Anda di halaman 1dari 7

Stigma

*sekuel “Illuminati is My Nightmare”

09.00 pm

Bulan purnama tampak malu-malu menunjukkan wajahnya. Berbeda dengan angin


dengan jahatnya mematahkan daun-daun yang bertabrakan dengannya, hingga menghasilkan
suara estetik mereka. Tatapanku masih saja kosong. Mencoba menerawang kembali hal-hal
tak terbayangkan itu pernah kulalui. Sendiri. Tanpa seorangpun. Aku rindu mereka. Rindu
akan belai dan dekap ibu yang begitu hangat. Tapi semua itu berakhir tragis.

Flashback
9 tahun yang lalu

“Sudah cukup, ayah! Iya, itu semua salah ibu! Hentikan, yah! Jangan pukuli ibu
lagi!”. Lagi-lagi, aku mendengar rintihan ibu yang begitu iba. Ibu yang selalu menerima
pukulan-pukulan bengis ayah. Aku yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu, begitu
terpukul akan segala hal yang ayah hujamkan pada ibu. Genap diusiaku yang ke 15 tahun,
aku tidak mendapatkan hadiah ulang tahun dari ayahku. Ingat saja akan hari lahir anak laki-
lakinya ini sudah beruntung, ayah memang tidak peduli segala hal tentangku. Hanya ibu satu-
satunya yang peduli akan kebutuhanku, selalu menyayangiku, dan selalu mendekapku dengan
kehangatannya. Itulah hal yang paling aku suka dari ibu. Aku tersadar saat ayah
memergokiku yang sedang mengintip perlakuannya pada ibu.

“Apa yang kau lakukan disini, huh?!” Bentak ayahku.

“Aku lapar, ayah. Aku butuh ibu sekarang”. Rengekku pada ayah. Bukan
mengindahkan permintaanku, tapi ayah malah membanting daun pintu sekeras-kerasnya. Ya,
aku tahu ayahku mabuk waktu itu. Kembali ku dengar rintihan ibu dari balik pintu. Begitulah
ayah, dia memang suka menyakiti fisik ibu. Aku tak tahu, sampai kapan hal ini akan berakhir.

Hari ini pertama kali ku hirup udara halaman Sekolah Menengah Atasku. Seragam
baru, lingkungan baru, teman baru, dan suasana baru terasa asing bagiku. Hal ini membuatku
bahagia. Membuatku terlupa akan segala hal buruk dalam otakku. Sepertinya, aku akan
menjadi lebih baik kedepannya. Kedua sudut bibirku membentuk senyum sumringah untuk
yang pertama kalinya. Dan ku langkahkan kaki menuju ruang kelas di sudut area ini.

1
Beberapa bulan berikutnya

Aku terdiam sesaat sembari menatap foto ibu yang terpanjang di dinding kamarku.
Seperti bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya, ayah tetap saja memukuli ibu dalam
keadaan mabuk. Hingga suatu saat…

“Brukk!”

Suara itu menggetarkan jantungku. Kakiku refleks menuju sumber suara. Ya, tak
salah lagi itu hasil suara dari perlakuan ayah pada ibu. Aku benci! Aku muak! Aku ingin
mempunyai kedua orang tua yang saling menyayangi, bukan malah saling menyakiti seperti
ini! Tanpa pikir panjang, kuraih seonggok botol kaca yang berada tepat di sebelah pintu
kamar itu. Ku kepal erat, sambil lalu ku pecahkan ujungnya. Ku dobrak pintu dengan paksa,
ku hujamkan pecahan botol tepat menuju kepala laki-laki itu.

“Brukk!” Dia tergeletak, darah mengalir dari ubun-ubunnya dan mengenai kedua
tanganku.

