Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AHLAK DAN TASAWUF


“AJARAN SUFI DAN TOKOH-TOKOHNYA”

Dosen Pengampu : Miswanto, S.H.I., M.H.I

DI SUSUN OLEH :
1. Anggun Veronika (1911090012)
2. Deska Mayang Sari (1911090252)

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAR ISLAM NEGERIRADEN INTAN
LAMPUNG
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Sejarah tentang masalah perkembangan pemikiran keislaman
memiliki mata rantai yang panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan
melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya panggilan
informasi mengenal perkembangan pemikiran islam melalui data-data
yang dihasilkan oleh para pemikiran terdahulu(ulama terdahulu) menjadi
sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang cukup
dominan serta telah banyak menarik perhatian para penelitian naskah
adalah tentang tasawuf.
Dalam islam kita mengenal al-ahwal yang terbagi menjadi al-
khauf, arraja’, asy-sauf dan murokobah dan banyak lagi, dimana sering
ditemukan perbedaan pendapat dari berbagai tokoh-tokoh. Dari paparan
diatas penulis tertarik untuk membahas tentang corak-corak tasawuf
tersebut dan menemukan maksud dari berbagai tokoh-tokoh. Dari paparan
diatas kami tertarik untuk membahas tentang ajaran sufi dan tokoh-
tokohnya yang meliputi khauf dan raja, mahabbah, makrifah.

2. Rumusan Masalah
a. Khauf dan Raja?
b. Muhabbah ?
c. Ma’rifat ?

3. Tujuan
a. Mengetahui pengertian, dan pandanga al-muhasibi tentang Khauf dan
Raja’.
b. Mengetahui tentang pengertian, pandangan al-muhasibi, tokoh, hadis
muhabbah.
c. Mengetahui tentang pengertian,pandangan, tokoh, hadis ma’rifat.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Khauf dan Raja


a. Pengertian Khauf dan Raja’
Pengertian Al-khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental
merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya.
Takut dan khawatr kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena itu,
adanya perasaan seperti itu maka ia selalu berusaha agar sikap dan
tingkah laku perbuatanya tidak menyimpang dari yang dikehendaki
Allah.
Sementara itu pengertian Raja’ berarti mengharapkan sesuatu dari
Allah SWT ketika berdoa maka kita akan mengharapkan bahwa doa
kita akan dikabulkan oleh allah SWT. Menurut al-kusyairio raja’
adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang di inginkan terjadi di
masa akan datang. Sementara itu abu bakar al-warraq menerangkan
bahwa raja’ ialah kesenangan dari Allah bagi hati orang yang takut jika
tidak karena itu maka binasalah diri mereka dan hilanglah akal
mereka1.

b. Pandangan Al-Muhasibhi Tentang Khauf dan Raja’


Dalam pandangan Al-Muhasibhi, khauf (rasa takut) dan raja’
(pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang
yang membersihkan jiwa. Ia terkesan mengaitkan kedua sifat penting
itu dengan etika-etika keagamaan lainnya, yakin ketika di sifati dngan
dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan
sifat-sifat lain. Pangkal wara menurutnya adalah ketakwaan; pangkal
ketakwaan adalah intropeksi diri(musabat an-nafs); pangkal intropeksi
diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah

1
Ibnu qayyim al-jauziyah,2003:132
pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; sedangkan pangkal
pengetahuan keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’ menurut Al-muhasibi, dapat dilakukan dengan
sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada al-qur’an dan as-
sunnah. Dalam hal ini, ia terksan mengaitkan kedua sifat itu dengan
ibadah dan dengan janji serta ancaman Allah. Oleh karena itu, ia
menganggap ungkapan ibnu sina dan rabbi’ah al-adawiyyah sebagai
jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih-lebihan dan
keluar dari yang telah dijelaskan Islam sendiri serta bertentangan
dengan yang diyakini para sufi dari kalangan ahlussunnnah. Al-
muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa al-quran jelas berbicara
tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-quran pun
sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti). Dan tarhib
(ancaman).

Artinya:“ sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada didalam


taman-taman(syurga) dan di mata-mata air, sambil mengambil apa
yang diberikan pada mereka oleh tuhan mereka. Sesungguhnya
mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik;
mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam; dan diakhir-akhir malam
mereka memohon ampun( kepada Allah). (QS. Adz-dzariyyat:16-18).2

2. Mahabbah
2
DR. M.Solihin. M.Ag. Tokoh-tokoh sufi lintas zaman,2003:52-55
a. Pengertian, Tujuan, dan Kedudukan Mahabbah
 Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ”ahabba”, ”yuhubbu”,
”mahabbatan”, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam
mu’jam al-falsafi, jamil shaliba mengatakan mahabba adalah
lawan dari al-baghad, yakni cinta adalah lawan dari benci. Al-
mahabba dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih
atau penyayang. Selain itu al-mahabba dapat pula brarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran
pada sesuatu yang dicintainya, orang tua kepada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya,
atau seorang pekerja kepada pekerjaanya .
Kata mahabbah tersebut digunakan untuk menunjukan untuk
suatu faham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini
mahabbah objeknya lebih ditujukan pada tuhan. Jadi arti
mahabbah yaitu kecintaan yang mendalam kepada tuhan.
Pengertian mahabbah Harun nasution:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap
melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasih.
3. Mengosongkan hati dari segala-galannya dari yang dikasih,
yaitu tuhan.

 Tujuan
Tujuan mahabbah untuk memperoleh kesenangan batiniah
yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa.

 Kedudukan Mahabbah
Kedudukan mahabbah sebagai penggambaran keadaan
dekatnya hubungan seorang sufi dengan tuhan. Dengan kata
lain mahabbah menggambarkan dua aspek rapat yang ada
antara seorang sufi dengan tuhan.3

b. Pandangan Al-muhasibi Tentang Mahabbah


Dalam pemikiran tasawufnya, al-muhasibi juga mempunyai
pandangan tentang mahabbah (cinta kepada Allah SWT) menurut
pendapatnya, cinta kepada Allah adalah rindu kepada-Nya. Rasa rindu
itu merupakan peringatan bagi hati untuk melihat sesuatu yang
dirindukan karena orang yang dicintai senantiasa merasa rindu kepada
kekasihnya. Dalam pandangan Al-muhasibi, kecintaan itu dapat
direalisasikan melalui anggota badan, dengan melakukan berbagai
amalan yang diperintahkan dan meninggalkan larangan Allah SWT.
Serta melalui ucapan-ucapan dalam bentuk berdzikir dan beristighfar.
Kecintaan Allah SWT merupakan sinar kegembiraan bagi hati, karena
hati sangat dekat dengan yang dicintai. 4

c. Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah


Tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah robi’ah
al-adawiyyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang
menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut. Rabi’ah al-
adawiyyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari
basharah, di Irak. Dia hidup antara tahun 713-801 H. Ia meninggal
dunia pada tahun 185 H/796 M. ia adalah seorang hamba yang
dibebaskan. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala
bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa
yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi
dari tuhan. Ia benar-benar hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin
berada dekat dengan tuhan.

3
Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia,2014:179-182
4
DR. M.Solihin. M.Ag. Tokoh-tokoh sufi lintas zaman,2003:55
d. Mahabbah Dalam Al-qur’an dan Hadist
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan diatas mendapatkan
tempat di dalam al-quran. Banyak ayat-ayat al-quran yang
menggambarkan bahwa antara manusia dengan tuhan dapat saling
bercinta misalnya ayat yang berbunyi

Artinya:”jika kamu cinta kepada Allah, maka turunkanlah aku dan


Allah allah akan mencintai kamu”(QS. Ali’imran,3:30)

Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:

Artinya: “ hamba-ku senantiasa mndekatkan diri kepada-ku dengan


perbuatan-perbuatan hingga aku cinta padanya. Orang yang ku cintai
menjadi telinga, mata dan tanganku”.5

3. Ma’rifah
a. Pengertian, tujuan, kedudukan Ma’rifah
 Pngertian Ma’rifat
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu,
irfan,ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan
dapat pula diartikan sebagai pengetahuan tentang rahasia
hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu
yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah
adalah pngetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan
mengetahui rahasianya. Hal ini di dasarkan pada pandangan

5
Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia,2014:185-188
bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan,
dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang
satu. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai
pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Menurut
Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan
hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati
sanubari.
 Tujuan Ma’rifah
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bawa
ma’rifah adalah mengetahu rahasia-rahasia tuhan dengan
menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang
ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mngetahui rahasia-
rahasia yang terdapat dalam diri tuhan.

 Kedudukan Ma’rifah
Kedudukan ma’rifah disini adalah maqam(tingkatan) dari
tasawuf. Ma’rifah ini adalah maqam sesudah mahabbah
(kecintaan pada Allah SWT) yang dikemukakan oleh al-
kalabazi. Karena pada mahabbah menggaambarkan kecintaan
kepada Allah baru mengetahui atau mengenal Allah.6

b. Pandangan Al-muhasibi Tentang Ma’rifah


Al-muhasibi berbicara pula tentang ma’rifah. Oleh karena
itu ia menulis sebuah buku tentangnya. Namun, dikabarkan bahwa
tanpa diketahui alasannya ia kemudian membakarnya. Ia sangat
berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak
sesekali mendalami pengertian batin agama yang dapat
mengaburkan pngertian lahirnya dan menybabkan keraguan. Inilah
yang mendasari nya untuk memuji sekempok sufi yang tidak
berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam
konteks ini pula, ia menuturkan sebuah hadis nabi yang

6
Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia,2014:189-190
menyebutkan, ”pikirkanlah mahluk-mahluk Allah dan jangan
coba-coba memikirkan dzat Allah, sebab kaalian akan tersesat
karenanya”.
Berdasarkan hadist diatas Al-muhasibi mengatakan bahwa
ma’rifah harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang didasarkan
pada kitab dan sunnah. 7

c. Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifah


Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang
mengenalkan paham ma’rifah ini, yaitu Al-ghazali dan Zun al-nun
al-misri. Al-ghazali lahir pada 1059 M di Ghazaleh. Setelah
bertahun-tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus di
tahun 1105 M dan ia meninggal disana pada tahun 1111 M.
Adapun Zun al-misri berasal dari naubah. Tahun
kelahiranya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya wafatnya
yaitu pada 860 M. menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi
dalam abad ketika hijrah. Mengetahui bukti bahwa mereka berdua
membawa paham ma’rifah dapat diikuti dari pendapat-pendapatnya
dibawah ini. Al-ghazali misalnya mengatakan ma’rifah adalah:

Artinya:“tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan


pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup
segala yang ada”.

d. Ma’rifah Dalam Pandangan Al-quran dan Hadist


Ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya tuhan). Di
dalam Al-quran, dijumpai tidak kurang dari 43x kata nur diulang

7
Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia,2014:194
dan sebagian besar dihubungkan dengan tuhan. Misalnya ayat yang
berbunyi,

Artinya: “dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk)


oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. Al-
nur,24;40)

Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah


cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan
terjadi dalam islam, dan tidak bertentangan dengan al-quran.
selanjutnya di dalam hadist kita jumpai sabda Rosulullah yang
berbunyi:

Artinya: “ aku (Allah) adalah perbendaharaan yang berbunyi


(ghaib), aku ingin memperkenalkan siapa aku, maka aku ciptakan
mahluk. Oleh karna itu, aku memperkenakkan diri-Ku kepada
mereka. Maka mereka itu mengenalkan aku”. ( hadist Qudsi)8

e. Syarat-Syarat Ma’rifat
1. Harus memiliki niat dan tekad serta keyakinan ingin bertemu
dengan Allah.
2. Harus memiliki kemerdekaan berpikir dengan membebaskan diri
dari segala macam fanatisme beragama (toleransi beragama).
3. Mencari dan mendapatkan seorang guru mar-syid yang benar-
benar sudah ma’rifat.
4. Pembersihan jiwa melalui takhalli, tahalli, dan tazalli.
5. Di dalam situasi adapun selalu mengingat-ingat (berfikir) kepada-
Nya

8
Prof.Dr. H. Abuddin Nata,M.A. Ahlak Tasawuf dan Karakter Mulia,2014:197-198
6. Senantiasa mensyukuri nikmat Allah.
7. Melihat segala sesuatu baik itu kejadian, peristiwa, kesulitan
maupun musibah, dihadapinya dengan tenang, tabah, tawakal.
8. Menyukai tafakur (tahanuts).
9. Harus dapat mengenal diri pribadi.
10. Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa dikembalikan
kepada sumbernya, yaitu sang pencipta.
11. Harus mengenal sifat-sifat Allah.9

BAB III

KESIMPULAN
9
Drs.K.Permadi,S.H. pengantar ilmu tasawuf,2004:18-19
1. Pengertian Al-khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental merasa
takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan
khawatr kalau Allah tidak senang padanya.

2. Sementara itu pengertian Raja’ berarti mengharapkan sesuatu dari Allah


SWT ketika berdoa maka kita akan mengharapkan bahwa doa kita akan
dikabulkan oleh allah SWT.

3. Mahabbah secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau


kecintaan atau cinta yang mendalam.

4. Ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan tentang rahasia hakikat agama,


yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang biasa didapati oleh orang-
orang pada umumnya.

5. Tujuan mahabbah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit


dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.

6. Tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah robi’ah al-


adawiyyah.

7. Tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mngetahui rahasia-
rahasia yang terdapat dalam diri tuhan.

8. dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini, yaitu Al-ghazali
dan Zun al-nun al-misri.

DAFTAR PUSTAKA
Solihin,M.2003.Tokoh-Tokoh Sufi Lintasan Zaman.Bandung: CV Pustaka Setia.
Nata,Abuddin.20014.Ahlak Tasawuf Dan Karakter Mulia.
Jakarta: PT Raja Gravindo Persada

Permadi,K.2004.Pengantar Ilmu Tasawuf.Jakarta:PT Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai