DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
TA.2020/2021
A. Pengertian GCS (Glasgow Coma Scale)
Glasgow Coma Scale atau GCS adalah skala neurologi yang digunakan untuk melakukan
penilaian tingkat kesadaran. Selanjutnya, tingkat kesadaran adalah ukuran kesadaran dan
juga respons seseorang terhadap rangsangan lingkungan. Ketahu cara menghitung dan
nilai normalnya.
Skala Koma Glasgow adalah skala neurologi yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran. Skala ini umumnya digunakan untuk menilai kesadaran setelah cedera kepala.
Ada tiga komponen yang dinilai dalam skala ini yaitu mata, verbal, dan motorik.
B. Tujuan
Untuk mengetahui tingkat kesadaran orang yang mengalami cedera kepala.
Untuk menilai tingkat kesadaran saat memberikan pertolongan darurat medis.
C. Indikasi Gcs
Untuk mengevaluasi gangguan fungsi sistem motorik seseorang yang disebabkan karena
gangguan pada aktivitas saraf pusat, seperti keadaan cedera kepala, cedera spinal, atau
pasien dengan gejala stroke.
D. Kontrainikasi Gcs
kontraindikasi relatif untuk melakukan pemeriksaan sistem motorik. Pada pasien ini
sistem motorik hanya dapat dinilai secara inspeksi dan palpasi. Pemeriksaan sistem
motorik membutuhkan kerja sama pasien untuk melakukan posisi dan gerakan tertentu.
Untuk mencegah penolakan dan ketidaknyamanan pasien saat dilakukan pemeriksaan,
maka pemeriksa harus menjelaskan dengan baik kepada pasien apakah tujuan dari
pemeriksaan ini.
Penurunan GCS dapat terjadi karena cedera yang terjadi pada kepala. Untuk
meningkatkan nilai GCS dibutuhkan beberapa tindakan seperti:
a. Pemberian Obat
1) Mata
Nilai GCS yang dievaluasi melalui pemeriksaan mata:
Jika tim medis meminta membuka mata dan merangsang seseorang dengan nyeri tapi
mata orang tersebut tidak bereaksi dan tetap terpejam, maka poin GCS yang didapat
yaitu 1.
Jika mata terbuka akibat rangsang nyeri saja, poin GCS yang didapat yaitu 2.
Jika mata seseorang terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat mengikuti
perintah untuk membuka mata, poin GCS yang didapat yaitu 3.
Jika mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan, maka poin yang
didapat yaitu 4.
2) Suara
Jika seseorang tidak mengeluarkan suara sedikitpun, meski sudah dipanggil atau
dirangsang nyeri, maka orang tersebut mendapat poin 1.
Jika suara yang keluar seperti rintihan tanpa kata-kata, poin yang didapat yaitu 2.
Seseorang dapat berkomunikasi tapi tidak jelas atau hanya mengeluarkan kata-kata
tapi bukan kalimat yang jelas, poin GCS yang didapat yaitu 3.
Jika seseorang dapat menjawab pertanyaan dari tim medis tapi pasien seperti
kebingungan atau percakapan tidak lancar, maka poin yang didapat adalah 4.
Seseorang dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan benar dan sadar
penuh terhadap orientasi lokasi, lawan bicara, tempat, dan waktu, maka poin yang
didapat yaitu 5.
3) Gerakan
o Tidak ada respons gerakan tubuh walau sudah diperintahkan atau diberi rangsangan
nyeri, poin GCS yang didapat yaitu 1.
o Seseorang hanya dapat mengepalkan jari tangan dan kaki, atau menekuk kaki dan
tangan saat diberi rangsangan nyeri, poin yang didapatkan adalah 2.
o Seseorang hanya menekuk lengan dan memutar bahu saat diberi rangsangan nyeri,
poin GCS yang didapat yaitu 3.
o Seseorang dapat menggerakkan tubuh menjauhi sumber nyeri ketika dirangsang nyeri,
poin GCS yang diperoleh yaitu 4. Contohnya, seseorang dapat menjauhkan tangan
ketika dicubit.
o Bagian tubuh yang tersakiti dapat bergerak dan orang yang diperiksa dapat
menunjukkan lokasi nyeri, poin GCS yang didapat yaitu 5. Contohnya ketika tangan
diberi rangsangan nyeri, tangan akan mengangkat.
o Seseorang dapat melakukan gerakan ketika diperintahkan, poin GCS yang didapatkan
yaitu 6.
