Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia (SDM) adalah kunci bagaimana suatu organisasi

dapat berjalan dengan baik dan mampu memenuhi tujuan-tujuang organisasinya.

Organisasi yang memiliki Sumber Daya Manusia berarti memiliki sumber daya

untuk berjalannya organisasi. Namun demikian, demi untuk mencapai tujuan dari

organisasi, sumber daya manusia organisasi yang ada harus mendapatkan

pengaruh dari faktor-faktor lain agar dapat optimal. Adapun salah satu yang

menentukan adalah displin kerja. Dengan disiplin kerja maka karyawan atau

pegawai dapat menyelesaikan beragam tugas dan tanggungjawab masing-

masing dengan baik. Penyelesaian tugas, mematuhi peraturan dan ketentuan,

merupakan hal yang diharapkan dari seorang karyawan di sebuah organisasi

agar memiliki produktivitas tinggi. Hal ini sejalan dengan Handayani dan

Yusrawati (2013) yang menyimpulkan dalam kajiannya bahwa sebuah

kesuksesan dan sebuah kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan

banyak sekali ditentukan oleh kompetensi, profesionalisme, dan juga komitmen

yang dimiliki terhadap bidang yang ditekuninya tersebut.

Nawawi (2003) membagi tiga pengertian Sumber Daya Manusia yaitu

pertama, sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja di dalam sebuah

lingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja ataupun

karyawan). Kedua, sumber daya manusia adalah “potensi manusiawi” sebagai

penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya. Ketiga, sumber daya

manusia adalah potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal (non

material/non finansial) di dalam organisasi bisnis, yang dapat mewujudkan

menjadi potensi nyata (riil) secara fisik dan non-fisik dalam upaya mewujudkan

1
2

eksistensi organisasi. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat

pengertian sumber daya manusia secara makro dan mikro.

Pengertian sumber daya manusia secara makro atau lingkup luas adalah

semua manusia penduduk warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah

tertentu yang sudah memasuki usia di angkatan kerja, baik yang sudah maupun

belum memperolah pekerjaan (lapangan kerja). Pengertian SDM dalam arti mikro

atau kecil, sederhananya adalah manusia atau orang yang bekerja atau menjadi

anggota suatu organisasi yang disebut personel, pegawai, karyawan, pekerja,

tenaga kerja, dan lain-lain. Sedangkan Hasibuan (2013) menyatakan bahwa

“sumber daya manusia adalah semua manusia yang terlibat dalam organisasi

dalam mengupayakan terwujudnya tujuan organisasi tersebut”. Pada intinya,

sumber daya manusia adalah keseluruhan orang yang bekerja sama untuk

mencapai tujuan.

Sumber daya manusia bersama dengan faktor-faktor lain seperti mesin,

metode, merupakan faktor penentu keberhasilan sebuah organisasi. Depdiknas

(2003) sebelum berubah menjadi Kemdiknas dan kemudian Kemdikbud

menyatakan bahwa input untuk pendidikan adalah segala sesuatu (sumber daya)

yang harus ada/tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses.

Sumber daya yang dimaksud tersebut dapat berupa sumber daya manusia yaitu

kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, penjaga sekolah serta perangkat lain

yang bersifat non-manusia seperti struktur organisasi sekolah, peraturan/aturan

sekolah, deskripsi tugas, dan rencana program.

Sumber daya manusia tersebut pada pendidikan akan menjadi masukan

(input) pada proses pendidikan. Proses pendidikan dapat berupa proses-proses

dalam rangka pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan,


3

proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring

dan evaluasi. Proses pendidikan bisa diartikan sebagai proses yang bermutu

tinggi apabila prosesnya harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi belajar

yang kondusif, fun, dan gembira bagi semua pihak yang telibat, serta mendorong

motivasi dan minat belajar, dan memberdayakan peserta didik (siswa di sekolah).

Luaran (output) pendidikan merupakan luaran kinerja sekolah, yang dapat diukur

dari kualitas, efisiensi dan efektivitas, produktivitas dan inovasi, serta kualitas

kehidupan kerja dan moral kerja.

Sumber daya manusia pada organisasi sangat lah penting. Baik itu

organisasi yang merupakan institusi pendidikan yang bersifat pelayanan dan

pengabdian, organisasi pemerintahan yang bersifat pelayanan publik, organisasi

bisnis yang bersifat untuk mencari laba perusahaan, maupun organisasi

kerelawanan dan masyarakat sipil (civil society) seperti lembaga swadaya

masyarakat (LSM) dan komunitas-komunitas yang sifatnya cair tanpa struktur

baku. Organisasi masyarakat sipil misalnya, walau bentuknya tidak seperti

yayasan pendidikan, juga memerlukan SDM yang terampil dan mampu

melaksanakan tugas-tugas organisasinya. Tidak dapat dipungkiri, sumber daya

manusia pada setiap entitas organisasi memegang peranan penting dalam

rangka organisasi dapat berjalan baik, dan dengan berjalan baiknya organisasi,

maka tujuan organisasi akan pula tercapai.

Tujuan organisasi baik jangka pendek, jangka menengah dan jangka

panjang biasanya terbagi dalam bentuk visi, misi dan tujuan. Dalam rangka

memenuhi tujuan tersebut, diperlukan visi yang jelas dan jarak pandang yang

jauh dalam mencanangkan visi tersebut. Pendidikan misalnya, sudah pasti

memiliki tujuan menghasilkan peningkatan intelektual. Dengan demikian,


4

organisasi pendidikan tentu memiliki visi organisasi yang mendukung. Misalnya

menjadi institusi pendidikan sekolah menengah vokasi yang terbaik di ruang

lingkup provinsi dan nasional. Dalam rangka mencapai visi dan tujuan tersebut,

maka dikembangkan misi-misi organisasi misalnya perbaikan infrastruktur

sekolah, peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah, serta juga beragam

peningkatan atau pengembangan pendidikan dalam konteks hubungannya

dengan masyarakat.