“Ya Tuhan, nak! Apa yang telah kau lakukan? Dia ayahmu, kenapa kau tega
melakukannya? Jawab ibu, kau tidak biasanya seperti ini!”. Wanita paruh baya itu terkejut
atas apa yang telah aku perbuat. Dia dengan sigap merangkul badan laki-laki yang telah tak
bernyawa itu. Aku baru menyadari, hal bodoh apa yang telah aku lakukan? Bercak merah
segar yang mengalir di atas kulitku, apa ini? Kenapa semuanya terjadi begitu saja? Ada apa
denganku? Kedua tanganku gemetar begitu pula badanku menyusul, melemparnya ke dinding
terdekat. Aku terdiam, hatiku meringis sakit, air mataku tumpah tak karuan.

“Bu, apa yang telah aku lakukan? Jawab Tyo bu! Ini, ini, darah…Darah, bu!”
Seketika ibu merangkulku dengan erat, berusaha menyalurkan kehangatannya pada tubuhku
yang sudah mati rasa. Hingga aku larut dalam dekapannya. Dialah satu-satunya malaikat
yang kumiliki saat ini.

Beberapa tahun kemudian

Aku masih tidak percaya. Tahun-tahun telah berlalu, semuanya terhempas begitu saja
tanpa arti. Aku masih setia memegangi jeruji besi yang bersamaku tiap waktu. Berharap satu-
satunya malaikat hidupku menjengukku disini. Itu hanya harapan palsu. Ibuku telah pergi
untuk selama-lamanya. Kehidupan ini begitu keras, lebih keras daripada bebatuan yang
menyusun gunung-gunung nan tinggi. Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Entah

2
kemanakah aku akan berlabuh. Hanya merenungi nasib tak pasti dimasa yang akan datang,
apakah itu baik atau buruk. Sekarang, aku tinggal menunggu hari dimana aku akan
dibebaskan.

2 bulan kemudian

“Saudara Tyo Dharmawangsa!” Panggil salah satu ketua sipir Lapas itu. Aku
bergegas mendatanginya, hanya kali ini sepertinya dia memanggilku dengan penuh tatapan
buas.

“Benar kamu Tyo Dharmawangsa?” Tanyanya penuh keganjilan

“Iya Pak, saya sendiri” Jawabku.

“Berhubung sekarang peringatan hari besar nasional, kamu mendapat amnesti dari
Presiden. Mulai besok kamu berhak menghirup udara segar. Jika kamu butuh sesuatu untuk
menelepon keluarga, kamu bisa langsung temui saya di kantor. Mengerti?” Terangnya.

“Baik, Pak. Saya mengerti maksud bapak”. Ungkapku jujur. Hatiku bahagia, tapi aku
akan pergi kemana?

Matahari telah singgah dari penginapannya. Hari ini, aku sudah dibebaskan. Lima
tahun lamanya aku mendekam di Lapas ini, tak terasa hari ini aku sudah pergi dari tempat ini.
Menyusuri jalanan nan penuh debu tidak menyurutkan semangatku untuk terus
melangkahkan kaki hingga berhenti entah dimana. Tiba-tiba, mataku menangkap sebuah
tempat yang sepertinya sudah tidak ada penghuninya. Tempat itu seperti gudang, namun
setelah aku dekati tempat itu adalah bekas rental komputer. Inilah surga! Aku pun mengecek
keadaan ruangan yang hanya berukuran 4x5 ini.

Aku terbangun, menatap ruangan baru yang otomatis telah menjadi milikku. Dari
tempat ini, pengembaraan yang sebenarnya pun dimulai.

Hampir 24 jam aku terus saja memelototi monitor komputerku, ya setiap dua hari
sekali ada rapat rahasia yang diadakan oleh anggota rahasia pula. Ya, aku mulai bergelut di
dunia “tersebut” sekitar satu bulan lamanya. Dimana dari organisasi tersebut, aku merasa
bahwa dunia ini ada yang mengendalikan secara rahasia, disinilah pengendalian segala hal
yang penuh dengan teori konspirasi. Aku telah membaiat diriku masuk kedalam lingkaran
mereka, menyenangkan, karena dari mereka pulalah aku mendapat kucuran dana yang tidak
sedikit. Hingga suatu saat…

3
Memo

Dari: Pimpinan “The New World Order”

Kepada semua anggota kami himbau untuk menghadiri tempat pengurbanan pada
jam 00.00 dini hari di Ingolstadt. Sekian

Tanpa basa-basi, aku langsung pergi menembus dinginnya malam menuju tempat
yang telah ditentukan. Inilah hal yang paling aku nantikan.

