Anda di halaman 1dari 48

Nama: Wulan Yulistyowati

NIM: J410191197
Kelas: Transfer Sem 3

JENIS DEFINISI MASA METODE


NO
PENYAKIT OPERASIONAL INKUBASI PENYELENGGARAAN
1. Mers-CoV Middle East Respiratory Syndrome Corona 2–14 hari (rata- Kegiatan surveilans diselenggarakan berbasis
Virus (MERS-CoV) adalah suatu strain baru dari rata 5 hari) indikator atau surveilans rutin dan berbasis kejadian
virus corona yang belum pernah ditemukan (event based
menginfeksi manusia sebelumnya. surveillance) yang dilakukan secara pasif maupun aktif.
Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) dengan tiga keadaan yaitu demam
(≥38°C) atau ada riwayat demam, batuk,
pneumonia berdasarkan gejala klinis atau
gambaran radiologis
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. HIV-AIDS Acquired immunodeficiency syndrome. 5-10 tahun Metode surveilans yang dianjurkan sesuai dengan
Sekelompok kondisi medis yang menunjukkan keadaan epidemi
lemahnya kekebalan tubuh, sering berwujud a. Keadaan epidemi HIV generalised
infeksi ikutan (infeksi oportunistik) dan kanker, Data dari tes HIV rutin atau periodik untuk
yang hingga saat ini belum bisa disembuhkan. mengkalibrasi data dari testing HIV rutin.
Human immunodeficiency virus merupakan b. Keadaan epidemi HIV concentrated
virus yang menyebabkan AIDS. Data dari tes HIV rutin atau periodik (khusus) didaerah
pelaksanaan dimana tingkat HIV tidak diketahui (data
rutin belum ada). Survei ini dapat dipakai untuk
mengkalibrasi data dari testing HIV rutin
c. Keadaan epidemi HIV low level
Survei periodik
3. Pneumonia Batuk dan atau kesukaran bernafas 2-7 hari Penyelenggaraan surveilans dilakukan secara rutin dan
disertai peningkatan frekuensi nafas sesuai berkala seperti:
umur atau penarikan dinding dada bagian 1. Meningkatkan pelaporan hasil kerentanan antibiotik
bawah (severe chest indrawing). Frekuensi 2. Mendorong pelaporan penyedia
nafas pada umur 2-11 bulan sebesar 60 kali 3. Meningkatkan deteksi DRSP di laboratorium
permenit atau lebih, sedang pada umur 1-5 4. Menyederhanakan pelaporan menggunakan metode
tahun sebesar 40 kali permenit atau lebih. elektronik

