum
Penderita diminta mengucapkan huruf a atau ah dengan panjang, sementara
itu pemeriksa melihat gerakan uvula dan arcus pharyngeus. Uvula akan
berdeviasi kearah yang normal (berlawanan dengan gerakan menjulurkan
lidah pada waktu pemeriksaan N XII).
b. Reflek Muntah dan pemeriksaan sensorik
Pemeriksa meraba dinding belakang pharynx dan bandingkan refleks muntah
kanan dengan kiri. Refleks ini mungkin menhilang oada pasien lanjut usia.

c. Kecepatan menelan dan kekuatan batuk

8. Saraf XI (N. Accesssorius)


Hanya mempunyai komponen motorik. Pemeriksaan :
a. Kekuatan otot sternocleidomastoideus diperiksa dengan menahan gerakan
fleksi lateral dari kepala/leher penderita atau sebaliknya(pemeriksa yang
melawan/ mendorong sedangkan penderita yang menahan pada posisi lateral
fleksi).

b. Kekuatan m. Trapezius bagian atas diperiksa dengan menekan kedua bahu


penderita kebawah, sementara itu penderita berusaha mempertahankan posisi
kedua bahu terangkat (sebaliknya posisi penderita duduk dan pemeriksa
berada dibelakang penderita)
9. Saraf XII (N. Hypoglossus)
Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini
berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah) Pemeriksaan :
a. Menjulurkan lidah
Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi. Pada Bell,s palsy
(kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan positif palsu.
b. Menggerakkan lidah kelateral
Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah tidak bisa digerkkan kearah
samping kanan dan kiri.
c. Tremor lidah
Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi perifer maka
tremor dan atropi papil positip
d. Articulasi
Diperhatikan bicara dari penderita. Bila terdapat parese maka didapatkan
dysarthria
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persarafan .


Jakarta: Salemba medika.

Pribadi, F. W. (n.d.). Pemeriksaan Saraf Kranialis. Retrieved Desember 8, 2020,


fromhttp://fk.unsoed.ac.id/wpcontent/uploads/modul%20labskill/modul%20B3/Modul%
20B3%20-%20Pemeriksaan%20Saraf%20Kranialis.pdf

Wikipedia . (2020, Oktober 29). Retrieved Desember 8, 2020, from Saraf_kranial:


https://id.wikipedia.org/wiki/Saraf_kranial#:~:text=Saraf%20kranial%20(Latin%3A%20
nervii%20craniales,bagian%20dari%20sistem%20saraf%20sadar.
LAPORAN PENDAHULUAN

PEMERIKSAAN REFLEKS

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021
A. Pengertian
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa refleks adalah jawaban atas rangsangan.
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri
atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktifasi organ
efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Misalnya : refleks tendon lutut
timbul karena adanya rangsangan (ketokan), reseptor, serabut aferen, ganglion spinal,
neuron perantara, sel neuron motorik, serabut eferen dan efektor (otot). al ini
dinamakan lengkung refleks (refleks arc). Bila lengkung ini rusak maka refleks akan
hilang.

B. Jenis Refleks
Dalam praktek sehari-hari biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu: refleks dalam
dan refleks superfisial.

1. Refleks Dalam (refleks regang otot )

Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan dan
sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks
regang otot. Nama lain refleks ini adalah refleks tendon, refleks periostal, refleks
miotatik dan refleks fisiologis. Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang
bereaksi atau menurut tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot.

2. Refleks Superfisial

Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakibatkan
berkontraksinya otot yang ada dibawahnya atau disekitarnya. Jadi bukan karena
teregangnya otot seperti pada refleks dalam.

C. Tingkat jawaban Refleks

Jawaban refleks dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu:

1. - ( Negatif) : Tidak ada refleks sama sekali

2. + : Kurang jawaban, jawaban lemah

3. + : Jawaban normal

4. ++ : Jawaban berlebih, refleks meningkat


 Pada refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot untuk mengetahui apakah ada
kontraksi, kadang#kadang kita perlu pula melakukan sedikit upaya untuk
memperjelas refleks yang lemah.

 Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila
refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekali kemungkinan hal ini
disebabkan oleh keadaan patologis

 Pada pemeriksaan refleks jangan lupa membandingkan bagian-bagian yang simetris


(kanan dan kiri)

D. Indikasi

Indikasi pemeriksaan refleks fisiologis adalah untuk melakukan penilaian dan membantu
menegakkan diagnosa adanya gangguan pada sistem saraf. Hasil pemeriksaan
hiperrefleks, tidak selalu menunjukan adanya gangguan patologis. Akan tetapi , apabila
hasil pemeriksaan menunjukan perbedaan refleks pada kedua sisi tubuh atau asimetris,
hal ini bisa diartikan adanya kondisi patologis. Sehingga perlu diingat untuk
membandingkan hasil pemeriksaan pada kedua sisi tubuh (kanan dan kiri) pada saat
melakukan pemeriksaan refleks fisiologis.

E. Kontra indikasi

Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan refleks fisiologis yaitu kondisi-kondisi yang


dapat berdampak pada pasien, seperti adanya luka atau cedera pada area yang akan
dilakukan pemeriksaan refleks yang dapat menimbulkan kesan nyeri pada pasien.
Sebagai contoh, kontraindikasi pada pemeriksaan refleks Achilles adalah adanya luka
terbuka pada area tersebut, maupun adanya nyeri berat akibat kondisi medis tertentu
seperti arthritis, dan riwayat trauma akut (seperti pada fraktur radius distal) maupun
pada pasien yang tidak dapat merelaks kan ototnya karena kondisi medis tertentu (cedera
medula spinalis).

F. Prosedur

 Refleks fisiologis

1. Refleks biseps

Cara:
 Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di atas
tendon otot biseps

 Ibu jari kemudian diketok

Hasil:

Gerakan fleksi lengan bawah

Pusat refleks: C5-C6

2. Refleks triseps

Cara:

 Pegang lengan bawah pasien yang direfleksikan setengah (semi fleksi )

 Kemudian diketok pada tendon insersi m.triseps yang berada sedikit diatas
olekranon

Hasil:

Ekstensi dari lengan bawah

Pusat refleks : C6-C8


3. Refleks kuadricep femoris (refleks tendon lutut, refleks

patella) Cara :

 Tungkai difleksikan dan digantungkan, misalnya pada tepi tempat tidue

 Ketok pada tendon muskulus kuadricep femoris, di bawag atau di atas patella
(biasanya di bawah patella)

Hasil :

Kontraksi kuadricep femoris dan ekstensi tungkai bawah

Pusat refleks: L2,L3,L4


4. Refleks tendon achilles / refleks tricep

sure Cara :

 Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya
untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki tendon achilles diketok

Hasil:

Kontraksi dari M.tricep sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada kaki

Pusat fleksi : S1,S2

 Refleks patologis

Refleks babinski
Cara :

 Pasien berbaring dan istirahat dengan tungkai diluruskan

 Pegang pergelangan kaki tetap pada tempatnya

 Lakukan goresan pada telapak kaki bagian lateral


DAFTAR PUSTAKA

Figliuzzi A, Dhahir M. Achilles Reflex . 2019. Available at :


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459229/

Encyclopedia of Children’s Health. Reflex Tests. Available at:


www.healthofchildren.com/R/Reflex-Tests.html

Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). 2016. Available at NCBI
Bookshelf : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK348940/
LAPORAN PENDAHULUAN

PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021
A. Pengertian

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
dengan gejala dan tanda gangguan sistem saraf pusat seperti meningitis, atau pada pasien
yang dicurigai mengalami penyebab meningismus lainnya seperti perdarahan
subarachnoid atau tumor korda spinalis. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
mencakup kaku kuduk, tanda Brudzinski, dan tanda Kernig.

B. TUJUAN

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal bertujuan untuk mengidentifikasi adanya iritasi


meningeal, misalnya pada kasus meningitis. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
adalah salah satu pemeriksaan bedside yang bisa dilakukan dengan mudah untuk
membantu mengarahkan diagnosis.

C. INDIKASI

Indikasi pemeriksaan tanda rangsang meningeal adalah pada pasien dengan kecurigaan
infeksi susunan saraf pusat, khususnya meningitis. Pada anamnesis pasien, dapat
ditemukan berbagai gejala yang menandakan adanya infeksi pada meninges, seperti:

1. Demam dengan onset akut atau subakut, pola demam kontinu.

2. Penurunan kesadaran

3. Sakit kepala

4. Kaku leher

5. Mual dan muntah

6. Nyeri otot

7. Kelelahan

Pemeriksaan tanda rangsang meningeal dapat dilakukan pada bayi, anak, dan
dewasa. Akan tetapi, pada anak usia di bawah 1,5 tahun, tanda Kernig dan
Brudzinski tidak selalu dapat ditemukan. Perlu diingat pula bahwa pasien dengan
meningitis bisa saja tidak menunjukkan tanda rangsang meningeal yang positif saat
pemeriksaan, sehingga hasil yang normal tidak dapat mengeksklusi adanya
meningitis. Kondisi lain yang juga bisa menunjukkan tanda rangsang meningeal
positif adalah perdarahan subarachnoid, myelitis, tumor korda spinalis, dan prolaps
diskus.