Beberapa bulan kemudian

Aku sudah melakukan ritual-ritual itu berulang kali, membosankan. Bagaimana


menurutmu seseorang diharuskan menenggak satu gelas darah segar dari seekor sapi tiap
malamnya? Dan melakukan penyiksaan terhadap hewan dan diri sendiri? Apakah aku sudah
gila? Tapi aku sudah tidak bisa keluar dari lingkaran ini. Lingkaran yang katanya religius,
ambisius, penuh uang, dan misterius. Aku merenung sejenak setelah ritual minum darah
segar. Aku menepi di sudut ruangan khusus milikku, masih di tempat ritual itu. Memikirkan
sejenak kemana selanjutnya aku akan melangkah. Belum lagi minggu depan aku harus
menyiksa diriku sebagai persembahan. Aku tidak bisa berdiam diri seperti ini! Aku merasa
aku telah salah melangkah. Tiba-tiba aku teringat raut wajah ibu. Ibu pasti menangis melihat
keadaanku saat ini. Seorang anak laki-laki yang tidak bisa membanggakannya, aku
pecundang! Tanganku kotor!

“Ibu, kemanakah aku harus pergi? Aku sudah tidak tahan lagi bu! Kepada siapakah
aku harus mengadu, bu?” Teriakku dalam hati.

Jarum jam masih setia berputar dalam lingkarannya. Aku masih belum bisa
memejamkan mataku walau rasa kantuk sudah menghipnotis. Aku masih berusaha keras
memikirkan cara keluar dari tempat ini.

“Anakku sayang, kau terlihat begitu kebingungan. Ada apa sebenarnya? Cerita pada
ibu, nak!” Ucap ibu sembari membelai rambutku lembut.

“Aku bingung harus pergi kemana, bu. Aku buta, bu. Aku tidak tahu kemana jalan
pulang. Hikss…” Rintihku pada ibu, dia pun mulai mendekapku erat. Menyalurkan segala
kehangatan yang dia miliki.

4
“Kamu masih punya Allah, nak” Jawab ibu yang membuatku kaget.

“Allah? Siapa Dia, bu?” Tanyaku heran.

“Allah itu Tuhanmu, nak. Kau sudah melupakannya? Bagaimana kau bisa
melupakannya?” Respon ibu kaget.

“Aku tidak pernah mendengar nama itu, bu”. Aku masih saja mengelak, tidak
mengerti akan ucapan ibu.

“Kamu ingin pergi menemui-Nya, kan? Jika kamu mencari-Nya, kau akan
menemukan ketenangan dan apa itu kehidupan yang sebenarnya” Papar ibu dengan jelas.

“Tapi, bu. Tyo belum mengerti….”

Aku tersentak kaget. Tubuhku penuh peluh.

“Apa yang terjadi padaku? Apakah itu hanya mimpi? Tapi wajah ibu nampak jelas”
Aku menggerutu tak jelas, berusaha mengingat kembali apa yang ibu ucapkan tadi.

“Allah. Siapakah Dia? Aku harus mencari-Nya, ya aku harus mencari-Nya sekarang!”
Tanpa pikir panjang, aku segera mengendap layaknya pencuri di tengah malam hanya untuk
keluar dari tempat ini.

Aku terus berlari menjauhi tempat itu. Di tengah malam dengan dingin yang begitu
menampar keras kulitku aku terus berusaha mencari Allah. Entah dimana nanti aku akan
menemui-Nya. Aku ketakutan, di lorong sepi nan sunyi ini aku berusaha keluar dari hutan
menuju ke perkampungan terdekat. Benar sekali, di kejauhan sana tampak lampu-lampu
bersinar. Sepertinya di ujung sana ada pemukiman. Aku terus berlari menuju sumber cahaya
nan jauh itu.