4. Tuberkulosis Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB 6-14 minggu Surveilans TB diselenggarakan dengan berbasis
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh indikator dan berbasis kejadian.Surveilans b erbasis
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat indikator ditujukan untuk memperoleh gambaran yang
menyerang paru dan organ lainnya. akan digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian program Penanggulangan TBSedangkan
surveilans berbasis kejadian ditujukan untuk
meningkatkan kewaspadaan dini dan tindakan respon
terhadap terjadinya peningkatan TB resistan obat.
5. Hepatitis Hepatitis adalah penyakit yang disebabkan Masa inkubasi Surveilans dilakukan dengan metode sentinel,
oleh virus Hepatitis dengan gejala klinis berkisar antara 15- penyelenggaraan surveilans hepatitis dilakukan pada
demam, badan lemas, mual, selaput mata 50 hari, dengan populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan
berwarna kuning, atau air kencing berwarna rata-rata 28 hari. signal adanya kasus hepatitis pada suatu populasi atau
seperti air teh. wilayah yang lebih luas
6. Flu burung / Avian Influenza disingkat AI sering disebut 2-8 hari Kegiatan surveilans epidemiologi dilakukan selama
Avian Influenza avian flu, bird flu, atau flu burung adalah masa penanggulangan sampai dengan pasca
penyakit influenza pada unggas yang disebabkan penanggulangan dengan sasaranpopulasi yang berisiko,
oleh virus influenza tipe A yang dapat menular yaitu masyarakat dan petugas:
dengan cepat, menimbulkan kematian yang a. Di wilayah kasus dan penanggulangan
tinggi, dan dalam perkembangannya dapat b. Di rumah sakit yang merawat kasus
menular ke manusia. c. Puskesmas, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya
d. Di bandar udara, pelabuhan, pos lintas batas darat
(PLBD)
e. Di wilayah berisiko
7. Kusta Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang 2-5 tahun Pelaksanaan surveilan dilakukan secara rutin dan
disebabkan berkala agar masalah
oleh kuman Mycobacterium leprae. dalam pelaksanaan kegiatan program dapat diketahui
lebih awal dan dapat
segera dilakukan tindakan perbaikan. Pemantauan dan
evaluasi program
Penanggulangan Kusta dilakukan setiap 3 (tiga) bulan
sekali dan 1 (satu)
tahun untuk mengukur pencapaian tujuan, indikator dan
target yang telah
ditetapkan.
8. Congenital Congenital Rubella Syndrom (CRS) adalah 2-3 minggu Pelaksanaan surveilans epidemiologi CRS dilakukan
Rubella suatu kumpulan gejala akibat infeksi virus dengan metode pelaksanaan surveilans
Syndrom (CRS) rubella selama kehamilan. Akibat hal tersebut epidemiologi rutin terpadu yang bersumber data
dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin, dari Rumah Sakit
antara lain: abortus, lahir mati atau cacat berat
kongenital (birth defects) apabila bayi tetap
hidup. Virus rubelladitularkan melalui
dropletsaluran pernapasan saat batuk atau bersin.
9. Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut 2-30 hari biasanya 1. Surveilans berbasis rumah sakit (Hospital-based
disebabkan oleh rata-rata 7-10 hari Surveillance)
bakteri Leptospira dengan spectrum penyakit Kasus Leptospirosis yang masuk dan dirawat di rumah
yang luas dan dapat menyebabkan kematian. sakit harus dilaporkan secara berkala kepada seksi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri surveilans dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
yang berbentuk spiral dari genus Leptospira Setiap kasus yang masuk kerumah sakit perlu
yang pathogen, menyerang hewan dan manusia. dilaporkan sejak tanggal pertama masuk rumah sakit,
perkembangan penyakitnya, hasil laboratoriumnya,
hingga status terakhir kasus tersebut apakah meninggal
atau sembuh.
2. Surveilans Berbasis Komunitas (Community-based
Surveillance) Surveilans dilakukan untuk mengamati
penyakit
melalui pengumpulan data rutin disuatu wilayah yang
dikordinasi oleh seksi surveilans di dinas kesehatan
kabupaten/kota dan provinsi.
10. Filariasis Filariasis merupakan penyakit menular menahun 5-8 tahun 1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mendistribusikan
yang disebabkan oleh cacing filaria yang kemudian Formulir Data Kasus Kronis Filariasis Puskesmas dan
menyerang saluran dan kelenjar getah bening. bahan promosi
2. Semua data kasus kronis yang diperoleh
direkapitulasi puskesmas
3. Dilakukan konfirmasi kasus kronis filariasis oleh
petugas puskesmas
4. Data di catat dan di kirim ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
5. Data dari masing-masing puskesmas di rekapitulasi
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota lalu dikirim ke
Dinas Kesehatan Provinsi
6. Data dari masing-masing Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di rekapitulasi oleh Dinas Kesehatan
Provinsi dan dikirim ke pusat.
11. Rabies/ penyakit Rabies atau penyakit anjing gila merupakan Masa inkubasi Surveilans dilakukan melalui proses kajian
anjing gila penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat berkisar antara 2 epidemiologi dengan mengkaji informasi gigitan HPR,
yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini minggu sampai 2 kematian rabies manusia & hewan, dan pengkajian
merupakan kelompok penyakit zoonosis yaitu tahun, pada kondisi rentan. Selain itu juga melakukan peringatan
penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke umumnya 3-8 m kewaspadaan dini KLB meliputi kecenderungan
manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan inggu. Menurut ancaman KLB (cakupan vaksinasi rendah, peningkatan
Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera, WHO rata-rata 30- gigitan, adanya kasus positif rabies) serta peringatan
kucing, musang dan anjing liar. 90 hari. Variasai kepada stake holder
masa inkubasi
dipengaruhi oleh
letak gigitan,
kedalaman luka,
jenis virus dan
jumlah virus yang
masuk.

12. Pes Pes merupakan penyakit menular yang 2-6 hari Kegiatan surveilans dilaksanakan secara rutin yang
disebabkan oleh bakteri Yersinia Pestis, melalui dilakukan melalui survei rodent, survei human,
gigitan pinjal yang hidup pada tikus. Penularan penguatan laboratorium maupun usaha pengendalian
antar manusia terjadi melalui droplets yang jika ditemukan indeks pinjal yang melebihi batas.
mengandung bakteri pes
13. Polio Poliomyelitis (polio) adalah penyakit virus yang Masa inkubasi 1. Menggunakan sistem informasi laboratorium klinis
sangat menular, terutama pada anak-anak yang biasanya memakan (LIMS) dapat secara signifikan meningkatkan
menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan waktu 3-6 hari, kecepatan pelaporan, meningkatkan data kualitas, dan
kelumpuhan.Virus terdiri dari 3 strain yaitu dan kelumpuhan mengurangi beban kerja.
strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan terjadi dalam 2. Mempromosikan kesadaran
strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae. waktu 7-21 hari. 3. Menyederhanakan pelaporan menggunakan metode
Perbedaan tiga jenis strain terletak pada sekuen elektronik
nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling
dominan dalam membentuk antibodi netralisasi.
Strain-1 adalah yang paling paralitogenik dan
sering menimbulkan wabah, sedang strain-2
paling jinak. Kasus AFP : semua anak
berusia kurang dari 15 tahun dengan
kelumpuhan yangsifatnya flaccid (layuh),
proses terjadi kelumpuhan secara akut (<14
hari), serta bukan disebabkan oleh ruda paksa.
14. Sifilis Sifilis adalah salah satu jenis infeksi menular Secara umum Kegiatan surveilans dilakukan secara
seksual yang disebabkan oleh bakteri periode masa berkesinambungan sehingga dapat memberikan
Treponema pallidum inkubasi dari 10 informasi mengenai besaran masalah, faktor risiko,
hari sampai 3 endemisitas, patogentas, virulensi dan mutasi, kualitas
(tiga) minggu . pelayanan, kinerja program serta dampaknya agar
WHO menyatakan dilakukan respon tindak lanjut dengan cepat.
ada perbedaan
waktu antara sifilis
dini dan sifilis
laten yakni selama
2-4 tahun. Sifilis
primer terjadi
antara 9 sampai 10
hari setelah
terinfeksi dan
gejalanya timbul
berupa luka nyeri
pada alat kelamin.