DAFTAR PUSTAKA
DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
TA.2020/2021
A. Pengkajian Kekuatan Otot
Jenis pengkajian kekuatan otot yang sering digunakan adalah Manual Muscle Testing
(MMT) yang merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan yang mengukur
kemampuan klien menggerakkan tubuhnya selama dites melawan gravitasi, serta
melakukan rentang pergerakan sendi yang sesuai untuk melawan tahanan yang diberikan
oleh pemeriksa (Klein, 2007). Pengukuran dilakukan menggunakan skala klasik, yaitu
rentang nilai 0 - 5. Menurut Hislop & Montgomery (1995), tujuan dari pengkajian
kekuatan otot ini adalah untuk mengetahui kemampuan kontraksi otot secara volunteer.
Hasil pengkajian kekuatan otot dapat digunakan untuk menentukan intervensi yang akan
diberikan, misalnya pemilihan alat bantu ataupun jenis terapi yang sesuai (Priharjo,
2006).
B. Indikasi
1. Lansia secara umum
2. Lansia yang mengalami masalah atau gangguan mobilisasi
3. Lansia yang mengalami masalah atau gangguan neurologis
C. Kontra Indikasi
1. Fraktur
2. Inflamasi pada otot, tulang, atau sendi
3. Keluhan nyeri
E. Langkah Perawatan
Berikut merupan prosedurmanual muscle testing(Hislop & Montgomery, 1995; Priharjo,
2006):
1. Ucapkan salam dan perkenalkan diri.
2. Pastikam nama lansia.
3. Berikan penjelasan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Posisikan lansia pada posisi yang mudah diobservasi dan memungkinkan adanya
kontraksi otot. Pastikan lansia merasa nyaman.
5. Kondisikan agar pakaian lansia tidak mengganggu pergerakan.
6. Berikan penjelasan dan contohkan gerakan yang harus dilakukan oleh lansia.
7. Pandu lansia untuk melakukan gerakan rentang pergerakan sendi dan melawan
gravitasi, sambil perawat memberikan tahanan ke arah yang berlawanan.
8. Minta lansia memberikan perlawanan terhadap tahanan yang diberikan perawat.
Instrusksikan agar lansia tidak menahan napas.
Otot bahu
Otot pinggul
9. Selesaikan terlebih dahulu untuk mengkaji kekuatan otot pada sisi yang sama, kemudian
sisi yang berlawanan.
10. Kaji pergerakan yang dilakukan lansia.
11. Catat hasil pengkajian.
Berman, et.al. (2009). Buku ajar praktik keperawatan klinis Kozier & Erb (ed. ke-5, penerjemah
Eny Meiliya, Esty Wahyuningsih, Devi Yulianti). Jakarta: EGC.
Hislop, H., & Montgomery, J. (1995). Daniels and Worthingham's muscle testing: Techniques of
manual examination (6th ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Klein, L.J. (2007). Fundamentals of hand therapy: Clinical reasoning and treatment guidelines
for common diagnoses of upper extremity (Cynthia Cooper Ed.). Missouri: Mosby Elsevier.
DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
TA.2020/2021
A. Pengertian
Saraf kranial (Latin: nervii craniales) adalah 12 pasang saraf pada manusia yang
mencuat dari otak, berbeda dari saraf spinal yang mencuat dari sumsum tulang belakang.
Saraf kranial merupakan bagian dari sistem saraf sadar.Dari 12 pasang saraf, 3 pasang
memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII); 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI,
XII) dan 4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X). Pasangan saraf-saraf ini diberi
nomor sesuai urutan dari depan hingga belakang, lazimnya menggunakan angka
romawiSaraf kranial sendiri merupakan bagian dari sistem saraf tepi namun berlokasi di
dekat sistem saraf pusat yakni kranium/tengkorak. Sehingga sering kali mereka disalah
klasifikasikan.Saraf-saraf ini terhubung utamanya dengan struktur yang ada di kepala dan
leher manusia seperti mata, hidung, telinga, mulut dan lidah. Pasangan I dan II mencuat
dari otak besar, sementara yang lainnya mencuat dari batang otak.(Wikipedia , 2020)
Saraf cranial terdiri atas serabut aferen atau eferen dan beberapa memiliki kedua serabut
tersebut yang dikenal dengan nama serabut campuran. Badan sel serabut aferen terdapat
pada ganglia di luar batang otak , sedangkan badan sel serabut eferen terdapat pada
nuclei batang ota. Menurut (Sidharta,1985) dalam buku Ajar Asuhan Keperawatan
Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Pemeriksaan saraf cranial dimulai dengan
mengatur posisi klien sehingga duduk di tepi tidur bila memungkinkan, perhatikan
kepalah, wajah dan leher. Catat apakah terdapat hidrosefalus (kepala dan wajah
menyerupai segitiga terbalik) atau akromegali.
C. Syaraf Kranial
1. Syaraf I N. Olfaktorius)
Pemeriksaan dapat secara subyektif dan obyektif. Subyektif hanya ditanyakan apakah
penderita masih dapat membaui bermacam-macam bau dengan betul. Obyektif
dengan beberapa bahan yang biasanya sudah dikenal oleh penderita dan biasanya
bersifat aromatik dan tidak merangsang seperti : golongan minyak wangi, sabun,
tembakau, kopi, vanili, dan sebagainya (3 atau 4 macam). Bahan yang merangsang
mukosa hidung (alkohol, amonia) tidak dipakai karena akan merangsang saraf V.
Yang penting adalah memeriksa kiri, kanan dan yang diperiksa dari yang normal. Ini
untuk pegangan, sebab tiap orang tidak sama. Kemudian abnormal dibandingkan
dengan yang normal. Tetapi dalam pembuatan status dilaporkan yang abnormal
dahulu.
Cara Pemeriksaan :
a. Kedua mata ditutup
b. Lubang hidung ditutup
c. Dilihat apakah tidak ada gangguan pengaliran udara
d. Kemudian bahan satu persatu didekatkan pada lubang hidung yang terbuka dan
penderita diminta menarik nafas panjang, kemudian diminta mengidentifikasi
bahan tersebut.
a. Penyakit pada mukosa hidung, baik yang obstruktif (rinitis) atau atropik (ozaena)
akan menimbulkan positif palsu.
b. Pada orangtua fungsi pembauan bisa menurun (hiposmia).
c. Yang penting adalah gangguan pembauan yang sesisi (unilateral) tanpa kelainan
intranasal dan kurang disadari penderita (kronik), perlu dipikirkan suatu glioma
lobus frontalis, meningioma pada crista sphenoidalis dan tumor parasellar. Fungsi
pembauan juga bisa hilang pada trauma kapitis (mengenai lamina cribosa yang
tipis) dan meningitis basalis (sifilis, tuberkulosa).
d. Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psychic dengan
organik, pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang merangsang N II, tapi juga
yang merangsang N V (seperti amoniak). Meskipun N I tidak dapat membau
karena rusak, tetapi N V tetap dapat menerima rangsangan amoniak. Bila dengan
amoniak tetap tidak membau apa-apa maka kemungkinan kelainan psycis.
2. Saraf II (N. Opticus)
Pemeriksaan meliputi :
a. Penglihatan sentral Untuk keperluan praktis, membedakan kelainan refraksi
dengan retina digunakan PIN HOLE (apabila penglihatan menjadi lebih
jelasmaka berarti gangguan visus akibat kelainan refraksi). Lebih tepat lagi
dengan optotype Snellen. Yang lebih sederhana lagi memakai jari-jari tangan
dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m dan gerakan tangan dimana
secara normal dapat dilihat pada jarak 300 m.
b. Penglihatan Perifer
Diperiksa dengan :
1) Tes Konfrontasi.
a) Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap mata
pemeriksa sisi lain.
b) Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai denganlapang
pandang pasien.
c) Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang pandang
pasien dari 8 arah.
d) Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.
Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang pemeriksa.
e) Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus normal.
2) Perimetri/Kampimetri
Biasanya terdapat di bagian mata dan hasilnya lebih teliti daripada tes
konfrontasi.
3. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
a. Bentuk dan ukuran pupil
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada kemungkinan bekas
operasi mata. Pada sifilis bentuknya menjadi tidak teratur atau
lonjong/segitiga. Ukuran pupil yang normal kira-kira 2-3 mm (garis tengah).
