Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa kata “kontemporer” mempunyai arti pada waktu
yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, atau dewasa ini.
Secara etimologis (cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata), kata
“kontemporer” berasal dari dua (2) kata , yaitu :
a) kata co yang artinya bersama dan
b) kata tempo yang berarti waktu.
Sehingga, kontemporer berarti bersifat masa kini, kekinian atau merefleksikan situasi waktu yang
sekarang sedang berlangsung. maka, dapat dikatakan, bahwa “kontemporer” merupakan masa, di mana
kita berada dalam suatu zaman yang saat ini berada;
Sifat kontemporer menggambarkan sebuah keadaan waktu yang sedang berjalan itu, sehingga
sifat kontemporer tidak bersifat tetap dan cenderung terus-menerus mengalami perubahan. Jadi
kontemporer yang berlaku saat ini belum tentu berlaku untuk masa mendatang, dan akan bersifat terus
berkembang sesuai jaman.
Kontemporer saat ini berbeda dengan kontemporer masa lalu dan masa mendatang, kontemporer saat ini
ditandai dengan generasi Z, mllenial, digitalisi dan masuk ke era revolusi 4.0
Menurut Kupperschmidt (2000) (dalam Putra, 2016) Generasi adalah sekelompok orang
yang memiliki kesamaan tahun lahir, umur, lokasi dan juga pengalaman historis atau
kejadian-kejadian dalam individu tersebutyang sama yang memiliki pengaruh seignifikan
dalam fase pertumbuhan mereka. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa generasi adalah
sekelompok individu yang mengalami peristiwa –peristiwa yang sama dalam kurun waktu
yang sama pula.
Pada teori generasi dari awal keberadaannya dikenal oleh masyarakat sampai saat ini ada
sebanyak lima generasi, yaitu:
a) Generasi Baby Boomer
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1946
sampai dengan tahun 1964.
b) Generasi X
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1965
sampai dengan tahun 1980.
c) Generasi Y Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak
tahun 1981 sampai dengan tahun 1994.
d) Generasi Z
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1995
sampai dengan tahun 2010.
e) Generasi Alpha
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 2011
sampai dengan tahun 2025.
Generasi X Generasi Y Generasi Z
Generasi X adalah generasi Generasi Y dikenal dengan Generasi Z merupakan
yang lahir pada tahun-tahun sebutan generasi mellenial generasi yang paling muda
awal dari perkembangan atau milenium. Generasi Y yang baru memasuki
teknologi dan informasi ini banyak menggunakan angkatan kerja. Generasi ini
seperti penggunaan PC teknologi komunikasi instant biasanya disebut dengan
(personal Computer), video seperti email, SMS, instant generasi internet atai
games, TV kabel dan messanging dan lain2. Hal ini Igeneration. Generasi Z lebih
internet. Generasi X ini dikarenakan generasi Y banyak berhubungan sosial
mampu beradaptasi dan merupakan generasi yang lewat dunia maya. Sejak
mampu menerima perubahan tumbuh pada era internet kecil, generasi ini sudah
dengan cukup baik sehingga booming (Lyons, 2004) banyak dikenalkan oleh
dapat dikatakan sebagai (dalam Putra, 2016). Tidak teknologi dan sangat akrab
generasi yang tanggung, hanya itu saja, generasi Y ini dengan smartphone dan
yang memiliki karakter. lebih terbuka dalam dikategorikan sebagai
pandangan politik dan generasi yang kreatif.
Ciri/Karakteristik : ekonomi, sehingga mereka
Banyak akal, independen, terlihat sangat reaktif Ciri/Karakteristik: Lebih
butuh kenyamanan terhadap perubahan menyukai kegiatan sosial
emosional, lebih suka lingkungan yang terjadi di dibandingkan generasi
sesuatuyang informal dan sekelilingnya. sebelumnya, lebih suka di
punya kemampuan perusahaan start up, multi
usaha/berdagang Ciri/Karakteristik: Lebih tasking, sangat menyukai
dibandingkan baby boomers. berkomitmen terhadap teknologi dan ahli dalam
Kehidupan antara pekerjaan perusahaan, pekerjaan mengoperasikan teknologi
dan personal balance, merupakah salah satu tersebut, peduli terhadap
mengembangkan kesempatan prioritas, tapi bukan prioritas lingkungan, mudah
yang dipunyai, menyukai utama, menyukai peraturan terpengaruh terhadap
hubungan pekerjaan yang yang tidak berbelit2, lingkungan mengenai produk
positif dan menyukai menyukai keterbukaan dan ataupun merek2, pintar dan
kebebasan dan punya ruang trasnparansi. Dalam mudah untuk menangkap
untuk berkembang. pekerjaan, team orientation informasi secara cepat.
fokusnya. Menyukai
feedback dan juga suka
tantangan baru yang
menantang yang membuat
diri mereka harus pushed
their limits.