15. Ebola Penyakit virus Ebola (PVE) adalah salah satu Masa inkubasi 1. Menerima laporan dari petugas kesehatan di pintu
dari penyakit yang gejala klinisnya demam daripenyakit Ebola masuk negara, fasyankes dan komunitas (wilayah)
dengan perdarahan yang banyak mengakibatkan adalah 2 - 21 hari, mengikuti sistem pelaporan yang tersedia (existing
kematian pada manusia dan primata (seperti umumnya 8 - 10 system) melalui media yang cepat dan tepat.
monyet, gorila, dan simpanse) dengan Case hari setelah 2. Pengawasan orang, barang dan alat angkut di pintu
Fatality Rate (CFR) mencapai 90% terinfeksi. masuk negara, verifikasi rumor, dan Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).
16. Difteri Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat Masa inkubasi Pelaksanaan surveilans epidemiologi Difteri dilakukan
menular, dapat dicegah dengan imunisasi, dan penyakit difteri dengan metode pelaksanaan surveilans
disebabkan oleh bakteri gram positif antara 2 –5 hari. epidemiologi rutin terpadu yang bersumber data
Corynebacterium diptheriaestrain toksin. Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium dan Dinas
Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan Kesehatan Kabupaten/Kota.
pada tempat infeksi, terutama pada selaput
mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga
pada kulit.
Panas lebih kurang 38 derajat Celsius disertai
adanya pseudo membran (selaput tipis) putih
keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring,
tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah
berdarah.
Dapat disertai nyeri menelan, leher
membengkak
seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas
disertai bunyi (stridor) dan pada pemeriksaan
apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman
difteri.
17. Demam Tifoid Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) Masa inkubasi Surveilans tifoid dilakukan secara rutin dan
merupakan penyakit infeksi akut usus halus demam tifoid berkelanjutan di berbagai sarana pelayanan kesehatan :
yang berkisar antara 7– a. Fasyankes tingkat dasar (Puskesmas)
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penularan ke 14 hari, namun b. Fasyankes tingkat II (Rumah sakit Kabupaten)
manusia melalui makanan dan minuman yang dapat mencapai 3– c. Fasyankes tingkat lanjut (Rumah sakit propinsi)
tercemar dengan feses manusia. 30 hari

18. Pertussis Pertussis atau Whooping Cough (dalam bahasa Masa inkubasi Surveilans dilakukan dengan metode surveilans khusus.
Inggris), di Indonesia lebih dikenal sebagai umumnya 7-20 Penyelenggaraan surveilans khusus diperuntukkan
batuk rejan adalah satu penyakit menular yang hari, rata-rata 7-10 untuk mengkaji kasus pertusis, faktor risiko dan situasi
menyerang saluran pernapasan. Serangan hari kasus
pertusis yang pertama tidak selalu memberikan
kekebalan penuh. Jika terjadi serangan pertusis
kedua, biasanya bersifat ringan dan tidak selalu
dikenali sebagai pertusis