D. KONTRA INDIKASI

 Pada dasarnya, tidak ada kontraindikasi khusus dalam melakukan pemeriksaan tanda
rangsang meningeal. Pemeriksaan ini relatif sederhana, aman, dan umumnya tidak
menimbulkan komplikasi.

 Walaupun demikian, perlu diingat bahwa perasat pada pemeriksaan tanda rangsang
meningeal melibatkan pergerakan pada leher dan ekstremitas.

 Apabila pasien dicurigai mengalami trauma leher atau fraktur dan dislokasi
ekstremitas, pemeriksaan sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperparah
trauma.

 Tanda Kernig sendiri tidak memiliki reliabilitas yang baik jika dilakukan pada pasien
yang sangat letargik, paraplegik, atau komatosa.

E. TEKNIK PEMERIKSAAN TANDA RANGSANGAN MENINGEAL

Terdiri atas 4 perasat, yaitu

a. Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity), tanda Brudzinski I, Brudzinski II, dan
perasat Kernig.

b. Pemeriksaan ini mudah untuk dilakukan meskipun dalam keadaan gawat darurat.

F. PERSIAPAN PASIEN

Sebelum melakukan pemeriksaan, pastikan pasien diperiksa di ruangan yang privat dan
nyaman. Penjelasan lengkap mengenai indikasi, cara pemeriksaan, dan komplikasi harus
dijelaskan kepada pasien. Lepaskan aksesoris yang ada di leher seperti kalung atau syal.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi akibat pemeriksaan tanda rangsang meningeal jarang ditemukan.
Pemeriksaan ini sederhana dan relatif aman. Pada pasien yang dicurigai mengalami
trauma leher atau fraktur dan dislokasi ekstremitas, pemeriksaan tanda rangsang
meningeal sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperparah timbulnya trauma.

H. Hal lain yang harus di perhatikan dalam pemeriksaan rangasangan melineal

Bahwa pemeriksaan tanda rangsang meningeal yang negatif tidak bisa dijadikan dasar
untuk mengeksklusi kelainan pada sistem saraf pusat
DAFTAR PUSTAKA

Mehndiratta M, Nayak R, Garg H, Kumar M, Pandey S. Appraisal of Kernig's and Brudzinski's


sign in meningitis. Ann Indian Acad Neurol. 2012; 15(4):287–288. doi:10.4103/0972-
2327.104337

Kumar M, Das B, Kumar D. Meningeal Signs – It’s Validity in Suspected Meningitis. J


Neurosci Clin Res, 2017. Vol: 3 Issue: 1. https://www.scitechnol.com/peer-review/meningeal-
signs--its-validity-in-suspected-meningitis-NHgn.php?article_id=6307

Karl A, Brandis D. Kernig Sign.. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470365/

Iskandar W, Sastroasmoro S. Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan Anak. Jakarta; 2014. Halaman
138-139.
LAPORAN PENDAHULUAN

IRIGASI MATA

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021

A. Pengertian
Irigasi mata merupakan suatu tindakan pencucian kantung konjungtiva mata.Irigasi
biasanya menggunakan akuades, saline, atau cairan antiseptik.Teknik steril digunakan
karena tindakan ini berhubungan dengan mukosa mata.
Irigasi mata adalah tindakan pertolongan pertama pada kondisi kegawatdaruratan pada
mata yang diakibatkan iritasi zat kimiawi terhadap mata atau iritasi benda asing lainnya.