Masyarakat pendidik tidak hanya berasal dari sekolah. Namun juga di

lingkungan tempat pendidikan itu berada. Misalnya orang tua siswa, guru bantu,

kepala desa dan tokoh ulama atau tokoh adat. Serta mereka-mereka yang ada di

sekitar sekolah sebagai institusi dan berhubungan baik langsung ataupun tidak

langsung dengan siswa didik di sekolah tersebut. Hal ini penting untuk dipahami

mengenai lingkungan pendidikan sebagai salah satu faktor suksesnya

pendidikan di berbagai tempat dan lokasi yang berbeda.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka dalam konteks pendidikan

dan organisasi pendidikan, misalnya Sekolah, maka sumber daya manusia yaitu

guru sekolah, akan menjadi pengungkit (enabler) bagi siswa untuk maju dan

berkembang. Dalam kaitan dengan tujuan tersebut, maka guru pun memerlukan

disiplin yang baik agar sekolah dapat mencapai tujuan-tujuannya, baik jangka

pendek, jangka menengah maupun jangkan panjang dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hal yang penting dalam mengelola sumber daya adalah bagaimana

manajemen yang baik. Manajemen, merupakan fungsi yang vital dalam

mengelola sumber daya manusia. Tidak ada rumusan yang sama, baku dan

berlaku umum untuk fungsi-fungsi manajemen, akan tetapi aktivitas-aktivitas


5

utamanya adalah perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Sebagaimana

Harsey & Blanchard (1988) yang dikutip juga dalam Kristiawan et.al. (2017)

mengatakan teori manajemen adalah proses bekerjasama antar individu dan

kelompok serta sumber daya lainnya dalam mencapai tujuan organisasi sebagai

aktivitas/kegiatan berbasis manajerial. Manajemen menurut Terry (1986) memiliki

definisi sebagai kemampuan untuk dapat mengarahkan dan mencapai hasil yang

diinginkan dengan tujuan terhadap usaha-usaha manusia dan sumber lainnya.

Kristiawan, et.al. (2017) kemudian berkesimpulan bahwa manajemen

merupakan ilmu dan juga sekaligus seni dalam mengatur, mengendalikan,

mengomunikasikan dan sekaligus memanfaatkan semua sumber daya yang ada

dalam organisasi dengan memanfaatkan fungsi-fungsi manajemen (Planning,

Organizing, Actuating, dan Controling) agar organisasi dapat mencapai tujuan

secara efektif dan juga efesien.

Dalam pendidikan, pengelolaan sumber daya pendidik yaitu guru, dalam

bentuk manajemen merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 (UU

20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), pasal 1 ayat 1

menyebutkan bahwa pendidikan merupakan: “usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dalam

Undang-undang yang sama, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan

nasional adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan


6

bangsa, bertujuan untuk perkembangannya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”.

Pendidikan yang baik secara ringkas tercermin dalam sebuah mutu. Mutu

pendidikan. Mutu pendidikan merupakan sebuah gambaran dan karakteristik

menyeluruh dari produk (barang atau jasa) yang menunjukkan kemampuan

dalam memuaskan kebutuhan pendidikan (jasa) yang diharapkan atau yang

tersirat. Pengertian mutu ini mencakup input, proses, dan output pendidikan.

Menurut Suwandi (2016), Indikasi rendahnya kualitas atau mutu pendidikan

dapat diduga disebabkan karena rendahnya kualitas yang meliputi program

pendidikan (kurikulum pendidikan dan kualitas pembelajaran) yang berlaku saat

ini, sistem administrasi dan manajemen sekolah, tenaga kependidikan yang

dimiliki sekolah saat ini, input dan pengembangan kualitas personal dari peserta

didik, faktor sarana dan prasarana pendidikan, serta adanya kualitas partisipasi

masyarakat dalam dunia pendidikan yang tergolong rendah.

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan ini, beberapa hal dapat

dilakukan oleh sekolah. Misalnya tahap paling awal adalah melakukan sosialisasi

konsep dasar bagaimana manajemen pendidikan akan dilakukan di sekolah.

Melakukan ini memerlukan keterlibatan banyak pihak selain kepala sekolah, juga

guru dan masyarakat. Dalam hal masyarakat, dapat dilibatkan tokoh masyarakat

seperti tokoh ulama ataupun tokoh adat, juga tokoh dari pemerintah setempat.

Selain itu, pemuka agama dan juga masyarakat sipil atau organisasi non profit di

bidang pendidikan misalnya komunitas belajar, relawan pendidikan, dan juga

tentunya orang tua/wali murid.


7

Keterlibatan semua pihak yang disebut dengan konsep

“multistakeholders” ini dapat memberi banyak masukan (input) terhadap

manajemen mutu yang akan dilakukan di sekolah. Hal ini dapat menjadi ajang

memberii banyak masukan agar konsep manajemen mutu yang akan dilakukan

(diimplementasikan) dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan Indonesia,

khususnya pada konteks institusi pendidikan yang akan diujicoba penanganan

tatakelola manajemen mutu pendidikannya. Apalagi, dengan Indonesia yang

memiliki keragaman budaya, kultural, sosioekonomi masyarakat Indonesia

beserta dengan kompleksitas geografis yang menyertainya membutuhkan forum

yang dapat menjaring masukan-masukan yang berharga sebelum implementasi

manajemen pendidikan tersebut dilakukan oleh kepala sekolah sebagai

pengambil kebijakan.

Upaya tersebut juga dalam rangka agar ada peran serta aktif dan positif

dari masyarakat sekolah dan sekitar sekola, baik secara kelompok maupun

secara individu yang peduli terhadap peningkatan kualitas atau mutu pendidikan,

khususnya peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah atas kejuruan

(vokasi) yang membutuhkan peningkatan mutu lebih baik dan lebih cepat dalam

rangka mewujudkan tujuan sekolah vokasi atau kejuruan yang berbeda (lebih

spesifik) daripada sekolah umum lainnya. Hal tersebut juga dapat memotivasi

semua stakeholders (pemangku kepentingan) terkait pendidikan dan terkait

sekolah, agar mau dan dapat terlibat serta berpikir bersama mengenai

peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Selain itu, upaya ini dumaksudkan untuk menggalang kesadaran supaya

ikut serta secara aktif dan dinamis, terlibat baik langsung maupun tidak langsung

dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan. Pemikiran-pemikiran dan


8

diskusi yang ada akan dapat memantik timbulnya pemikiran-pemikiran baru

dalam mensukseskan pengembangan/pembangunan pendidikan dari individu

dan masyarakat sekolah, yang merupakan sumber dayap penting, dan paling

depan dalam proses pembangunan mutu pendidikan tersebut. Kesadaran bahwa

peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggungjawab dan hak dari semua

komponen masyarakat (pemangku kepentingan), dengan fokus pada

peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran

pembangunan baik fisik maupun non fisik sekolah.

Wawasan masyarakat bahwa mutu pendidikan tak hanya tanggung jawab

pihak sekolah, tapi tanggung jawab semua pihak. Sehinga perlu dirumuskan

dengan jelas beserta target mutu yang akan dan harus dicapai dalam hitungan

jangka waktu tertentu (timeline) di sekolah. Misalnya jangka pendek setiap tahun,

menengah setiap lima tahun atau panjang, dalam rentang sepuluh hingga dua

puluh lima tahun kedepan. Pencapaian-pencapaian ini adalah misi yang akan

membentuk pola atau garis yang menunjukkan kualitas pencapaian target yang

temaktub dalam tujuan pendidikan di sekolah tersebut yang dapat dicapai

(feasible dan achievable).

