Anda di halaman 1dari 22

Lanjutan askep lupus

4.      Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi


ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau
serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-
organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat
antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom
sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom,
mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA,
penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien,
penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan
tumor necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2


minggu awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami
regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika
pasien memberikan respon yang baik maka dosis
diturunkan menjadi 50%  selama beberapa bulan
sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan
memberikan obat malaria dosis rendah dua atau tiga
kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3
tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).

5.      Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan


tidak memberikan respon terhadap penggunaan
obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan
obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan
terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang
mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik
atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan
kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid
mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah
fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga
tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi
seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan
tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel
pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan
influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang
bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan
efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan
dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan
dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan
sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1,
TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen
(Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid
pada SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator,
menghilangkan gejala, memperbaiki parameter
laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE
umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi
selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk
mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan
potensi efek samping yang timbul pada pemakaian
jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil
jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil
prednisolon dalam bentuk intravena  (10–30 mg/
kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan
pemberian  prednison secara oral selama beberapa
minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada


75% pasien menunjukkan perbaikan yang berarti
dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker
yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin,
blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik
pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid
Kadar  komplemen    dan  antibodi    DNA    dalam    se
rum   menurun    dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa
manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya
memberikan respon dalam  5 sampai  19 hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada


deksametason karena waktu paronya lebih pendek
dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-
day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai
maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada
pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan
toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama
paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah
menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah
asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka
dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day
dan adanya kemungkinan untuk menghentikan
pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan
pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan
melakukan  tapering dosis  prednison  20 mg  per hari
atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day
sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-


organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau
serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan
mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau
hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-
organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak
selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering
dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif
untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat


menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi
sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan
darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan
obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem
imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab
kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi
pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan
absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium
dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan
tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien
SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan
SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan
dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman,
2001).

6.      Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat


dan merupakan obat sitotoksik bahan pengalkilasi.
Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi
sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel.
Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang
menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil
yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit
B dan menyebabkan penekanan secara langsung
pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi
reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi
sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko
terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu
dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC,
hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan
adalah dosis optimal, interval pemberian, rute
pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh,
dan durasi remisi penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi


DNA, serum kreatinin dan meningkatkan  kadar
komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus
nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi
dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus
nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan
progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan
progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan
mengurangi dosis steroid.

Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid


adalah mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan
mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara
pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka
panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada
wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma
(Herfindal et al., 2000).

7.      Terapi hormone

Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon


pada pria yang diproduksi pada saat masih fetus dan
berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif
diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada
usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya
usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon
pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek
samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg
and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai
mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α
serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan
untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun
demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui
(FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

8.      Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem
imun sehingga dapat menyebabkan tubuh mudah
terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang
adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida
(Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes
zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus
asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali
sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat diterapi
dengan antibiotik golongan  kuinolon, ampisilin,
kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002).
Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin
tidak digunakan karena  menyebabkan  rash
yang sensitif  sehingga dapat memperparah rash SLE
(Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari
Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin
B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).

H.     Penatalaksanaan

1.      Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/


d 6 bulan postpartum)  (metilprednisolon 1000 mg
per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika
membaik dilakukan tapering off).

2.      AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu


sebelum TP).

3.      Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).


4.      Siklofospamid, diberikan pada kasus yang
mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan
tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap
3 minggu.

BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

A.     Pengkajian

1.      Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan


pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang
dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah
lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan
efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.

2.      Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala,


muka atau leher.

3.      Kardiovaskuler

a)      Friction rub perikardium yang menyertai


a)      Friction rub perikardium yang menyertai
miokarditis dan efusi pleura.

b)      Lesi eritematous papuler dan purpura yang


menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tanga.

4.      Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika


bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5.      Sistem integumen

a)      Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam


berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.

b)      Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau


palatum durum.

6.      Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7.      Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan


lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki,
tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8.      Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9.      Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan


kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B.     Diagnosa Keperawatan

1.      Uraian Masalah Keperawatan

a)      Nyeri

b)      Kerusakan intergritas kulit

c)      Isolasi sosial

d)      Kerusakan mobilitas fisik

e)      Keletihan/kelelahan

f)       Perubahan Nutrisi

g)      Kurang Pengetahuan
g)      Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa


sumber buku dan dipadu dalam buku ini.

Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini


adalah sebagai berikut :

2.      Diagnosa Keperawatan

a)      Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan


kerusakan jaringan.

b)      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


proses penyakit.

c)      Kurang pengetahuan berhubungan dengan


kurangnya sumber informasi.