B. Tujuan
 Membersihkan
 Menghantarkan obat

C. Indikasi
 Cedera dekontaminasi kimiawi
 Pembersihan debris (mis. debu) dari mata.

D. Kontraindikasi
 Bola mata terluka atau tertusuk

E. Peralatan
 Tabung steril untuk tempat cairan
 Cairan irigasi dengan suhu 37° C
 Lakmus (penguji pH bila terpajan asam/basa)
 Irigator (contoh: selang infuse) atau spuit steril
 Bola kapas steril
 Bengkok steril
 Perlak
 Handuk
 Sarung tangan steril

F. Tindakan
 Mengucapkan salam terapeutik
 Melakukan validasi/ evaluasi
 Melakukan kontrak waktu
 Jelaskan prosedur kepada klien
 Mempersiapkan alat
 Mencuci tangan
 Bantu klien mengatur posisi duduk atau berbaring, miring kepala ke arah mata
yang sakit
 Tutup pakaian klien dengan handuk. Pasang perlak di bawah kepala pasien
 Pasang bengkok di bawah mata yang sakit
 Pakai sarung tangan steril
 Bersihkan kelopak mata dan bulu mata dengan kapas yang telah dibasahi cairan
irigan, dengan arah dari kanus dalam ke kanus luar
 Dengan perlahan, retraksi kelopak mata dengan telunjuk dan ibu jari tangan non
dominan (umumnya kiri).
 Mulai alirkan irigan melalui irigator, pengang bagian distal irrigator dengan
tangan dominan (umumnya kanan) 2,5 cm diatas mata. Aliran cairan harus
mengalir dengan kecepatan sesuai kenyamanan klien.
 Arahkan cairan irigan ke semua arah pada bila mata anterior, dari kanus dalam ke
kanus luar. Lanjutkan tindakan sampai air yang keluar dari mata tampak bersih.
 Bila sudah selesai, bersihkan sekitar mata dengan cara mengusap dari arah dalam
ke luar
 Tutup mata bila diperlukan dan kaji respon
 Bereskan alat yang digunakan dan dokumentasikan

DAFTAR PUSTAKA

Kidd, Pamela, S. Sturt, Ann, S. Fultz, Julia. 2010. Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta:
EGC

Potter, P.A, Perry, A. G (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari, dkk. Jakarta: Salemba Medika

Prigarjo, Robert. 2013. Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat. Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN

IRIGASI TELINGA

DISUSUN OLEH

Rahmi Santi Gusfani

1814201216

Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TA.2020/2021
A. Pengertian
Irigasi Telinga adalah proses pembilasan saluran telinga eksternal dengan air steril atau
saline steril. Hal ini digunakan untuk mengobati pasien yang mengeluh benda asing atau
cerumen (lilin telinga) impaksi.Irigasi telinga adalah Suatu cara untuk membersihkan
dan/atau mengeluarkan bendaasing dari dalam telinga. Irigasi telinga adalah salah satu
prosedur yang dapat dilakukan untuk membersihkan liang telinga dari impaksi serumen
atau mengeluarkan benda asing telinga yang berukuran kecil. Impaksi serumen adalah
penumpukan serumen yang menyebabkan gangguan pendengaran atau sumbatan telinga.
Adanya impaksi serumen dapat menghalangi proses diagnostik yang memerlukan
pemeriksaan membran timpani.
Prosedur irigasi telinga melibatkan air hangat atau sesuai suhu badan yang dialirkan ke
dalam liang telinga. Adanya tekanan akibat aliran air diharapkan akan mengeluarkan
serumen prop atau benda asing secara mekanik. Walaupun terkesan mudah, tindakan ini
memiliki risiko mencederai membran timpani. Oleh karena itu, tekanan saat
mengalirkan air harus dikendalikan sedemikian rupa agar mengurangi risiko ruptur
membran timpani.

B. Tujuan
1. Sebagai penatalaksanaan tindakan medis evakuasi benda asing di telinga dan
membersihkan rongga telinga dari nanah dan kotoran telinga
2. Bersihkan telinga bersih dari benda asing, Seperti semut atau serangga lainnya dan
biji-bijian
3. Telinga bebas dari kongesti dan rasa sakit

C. Indikasi
Indikasi dari irigasi telinga yaitu:
1. Untuk mengeluarka ncairan, serumen, bahan-bahan asing dari kanal audiotory
eksternal.
2. Untuk mengirigasikan alau diotory eksternal dengan lartutan antiseptic.
3. Untuk menghangatkan atau mendinginkankan alaudiotory eksterna.

D. KontraIndikasi
1. Perforasi membran timpani atau resiko tidak utuh (injurie sekunder, pembedahan,
miringitomi).
2. Terjadi komplikasi sebelum irigasi.
3. Temperatur yg ekstrim panas dapat menyebabkan pusing, mual dan muntah.
4. Bila ada benda penghisap air dalam telinga, seperti bahan sayuran (kacang), jangan
di irigasi karena bahan tersebut mengmbang dan sulit dikeluarkan.

E. Hal-Hal Yang Perlu Di Perhatikan


1. Kanal telinga anak-anak lebih kecil.
2. Tarik aurikel kebawah dan kebelakang.
3. Anak-anak posisi supinasi bila perlu di restraint untuk menghindari pergerkan.
4. Untuk mengurangi ansieas jelaskan prosedur dan izinkan anak-anak untuk
menyentuh air atau mendengarkan suara air.

F. PersiapanKlien
1. Atur posisi klien dengan memiringkan kepala kearah telinga
2. Lindungi pakaian kain dengan handuk atau bahan tahan air

G. Alat Dan Bahan


1. Baki berisi alat-alat yang steril
a. Mangkok kecil berisi cairan dengan suhu 30 derajat Celcius
b. Semprit telinga atau otologic Syiringe (metal) Syiringe 60 mili ukuran 18 atau 20 G
dan untuk anak-anak waterpik
c. Pinset telinga
d. Corong telinga
e. Pemilin telinga
f. Pengail telinga

2. Baki berisi alat-alat non steril


1. Bengkok 1 buah
2. Perlak dan alasnya
3. Lampu spiritus
4. Otoskop
5. Thermometer
6. Sarung tangan
7. Handuk
8. Cotton tips untuk anak-anak
9. Lampu kepala
10. Kapas dalam tempatnya
11. Ember kotoran

H. Prosedur Kerja
1. PersiapanPerawat
a. Mengecek catatan medis
b. Memeriksa kembali instruksi dokter
c. Mengkaji status
2. Persiapan pasien
a. Satu beritahu tindakan apa yang akan dilakukan kepada klien. Dan jelaskan bahwa
klien akan mengalami perasaan penuh hangat dan kadang-kadang tidak nyaman saat
cairan kontak dengan membrane timpani
b. Klien diberitahu dalam posisi duduk bila klien adalah anak kecil harus dipangku
sambil dipegang kepalanya
3. ProsedurPelaksanaan
1. Perlak dan alasnya dipasang pada bahu di bawah telinga yang akan dibersihkan
2. Berikan bengkok pada pasien dan minta kerja sama pasien untuk memegang
bengkok dengan posisi di bawah telinga
3. Pasang lampu kepala
4. Perawat cuci tangan
5. Perawat memakai handscoon
6. Identifikasi visual menggunakan otoskop pada telinga yang bermasalah
7. Bersihkan kotoran telinga dengan kapas, memakai pemilin kapas yang telah di flam
terlebih dahulu
8. Hisaplah cairan dengan menggunakan semprit (syringe) dan keluarkan udara dari
semprit
9. Tariklah daun telinga klien ke atas kemudian kebelakang dan dengan tangan yang
lain perawat memancarkan cairan kedinding atas liang telinga (penyemprotan cairan
harus perlahan-lahan dan tepat di tunjukan kedinding atas liang telinga agar tidak
merusak membrane timpani
10. Jika sudah bersih keringkan daun telinga dengan kapas yang telah di pilih dan di
flamber
11. Lihat atau periksa kembali liang telinga klien apakah sudah bersih atau belum
dengan menggunakan corong telinga.
12. Perawat cuci tangan
13. Bersihkan alat-alat
14. Tulis hasil dalam catatan keperawatan

I. Obat-obat yang berhubungandenganirigasitelinga


1. Obat-obat ototoksik
a. Diuretic
1.) Furosemide
2.) Asetazolamid
b. Obat kemoterapi
1.) Sisplatin
2.) Nitrogen mustard
c. Anti malarial
1.) Quinine
2.) Kloroquin
d. Obat anti inflamasi
1.) Salisilatatau aspirin
2.) Indometasin
3.)
e. Antibiotic
aminoglikosida 1.)
Amikasin
2.) Gentamisin
3.) Kanamisin
f. Antibiotic
lainnya 1.)
Eritromisin
2.) Mikrosiklin
Irrrr ii g atiinn g flood s th e ear can al.
'The ”su ction
retur n sy stem retur ns disch arge away from ear.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, L George.1997. BoiesBuku Ajar Penyakit THT.Jakarata: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar KeperawatanMedikalBedah.Jakarta :EGC

Kathleen S Oman. 2008. Panduanbelajarkeperawatanemergensi. Jakarta :EGC

Kozier&Erb. 2009. Bukuajarpraktikkeperawatanklinisedisi 5. Jakarta : EGC

Wong, L Donna. 2008. Wong Buku Ajar KeperawatanPediatrik : Volume 1. Jakarta :


EGC

Anda mungkin juga menyukai