Dalam melaksanakan pendidikan, diperlukan proses kegiatan secara

simultan dan bersama-sama dalam bidang pendidikan dengan cara

memanfaatkan semua sumber daya fasilitas yang ada, baik itu sumber daya

yang bersumber dari personal pendidikan yang ada, material-material

pendidikan, maupun konteks spiritual yaitu moral dan motivasi dari tenaga

kependidikan dan pendidik itu untuk mencapai tujuan pendidikan. Semua hal

inilah yang biasanya disebut dengan manajemen pendidikan. Usman (2004)

mengatakan bahwa manajemen pendidikan adalah sebuah seni dan sekaligus


9

ilmu dalam mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran yang baik agar peserta didik secara proaktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki basis atau sumber daya internal

berupa kekuatan spiritual keagamaan, kemampuan pengendalian diri,

kepribadian yang baik, kecerdasan pribadi dan akhlak mulia, serta juga memiliki

keterampilan yang diperlukan dirinya, bagi masyarakat, juga bagi bangsa dan

negara. Dari pendapat para ahli, Kristiawan, et.al (2017) berpendapat bahwa

Manajemen Pendidikan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berantai dan

kontinu, berupa proses pengelolaan usaha kerja sama antar sekelompok

manusia yang tergabung dalam organisasi atau institusi pendidikan, dalam

rangka untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran/pendidikan yang telah

ditetapkan sebelumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan

sumber daya yang ada dan menggunakan fungsi-fungi manajemen atau

tatakelola agar tercapainya tujuan secara efektif dan efisien.

Pengelolan semua komponen organisasi untuk rangka untuk mencapai

efisiensi dalam mewujudkan tujuan organisasi secara efektif sangat diperlukan

dalam konteks manajemen pendidikan. Dapat dikatakan kegiatan-kegiatan yang

menunjang administrasi dan manajemen pendidikan sekolah sangat diperlukan.

Baik kegiatan yang direncanakan dalam konsep manajemen, maupun yang tiba-

tiba dikarenakan adanya perubahan lingkungan manajemen dan administratif

yang dinamis di lingkup sekolah. Semua aktivitas atau kegiatan yang

direncanakan dan dilaksanakan secara teratur untuk mencapai tujuan

penyelenggaraan pendidikan ataupun tujuan, visi misi dari organisasi sekolah

mesti dirumuskan, digariskan dengan pola yang teratur dan melibatkan semua

pihak yang telah disebutkan sebelumnya.


10

Konteks dalam arti khusus pada manajemen pendidikan merupakan

“administrasi” atau “tata usaha” yang secara praktis dan operasional dalam arti

dilakukan untuk kegiatan operasional dan melaksanakan cara-cara pengelolaan

yang teratur dan baik, mengenai pekerjaan atau aktivitas manajemen maupun

pekerjaan-pekerjaan operatif lainnya terkait penyelenggaraan pendidikan di

dalam lembaga-lembaga atau organisasi pendidikan. Untuk itu, manajemen atau

tatakelola pendidikan yang baik adalah yang memiliki informasi akurat setidaknya

lengkap, mutakhir, serta dapat dipecaya dan juga memiki mekanisme

penyimpanan permanen, teratur dan mudah untuk dilihat ulang apabila

diperlukan.

Faktor ini melengkapi bidang teknologi informasi dan komunikasi dalam

penyelenggaraan manajemen mutu pendidikan yang baik. Misalnya faktor

kelengkapan, sangat penting dikarenakan informasi yang kurang lengkap bahkan

tidak lengkap akan berakibat fatal dan berdampak luas. Kesimpulan pada data

informasi yang tidak lengkap bisa jadi benar, bisa jadi salah sehingga rentan

menimbulkan kesalahan kebijakan. Terkait pembuatan kebijakan (keputusan)

maka kemutlakan sangat penting agar dapat memecahkan problem atau

masalah pendidikan yang justru hendak dipecahkan, bukan malah menambah

masalah apabila ada masukan (input) yang berdampak inefisiensi dan inefektif.

Orientasi waktu yang dimasukkan sebagai target dalam suatu keputusan

adalah waktu di masa sekarang dan waktu di masa depan. Untuk itu akurasi

informasi sebagaimana bentuk akhir dari masukan atau input yang tidak parsial

akan penting. Karena informasi yang tidak atau kurang akurat justru akan

menghambat proses pengambilan keputusan dalam menerapkan manajemen

pendidikan. Selain itu, terkait erat dengan akurasi informasi adalah informasi juga
11

harus dapat dipercaya (trust), artinya data tidak ada yang dimanipulasi dalam

pengelolaannya, agar tidak terjadi kekaburan situasi yang sebenarnya yang

membuat salah pengambilan keputusan. Seluruh informasi yang telah terkumpul

dan terolah tersebut juga harus disimpan sedemikian rupa sehingga pihak atau

siapapun yang memerlukan memilki akses tertentu yang memiliki level, sehingga

keamanan informasi terjaga dan ketika digunakan dalam pembuatan keputusan

dapat berjalan lancar.

Prinsip-prinsip dalam manajemen atau tatakelola ini memerlukan

kepemimpinan yang kreatif dan inovatif. Prinsip yang dipakai dalam pedoman

bagi para kepala sekolah terkait dengan beberapa aspek seperti hubungan

manusia (humas) dan masyarakat, komunikasi, pendelegasian pekerjaan, serta

pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah harus dapat

memikirkan cara-cara yang dilakukan demi untuk meningkatkan kinerja semua

pihak di dalam proses tatakelola atau manajemen sekolah. Dengan di awal

memerlukan visi, misi, nilai-nilai, dan tujuan sekolah yang mungkin sebelumnya

tidak didefinisikan dengan jelas, maka dalam rangka manajemen sekolah terkait

peningkatan mutu, maka diperlukan sebagai langkah strategis utama. Kemudian

praktik manajemen pendidikan di sekolah khususnya di Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) memerlukan konsep, metode, dan praktik yang rigid dan

terencana. Tugas dan tanggung jawab kepala sekolah dengan kelindannya

dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) unit-unit lain pada sekolah akan

berpengaruh dalam menghasilkan luaran mutu yang baik dari sekolah. Tidak

hanya infrastruktur yang perlu dibenahi, SDM sekolah merupakan faktor penting

yang perlu dibenahi, sebagaimana konteks penelitian ini.