Akhirnya, aku menapakkan kedua kakiku di bibir kampung ini. Tapi, kenapa kepalaku
tiba-tiba pusing, serasa dunia bakal terbalik dan seisinya. Aku…

“Brukk!”

Hangat, ya inilah yang aku rasakan. Perlahan ku buka kedua mataku, berusaha
mencerna pemandangan yang agak asing bahkan tak pernah aku lihat sebelumnya.

5
“Kamu sudah sadar, nak?” Seorang lelaki paruh baya mendekatiku. Sontak aku
ketakutan.

“Jangan takut. Bapak yang membawamu ke rumah bapak ini” Ucapnya ramah.
Nampaknya lelaki ini memang orang baik, tapi tak kutemui orang lain di rumah ini selain
lelaki itu.

“Bapak tinggal sendirian disini, kalau kamu mau tinggal disini bapak pasti bersedia,
nak” Kata-katanya menjawab pertanyaanku tanpa ku lontarkan. Bapak ini sepertinya
mengerti dengan apa yang aku pikirkan.

“Baiklah, pak. Saya memang tidak mempunyai sanak saudara. Saya hidup sebatang
kara, pak” Terangku pada bapak itu.

Beberapa mimggu kemudian

Hari demi hari ku lalui bersama lelaki paruh baya ini. Sebut saja namanya Pak Samuel
Nuh. Lelaki inilah yang telah mengenalkan aku tentang Allah. Dengan sabar dia
membimbingku menuju hakikat kehidupan yang sebenarnya. Menerimaku menjadi anaknya
walau aku entah berasal dari keluarga yang sudah tiada semua.

11.00 pm

“Nak, kenapa melamun begitu? Ayo masuk sudah larut malam!” Ajak ayahku, Pak
Samuel Nuh.

“Sebentar, ayah. Ada yang ingin Tyo sampaikan”

“Apa itu, nak?” Ayahku rupanya sangat antusias.

“Ayah, kalau bukan karena kemurahan dan rahmat dari Allah, Tuhan kita, mungkin
Tyo sudah tak terselamatkan, yah. Di dunia dan akhirat” Ucapku sambil menatap wajah
teduhnya.

“Iya, nak. Apa yang kamu katakan itu benar. Allah yang mengatur semua siklus
kehidupan baik itu manusia atau pun makhluk-makhluk yang lainnya” Imbuh ayahku.

“Yah, apakah Allah akan mengampuni dosa Tyo?” Tanyaku serius.

6
“Tyo, Allah pasti mengampuni hamba-Nya yang bersungguh-sungguh untuk
bertaubat. Apalagi dibulan penuh rahmat ini. Bulan Ramadhan adalah bulan yang Allah
cintai. Bulan yang Allah istimewakan. Jadi Tyo tidak perlu ragu, asal Tyo benar-benar
memohon ampun kepada Allah” Papar ayah. Kedua tangannya tak henti-hentinya
menggenggam kedua tanganku.

“Benar, yah? Tyo bersyukur yah telah mengenal Allah. Dulu Tyo ingat saat masih
kecil pernah belajar mengaji. Tapi karena Tyo nakal, Tyo belum lancar mengaji hingga detik
ini” Jelasku pada ayah.

“Mumpung sekarang bulan Ramadhan, ayah akan terus membimbing kamu belajar
mengaji dan belajar agama lebih dalam lagi. Ingat, Tyo. Syukuri kesempatan kedua yang
telah Allah berikan padamu, nak” Saran ayah padaku.

“Baik, ayah!” Jawabku mantap.

“Ayo kita istirahat, nanti jangan sampai kesiangan untuk sahur” Ayah merangkulku
dan kami pun masuk ke dalam rumah kayu yang penuh dengan hidayah itu.

Sekian.

Oleh: Lailiyatul Izzah


STIBA DUBA Pamekasan

Anda mungkin juga menyukai