19. Malaria Malaria adalah suatu penyakit yang akut 12-17 hari Kegiatan surveilans dilakukan dengan metode rutin dan
maupun kronis yang disebabkan parasit berkesinambungan yang terbagi menjadi 3 periode :
plasmodium yang ditandai dengan gejala demam a. Surveilans periode kewaspadaan sebelum KLB atau
berkala, menggigil dan sakit kepala yang sering surveilans Periode Peringatan Dini (PDD)
disertai dengan anemia dan limpha yang b. Penanggulangan KLB
membesar. c. Surveilans pasca KLB
20. Covid-19 COVID-19 adalah penyakit akibat suatu 1-14 hari, Penyelenggaraan surveilans dilakukan secara rutin dan
coronavirus baru yang sebelumnya tidak umumnya sekitar 5 berkala seperti:
teridentifikasi pada manusia. Coronavirus adalah hari 1. Surveilans berbasis peristiwa : Kapasitas untuk
suatu kelompok virus yang ditemukan pada dengan cepat mendeteksi setiap perubahan dalam
hewan dan manusia situasi COVID-19 secara keseluruhan dapat lebih
diperkuat melalui peristiwa yang kuat-mekanisme
surveilans berbasis (EBS).
2. Hotline telepon
3. Surveilans partisipatif : Surveilans penyakit
partisipatif memungkinkan anggota masyarakat untuk
melaporkan sendiri tanda atau gejala, tanpa pengujian
laboratorium ataupenilaian oleh penyedia layanan
kesehatan.
4. Surveilans serologis
5. Pengawasan di Komunitas : jika pengujian di tingkat
dasar tidak dapat diakses, individu di komunitas
dapatberperan penting dalam pengawasan COVID-19
6. Surveilans di tingkat perawatan primer : untuk
mendeteksi kasus dan cluster di komunitas
7. Surveilans berbasis rumah sakit : pasien dengan
kemungkinan atau dikonfirmasi COVID-19 dirawat di
rumah sakit harus diberitahukan kepada otoritas
kesehatan masyarakat nasional24 jam identifikasi
21. Kolera Penderita diare klinis dengan pemeriksaan 8-72 jam 1. Surveilans Minimal
laboratorium pada tinja dan atau muntahan Surveilans berbasis peristiwa adalah pengawasan
menunjukkan adanya kuman kolera (Vibrio minimal standar bila tujuannya adalah untuk
cholerae). mendeteksi kolera wabah
2. Surveilans yang Disempurnakan
Surveilans berbasis indikator adalah pengumpulan rutin
data surveilans pada kasus individu yang bertemu
definisi kasus dugaan kolera
SURVAILANS PENYAKIT MENULAR

TEKNIK
PELAKSANAAN
Pelaksanaan survailen Mers-CoV dilakukan secara aktif maupun pasif, meliputi:
1. Identifikasi Kasus
2. Identifikasi Faktor Resiko
3. Identifikasi Kontak Kasus
4. Pengambilan Spesiem
5. Penanggulangan Awal
6. Pengolahan dan analisi data untuk mengambil kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut
7. Pelaporan
Pelaksanaan Surveilans HIV dilakukan secara aktif dan pasif dengan langkah pelaksanaan sebagai berikut :
a. Menentukan populasi berdasarkan sub-populasi sasaran dan lokasi tertentu
b. Menentukan jumlah sampel yang akan diperiksa dari spesimen yang rutin diambil pada sub-populasi dan lokasi tertentu
tersebut. Spesimen rutin adalah sample darah yang diambil untuk pemeriksaan rutin untuk tujuan lain
c. Tes HIV/AIDS tersebut dilaksanakan secara unlinked anonymous untuk mengurangi bias partisipasi. Dengan cara ini
identitas pasien tidak dapat diketahui, sehingga yang didapatkan hanya jumlah yang positif bukan siapa yang positif.
d. Surveilans HIV/AIDS dimulai pada beberapa lokasi dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan.
e. Surveilans HIV/AIDS tidak dapat dan tidak boleh digunakan untuk pencarian kasus HIV/AIDS.
f. Surveillans HIV/AIDS harus menjamin kerahasiaan identitas sasaran dengan cara menghilangkan identitas masing-
masing sasaran dari specimen yang diambil untuk pemeriksaan HIV/AIDS.
1. Pelaporan kasus dalam suatu yurisdiksi
2. Pemberitahuan kasus ke CDC