12

Kepala sekolah sebagai aktor sentral dalam manajemen sekolah harus

dapat menjelaskan dan mengkoordinir semua staf guru dan tenaga pendidik dan

tenaga lain di sekolah agar kebijakan dapat dijalankan dengan baik. Juga

memberikan ruang dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif,

menyenangkan bagi semua pihak, terutama guru dan anak didik di sekolah.

Terkait dengan manajemen pendidikan sekolah, Romlah (2016)

menjelaskan secara ringkas bahwa manajemen pendidikan artinya adalah

pengelolaan terhadap semua kebutuhan institusional (organisasional) dalam

pendidikan dengan cara yang efektif dan efesien. Manajemen pendidikan

merupakan salah satu bagian komponen tak terpisahkan dari sistem yang semua

subsistemnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sebagai keseluruhan

proses penyelenggaraan dan implementasi kegiatan kerjasama dua orang atau

lebih dan/atau usaha bersama untuk mendayagunakan semua sumber secara

efektif, efesien dan juga rasional dalam rangka menunjang tercapainya tujuan

pendidikan, maka manajemen pendidikan pada prinsipnya adalah usaha-usaha

yang berhubungan aktivitas di bidang pendidikan yang terjadi resiprokal proses

saling mempengaruhi juga memotivasi kreativitas siswa/peserta didik dengan

menggunakan sumber daya berupa alat-alat pendidikan, metode-metode

pengajaran, media pembelajaran, serta sarana dan prasarana yang diperlukan

dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, yang pada dasarnya dilaksanakan

oleh manajer di sekolah, yaitu guru dan kepala sekolah.

Kepala sekolah dalam statusnya sebagai pemimpin di institusi sekolah.

Melakukan kepemimpinan yaitu melalui supervisi pendidikan, melakukan

pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan seluruh kegiatan kependidikan


13

pengajaran yang ada di sekolah. Peranan kepala sekolah merangkap, selain

sebagai manajer atau pemimpin sekolah, juga membantu guru-guru dan tenaga

kependidikan untuk memahami isu-isu terkait pendidikan, utamanya pada proses

kegiatan belajar-mengajar (KBM) dan membuat keputusan yang bijak, terukur

dampakny. Dampak ini dapat mempengaruhi pendidikan siswa, membantu guru

dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi guru) serta

meningkatkan ke level yang lebih baik prestasi belajar siswa (Burhanuddin,

2005). Untuk itulah Kepemimpinan dalam sekolah sangat diperlukan, untuk

mengelola sumber daya pendidikan dalam lingkup pelaksanaan manajemen

pendidikan, guna menghasilkan luaran siswa yang memenuhi tujuan dari

pendidikan sekolah. Displin para guru, merupakan salah satu penentu dari luaran

siswa yang berkesesuaian dengan target dan tujuan penyelenggaraan

pendidikan, khususnya di Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki program

keahlian tertentu untuk keahlian hidup (lifeskill) secara spesifik.

Kurangnya disiplin dan kinerja guru menurut Pianda (2018) adalah salah

satu dari faktor yang sampai saat ini menjadi masalah dan memerlukan

kepemimpinan seorang kepala sekolah. Disiplin guru merupakan kinerja yang

dapat secara gamblang dilihat transparan dalam aspek-aspek pada kegiatan

guru dalam menjalankan tugas guru tersebut, serta dari cara atau kualitas dalam

melaksanakan kegiatan atau tugas guru tersebut. Ciri khas kemampuan atau

keterampilan yang ditunjukkan oleh guru berkaitan erat dengan peran, tugas, dan

tanggung jawab yang diembannya berdasarkan kemampuan profesi guru

tersebut, atau dapat dikatakan kemampuan profesional. Dengan demikian kinerja

guru dikatakan baik dan memuaskan apabila tujuan yang ingin dicapai dan
14

tujuan yang kemudian tercapai adalah sesuai sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan sebelumnya.

Lunenburg dan Ortein (2000: 329) mengatakan bahwa kinerja dari guru

dipengaruhi secara tinggi oleh faktor manajemen sekolah yaitu peran kepala

sekolah, misalnya seperti peran kepemimpinan (leadership role), manajerial

(managerial role), serta kurikulum dan instruksional pengajaran (curriculum and

instructional role). Sedangkan guru, mereka memiliki pengaruh yang cukup

dominan terhadap proses pembelajaran di kelas dan bertanggung jawab

terhadap proses pembelajaran tersebut, bahkan dapat disimpulkan bahwa guru

berperan sebagai “penyelenggara pendidikan” di sekolah.

Dalam upaya memelihara dan menegakkan disiplin, beberapa faktor

berikut yang berpengaruh, diantaranya adalah kesejahteraan guru itu sendiri,

aktivitas pendidikan dan pelatihan, motivasi guru, kepemimpinan dari kepala

sekolah, budaya organisasi dan lingkungan kerja (Martoyo, 2010). Dalam

penelitian ini diplilih hanya tiga faktor yang diasumsikan mempengaruhi disiplin

kerja yang erat kaitannya dengan guru, yaitu faktor yang bersifat tergantung,

yaitu Kepemimpinan dan budaya kerja. Faktor-faktor tersebut diharapkan dapat

meningkatkan disiplin kerja yang merupakan faktor yang menjadi variabel

independen pada penlitian.

Kepemimpinan sangat dibutuhkan di dalam organisasi pendidikan karena

dengan adanya kepemimpinan yang efektif, maka kepala sekolah dapat

melakukan kegatan mengorganisasi guru dengan tepat dan mendapatkan

inovasi dari guru dengan baik. Selain itu, juga kepala sekolah dapat

mengkoordinir semua fungsi manajerial dan administratif pendidikan secara baik

dan benar. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting dalam majunya
15

sebuah entitas institusi maupun organisasi baik bersifat publik maupun privat.

Kepemimpinan, dalam berbagai sektor menjadi salah satu faktor yang dianggap

mampu menggerakkan organisasi. Menurut Setiyati (2014) Kepemimpinan dapat

juga diartikan suatu kegiatan yang menggunakan beberapa pendekatan antara

lain tiga pendekatan yaitu pendekatan sifat, pendekatan tingkah laku, dan

pendekatan kontingensi.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang

dianggap layak sebagai pemimpin yang berhasil dalam memimpin

organisasi/institusi secara efektif adalah sebagai berikut. Pertama, dia

mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi untuk dapat memikirkan dan mencari

penyelesaian setiap masalah atau persoalan yang timbul secara tepat dan

bijaksana. Kedua, pemimpin juga harus mempunyai emosi yang stabil atau tidak

mudah terombang-ambing atau penuh keragu-raguan misalnya dipengaruhi oleh

berbagai perubahan suasana. Serta, mampu untuk memisahkan antara

persoalan pribadi, persoalan rumah tangga, dengan persoalan organisasional

(persoalan sekolah). Ketiga, pemimpin harus memiliki kepandaian dalam

menghadapi orang lain dan mampu membuat bawahan (dalam hal ini guru dan

staf kependidikan, staf non kependidikan di sekolah) untuk merasa betah,

senang, dan puas dalam pekerjaan yang diberikan kepada mereka. Keempat,

pemimpin harus memiliki keahlian, seni untuk mengorganisasi dan

menggerakkan bawahan secara relatif bijak dalam rangka mewujudkan tujuan

organisasi serta untuk mengetahui dengan tepat, kapan, dimana dan kepada

siapa tanggungjawab dan wewenang akan didelegasikan.