Pupil yang mengecil disebut Meiosis, yang biasanya terdapat pada Sindroma
Horner, pupil Argyl Robertson( sifilis, DM, multiple sclerosis). Sedangkan
pupil yang melebar disebut mydriasis, yang biasanya terdapat pada parese/
paralisa m. sphincter dan kelainan psikis yaitu histeris
b. Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal. Bila antara
pupil kanan dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor. Bila tidak sama
besar disebut anisokor. Pada penderita tidak sadar maka harus
dibedakanapakah anisokor akibat lesi non neurologis(kelainan iris, penurunan
visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf perifer N. III, herniasi
tentorium.
c. Refleks pupil
Terdiri atas :
1) Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup dan
penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada akomodasi dan supaya
otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya dari samping mata.
Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung
mengenai mata. Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau
tidak maka ada kerusakan pada arcus reflex (mata---N. Opticus---pusat---
N. Oculomotorius).
2) Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan disuruh
mengikuti gerak benda tersebut dimana benda tersebut digerakkan
pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata penderita. Maka
reflektoris pupil akan kontriksi. Reflek cahaya dan akomodasi penting
untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek cahayanya negatif
namun reflek akomodasi positif.
3) Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan terjadi
pada mata yang lain. Mata tidak boleh langsung terkena cahaya, diantara
kedua mata diletakkan selembar kertas. Mata sebelah diberi cahaya, maka
normal mata yang lain akan kontriksi juga.
d. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)
Gerakan bola mata yang diperiksa adalah yang diinervasi oleh nervus III, IV
dan VI. Dimana N III menginervasi m. Obliq inferior (yang menarik bala
mata keatas), m. rectus superior, m. rectus media, m. rectus inferior. N IV
menginervasi m. Obliq Superior dan N VI menginervasi m. rectus lateralis.
N III selain menginervasi otot-otot mata luar diatas juga menginervasi otot
sphincter pupil. Pemeriksaan dimulai dari otot-otot luar yaitu penderita
disuruh mengikuti suatu benda kedelapan jurusan. Yang harus diperhatikan
ialah melihat apakah ada salah satu otot yang lumpuh. Bila pada 1 atau 2
gerakan mata ke segala jurusan dari otot-otot yang disarafi N III berkurang
atau tidak bisa sama sekali, maka disebut opthalmoplegic externa. Kalau yang
parese otot bagian dalam (otot sphincter pupil) maka disebut opthalmoplegic
interna. Jika hanya ada salah satu gangguan maka disebut opthalmoplegic
partialis, sedangkan kalau ada gangguan kedua macam otot luar dan dalam
disebut opthalmoplegic totalis
Pemeriksaan dilakukan pada tiap cabang dan dibandingkan kanan dengan kiri.
b. Motorik
Penderita disuruh menggigit yang keras dan kedua tangan pemeriksa ditruh
kira-kira didaerah otot maseter. Jika kedua otot masseter berkontraksi maka
akan terasa pada tangan pemeriksa. Kalau ada parese maka dirasakan salah
satu otot lebih keras.
c. Reflek
Penderita diminta melirik kearah laterosuperior, kemudian dari arah lain tepi
kornea disentuhkan dengan kapas agak basah. Bila reflek kornea mata positif,
maka mata akan ditutupkan.
c. Tes weber
Garpu tala yang bergetar ditempelkan dipertengahan dahi. Dibandingkan
mana yang lebih keras, kanan/ kiri.
d. Tes Rinne
Garpu tala yang bergetar ditempelkan pada Processus mastoideus. Sesudah
tak mendengar lagi dipindahkan ke telinga maka terdengar lagi. Ini karena
penghantaran udara lebih baik daripada tulang.
a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber
PEMERIKSAAN REFLEKS
DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
TA.2020/2021
A. Pengertian
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa refleks adalah jawaban atas rangsangan.
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri
atas jalur aferen yang dicetus oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktifasi organ
efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Misalnya : refleks tendon lutut
timbul karena adanya rangsangan (ketokan), reseptor, serabut aferen, ganglion spinal,
neuron perantara, sel neuron motorik, serabut eferen dan efektor (otot). al ini
dinamakan lengkung refleks (refleks arc). Bila lengkung ini rusak maka refleks akan
hilang.
B. Jenis Refleks
Dalam praktek sehari-hari biasanya memeriksa 2 macam refleks, yaitu: refleks dalam
dan refleks superfisial.
Refleks dalam timbul oleh regangan otot yang disebabkan oleh rangsangan dan
sebagai jawabannya maka otot berkontraksi. Refleks dalam juga dinamai refleks
regang otot. Nama lain refleks ini adalah refleks tendon, refleks periostal, refleks
miotatik dan refleks fisiologis. Refleks dalam dapat dinamai menurut otot yang
bereaksi atau menurut tempat merangsang, yaitu tempat insersio otot.