Dalam penyelenggaraan Surveilans TB dilakukan pengumpulan data secara aktif dan pasif baik secara manual maupun
elektronik. Data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan
menggunakan formulir baku secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB
menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes dilaksanakan
secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut.
Surveilans Hepatitis Virus dilakukan secara aktif dan pasif dalam rangka pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan
dini, dan surveilans sentinel.
Pelaksanaan kegiatan surveilans dilakukan secara aktif maupun pasif melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a. Penetapan sinyal pandemi
b. Penyelidikan epidemiologi kasus, kontak, dan penetapan karantina (rumah dan wilayah)
c. Surveilans di wilayah penanggulangan
d. Surveilans di rs rujukan/yang merawat kasus influenza pandemi
e. Di bandar udara, pelabuhan, pos lintas batas darat (plbd), terminal, dan stasiun yang merupakan pintu keluar transportasi
dari wilayah episenter
f. Surveilans di wilayah berisiko
g. Surveilans di wilayah lainnya
h. Sajian epidemiologi
Pelaksanaan survailen Kusta dilakukan secara aktif maupun pasif, meliputi:
a. penguatan advokasi dan koordinasi lintas program dan
lintas sektor;
b. penguatan peran serta masyarakat dan organisasi
kemasyarakatan;
c. penyediaan sumber daya yang mencukupi dalam
Penanggulangan Kusta; dan
d. penguatan sistem Surveilans serta pemantauan dan
evaluasi kegiatan Penanggulangan Kusta.
Semua suspek CRS akan dilakukan tatalaksana surveilans CRS yang meliputi
a. Dokter yang pertama menemukan kasus melakukan pencatatan pada form CRS, mengambil spesimen darah 1 cc,
melakukan pemeriksaan adanya kelainan pada jantung, mata, THT atau kelainan minor lainnya, menghubungi Koordinator
Data dan atau Koordinator Tim CRS RS
b. Koordinator data melakukan hal- hal sebagai berikut : memastikan hal-hal yang sudah dilakukan dokter berjalan dengan
lancar, Berkoordinasi dengan petugas surveilans PD3I provinsi, Pelaporan menggunakan web PD3I atau form list
CRS,.Berkoordinasi dengan Koordinator Tim CRS RS untuk klasifikasi kasus, Pengolahandan analisa data
1. Sumber data
Data berasal dari seluruh puskesmas dan unit pelayanan kesehatan.
2. Periode pelaporan
Pelaporan data dilakukan secara rutin dan berkesinambung
dengan periode mingguan.
3. Pengumpulan dan Pelaporan Data
Seperti data kelompok umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan informasi
tempat tinggal serta kontak yang bisa dihubungi
4. Pengolahan data
Data yang sudah diperoleh selanjutnya diolah sehingga
mendapatkan informasi seperti jumlah kasus suspek dan kasus probable/konfirmasi, umlah kasus yang dirawat di rumah
sakit, Jumlah kematian.
5. Analisis dan interpretasi data
Data yang sudah diolah, kemudian dilakukan analisis dan interpretasi untuk mendapatkan informasi selengkapnya
mengenai karakteristik Leptospirosis
6. Rekomendasi dan alternatif tindak lanjut perlu dibuat sejumlah rekomendasi dan alternatif tindak lanjut untuk
menyampaikan hipotetis sementara agar dilakukan pencegahan dan pengendalian terjadinya
kasus Leptospirosis di masyarakat sejak dini.
7. Diseminasi informasi
Hasil surveilans yang berkesinambungan tidak akan bermanfaat bila setelah dianalisis dan dibuat
rekomendasi tidak didistribusikan kepada pihak-pihak
terkait yang membutuhkan informasi tersebut
8. Umpan balik
Bertujuan untuk menciptakan komunikasi antara
sumber pelapor dan penerima laporan.
Surveilans dilaksanakan berbasis indikator dan berbasis kejadian dengan melakukan analisis terhadap data yang
dikumpulkan melalui penemuan Penderita, survei data dasar prevalensi mikrofilaria, survei evaluasi prevalensi mikrofilaria
dan survei evaluasi penularan filariasis. Penemuan penderita dilakukan secara aktif dan pasif.
Pengumpulan data surveilans dilakukan secara aktif dan pasif

Pengumpulan data surveilans dilakukan secara aktif dan pasif


a. Surveilans pada rodent dan pinjalnya, secara aktif dilakukan dengan traping rutin rodent di daerah fokus dan dilakukan
dusting. Sedangkan secara pasif dilakukan dengan penemuan rat fall.
b. Surveilans pada manusia, secara aktif dilakukan dengan pencarian kasus dengan gejala FUO, batuk darah akut dan bubo.
Sedangkan secara pasif dapat dilakukan dengan penemuan kasus yang datang ke puskesmas atau RS.
Pelaksanaan surveilans di lakukan secara aktif dan pasif seperti:
1. Mencari informasi klinis yang akurat
2. Mencari spesimen laboratorium yang sesuai
3. Memastikan akses ke kapasitas laboratorium penting
4. Menyelidiki kontak
5. Meningkatkan Kelengkapan Pelaporan
6. Mencari catatan rumah sakit dan laboratorium
Surveilans dilakukan secara pasif maupun aktif untuk menyediakan informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan
faktor risikonya serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara objektif, terukur,
dapat diperbandingkan antar waktu, antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.

Kegiatan surveilans berbasis kejadian (event based surveillance) dilakukan secara pasif maupun aktif.
a. Mendeteksi kasus klaster penyakit/kematian yang tidak diketahui penyebabnya.
b. Melakukan pemantauan terhadap warga di wilayahnya yang memiliki riwayat perjalanan dari negara terjangkit dalam
waktu 21 hari sejak kepulangannya dari negara terjangkit berdasarkan hasil surveilans aktif dan notifikasi dari Dinas
Kesehatan setempat atau KKP
c. Melakukan pemantauan terhadap kontak kasus (termasuk petugas puskesmas, bila ada) selama 21 hari sejak kontak
terakhir, berdasarkan notifikasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
d. Melapor kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila menemukan orang sakit yang memenuhi kriteria kasus dalam
investigasi
Kegiatan surveilans dilaksanakan secara aktif maupun pasif di semua tingkatkan Administrasi Pemerintah yaitu tingkat
Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan juga di Rumah Sakit dan Puskesmas.
1. Penemuan Kasus
2. Pencatatan dan Pelaporan
3. Pengolahan data, analisa dan rekomendasi
4. Umpan Balik
Surveilans dilakukan secara pasif. Pada surveilans secara pasif, pasien yang memenuhi kriteria definisi tifoid dicatat sesuai
definisi. Pada fasyankes tingkat dasar kasus yang tercatat adalah kasus suspect, untuk fasyankes tingkat II dimana terdapat
pemeriksaan serologi maka kemungkinan dapat ditemukan kasus probable, sedangkan di rumah sakit besar dengan sarana
laboratorium mikrobiologi dapat mengumpulkan data kasus yang pasti atau confirm