Dalam rangka manajemen sekolah, termasuk didalamnya adalah upaya

pengelolaan dan juga pembinaan sekolah melalui kegiatan administratif dan


16

manajerial (tatakelola atau manajemen), juga tergantung dengan kepemimpinan

yang merupakan domain kemampuan atau keterampilan kepasa sekolah.

Sehubungan dengan itu maka dapat dikatakan bahwa kepala sekolah selaku

administrator berfungsi untuk merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan,

mengoordinasi dan mengawasi seluruh aktivitas kegiatan pendidikan yang

diselengggarakan di suatu sekolah (Setiyati, 2014). Kepala Sekolah juga

bertindak sebagai manajer pendidikan yang memiliki tujuan mewujudkan

pendayagunaan setiap personal kependidikan (tidak hanya guru) secara tepat,

agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal dan maksima guna

memperoleh hasil yang sebesar-besarnya atau sebaik-baiknya.

Hadari (1985:90) menekankan kepada pada segi kuantitas maupun

kualitas dalam proses mengajar belajar di sekolah. Peran Kepala Sekolah dan

guru dalam manajemen (mutu) sekolah adalah sebagai pengambil inisiatif,

pengarah, dan penilai kegiatan-kegiatan pendidikan. Hal ini guru turut serta

memikirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta nilai optimal

dari kegiatan tersebut. Kepala sekolah sebagai pemimpin bagi para pelaksana

administrasi pendidikan, yang disamping menjadi pengajar, guru dan tenaga

kependidikan harus memiliki bertanggung jawab akan kelancaran jalannya

pendidikan dan diharuskan mampu melaksanankan kegiatan-kegiatan

administrasi juga. (Usman, 2008: 12)

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah institusi pendidikan di

Indonesia yang bersifat formal pada tingkat menengah dengan tujuan utama

dalam rangka untuk menyiapkan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan,

keterampilan, dan “sikap yang sesuai dengan spesialisasi kejuruan dan

persyaratan dunia usaha dan dunia industri” (Kurikulum SMK, 2006). Sikap ini
17

erat kaitannya dengan kebutuhan spesifik masyarakat dan negara Indonesia

untuk mendapatkan para tenaga kerja vokasional yang terampil dan juga berjiwa

wirausaha, agar dapat mendorong peningkatan ekonomi regional dan nasional.

Paling tidak, akan menjadi sumber daya yang bermanfaat bagi lingkungan

tempat tinggal siswa tersebut kelak.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan formal yang

menyelenggarakan pendidikan di bidang vokasional atau kejuruan pada jenjang

menengah pada sistem pendidikan. Khususnya di Indonesia, jenjang pendidikan

menengah ini merupakan lanjutan dari SMP/MTs. Pada program SMK disediakan

banyak program keahlian yang dibuat berdasarkan rumpun tertentu yang

ditentukan oleh Kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Bidang keahlian tersebut adalah bidang teknologi dan rekayasa,

Teknologi infomasi dan komunikasi, energi dan pertambangan, kesehatan dan

pekerjaan sosial, agrobisnis dan agroteknologi, kemaritiman, bisnis dan

manajemen, pariwisata, serta senin dan industri kreatif.

Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1990 juga telah lama menjelaskan

secara tekstual “bahwa Pendidikan kejuruan merupakan bentuk pendidikan yang

membekali peserta didik dengan suatu ketrampilan tertentu agar mereka siap

memasuki lapangan kerja” (PP No. 29/1990). Peraturan pemerintah ini juga

menegaskan bahwa endidikan kejuruan adalah sebagian dari sistem pendidikan

Indonesia yang mempersiapkan seseorang (siswa) agar lebih mampu bekerja

dalam satu kelompok pekerjaan atau suatu bidang pekerjaan spesialis, tertentu

atau spesifik, daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya.

Sedangkan pada peraturan yang lebih baru, yaitu Undang-undang Nomor

20 Tahun 2003, dalam penjelasan UU No. 20/2003 Pasal 15, “pendidikan


18

kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik

terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu”. Selain yang disebutkan diatas

yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai institusi umum, terdapat pula

insitusi berbasis keagamaan yaitu Madrasah Aliyah Kejuruan. Salah satu tujuan

pembentukan SMK ini adalah mengenai peningkatan daya saing. Karena sejalan

dengan peningkatan daya saing Sumber Daya Manusia Indonesia dalam

menghadapai persaingan global antar negara, perdagangan bebas dan dunia

yang membutuhkan kompetensi mulai dari tenaga kerja terampil sejak dini.

Selain pemenuhan SDM di level manajerial, Indonesia memerlukan SDM

terampil di bidang teknis operasional, yang dapat dipenuhi oleh SDM lulusan

SMK dengan keterampilan khusus yang dibentuk ketika mereka masih di jenjang

SMK tersebut. Selain untuk Sumber Daya Manusia di luar negeri, juga diperlukan

untuk industri dalam negeri, begitupun sebaliknya. Untuk itu, pembinaan

pendidikan kejuruan merupakan salah satu upaya dari pemerintah atau negara

dalam rangka pemenuhan SDM level menengah yang berkualitas nasional,

regional hingga internasional.

Lulusan SMK biasanya dibekali dengan sertifikasi industri atau sertifikasi

kompetensi sejak awal sehingga berbekal sertifikat itu dapat menunjukkan

kompetensi lulusan SMK dari Indonesia. Kompetensi berbentuk pengakuan

sertifikasi ini dapat berupa sertifikat nasional dari lembaga sertifikasi profesi

(LSP) yang merupakan institusionalisasi program dari Badan Nasional Sertifikasi

Profesi (BNSP), atau juga sertifikat dari vendor industri baik lokal maupun

mancanegara, misalnya di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu

CISCO dan sertifikasi lain misalnya Mikrotik atau Red Hat dan Huawei.
19

Selain peningkatan infrastruktur sarana dan prasarana yang ada, tenaga

pendidik yang kompeten di bidangnya juga harus tersedia untuk dipekerjakan.