2. Refleks Superfisial
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakibatkan
berkontraksinya otot yang ada dibawahnya atau disekitarnya. Jadi bukan karena
teregangnya otot seperti pada refleks dalam.
3. + : Jawaban normal
Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan patologis, tetapi bila
refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekali kemungkinan hal ini
disebabkan oleh keadaan patologis
D. Indikasi
Indikasi pemeriksaan refleks fisiologis adalah untuk melakukan penilaian dan membantu
menegakkan diagnosa adanya gangguan pada sistem saraf. Hasil pemeriksaan
hiperrefleks, tidak selalu menunjukan adanya gangguan patologis. Akan tetapi , apabila
hasil pemeriksaan menunjukan perbedaan refleks pada kedua sisi tubuh atau asimetris,
hal ini bisa diartikan adanya kondisi patologis. Sehingga perlu diingat untuk
membandingkan hasil pemeriksaan pada kedua sisi tubuh (kanan dan kiri) pada saat
melakukan pemeriksaan refleks fisiologis.
E. Kontra indikasi
F. Prosedur
Refleks fisiologis
1. Refleks biseps
Cara:
Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di atas
tendon otot biseps
Hasil:
2. Refleks triseps
Cara:
Kemudian diketok pada tendon insersi m.triseps yang berada sedikit diatas
olekranon
Hasil:
patella) Cara :
Ketok pada tendon muskulus kuadricep femoris, di bawag atau di atas patella
(biasanya di bawah patella)
Hasil :
sure Cara :
Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya
untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki tendon achilles diketok
Hasil:
Kontraksi dari M.tricep sure dan memberikan gerak plantar fleksi pada kaki
Refleks patologis
Refleks babinski
Cara :
Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG). 2016. Available at NCBI
Bookshelf : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK348940/
LAPORAN PENDAHULUAN
DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
TA.2020/2021
A. Pengertian
Pemeriksaan tanda rangsang meningeal adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
dengan gejala dan tanda gangguan sistem saraf pusat seperti meningitis, atau pada pasien
yang dicurigai mengalami penyebab meningismus lainnya seperti perdarahan
subarachnoid atau tumor korda spinalis. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
mencakup kaku kuduk, tanda Brudzinski, dan tanda Kernig.
B. TUJUAN
C. INDIKASI
Indikasi pemeriksaan tanda rangsang meningeal adalah pada pasien dengan kecurigaan
infeksi susunan saraf pusat, khususnya meningitis. Pada anamnesis pasien, dapat
ditemukan berbagai gejala yang menandakan adanya infeksi pada meninges, seperti:
2. Penurunan kesadaran
3. Sakit kepala
4. Kaku leher
6. Nyeri otot
7. Kelelahan
Pemeriksaan tanda rangsang meningeal dapat dilakukan pada bayi, anak, dan
dewasa. Akan tetapi, pada anak usia di bawah 1,5 tahun, tanda Kernig dan
Brudzinski tidak selalu dapat ditemukan. Perlu diingat pula bahwa pasien dengan
meningitis bisa saja tidak menunjukkan tanda rangsang meningeal yang positif saat
pemeriksaan, sehingga hasil yang normal tidak dapat mengeksklusi adanya
meningitis. Kondisi lain yang juga bisa menunjukkan tanda rangsang meningeal
positif adalah perdarahan subarachnoid, myelitis, tumor korda spinalis, dan prolaps
diskus.
D. KONTRA INDIKASI
Pada dasarnya, tidak ada kontraindikasi khusus dalam melakukan pemeriksaan tanda
rangsang meningeal. Pemeriksaan ini relatif sederhana, aman, dan umumnya tidak
menimbulkan komplikasi.
Walaupun demikian, perlu diingat bahwa perasat pada pemeriksaan tanda rangsang
meningeal melibatkan pergerakan pada leher dan ekstremitas.
Apabila pasien dicurigai mengalami trauma leher atau fraktur dan dislokasi
ekstremitas, pemeriksaan sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperparah
trauma.
Tanda Kernig sendiri tidak memiliki reliabilitas yang baik jika dilakukan pada pasien
yang sangat letargik, paraplegik, atau komatosa.
a. Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity), tanda Brudzinski I, Brudzinski II, dan
perasat Kernig.
b. Pemeriksaan ini mudah untuk dilakukan meskipun dalam keadaan gawat darurat.