C.     Intervensi (Rencana Tindakan)

1.      Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan


kerusakan jaringan.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)      Tujuan :
1)      Gangguan nyeri dapat teratasi

2)      Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

b)      Kriteria Hasil :

1)      Skala Nyeri : 1-10

c)      Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan


Rasional (simbol R)

ü  Mandiri :

1)      I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi,


karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10).

R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat


beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi,
biasanya paling berat selama penggantian balutan dan
debridemen.

2)      I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali


perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara
terbuka.

R : suhu berubah dan gerakan udara dapat


menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung
saraf.

3)      I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan


3)      I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan
lampu penghangat, penutup tubuh hangat.

R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar


mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah
menggigil.

4)      I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen


setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi.

R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi


sehubungan dengan penggantian balutan dan
debridemen.

5)      I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.

R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi


dan dapat meningkatkan mekanisme koping.

6)      I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress,


contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan
imajinasi dan visualisasi.

R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan


relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat
menurunkan ketergantungan farmakologis.

7)      I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/


kondisi.

R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di


R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di
alami dan memfokuskan kembali perhatian.

ü  Kolaborasi

8)      I : Berikan analgesic sesuai indikasi.

R : membantu mengurangi nyeri.

2.      Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas


kulit b/d proses penyakit.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)      Tujuan :

1)      Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

b)      Kriteria Hasil :

1)      Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

c)      Rencana Tindakan dan Rasional

ü  Mandiri

1)      I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna,


turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati
perubahan.
R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada
status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi
yang tepat.

2)      I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit,


misalnya membasuh kemudian mengeringkannya
dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.

R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang


kering dapat menjadi barier infeksi.

3)      I : Gunting kuku secara teratur.

R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko


kerusakan dermal.

4)      I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan


pembalut yang steril atau barrier protektif, mis,
duoderm, sesuai petunjuk.

R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri,


meningkatkan proses penyembuhan.

ü  Kombinasi :

5)      I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan


kortikosteroid) sesuai indikasi

R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.


R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3.      Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/


d kurangnya sumber informasi.

Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)      Tujuan :

1)      Memberikan informasi tentang penyakit dan


prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang
terdekat (bila tidak ada keluarga).

b)      Kriteria Hasil :

1)      Klien dan keluarga klien/orang terdekat


mendapatkan pengetahuan dari informasi yang
diberikan

c)      Rencana Tindakan dan Rasional

1)      I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang


menjadi harapan di masa depan.

R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien


dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

2)      I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.

R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,


R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi,
meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/
orang lain.

3)      I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang


dapat di toleransi pasien.

R : merangsang pelepasan endorphin pada otak,


meningkatkan rasa sejahtera.

4)      I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan


kesehatan dan evaluasi

R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan


untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.

5)      I : Identifikasi sumber-sumber komunitas,


misalnya  rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan
tempat tinggal.

R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan


perawatan akut; mendukung pemulihan dan
kemandirian.

BAB V

PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis


Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis
dapat menyimpulkan sebagai berikut :

1)      Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit


berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini
merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana
sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga
kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.

2)      Penyebab penyakit ini belum diketahui secara


pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang
menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi
(kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan
tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga
penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.

3)      Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum


yang sering dianggap sepele tetapi justru perlu
untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari
penyebarannya sampai ke organ-organ.

B.     Saran

Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa


saran :

1)      Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit


lupus ini agar dapat ditangani dengan baik sejak
awal untuk mempercepat proses penyembuhan
dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
penyebarannya keseluruh organ tubuh.

2)      Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk


proses penyembuhan penyakit ini.

3)      Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam


makalah ini tentang penyakit ini.

SEKILAS INFO

Ø  Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang


sangat peka terhadap sinar matahari. Bila terkena
sinar matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih,
tubuh tidak nyaman dan tidak enak.

Ø  Estrogen (atau oestrogen) adalah sekelompok


senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai
hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam
tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih
tinggi dalam tubuh wanita usia subur.

Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria.


Bedanya adalah dikadarnya (kandungannya). Pria
memeliki kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita
(terutama pada usia produktif yaitu wanita usia subur)
Ø  Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah
respon dari suatu organisme terhadap patogen dan
alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian
reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau
terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari
respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan
iritasi.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi.


Buku Kedokteran

Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan :


Mencegah Berbagai Penyakit Hidup Sehat untuk
Keluarga. Jakarta : Kompas

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan


Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern


untuk Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat :
Kenali Jenis Penyakit dan Cara Penyembuhannya.
Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4).


Buku Kedokteran

Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi


Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran

Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3.
Jakarta : EGC
Terakhir diubah: 22 Agt 2018

Anda mungkin juga menyukai