Guru yang mengampu mata pelajaran tertentu harus memiliki nilai tambah dan

nilai lebih yang dapat memberikan manfaat kepada siswa yang diajarnya. Dalam

hal ini, kompetensi yang berupa sertifikasi industri untuk siswa dan lulusan SMK

juga tidak lepas dari peran guru-guru dalam memilikinya juga. Terlebih, selain

sertifikasi kompetensi keterampilan teknis, guru juga memerlukan kompetensi

keahlian mengajar sesuai bidangnya. Mempekerjakan guru dan tenaga pendidik

lainnya yang kompeten akan memperbaiki mutu siswa dan lulusannya (luaran

pendidikan). Elemen kompetensi peserta didik ketika lulus adalah kompetensi

yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum, kebutuhan dunia kerja,

kebutuhan profesional dan kebutuhan akan generasi masa depan dan

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Untuk itu pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan, harus mengacu

pada prinsip “link and match” yang membuat tenaga kerja dari lulusan sekolah

kejuruan (SMK) diserap secara baik, utuh dan penuh oleh pasar sesuai

kompetensinya. Karena sejatinya wawasan sumber daya manusia yang

terbentuk harus dapat berjejaring dan cocok (link and match) dengan kebutuhan

industri bersangkutan. Sebab tujuan pendidikan kejuruan adalah demi persiapan

peserta didik untuk mampu bekerja dan mampu dalam bersaing tidak hanya

pada pasar kerja lokal tapi juga internasional (global). Tujuan umum pendidikan

kejuruan harus dapat membuat peserta didik berkehidupan yang layak dengan

bekal kompetensi yang dimilikinya. Selain itu, secara khusus pendidikan kejuruan

di Indonesia juga membekali peserta didik dengan bekal iman dan takwa (aspek
20

moralitas) dan perilaku (behavior) sehingga dapat menjadi andalan dalam

pekerjaannya di dunia industri.

Tujuan dari dibentuknya pendidikan kejuruan ini adalah untuk

menyiapkan peserta didik untuk bekerja dan mampu bersaing dalam proses

pekerjaannya kedepan. Pendidikan kejuruan di Indonesia juga mengajar siswa

untuk memiliki kemampuan vokasi dan dibuktikan dengan sertifikasi yang

dipersyaratkan industri khusus dunia kerja yang sesuai dengan jurusannya

(kompetensi vokasional) yang mereka pelajari di sekolah kejuruan. Tidak hanya

soal kompetensi teknis, namun juga produk riset dan inovasi dapat pula menjadi

tambahan lulusan pendidikan kejuruan, misalnya dapat membentuk usaha

pemula (start-up) berbasis teknologi (technology-based start-up company)

dengan bantuan dari berbagai aktor dan faktor misalnya pemerintah, dunia

usaha itu sendiri, juga rekan kerja dan rekan lulusan pendidikan kejuruan yang

memiliki visi dan misi yang sejalan dan cocok.

Dalam pembelajaran di sekolah kejuruan, dengan demikian, proses

penyampaian materi dari guru atau tenaga pendidik (proses ceramah) hanya

berkisar pada 45 menit pertama. Dengan tujuan agar memantik peserta didik

untuk aktif dan terbuka dalam menyampaikan ide-idenya. Basis teori dalam

empat puluh menut pertama seyogyanya sudah dapat diserap sebagai basis

awal dalam berkreasi dan berdiskusi dalam kelas. Proses diskusi yang

menempatkan peserta didik lebih bebas dengan guru sebagai fasilitator dapat

membuat kelas menjadi interaktif dan dapat memecahkan studi kasus yang

dipelajari, serta memantik keluarnya ide-ide baru dalam menyelesaikan masalah

di bidang pelajaran yang dilakukan oleh siswa pada saat berada di kelas maupun

saat dalam proses praktik dan workshop terkait kompetensinya.


21

Workshop, presentasi, tugas lapangan dan kreativitas karya merupakan

model-model keterampilan yang bisa didapatkan melalui kurikulum pendidikan

kejuruan. Dari proses tersebut, peserta didik akan dapat membuat hasil karya

dan proses kreatif yang mampu meningkatkan kadar intelektualitas sekaligus

kadar keterampilan yang dimiliki oleh mereka. Hasil produk barang maupun jasa

yang dihasilkan dari kreativitas dan inovasi peserta didik dapat digunakan

sebagai basis atau acuan dalam menyeimbangkan pembelajaran teori dan

praktik di pendidikan kejuruan dan membekali peserta didik dengan perangkat

keterampilan dan perangkat pengetahuan sekaligus, yang menitikberatkan pada

keterampilan yang khusus, berbeda dengan peserta didik dari sekolah umum

non kejuruan.

Argumentasi ini juga sejalan dengan Made Wena (1996: 13) yang

memaparkan bahwa tujuan pendidikan kejuruan adalah untuk, Pertama, untuk

membekali peserta didik dengan seperangkat (skillsets) terdiri dari pengetahuan,

sikap, dan ketrampilan. Kedua, pendidikan vokasi atau kejuruan dapat

menghasilkan lulusan “siap pakai”. Ketiga, pendidikan kejuruan bertujuan untuk

mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik yang menjadi siswa

vokasi, dan Keempat, dalam rangka mempersiapkan peserta didik agar ketika

mereka lulus dapat segera mampu memasuki lapangan kerja. Dengan demikian,

maka dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan kejuruan adalah merupakan

pendidikan yang sangat bermanfaat dalam membekali pengetahuan dan

keterampilan bagi para siswa sebagai bekal mereka untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan kejuruan pada dasarnya sangat membantu dunia usaha dan dunia

industri untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai sesuai

kebutuhan bisnis dan industri pada umumnya.


22

Sedangkan Budaya, membawa suatu rasa penguatan identitas kolektif

bagi anggota-anggota organisasi. Budaya dapat mempermudah timbulnya

komitmen pada sesuatu yang lebih luas dari pada kepentingan individual yang

bersifat personal pada seseorang. Budaya menjadi sistem perekat sosial yang

membantu mempersatukan antar manusia di dalam satu lingkungan komunitas

atau entitas. Budaya kerja sebagai culture-set, merupakan faktor yang sering

dianggap berpengaruh terhadap kinerja, produktivitas, disiplin maupun output

sebuah pekerjaan.