Penemuan kasus dapat dilakukan secara pasif dan aktif. Penemuan secara pasif melalui penerimaan laporan/informasi kasus
dari fasilitas pelayanan kesehatan meliputi diagnosis secara klinis dan konfirmasi laboratorium. Sedangkan penemuan
secara aktif melalui kunjungan lapangan untuk melakukan penegakan diagnosis secara epidemiologi berdasarkan gambaran
umum pertusis yang selanjutnya diikuti dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium

Pengumpulan data dilakukan secara pasif dan aktif. Pengumpulan, pengolahan dan interpretasi data malaria dilakukan pada
semua tingkat administratif mulai dari Pukesmas Pembantu, Puskesmas, Rumah Sakit Kabupaten/ Provinsi/ Pusat, Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Provinsi dan Departemen Kesehatan
Kegiatan surveilans dilaksanakan secara aktif maupun pasif , seperti:
1. Pencatatan dan Pelaporan : Pencatatan dan pelaporan oleh puskesmas, rumah sakit, klinik, Knator Kesehatan Pelabuhan,
Dinas Kesehatan, Laboratorium yang ditunjuk kasus terkait COVID-19 harus menjadi alat komunikasi efektif antara
petugas kesehatan baik di daerah maupun di pusat, agar terjadi kesinambungan informasi dan upaya pengendalian kasus
dapat tercapai.

2. Pengolahan dan Analisis Data :Data yang telah diterima oleh All Record TC-19 selanjutnya akan diolah secara
terkomputerisasi, dan unit pengampu data diberikan hak akses oleh walidata untuk dapat melakukan analisis sesuai dengan
kebutuhannya. Analisis data dapat dilakukan di semua tingkatan, baik oleh Fasyankes, Laboratorium, Dinas Kesehatan,
KKP, maupun Kementerian Kesehatan, dan sektor lain yang terkait dan membutuhkan.

3. Distribusi Data dan Informasi : Data yang telah diterima oleh sistem All Record TC-19 dapat diakses melalui aplikasi
Dashboard Satu Data Kesehatan
Pelaksanaan survailen Kusta dilakukan secara aktif maupun pasif, meliputi:
1. MEngumpulkan sampel feses dari kasus yang dicurigai untuk konfirmasi laboratorium melalui kultur atau PCR. Jika
tersedia, lakukan uji diagnostik cepat (RDT) di antara kasus yang dicurigai dan memprioritaskan sampel positif RDT saat
mengumpulkan sampel untuk dikirim ke laboratorium untuk kultur atau PCR.
2. Mengkarakteristikan dan mengidentifikasi populasi berisiko
3. Menerapkan tindakan pencegahan dan pengendalian diare standar secara cepat untuk mengurangi penyebaran penyakit
lebih lanjut dan mengurangi kematian
INDIKATOR
YANG DIBUTUHKAN
1. Jumlah rumor yang diverifikasi
2. Kelengkapan dan ketepatan laporan notifikasi KKP
3. Kelengkapan dan ketepatan laporan Petugas KKP
4. Kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR
5. Jumlah alert yang dilakukan respon
6. Jumlah KLB yang dilakukan penyelidikan dan penanggulangan dalam 24 jam
Indikator proses:
Semua kegiatan yang tercantum pada protap harus dimasukkan ke dalam daftar tilik pada saat supervisi, dan
menjadi indikator proses.

Indikator output:
1. Pencapaian populasi sesuai rencana, berdasarkan sub-populasi dan lokasi
2. Ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan
3. Ketepatan waktu pelaporan hasil kegiatan
1. Kelengkapan laporan
2. Jumlah dan kualitas kajian epidemiologi dan rekomendasi yang dapat dihasilkan
3. Terdistribusinya berita epidemiologi lokal dan nasional
4. Pemanfaatan informasi epidemiologi dalam manajemen program kesehatan
5. Menurunnya frekuensi kejadian luar biasa penyakit
6. Meningkatnya dalam kajian SKD penyakit.

a. Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 50% dibandingkan angka kesakitan pada tahun 2014 dan
b. Penurunan angka kematian karena TB sebesar 70%dibandingkan angka kematian pada tahun 2014
1.Indikator Kinerja Output
Indikator kinerja output diperuntukkan bagi satuan kerja yang melaksanakan kegiatan operasional,
seperti kinerja fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas), dinas kesehatan kabupaten/kota,
dan unit pelaksana teknis.Indikator kinerja output penanggulangan Hepatitis Virus antara lain:
a.Prosentase Kabupaten/kota yang melakukan advokasi dan atau sosialisasi tentang Hepatitis Virus.
b.Prosentase Kabupaten/Kota yang melakukan Deteksi Dini Hepatitis B pada kelompok Berisiko.
c.Prosentase Kabupaten/Kota yang melakukan Pengamatan Hepatitis B dan atau C pada kelompok
Berisiko Tinggi.
2.Indikator Kinerja Outcome
Indikator kinerja outcome penanggulangan Hepatitis Virus antara lain:
a.Prosentase Masyarakat yang mengetahui dengan benar tentang Hepatitis Virus
b.Prosentase Kelompok Masyarakat Berisiko yang Mendapatkan Layanan Lanjutan atas Deteksi Dini yang
diikuti
c.Prosentase Kelompok Berisiko Tinggi yang Mengikuti Pengamatan Penyakit dan Mendapatkan
Layanan Lanjutan
d.Prosentase penanggulangan KLB Hepatitis A dan E pada suatu wilayah sesuai prosedur yang berlaku
3.IndikatorKinerja Impact
Indikator kinerja Impact penanggulangan Hepatitis Virus antara lain:
a.Prevalensi Hepatitis B pada Bayi yang Lahir dari ibu dengan HBsAg positif (Zero New Infection)
b.Prevalensi Hepatitis B pada Bayi < dari 1%
c.Penurunan Prevalensi Hepatitis C sebesar 30% dari Kondisi Saat ini
Di wilayah penanggulangan/ karantina :
a. Ketepatan laporan: ≥ 90%
b. Pada semua kasus dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24 jam sejak laporan diterima
c. Cakupan kunjungan rumah 100% per hari
d. Semua kasus terdeteksi < 24 jam dari onset
e. Tersedianya data proporsi efek samping profilaksis
f. Adanya rekomendasi, minimal sekali dalam seminggu, selama masa penanggulangan: 100%
Di wilayah berisiko :
a. Ketepatan laporan: 100%
b. Kecepatan penyelidikan epidemiologi < 24 jam sejak laporan diterima: 100%
c. Jumlah kontak yang diamati 100% termonitor
d. Kecepatan deteksi dini suspek (dihitung < 24 jam dari onset): 100%
e. Ketepatan diagnosa: 100% klinis dan lab
a. Menurunnya angka prevalensi Kusta tingkat nasional sampai kurang dari 0,05 per 10.000 penduduk
b. Penurunan 90% Penderita Kusta baru yang membutuhkanpengobatan Multi Drug Therapy (MDT) (baseline
tahun 2017 adalah16.000 Penderita Kusta baru).
c. Tidak ada disabilitas Kusta pada Penderita Kusta anak (nol PenderitaKusta anak dengan disabilitas di antara
Penderita Kusta baru).
d. Bertahannya angka disabilitas Kusta tingkat dua <1/1.000.000penduduk.
e. Bertahannya angka Penderita Kusta selesai pengobatan tepat waktu (RFT rate) > 90%.
a. Pelaporan kasus ≥1 per 10 .000 kelahiran hidup
b. Investigasi adekuat ≥80%
c. Konfirmasi laboratorium (Spesimen adekuat) ≥80%
d. Kecepatan deteksi kasus ≥80%
e. Kecepatan dalam pengiriman spesimen ≥80%
f. Kecepatan pelaporan hasil laboratorium ≥80%
1. Jumlah unit pelapor harus diidentifikasi dan disepakati pada awal kegiatan ini.
2. Ketepatan siklus periode laporan mingguan harus disepakati oleh semua unit pelapor
3. Angka proporsi kasus suspek dan kasus konfirmas
4. Jumlah KLB yang terdeteksi dan dilakukan penyelidikan
5. Jumlah kasus yang dilaporkan dibandingkan data serosurveilans jika sudah dilakukan kegiatan serosurveilans
1. Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis
2. Persentase kasus klinis (limfedema dan hidrokel) yang ditatalaksana pertahun >90%.
a. Cakupan profilaksis pra pajanan/ P praP (Pre Exposure Phropilaxis) pada kelompok risiko tinggi : 100%
b. Cakupan profilaksis pasca paparan/ P PasP (Post Exposure Phropilaxis) : 100% kasus gigitan terindikasi
yang dilaporkan

a. Kasus bertahan pada angka 0


b. Tidak ada penularan dari daerah fokus ke daerah sekitar
c. Tidak terjadi relaps
d. Tidak ada kasus pes masuk yang berasal dari luar negri
Surveilans polio dilakukan dengan kuat dan sensitif dengan sesuai standar internasional, dengan indikator Non
Polio AFP rate lebih dari 2/100.000 pada anak usia di bawah 15 tahun, yang merata di setiap kabupaten/kota
a. Pengurangan jumlah kasus infeksi baru Sifilis pada bayi baru lahir dengan tolok ukur ≤50 kasus anak
terinfeksi Sifilis per 100.000 kelahiran hidup
b. Persentase bayi dari ibu hamil terinfeksi sifilis mendapatkan penanganan sebesar 100%
c. Persentase Ibu hamil terinfeksi sifilis mendapatkan penanganan sebesar 100%
d. Persentase ibu hamil terinfeksi sifilis maksimal 1,70 %
e. Cakupan ibu hamil dilakukan ANC terpadu lengkap TM 1 100%

1. Jumlah peringatan (hidup dan mati) yang dilaporkan dan diselidiki di setiap distrik setiap minggu.
2. Jumlah sampel yang diambil dari individu yang hidup dan mati di setiap distrik dan diuji untuk EVD
menggunakan RDT atau NAT.
3. Persentase kabupaten / kabupaten / prefektur melaporkan peringatan
4. Jumlah yang dilaporkan pasien hidup memenuhi kriteria untuk tes Ebola
5. Jumlah kasus yang terkonfirmasi
1. Kelengkapan Laporan ≥ 80%
2. Ketepatan Laporan ≥ 80%
3. Investigasi Adekuat ≥ 80%
4. Ketepatan Investigasi ≥ 80%
5. Specimen Collection Rate ≥ 80%
6. Ketepatan Pengambilan Spesimen ≥ 80%
7. Ketepatan Pengiriman Specimen ≥ 80%
Ketepatan hasil pemeriksaan specimen ≥ 80%
1. Persentase kasus terdaftar dengan hasil yang dicatat
2. Persentase kasus terdaftar dengan yang di lakukan kultur darah
3. Persentase kasus terdaftar dengan kultur darah siapa memiliki hasil tes tercatat
4. Persentasekasus yang dikonfirmasi laboratorium dengan antimikroba pengujian kerentanan selesai

Indikator kinerja Indikator kinerja surveilans pertusis :


a. Kelengkapan Laporan Puskesmas 90%
b. Ketepatan Laporan Puskesmas 80%
c. Kelengkapan Laporan Surveilans Aktif Rumah Sakit 90%
d. Spesimen Adekuat untuk pemeriksaan laboratorium 80%

a. API <1 per 1000 penduduk


b. 300 Kabupaten/ Kota di Indonesia mencapai eliminasi malaria
1. Jumlah total kunjungan rawat jalan atau pelayanan kesehatan primer
2. Jumlah total pemulangan dari rumah sakit dan kematian di rumah sakit (baik yang terkait maupun tidak
terkait dengan COVID-19)
3. Jumlah tenaga kesehatan yang dapat bekerja, yang dikelompokkan berdasarkan kelompok pekerjaan
4. Jumlah tenaga kesehatan yang mengalami COVID-19, yang dikelompokkan berdasarkan kelompok
pekerjaan, termasuk tenaga kesehatan atau perawat di panti wredha dan fasilitas perawatan jangka panjang
5. Obat-obatan atau suplai esensial yang persediaannya kurang dari 2 bulan yang tidak dipastikan akan diisi
kembali secara tepat waktu atau yang akan diisi kembali (baik dipastikan maupun tidak)
6. Kunjungan ANC pertama bumil
7. Jumlah kelahiran di fasyankes
8. Jumlah bayi di bawah 1 tahun yang menerima dosis ketiga imunisasi difteritetanus-pertusis (DPT3) atau
dosis pertama imunisasi campak
9. Jumlah perempuan yang menerima kontrasepsi (a) oral dan (b) suntik
10. Jumlah anak berusia 0-59 bulan yang masuk fasyankes untuk menerima pengobatan kurang gizi (wasting)
dan edema pitting bilateral
11. Persentase instalasi gawat darurat rumah sakit dengan alat triase tervalidasi yang ada
12. Rasio kematian di rumah sakit akibat cedera akut dengan kematian keseluruhan akibat cedera akut
13. Jumlah pasien rawat inap akibat kedaruratan kardiovaskular dan serebrovaskular akut
14. Jumlah kasus TB baru dan kambuhan yang dilaporkan 15. Jumlah diagnosis kanker baru
1. Persentase daerah yang dimelaporkan data kolera , bahkan derah yang tidak adanya kasus
2. Persentase unit pengawasan yang melaporkan data kolera ke tingkat nasional per waktu bahkan di daerah
yang tidak adanya kasus
3. Persentase semua tanda kolera yang telah di investigasi dimulai dalam waktu 48 jam pemberitahuan
4. Persentase spesimen hasil yang dilaporkan dalam waktu 4 hari penerimaan spesimen

Anda mungkin juga menyukai