F. PERSIAPAN PASIEN
Sebelum melakukan pemeriksaan, pastikan pasien diperiksa di ruangan yang privat dan
nyaman. Penjelasan lengkap mengenai indikasi, cara pemeriksaan, dan komplikasi harus
dijelaskan kepada pasien. Lepaskan aksesoris yang ada di leher seperti kalung atau syal.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi akibat pemeriksaan tanda rangsang meningeal jarang ditemukan.
Pemeriksaan ini sederhana dan relatif aman. Pada pasien yang dicurigai mengalami
trauma leher atau fraktur dan dislokasi ekstremitas, pemeriksaan tanda rangsang
meningeal sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memperparah timbulnya trauma.
Bahwa pemeriksaan tanda rangsang meningeal yang negatif tidak bisa dijadikan dasar
untuk mengeksklusi kelainan pada sistem saraf pusat
DAFTAR PUSTAKA
Karl A, Brandis D. Kernig Sign.. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470365/
Iskandar W, Sastroasmoro S. Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan Anak. Jakarta; 2014. Halaman
138-139.
LAPORAN PENDAHULUAN
IRIGASI MATA
DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TA.2020/2021
A. Pengertian
Irigasi mata merupakan suatu tindakan pencucian kantung konjungtiva mata.Irigasi
biasanya menggunakan akuades, saline, atau cairan antiseptik.Teknik steril digunakan
karena tindakan ini berhubungan dengan mukosa mata.
Irigasi mata adalah tindakan pertolongan pertama pada kondisi kegawatdaruratan pada
mata yang diakibatkan iritasi zat kimiawi terhadap mata atau iritasi benda asing lainnya.
B. Tujuan
Membersihkan
Menghantarkan obat
C. Indikasi
Cedera dekontaminasi kimiawi
Pembersihan debris (mis. debu) dari mata.
D. Kontraindikasi
Bola mata terluka atau tertusuk
E. Peralatan
Tabung steril untuk tempat cairan
Cairan irigasi dengan suhu 37° C
Lakmus (penguji pH bila terpajan asam/basa)
Irigator (contoh: selang infuse) atau spuit steril
Bola kapas steril
Bengkok steril
Perlak
Handuk
Sarung tangan steril
F. Tindakan
Mengucapkan salam terapeutik
Melakukan validasi/ evaluasi
Melakukan kontrak waktu
Jelaskan prosedur kepada klien
Mempersiapkan alat
Mencuci tangan
Bantu klien mengatur posisi duduk atau berbaring, miring kepala ke arah mata
yang sakit
Tutup pakaian klien dengan handuk. Pasang perlak di bawah kepala pasien
Pasang bengkok di bawah mata yang sakit
Pakai sarung tangan steril
Bersihkan kelopak mata dan bulu mata dengan kapas yang telah dibasahi cairan
irigan, dengan arah dari kanus dalam ke kanus luar
Dengan perlahan, retraksi kelopak mata dengan telunjuk dan ibu jari tangan non
dominan (umumnya kiri).
Mulai alirkan irigan melalui irigator, pengang bagian distal irrigator dengan
tangan dominan (umumnya kanan) 2,5 cm diatas mata. Aliran cairan harus
mengalir dengan kecepatan sesuai kenyamanan klien.
Arahkan cairan irigan ke semua arah pada bila mata anterior, dari kanus dalam ke
kanus luar. Lanjutkan tindakan sampai air yang keluar dari mata tampak bersih.
Bila sudah selesai, bersihkan sekitar mata dengan cara mengusap dari arah dalam
ke luar
Tutup mata bila diperlukan dan kaji respon
Bereskan alat yang digunakan dan dokumentasikan
‘
DAFTAR PUSTAKA
Kidd, Pamela, S. Sturt, Ann, S. Fultz, Julia. 2010. Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta:
EGC
Potter, P.A, Perry, A. G (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari, dkk. Jakarta: Salemba Medika
Prigarjo, Robert. 2013. Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat. Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
IRIGASI TELINGA
DISUSUN OLEH
1814201216
Dosen pembimbing :
Ns. LISA MUSTIKASARI M.Kep
TA.2020/2021
A. Pengertian
Irigasi Telinga adalah proses pembilasan saluran telinga eksternal dengan air steril atau
saline steril. Hal ini digunakan untuk mengobati pasien yang mengeluh benda asing atau
cerumen (lilin telinga) impaksi.Irigasi telinga adalah Suatu cara untuk membersihkan
dan/atau mengeluarkan bendaasing dari dalam telinga. Irigasi telinga adalah salah satu
prosedur yang dapat dilakukan untuk membersihkan liang telinga dari impaksi serumen
atau mengeluarkan benda asing telinga yang berukuran kecil. Impaksi serumen adalah
penumpukan serumen yang menyebabkan gangguan pendengaran atau sumbatan telinga.
Adanya impaksi serumen dapat menghalangi proses diagnostik yang memerlukan
pemeriksaan membran timpani.
Prosedur irigasi telinga melibatkan air hangat atau sesuai suhu badan yang dialirkan ke
dalam liang telinga. Adanya tekanan akibat aliran air diharapkan akan mengeluarkan
serumen prop atau benda asing secara mekanik. Walaupun terkesan mudah, tindakan ini
memiliki risiko mencederai membran timpani. Oleh karena itu, tekanan saat
mengalirkan air harus dikendalikan sedemikian rupa agar mengurangi risiko ruptur
membran timpani.
B. Tujuan
1. Sebagai penatalaksanaan tindakan medis evakuasi benda asing di telinga dan
membersihkan rongga telinga dari nanah dan kotoran telinga
2. Bersihkan telinga bersih dari benda asing, Seperti semut atau serangga lainnya dan
biji-bijian
3. Telinga bebas dari kongesti dan rasa sakit
C. Indikasi
Indikasi dari irigasi telinga yaitu:
1. Untuk mengeluarka ncairan, serumen, bahan-bahan asing dari kanal audiotory
eksternal.
2. Untuk mengirigasikan alau diotory eksternal dengan lartutan antiseptic.
3. Untuk menghangatkan atau mendinginkankan alaudiotory eksterna.
D. KontraIndikasi
1. Perforasi membran timpani atau resiko tidak utuh (injurie sekunder, pembedahan,
miringitomi).
2. Terjadi komplikasi sebelum irigasi.
3. Temperatur yg ekstrim panas dapat menyebabkan pusing, mual dan muntah.
4. Bila ada benda penghisap air dalam telinga, seperti bahan sayuran (kacang), jangan
di irigasi karena bahan tersebut mengmbang dan sulit dikeluarkan.
F. PersiapanKlien
1. Atur posisi klien dengan memiringkan kepala kearah telinga
2. Lindungi pakaian kain dengan handuk atau bahan tahan air
H. Prosedur Kerja
1. PersiapanPerawat
a. Mengecek catatan medis
b. Memeriksa kembali instruksi dokter
c. Mengkaji status
2. Persiapan pasien
a. Satu beritahu tindakan apa yang akan dilakukan kepada klien. Dan jelaskan bahwa
klien akan mengalami perasaan penuh hangat dan kadang-kadang tidak nyaman saat
cairan kontak dengan membrane timpani
b. Klien diberitahu dalam posisi duduk bila klien adalah anak kecil harus dipangku
sambil dipegang kepalanya
3. ProsedurPelaksanaan
1. Perlak dan alasnya dipasang pada bahu di bawah telinga yang akan dibersihkan
2. Berikan bengkok pada pasien dan minta kerja sama pasien untuk memegang
bengkok dengan posisi di bawah telinga
3. Pasang lampu kepala
4. Perawat cuci tangan
5. Perawat memakai handscoon
6. Identifikasi visual menggunakan otoskop pada telinga yang bermasalah
7. Bersihkan kotoran telinga dengan kapas, memakai pemilin kapas yang telah di flam
terlebih dahulu
8. Hisaplah cairan dengan menggunakan semprit (syringe) dan keluarkan udara dari
semprit
9. Tariklah daun telinga klien ke atas kemudian kebelakang dan dengan tangan yang
lain perawat memancarkan cairan kedinding atas liang telinga (penyemprotan cairan
harus perlahan-lahan dan tepat di tunjukan kedinding atas liang telinga agar tidak
merusak membrane timpani
10. Jika sudah bersih keringkan daun telinga dengan kapas yang telah di pilih dan di
flamber
11. Lihat atau periksa kembali liang telinga klien apakah sudah bersih atau belum
dengan menggunakan corong telinga.
12. Perawat cuci tangan
13. Bersihkan alat-alat
14. Tulis hasil dalam catatan keperawatan