Sebagai gaya hidup yang berkembang di dalam sebuah entitas kelompok

atau masyarakat dan terwariskan secara turun temurun dari berbagai generasi

sebelumnya kepada generasi berikutnya, budaya memengaruhi banyak aspek

kehidupan sosial manusia. Budaya dapat memengaruhi religiusitas agama,

moral, politik, adat-istiadat, bahasa, sandang pakaian, bangunan dan

infrastruktur, serta dalam karya seni dan kesenian. Sebagai pola hidup, way of

life yang berkembang pada kelompok individu yang membentuk komunitas atau

masyarakat tertentu, budaya mengatur agar setiap individu yang ada

melaksanakan pengaturan tingkah laku yang direpresentasikan oleh sebuah

budaya di tempat tertentu yang khas.

Budaya mengatur tingkah laku manusia dalam rangka bersosialisasi,

berinteraksi antar satu manusia dengan manusia lainnya di dalam beragam

konteks bermasyarakat. Oleh karena itu, pemahaman bagaimana proses yang

benar dan tepat dalam melakukan perubahan organisasi pendidikan melalui

perubahan budaya sangat penting karena setiap sumber daya yang ada akan

berhadapan dengan sikap mental perubahan yang disebut transformasi budaya.

Kegiatan ini dapat menimbulkan ekses negatif berupa penolakan atau resistansi
23

budaya apabila tidak disertai dengan kepemimpinan organisasi oleh kepala

sekolah, dan kemauan para guru untuk berubah.

Sebagaimana manajemen mutu sekolah yang dicanangkan melalui

berbagai hal fundamental seperti tujuan, visi dan misi sekolah hinga slogan

sekolah, pengaruh budaya dalam hal perubahan mental dan perubahan budaya

menuju transformasi budaya baru akan sulit dilakukan. Penegakan disiplin dari

semua pihak yang ada, termasuk di dalamnya kepala sekolah, guru, tenaga

kependidikan, serta peserta didik perlu dilakukan melalui komitmen bersama

ketika berada pada institusi pendidikan kejuruan. Membudayakan nilai-nilai

kedisiplinan, toleransi, serta nilai intelektualitas menjadi hal yang kerap

menantang pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, khususnya sekolah

kejuruan yang kerap menampilkan sosok ketidakdisiplinan pelajar dengan

stereotype dan stigmatisasi berlebihan terhadap para peserta didik ketika berada

di luar sekolah. Bentuk-bentuk stereotype “anak SMK” seperti kebodohan,

kenakalan remaja dan kegiatan yang tidak bermanfaat adalah salah satunya.

Untuk itu kolaborasi dan pekerjaan kolektif semua pihak sangat dibutuhkan, serta

didukung oleh kepemimpinan yang solid, tegas dan dapat ditaati oleh setiap

orang.

Dalam pendidikan kejuruan, pembangunan karakter (character building)

membuat peserta didik memiliki kompetensi yang dapat sesuai dan memadai

serta memiliki segudang kreativitas dan inovasi yang lebih di bandingkan sekolah

umum, untuk bekal saat lulus dari sekolahnya. Fungsi ini merupakan akulturasi

dan enkulturasi di bidang pendidikan. Akulturasi atau penyesuaian diri akan

adaptif terhadap perubahan budaya, dan enkulturasi atau pembawa perubahan

akan menjadikan peserta didik sebagai “agent of change” dan agen perubahan
24

sosial di masyarakat. Sebagaimana diketahui, perubahan sosial yang berarti

perubahan di masyarakat terkait dengan perubahan nilai-nilai, norma dan

beragam pola kehidupan manusia. Perubahan ini perlu didorong oleh faktor

eksternal maupun internal, termasuk adanya dorongan dari kelompok yang

membawa perubahan sosial budaya dalam berperilaku, misalnya lulusan sekolah

kejuruan yang memiliki kombinasi antara kompetensi keilmuan dan kompetensi

keahlian dipadukan dengan nilai moral perubahan yang mereka dapatkan ketika

berada pada institusi pendidikan kejuruan. Karena pada dasarnya setiap

manusia itu mengalami perubahan, maka perubahan dari internal adalah dari diri

pribadi peserta didik, dan perubahan eksternal dari lingkungan dapat terjadi

karena peran mereka sebagai agen perubahan sosial dan perubahan budaya

menjadi lebih baik di masyarakat.

Fungsi utama perubahan budaya adalah transformasi nilai dan mental

yang menurut Pai (1990:26), sebagai agen perubahan sosial, agen transformasi

dan perubahan budaya. Oleh karena itu, efektivitas pembelajaran di sekolah

berbasis kejuruan adalah kemampuan sekolah kejuruan untuk menjadikan

peserta didik menghayati nilai disiplin, moral pancasila dan religiusitas dalam

berinteraksi dan bersosial. Peserta didik akan fokus pada mengejar

ketertinggalan dan mengembangkan keilmuan dan keterampilan vokasional yang

hanya akan terjadi pada sekolah yang unggul, yang memberikan nilai-nilai

penguatan karyawan sekolah, guru, siswa, orang tua dan juga masyarakat umum

secara lebih luas (Caldwell dan Spinks, 1993:72).

Dalam hal mendidik dan mengajar, budaya kerja guru memiliki pengaruh

terhadap hal-hal tersebut. Oleh karenanya, Budaya kerja merupakan faktor yang

dapat berpengaruh selain Kepemimpinan terhadap Disiplin kerja. Budaya yang


25

menjadi dasar, pikiran dasar atau program inherensi pikiran untuk dapat

melaukan tindakan “reformasi” atau “revolusi” mental yang dapat dimanfaatkan

untuk meningkatkan efisiensi kerja, budaya kerja memiliki kebiasaan, peraturan

dan nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai yang ada tersebut merupakan budaya kerja

yang tidak tertulis, dan sebagai peraturan, budaya dapat tertulis maupun tidak

tertulis. Sedangkan kebiasan adalah perilaku yang terbentuk dari kegiatan yang

dilakukan berulang-ulang dan dari kebiasaan membentuk budaya. Kebiasaan

bekerja dalam ritme dan pola tertentu, akan membentuk budaya bekerja. Budaya

kerja ini yang dapat mempengaruhi disiplin kerja guru.

Dalam mengemban amanat sebagai institusi pendidikan, maka civitas

akademika dari sebuah sekolah terutama sekolah menengah kejuruan terikat

kepada keharusan mencetak generasi muda yang terampil sesuai dengan

keahlian yang seharusnya didapatkan. Dalam hal ini adalah keahlian dalam

bidang teknologi dan rekayasa melalui kompetensi keahlian teknik kendaraan

ringan dan teknik otomatisasi industri. Dalam mencetak sumber daya manusia

pemuda dengan kompetensi ahli tersebut maka selain fasilitas yang baik dan

kurikulum yang baik, juga krusial adalah guru yang menjadi suri tauladan. Dalam

hal ini, yang sering dijadikan acuan dalam menilai adalah adanya disiplin kerja

guru dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya. Disiplin ini

misalnya hadir mengajar tepat waktu dan memberikan materi sesuai dengan

kurikulum silabus dan materi pembelajaran yang tepat.