Budaya kontemporer pada saat ini juga dapat disebut sebagai budaya hiperrealitas atau hyperreality.
Menurut Martin Heidegger, seorang filsuf Jermandan Jean Baudrillard, seorang filsuf, sosiolog, serta
pakar kebudayaan asal Prancis, budaya kontemporer pada masa sekarang ini muncul karena adanya
perkembangan yang sangat hebat dalam bidang teknologi informasi, sepertitelevisi, telepon,
handphone, dan internet yang menggeser konsepsi ruang dan waktu yang seharusnya serempak
menjadi konsepsi ruang dan waktu yang tidak lagi sistematis.
Dalam teori dan praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa
hingga lahirnya ilmu modern dan Administrasi Publik yang hingga saat ini telah mengalami
beberapa kali pergeseran paradigma, mulai dari model klasik yang berkembang daam kurun
waktu 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yang berkembang
dälam kurun waktu akhir 1980an hingga pertengahan 1990an; sampai kepada Good
Governance yang berkembang sejak pertengahan 1990an hingga saat ini.
Sehigga dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik model klasik ini cenderung
menggunakan pendekatan yang legalistik.
Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan kontribusi Woodrow
Wilson (1887) dalam “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan
mengatakan bahwa harus terdapat pemisahan antara politik dan Administrasi. Politik “who
should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should
be administered”. Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam “Politic
and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas dan
pengaruh politik, meskipun Administrasi membantu dalam eksekusi kebijakan/Keputusan
politik.
Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dilihat melalui model “old chesnuts”
dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri
yang politis dan terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis dan berdasarkan peraturan;
penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan
keluaran yang seragam (lihat dalam Oluwu, 2002 dan Frederickson, 2004). Dalam hal ini
kharakter Old Public Administration dicirikan oleh kegiatan pemèrintah yang terfokus pada
pemberian pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh administrator Publik yang
akuntabel dan bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar
utama yang diperjuangkan dalam Old Public Administration adalah efisiensi dan rasionalitas
sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan sebagai planning,
organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting.
Kritik terhadap Administrasi Publik model kiasik juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan
keberadaan konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya 2 (dua) titik kritis
terhadap Birokrasi Weberian tersebut (Prasojo, 2003), yakni: pertama, dalam hubungan antara
masyarakat dan negara, implementasi birokrasi ditandai dengan meningkatnya intensitas
perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur birokrasi dalam
hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-
meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi dan rakyat. Peningkatan
intensitas dianggap memiliki resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi
negara yang akan menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat dan pada akhirnya
menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik
lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yang tertutup dengan pendekatan
hirakis yang top down dan ukuran kinerja yang hanya berbasis pada efisiensi bukan
responsiveness. Itu sebabnya birokrasi menjadi lamban dan kurang responsif dengan
perubahan dan kebutuhan masyarakat. Kritik-kritik sebagaimana tersebut di atas kemudian
menyebabkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik.
Terdapat sejumlah prinsip dasar dari NPM berdasarkan pendapat dari sejumlah ahli
sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; serta Borins
and Warrington 1996 dalam Samaratunge and Bennington, 2002).
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para ahli Administrasi Publik tersebut pada
dasarnya bertujuan untuk mencapai ` dalam banyak hal, Publik seringkati tidak ditibatkan
untuk berpartisipasi dalam menentukan, meencanakan, mengawasi dan mengevaluasi
tindakan-tindakan yang diambiL untuk dapat menjarnin bahwa Publik tetap menjadi pusat
dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa
rnenganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat
dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi.
Kritik Lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The
New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya melayani warga
masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan
Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada
kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan
(serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya
(value people, not just productivity).
Menurut OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan
oleh pendekatan pasar maka permasalahan yang muncul ada1ah terkait dengan pernyataan
bahwa tidak ada perbedaan antara manajemen sektor publik dengan sektor privat dalam
mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka
mengenai validitas empirik dan NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat
yang dianggap ideal untuk sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim datam
NPM terhadap kondisi yang ada di sektor publik. Model usahawan seringkali dapat
mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis seperti keaditan, peradilan, keterwakitan dan
partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya perbedaan besar antara
kekuatan pasar dengan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu dapat
memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik seringkali
tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi dan
mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil untuk dapat menjamin bahwa publik tetap
menjadi pusat dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan
bahwa rnenganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat
dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi.
Kritik lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt dalam bukunya “The New
Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya metayani warga
masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan
publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai warga negara daripada
kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan
(serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya
(value people, not just productivity).
Paradigma The New Governance menitikberatkan pada nilai-nilai yang menjunjung tinggi
keinginan dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pencapain tujuan nasional dan keadilan sosial. Paradigma the new
Governance lahir untuk memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat di dalam
Publik sektor dengan peran masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan Publik. Karya
terakhir yang memperkuat paradigma the new governance adalah The New Public Sevices
Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt dan Denhardt
mengajukan kritik yang keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang
dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.
1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi ke negara
maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan prioritas dalam
pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative
Development) sekaligus menjadi instrumen penting pembangunan (Development
Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut pada umumnya
dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi
kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi Administrasi, dan (2) menata kembali
sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (PNS) serta
retasi antara negara dan masyarakat.
Isu reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya untuk melakukan modernisasi
administrasi pemerintahan. Belajar dan pengataman beberapa negara, maka kunci dari
keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara.
Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi
peran administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan pada saat
itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property registration,
civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan social
purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988,
reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi dan simplifikasi prosedur,
restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi administrasi. Semua
usaha Korea Setatan untuk merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena hasilnya
adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, bersih dan berwibawa,
Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam kaitan dengan efonnasi birokrasi
adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (2) Restrukturisasi, downsizing dan
iightsizing, perubahan manajemen dan organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi
Pemerintahan, (3) Anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, (4)
serta hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat datam pembangunn dan
pemerintahan.
Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi sangat
retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem
Birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi masalah yang sangat
fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang
diterapkan. adalah peninggalan pemerintah kotonial. yang juga memiliki dasar-dasar hukum
dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi
pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. warga negara (lihot
Thoha: 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan
instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk
mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama
administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan
kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi
yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi
aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan
pelayanan Publik masih jauh dan harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik
yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yang
terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan
pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Dalam kultur yang demikian, korups,
kolusi dan nepotisme menjadi hal yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan
pemerintahan. seringkali terabaikan.
Dalam kaitan dengan reformasi birokrasi di Indonesia, maka isu-isu yang terkait dengan
dengan reformasi birokrasi dalam kerangka tecritik dan perbandingan dengan negara lain
harus menjadi baian yang tidak terpisahkan kurikulum.
Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan dan fungsi administrasi negara
dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia tidak
memiliki visi, kehilangan ruh dan berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat
bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, tidak adanya
kemauan potitik dan pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain
diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi.
Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan, tetapi
juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan.
2. Desentralisasi
Isu lain yang berkembang secara teoritik dan praktek dalam administrasi Publik adalah
desentralisasi. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuan-bantuan negara
asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini
berkembang sudah .sejak lama bersamaan dengan mengalirnya dana bantuan donor ke
negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin kuat
dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang
vacum.
Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka,
berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Pernesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi
terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein,
1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki
ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah
kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan,
bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22).
Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus
berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi
lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya
perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan
ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang tetah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan
antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat
dikatakan berhasil. meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.
Desentratisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir
dalam proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting untuk ikut menentukan
konstruksi hubungan pusat dan daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas
pemerintahan daerah. Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat
luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan efektif, juga untuk
meriingkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.
Hasil penelitian di lapangan terhadap 14 kabupaten dan kota juga propinsi yang dilakukan
penulis menunjukkan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar berbagai
stakeholdes dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tersebut
meliputi relasi antara kepala daerah dan DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah
daerah dan masyarakat, ketidaksetaraan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat,
antara KPUD, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan pilkada.. Berbagai
bentuk ketidaksetaraan tersebut telah menyebabkan sulitnya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam proses-proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik serta kontrol
atas pengunaan resources di daerah. Ketidaksetaraan ini menyebabkan efek berantai berupa
sulitnya pencapaian local responsiveness dan local acountability dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik harus mengisi kapasitas pemerintahan
daerah untuk membangun dan menjalankan pemerintahan.
Berbagai hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam peningkatan kualitas pelayanan Publik
adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan dan
serta perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini
dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja PNS. Metode
yang dipergunakan antara lain melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik dan
swasta, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai
strategi pelayanan Publik telah menjadi alternatif antara lain dengan apa yang disebut Market
Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan
atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority.
Meskipun demikian, praktek New Public Management yang berupaya untuk meningkatkan
kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger
Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan dalam pelayanan Publik. Dimana
masyarakat yang berstatus sosial ekonomi rendah seringkali secara mudah terabaikan. Dalam
kaitan ini perlu juga kalangan akademisi public administration memberikan formula yang
lebih konstektual denqan kondisi Indonesia.
4. Good Governance
Sesuai dengan perkembangan paradigma Good Governance dalam Administrasi Publik maka,
isu Governance menjadi kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan
upaya untuk menciptakan akses partisipasi masyarakat dalam pelayanan Publik dan
penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek
lain berupa akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, pelayanan dan pembangunan.
Dalam konteks ini Governance diartikan sebagai suatu hubungan yang interakti. dan berbasis
pertukaran informasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam pemerintahan.
Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan juga
harus melibatkan masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan
partisipasi dilakukan melalui antara lain apa yang disebut dengar Citizen’s Charter dan
Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan Publik
pemerintah harus memiliki kinerja dan orientasi pemenuhan hak-hal. sipil masyarakat. Dan
melalui mekanisme pengaduan, masyarakat dapat menyampaikan keberatan-keberatan dan
masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan yang memberikan penguatan terhadap kedudukan pemerintah.
6. Kebijakan Publik
Yang juga menjadi isu dalam administrasi publik adalah terkait dengan proses penyusunan
kebijakan Publik yang harus semakin baik dan kondusif bagi pelayanan, pemerintahan dan
pembangunan. Dalam hal ini terkait dengan proses penyusunan kebijakan yang semakin
partisipatif dengan berbagai pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus
menjadi aktor yang aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, isu ini juga terkait dengan
proses potitik yang terjadi di Parlemen dalam kaitanya dengan Pemerintahan. Perubahan
sistem parlementer ke sistem presidensial di Indonesia memberikan tantangan tersendiri
dalam kebijakan Publik. Hal ini karena sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan
politik, proses political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi party. Respon
administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik dalam kebijakan Publik harus semakin
rasional dan profesional.
Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum
Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi kedua dan ketiga di
Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi negara. Hal ini berbeda dengan
ilmuwan administrasi Publik generasi pertama seperti Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh
karena itu, sudah saatnya memikirkan kembali perubahan kurikulum administrasi Publik
yang berorientasi juga pada kajian Hukum Administrasi Negara dalam kaitannya dengan
studi administrasi Publik.
8. Revolusi 4.0
Menurut Ari Welianto bahwa Revolusi Industri 4.0 merupakan fenomena yang
mengkolaborasikan teknologi siber dan teknologi otomatisasi. Revolusi Industri
4.0 dikenal juga dengan istilah “cyber physical system”. Konsep penerapannya
berpusat pada otomatisasi. Dibantu teknologi informasi dalam proses
pengaplikasiannya, keterlibatan tenaga manusia dalam prosesnya dapat
berkurang. Dengan demikian, efektivitas dan efisiensi pada suatu lingkungan
kerja dengan sendirinya bertambah. Dalam dunia industri, hal ini berdampak
signifikan pada kualitas kerja dan biaya produksi. Namun sesungguhnya, tidak
hanya industri, seluruh lapisan masyarakat juga bisa mendapatkan manfaat
umum dari sistem ini.
Dalam Revolusi Industri 4.0, setidaknya ada lima teknologi yang menjadi pilar
utama dalam mengembangkan sebuah industri siap digital, yaitu: Internet of
Things, Big Data, Artificial Intelligence, Cloud Computing dan Additive
Manufacturing.
2. Big Data
Big Data adalah istilah yang menggambarkan volume besar data, baik
terstruktur maupun tidak terstruktur. Namun bukan jumlah data yang penting,
melainkan apa yang dilakukan organisasi terhadap data. Big Data dapat
dianalisis untuk pengambilan keputusan maupun strategi bisnis yang lebih baik.
Penyedia Layanan Big Data Indonesia, antara lain :
a. Sonar Platform;
b. Paques Platform;
c. Warung Data;
d. Dattabot.