Berdasarkan uraian diatas, disiplin kerja guru merupakan perilaku yang

dihasilkan dari adanya kriteria-kriteria lingkungan yang berpengaruh. Dalam

rangka menjalankan tugasnya, misalnya dalam tugasnya sebagai seorang

pendidik dan pengajar dalam merencanakan pembelajaran, melakukan proses


26

pelaksanaan pembelajaran, evaluasi dan juga pengawasan menuntut adanya

disiplin kerja agar prosesnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Kepemimpinan maupun budaya kerja yang ada juga dapat berpengaruh

terhadap kedisiplinan kerja. Dengan demikian, sebagai guru, disiplin kerja guru

perlu dianalisis sejauh apa faktor tersebut berpengaruh jika ada, dan bagaimana

hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam memecahkan masalah disiplin

kerja guru ke depannya.

Berdasarkan observasi awal permasalahan yang mempengaruhi disiplin

kerja guru di sekolah adalah :

1. Kepala sekolah yang jarang berkomunikasi dengan bawahan;

2. Kepala sekolah yang tidak melalui jenjang karir;

3. Dalam pengambilan keputusan, kepala sekolah tidak pernah

berembuk bersama;

4. Kepala sekolah yang belum sesuai dengan masa kerja, pangkat dan

golongan.

Berdasarkan keadaan tersebut, penulis merasa perlu untuk mengadakan

penelitian sekaligus kajian tentang kepemimpinan oleh kepala sekolah, kajian

budaya kerja guna mencapai displin kerja guru khususnya di pendidikan sekolah

menengah kejuruan. Mengacu kepada titik tolak dari permasalahan diatas, maka

dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Pengaruh Kepemimpinan dan

Budaya Kerja Terhadap Disiplin Kerja Guru di SMKN di Kabupaten OKU

Selatan”.

B. Identifikasi Masalah
27

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka beberapa permasalahan terkait yang diidentifikasi dalam

penelitian ini sebagai berikut.

1. Kepemimpinan kepala sekolah yang perlu ditingkatkan. Dalam hal ini,

keterbatasan waktu kepala sekolah di sekolah akibat dari kendala

tempat tinggal yang jauh, sering tidak berada di ruangan kepala

sekolah dan kurangnya pengawasan kepala sekolah terhadap sumber

daya di sekolahnya termasuk perhatian baik secara langsung maupun

tidak langsung terhadap kinerja guru-guru dan staf pendukung yang

ada.

2. Budaya kerja dari kepala sekolah yang rendah tersebut, juga

berdampak terhadap budaya kerja guru yang ada, dimana kurangnya

komunikasi karena keterbatasan temu muka dengan kepala sekolah

juga menyebabkan budaya kerja yang tidak produktif dan efektif dan

efisien dalam mengajar sesuai peran dan tanggung jawabnya.

Kurangnya komunikasi dan kebijakan yang terkait reward dan

punishment, lemahnya implementasi aturan dan kontrol serta

pengawasan dalam pelaksaaan pengajaran dan pendidikan.

3. Disiplin kerja yang secara umum dilihat dari kehadiran dan

pelaksanaan tugas-tugas yang dibebankan kepada guru menjadi tidak

optimal dalam merencanakan program pembelajaran, melaksanakan

evaluasi hasil pembelajaran peserta didik. Guru masih datang

terlambat dan bahkan tidak masuk, mengajar lebih dari satu sekolah

dan banyak beraktivitas diluar sekolah dan pelajaran, yang bukan


28

merupakan bagian dari pelatihan menunjang karier namun aktivitas

pribadi.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas tersebut, penelitian ini membatasi

pada pengaruh kepemimpinan dan budaya kerja terhadap disiplin kerja guru di

SMK Negeri di Kabupaten OKU Selatan. Lebih lanjut, limitasi penelitian ini adalah

lokus penelitian dan sumber daya penelitian yang terbatas yaitu pendanaan,

tenaga peneliti dan waktu yang terbatas sehingga menghasilkan penelitian yang

terbatas pada lokus, waktu dan instrumen yang dapat diterapkan pada penelitian

di SMK Negeri di Kabupaten OKU Selatan sehingga hasil penelitian dapat akurat

pada lokus tersebut namun tidak dapat digeneralisir kepada sekolah lain di

lingkup yang lebih luas. Diperlukan penelitian lanjutan dengan skup dan skala

yang lebih luas maupun dengan intensitas sumber daya yang lebih baik.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini

menjadi perumusan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap disiplin kerja guru di

SMK Negeri di Kabupaten OKU Selatan?

2. Apakah terdapat pengaruh budaya kerja terhadap disiplin kerja guru di

SMK Negeri di Kabupaten OKU Selatan?

3. Apakah terdapat pengaruh antara kepemimpinan dan budaya kerja

secara bersama-sama terhadap disiplin kerja guru di SMK Negeri di

Kabupaten OKU Selatan?


29

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan diatas maka tujuan yang

diinginkan untuk dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap disiplin kerja

guru SMK Negeri di Kabupaten OKU Selatan.

2. Untuk mengetahui pengaruh budaya kerja terhadap disiplin kerja guru

SMK Negeri di Kabupaten OKU Selatan.

3. Untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan dan budaya kerja secara

bersama-sama terhadap disiplin kerja guru SMK Negeri di Kabupaten

OKU Selatan.

F. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan referensi

bagi penelitian sejenis dalam rangka untuk upaya mengembangkan

ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan Kepemimpinan,

Budaya Kerja dan Disiplin guru.

2. Secara praktis

a. Bagi pembuat kebijakan : dapat dijadikan acuan dalam

merumuskan kebijakan yang tepat terkait disiplin kerja guru pada

institusi pendidikan dengan taraf yang sama.

b. Bagi peneliti : dapat dijadikan sebagai masukan/bahan pengkajian

dan bahan perbandingan pada penelitian yang relevan, dapat


30

membuktikan teori kepemimpinan, budaya kerja yang dapat

meningkatkan disiplin kerja guru.

c. Bagi obyek penelitian : dapat memberikan referensi, tambahan

informasi kepada seluruh guru, staf dan kepala sekolah di SMK

Negeri di Kabupaten OKU Selatan dalam meningkatkan

pemahaman praktik kepemimpinan dan budaya kerja dalam

peningkatan disiplin kerja guru yang dapat memastikan

tercapainya tujuan institusi pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai