Anda di halaman 1dari 16

Klasifikasi Ilmu Administrasi

Adminitrasi dibidakan dalam 2 golongan

1. Adminitrasi Negara (Publik Adminitration)


2. Adminitrasi Swasta atau Niaga (Private Business Administration)

Perbedaan Administrasi Negara dan Administrasi Niaga

Materi yang Administrasi Negara Administrasi Niaga


diperbandingkan
1. Tujuan Tujuan Tujuan :
memberikan Pelayan yang sebaik- Memperoleh untung sebesar-
baiknya kepada masyarakat (publik besarnya (profit motive)
servise)
2. Cara Cara pencapaian : Cara pencapaian :
pencapaian Berdasarkan ketentuan peraturan Berdasarkan kebijksanaan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat
(legalistic approach) mengguntungkan (tidak terikat
dengan ketentuan yang telah
ditetapkan)
3. Kegiatan Kegiatan : Kegiatan :
Mengutamakan kebenaran sesuai Mengutamakan hasil, tidak
prosedur yang telah ditentukan mengutamakan prosedur
4. Sifat Sifat : Sifat :
 Monopoli  Bebas (free competition)
 untuk kepentingan umum  Sangat efisien
 kurang efisien  Kepentingan individu dan
 Soial (untuk kepentingan kelompok
masyarakat)

5. Kekuasaan memperoleh kekuasaannya dari kekuasaannya terletak pada


rakyat besarnya modal, skill dan
manajerial.
6. Orientasi seluruh aparatur pemerintah menjalankan poitiknya secara
politik berorientasi politik netral memihak dan menganut aliran
yang dianggap membantu
usahanya
7. Cara bekerja administrasi Negara lebih lamban administrasi niaga lebih cepat
daripada administrasi niaga karena karena pendekatannya adalah
berdasar pada pendekatan legalitas programmatic
Sumber : Soewrno handayaningrat dan sumber lainnya
Materi yang akan dibahas pada pertemuan ini adalah diutamakan Adminitrasi Negara atau
Admnistrasi Publik. Adapun ruang lingkup meliputi :

1. Definisi Administrasi Negara (Publik) Kontemporer


2. Isyu-isyu kontemporer Administrasi negara

1. Administrasi Negara Kontemporer

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa kata “kontemporer” mempunyai arti pada waktu
yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, atau dewasa ini.

Secara etimologis (cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata), kata
“kontemporer” berasal dari dua (2) kata , yaitu :
a) kata co yang artinya bersama dan
b) kata tempo yang berarti waktu.

Sehingga, kontemporer berarti bersifat masa kini, kekinian atau merefleksikan situasi waktu yang
sekarang sedang berlangsung. maka, dapat dikatakan, bahwa “kontemporer” merupakan masa, di mana
kita berada dalam suatu zaman yang saat ini berada;

Sifat kontemporer menggambarkan sebuah keadaan waktu yang sedang berjalan itu, sehingga
sifat kontemporer tidak bersifat tetap dan cenderung terus-menerus mengalami perubahan. Jadi
kontemporer yang berlaku saat ini belum tentu berlaku untuk masa mendatang, dan akan bersifat terus
berkembang sesuai jaman.
Kontemporer saat ini berbeda dengan kontemporer masa lalu dan masa mendatang, kontemporer saat ini
ditandai dengan generasi Z, mllenial, digitalisi dan masuk ke era revolusi 4.0

Menurut Kupperschmidt (2000) (dalam Putra, 2016) Generasi adalah sekelompok orang
yang memiliki kesamaan tahun lahir, umur, lokasi dan juga pengalaman historis atau
kejadian-kejadian dalam individu tersebutyang sama yang memiliki pengaruh seignifikan
dalam fase pertumbuhan mereka. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa generasi adalah
sekelompok individu yang mengalami peristiwa –peristiwa yang sama dalam kurun waktu
yang sama pula.

Pada teori generasi dari awal keberadaannya dikenal oleh masyarakat sampai saat ini ada
sebanyak lima generasi, yaitu:
a) Generasi Baby Boomer
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1946
sampai dengan tahun 1964.
b) Generasi X
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1965
sampai dengan tahun 1980.
c) Generasi Y Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak
tahun 1981 sampai dengan tahun 1994.
d) Generasi Z
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 1995
sampai dengan tahun 2010.
e) Generasi Alpha
Generasi ini merupakan orang-orang yang lahir pada kurun waktu sejak tahun 2011
sampai dengan tahun 2025.
Generasi X Generasi Y Generasi Z
Generasi X adalah generasi Generasi Y dikenal dengan Generasi Z merupakan
yang lahir pada tahun-tahun sebutan generasi mellenial generasi yang paling muda
awal dari perkembangan atau milenium. Generasi Y yang baru memasuki
teknologi dan informasi ini banyak menggunakan angkatan kerja. Generasi ini
seperti penggunaan PC teknologi komunikasi instant biasanya disebut dengan
(personal Computer), video seperti email, SMS, instant generasi internet atai
games, TV kabel dan messanging dan lain2. Hal ini Igeneration. Generasi Z lebih
internet. Generasi X ini dikarenakan generasi Y banyak berhubungan sosial
mampu beradaptasi dan merupakan generasi yang lewat dunia maya. Sejak
mampu menerima perubahan tumbuh pada era internet kecil, generasi ini sudah
dengan cukup baik sehingga booming (Lyons, 2004) banyak dikenalkan oleh
dapat dikatakan sebagai (dalam Putra, 2016). Tidak teknologi dan sangat akrab
generasi yang tanggung, hanya itu saja, generasi Y ini dengan smartphone dan
yang memiliki karakter. lebih terbuka dalam dikategorikan sebagai
pandangan politik dan generasi yang kreatif.
Ciri/Karakteristik : ekonomi, sehingga mereka
Banyak akal, independen, terlihat sangat reaktif Ciri/Karakteristik: Lebih
butuh kenyamanan terhadap perubahan menyukai kegiatan sosial
emosional, lebih suka lingkungan yang terjadi di dibandingkan generasi
sesuatuyang informal dan sekelilingnya. sebelumnya, lebih suka di
punya kemampuan perusahaan start up, multi
usaha/berdagang Ciri/Karakteristik: Lebih tasking, sangat menyukai
dibandingkan baby boomers. berkomitmen terhadap teknologi dan ahli dalam
Kehidupan antara pekerjaan perusahaan, pekerjaan mengoperasikan teknologi
dan personal balance, merupakah salah satu tersebut, peduli terhadap
mengembangkan kesempatan prioritas, tapi bukan prioritas lingkungan, mudah
yang dipunyai, menyukai utama, menyukai peraturan terpengaruh terhadap
hubungan pekerjaan yang yang tidak berbelit2, lingkungan mengenai produk
positif dan menyukai menyukai keterbukaan dan ataupun merek2, pintar dan
kebebasan dan punya ruang trasnparansi. Dalam mudah untuk menangkap
untuk berkembang. pekerjaan, team orientation informasi secara cepat.
fokusnya. Menyukai
feedback dan juga suka
tantangan baru yang
menantang yang membuat
diri mereka harus pushed
their limits.

Generasi Alpha (Tahun Kelahiran 2010-Sekarang)


Generasi ini adalah lanjutan dari generasi Z dimana mereka sudah terlahir dengan teknologi yang semakin
berkembang pesat. Di usia mereka yang sangat dini, mereka sudah mengenal dan sudah berpengalaman
dengan gadget, smartphone dan kecanggihan teknologi yang ada. Selain itu, kebanyakan mereka terlahir
dari keluarga dengan masa Generasi Y yang juga terlahir pada masa-masa awal perkembangan teknologi.
Pola pikir mereka yang terbuka dengan perkembangan serta transformatif dan juga inovatif akan
mempengaruhi perkembangan anak-anak generasi Alpha.

Budaya kontemporer pada saat ini juga dapat disebut sebagai budaya hiperrealitas atau hyperreality.
Menurut Martin Heidegger, seorang filsuf Jermandan Jean Baudrillard, seorang filsuf, sosiolog, serta
pakar kebudayaan asal Prancis, budaya kontemporer pada masa sekarang ini muncul karena adanya
perkembangan yang sangat hebat dalam bidang teknologi informasi, sepertitelevisi, telepon,
handphone, dan internet yang menggeser konsepsi ruang dan waktu yang seharusnya serempak
menjadi konsepsi ruang dan waktu yang tidak lagi sistematis.

2. Pengembangan Ilmu Administrasi Publik Dan Isu-Isu Kontemporer Administrasi


Negara Di Indonesia

Administrasi Publik memainkan peranan yang penting datam penyelenggaraan Pemerintahan.


Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat ditentukan oleh
kuatitas Administrasi Publik yang diiniliki oleh suatu negara. Dalam konteks Negara
Kesatuan RePublik Indonesia, keberadaan Administrasi Publik merupakan instrumen penting
untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara yang termaktub dalam UUD 1945 antara lain untuk
memajukan kesejahteraaan urnum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam teori dan praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa
hingga lahirnya ilmu modern dan Administrasi Publik yang hingga saat ini telah mengalami
beberapa kali pergeseran paradigma, mulai dari model klasik yang berkembang daam kurun
waktu 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yang berkembang
dälam kurun waktu akhir 1980an hingga pertengahan 1990an; sampai kepada Good
Governance yang berkembang sejak pertengahan 1990an hingga saat ini. 

Pergeseran paradigma Administrasi Publik tersebut, telah membawa implikasi terhadap


penyelenggaraan peran Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan yang
digunakan dalam pembuatan dan pelaksanaan strategi; pengelolaan organisasi secara internal;
serta interaksi antara Administrasi Publik dengan politisi, masyarakat dan aktor Lainnya.
Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat menentukan corak dan ragam
dalam penyelengaraan Pemerintahan dan sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak dan
ragam tersebut akan sangat ditentukan oleh kondisi lokal yang ada di Negara tersebut, dalam
artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah menyesuaikan diri dengan
perkembangan paradigma yang ada; serta sejauhmana penyesuaian tersebut dilakukan dengan
memperhatikan konteks lokal dan permasalahan yang ada di Negara tersebut. 

Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai dengan bergesernya paradigma dalam


Administrasi Publik. Kita mengetahui paling tidak ada tiga paradigma yang telah dan akan
sedang berlangsung dalam Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion, (2)
New Public Management, dan (3) Good Governance and the new public services. Perubahan
paradigma dalam Ilmu Administrasi Publik tersebut menuntut perubahan kurikulum dan
materi pengajaran pada pendidikan tinggi. 

1. Paradigma Administrasi Publik 


1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration) 
a. Konsep yang digunakan 
Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dilihat sebagai seperangkat Institusi
Negara, proses, prosedur, sistem dan struktur organisasi, serta praktek dan periilaku untuk
mengelola urusan-urusan Publik dalam rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and
Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik menurut ESC-
UN (2004) bekerja melalui seperangkat aturan dengan legitimasi, delegasi, kewenangan
rasional legal, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat dan akurat:, dapat
diprediksi, memiliki standar, integnitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan
kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah
instrumen Negara diharapkan untuk menyediakan basis fundamental bagi perkembangan
manusia dan rasa aman, termasuk di dalamnya kebebasan individu, perlindungan akan
kehidupan dan kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, stabilitas,
dan resolusi konflik secara damai baik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan
surnberdaya maupun dalam hal-hal lalnnya (Econoinic and Social Council UN, 2004).
Dengan kata lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan
aturan hukum (Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004). 

Sehigga dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik model klasik ini cenderung
menggunakan pendekatan yang legalistik. 

Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan kontribusi Woodrow
Wilson (1887) dalam “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan
mengatakan bahwa harus terdapat pemisahan antara politik dan Administrasi. Politik “who
should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should
be administered”. Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam “Politic
and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas dan
pengaruh politik, meskipun Administrasi membantu dalam eksekusi kebijakan/Keputusan
politik. 
Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dilihat melalui model “old chesnuts”
dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri
yang politis dan terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis dan berdasarkan peraturan;
penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan
keluaran yang seragam (lihat dalam Oluwu, 2002 dan Frederickson, 2004). Dalam hal ini
kharakter Old Public Administration dicirikan oleh kegiatan pemèrintah yang terfokus pada
pemberian pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh administrator Publik yang
akuntabel dan bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar
utama yang diperjuangkan dalam Old Public Administration adalah efisiensi dan rasionalitas
sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan sebagai planning,
organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting. 

b. Kritik terhadap model kiasik 


Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan
dengan karakteristik dan Administrasi Publik yang dianggap inter Qua, red tape, lamban,
tidak sensltif terhadap kebutuhari masyarakat, penggunaan sumberdaya Publik yang sia-sia
akibat hanya berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan kepada hasil, sehingga pada
akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dan masyarakat yang menganggap
Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and SociaL
Council UN, 2004). 

Kritik terhadap Administrasi Publik model kiasik juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan
keberadaan konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya 2 (dua) titik kritis
terhadap Birokrasi Weberian tersebut (Prasojo, 2003), yakni: pertama, dalam hubungan antara
masyarakat dan negara, implementasi birokrasi ditandai dengan meningkatnya intensitas
perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur birokrasi dalam
hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-
meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi dan rakyat. Peningkatan
intensitas dianggap memiliki resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi
negara yang akan menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat dan pada akhirnya
menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik
lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yang tertutup dengan pendekatan
hirakis yang top down dan ukuran kinerja yang hanya berbasis pada efisiensi bukan
responsiveness. Itu sebabnya birokrasi menjadi lamban dan kurang responsif dengan
perubahan dan kebutuhan masyarakat. Kritik-kritik sebagaimana tersebut di atas kemudian
menyebabkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik. 

2. Gelombang Pertama Pembaharuan: 


2.1. Progressive Era Public Administration (PPA) 
Dalam perkembangan paradigma Administrasi Publik, di negara-negara industri maju,
pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.a gelombang reformasi yang
radikat. Gelombang pertama datam Administrasi Publik disebut dengan Progressive Era
Public Administration (PPA) (Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama
perbaharuan ini berupaya meningkatkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan
seleksi dan promosi dalam birokrasi yang berbasis merit dan bukan patronase, berdasarkan
kepada hukum dan peraturan bukan pada diskresi yang tidak terbatas, pelaksanaan pelayanan
publik yang berbasis impersonalitas, prosedur modernisasi dalam sebuah transformasi yang
sangat cepat dan mengambil tempat di produksi ekonomi negara-negara industri maju (Hood,
1994).

2.2. New public Management (NPM)


a. Konsep yang digunakan
Dari banyak kasus yang ada, NPM dianggap telah banyak berbuat untuk menggoyang
organisasi publik yang tidur dan melayani dirinya sendiri melalui penggunaan ide-ide dari
sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan banyak pilihan untuk mencoba mencapai
biaya yang efektif dalam penyampaian barang publik seperti adanya organisasi yang terpisah
untuk kebijakan dan implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak dan metode
lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yang kuat terhadap organisasi internalnya
(Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM berusaha untuk memperbaiki kinerja organisasi
sektor publik dengan menggunakan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat dan
melalui mekanisme pasar. Pada dasarnya hal yang baru dalam NPM (what is new public
management) adalah mereformasi paradigma administrasi publik lama yang berbasis
traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasis
market-based dan compettition driven based.

Terdapat sejumlah prinsip dasar dari NPM berdasarkan pendapat dari sejumlah ahli
sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; serta Borins
and Warrington 1996 dalam Samaratunge and Bennington, 2002).

 Penanganan oleh manajemen profesonaL. 


 Keberadaan standar dan ukuran kinerja. 
 Penekanan pada pengawasan keluaran dan manajenien wirausaha. 
 Kompetisi dalam pelayanan Publik. 
 Penekanan pada gaya sektor privat dalam praktek manajemen. 
 Penekanan yang lebih besar pada disiplin dan penghematan. 
 Penekanan terhadap peran dan manajer Publik dalam menyediakan pelayanan yang
berkualitas tinggi 
 Mengadvokasi otonoini manajerial dengan mengurangi pengawasan peran lembaga
pusat 
 Tuntutan, pengukuran dan penghargaan terhadap kinerja individu dan organinasi.
 Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya manusia dan teknologi yang
dibutuhkan manajer dalam memenuhi target kinerjanya. 
 Menjaga penerimaan terhadap kompetisi dan wawasan yang terbuka menenai
bagaimana tujuan Publik harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah. 

Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para ahli Administrasi Publik tersebut pada
dasarnya bertujuan untuk mencapai ` dalam banyak hal, Publik seringkati tidak ditibatkan
untuk berpartisipasi dalam menentukan, meencanakan, mengawasi dan mengevaluasi
tindakan-tindakan yang diambiL untuk dapat menjarnin bahwa Publik tetap menjadi pusat
dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa
rnenganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat
dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi. 

Kritik Lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The
New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya melayani warga
masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan
Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada
kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan
(serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya
(value people, not just productivity). 

C.3. Kritik terhadap NPM


Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yang dianggap sebagai
kelemahan dari NPM, seperti yang dinyatakan oleh Oluwu (2002).

Menurut OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan
oleh pendekatan pasar maka permasalahan yang muncul ada1ah terkait dengan pernyataan
bahwa tidak ada perbedaan antara manajemen sektor publik dengan sektor privat dalam
mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka
mengenai validitas empirik dan NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat
yang dianggap ideal untuk sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim datam
NPM terhadap kondisi yang ada di sektor publik. Model usahawan seringkali dapat
mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis seperti keaditan, peradilan, keterwakitan dan
partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya perbedaan besar antara
kekuatan pasar dengan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu dapat
memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik seringkali
tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi dan
mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil untuk dapat menjamin bahwa publik tetap
menjadi pusat dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan
bahwa rnenganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat
dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi.

Kritik lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt dalam bukunya “The New
Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya metayani warga
masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan
publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai warga negara daripada
kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan
(serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya
(value people, not just productivity). 

3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah dengan Aktor


Iainnya 
Pengertian dan good governance dapat dilihat dan pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF
maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat
“kerangka kerja institusional dan pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini menurut mereka
berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dan
penegakannya (Bappenas, 2002). ini juga berarti mencabut akar dan korupsi dan aktivitas-
aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melal.ui transparansi din aliran informasi serta
menjamin bahwa informasi mengenal kebijakan dan kinerja dan institusi pemerintah
dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat
memonitor dan mengawasi manajemen dan dana yang berasal. dan masyarakat (Bappenas,
2002). Pengertian ml sejatan dengan endapat Bovaird and Loffler (2003) yang rnengatakán
bahwa good governance mengusung sejumlah isu seerti: ketenlibtan stokeholder;
cransparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan Lainnya); etika dan perilaku
jujur; akuntabititas; serta keberlanjutan. 

Paradigma The New Governance menitikberatkan pada nilai-nilai yang menjunjung tinggi
keinginan dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pencapain tujuan nasional dan keadilan sosial. Paradigma the new
Governance lahir untuk memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat di dalam
Publik sektor dengan peran masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan Publik. Karya
terakhir yang memperkuat paradigma the new governance adalah The New Public Sevices
Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt dan Denhardt
mengajukan kritik yang keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang
dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.

B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER


Berdasarkan pembahasan terhadap paradigma yang berkembang dalam Administrasi Publik,
maka terdapat sejumlah isu yang dapat dijelaskan sesual dengan perkembangan kekinian
(Zeitgeist). Isu-isu ini penting untuk segera direspons oleh para akademisi dan praktisi
administrasi Publik dalam pendidikan tinggi administrasi Publik.

1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi ke negara
maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal dan prioritas dalam
pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative
Development) sekaligus menjadi instrumen penting pembangunan (Development
Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut pada umumnya
dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi
kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi Administrasi, dan (2) menata kembali
sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (PNS) serta
retasi antara negara dan masyarakat.

Isu reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya untuk melakukan modernisasi
administrasi pemerintahan. Belajar dan pengataman beberapa negara, maka kunci dari
keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara.
Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi
peran administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan pada saat
itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property registration,
civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan social
purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988,
reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi dan simplifikasi prosedur,
restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi administrasi. Semua
usaha Korea Setatan untuk merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena hasilnya
adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, bersih dan berwibawa,
Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam kaitan dengan efonnasi birokrasi
adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (2) Restrukturisasi, downsizing dan
iightsizing, perubahan manajemen dan organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi
Pemerintahan, (3) Anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, (4)
serta hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat datam pembangunn dan
pemerintahan. 

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi sangat
retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem
Birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi masalah yang sangat
fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang
diterapkan. adalah peninggalan pemerintah kotonial. yang juga memiliki dasar-dasar hukum
dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi
pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. warga negara (lihot
Thoha: 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan
instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk
mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama
administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan
kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. 

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi
yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi
aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan
pelayanan Publik masih jauh dan harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik
yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yang
terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan
pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Dalam kultur yang demikian, korups,
kolusi dan nepotisme menjadi hal yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan
pemerintahan. seringkali terabaikan. 

Dalam kaitan dengan reformasi birokrasi di Indonesia, maka isu-isu yang terkait dengan
dengan reformasi birokrasi dalam kerangka tecritik dan perbandingan dengan negara lain
harus menjadi baian yang tidak terpisahkan kurikulum. 
Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan dan fungsi administrasi negara
dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia tidak
memiliki visi, kehilangan ruh dan berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat
bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, tidak adanya
kemauan potitik dan pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain
diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi. 

Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan, tetapi
juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan. 

2. Desentralisasi 
Isu lain yang berkembang secara teoritik dan praktek dalam administrasi Publik adalah
desentralisasi. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait dengan bantuan-bantuan negara
asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini
berkembang sudah .sejak lama bersamaan dengan mengalirnya dana bantuan donor ke
negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin kuat
dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan tidak berada dalam ruang yang
vacum.

Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka,
berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Pernesta juga sangat
terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi
terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein,
1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki
ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah
kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan,
bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22).
Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus
berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi
lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya
perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan
ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang tetah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan
antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat
dikatakan berhasil. meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah. 

Desentratisasi yang merupakan refleksi hubungan antara pusat dan daerah terus akan bergulir
dalam proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting untuk ikut menentukan
konstruksi hubungan pusat dan daerah di Indonesia, juga ikut membangun kapasitas
pemerintahan daerah. Karena isu ini bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat
luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan efektif, juga untuk
meriingkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.

Hasil penelitian di lapangan terhadap 14 kabupaten dan kota juga propinsi yang dilakukan
penulis menunjukkan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar berbagai
stakeholdes dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tersebut
meliputi relasi antara kepala daerah dan DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah
daerah dan masyarakat, ketidaksetaraan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat,
antara KPUD, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan pilkada.. Berbagai
bentuk ketidaksetaraan tersebut telah menyebabkan sulitnya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam proses-proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik serta kontrol
atas pengunaan resources di daerah. Ketidaksetaraan ini menyebabkan efek berantai berupa
sulitnya pencapaian local responsiveness dan local acountability dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik harus mengisi kapasitas pemerintahan
daerah untuk membangun dan menjalankan pemerintahan. 

3. Kualitas Petayanan Publik 


Isu yang cukup penting dan menghiasi literatur dalam administrasi Publik adalah peningkatan
kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini dengan reformasi birokrasi, tetapi dalam
pandangan penulis isu ini memiliki dimensi software yang harus mendapatkan perhatian
tersendiri dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan paradigma New Public
Management telah memasukkan unsur-unsur dan metode sektor swasta dalam sektor Publik.
Hal ini misalnya dapat dilihat dalam berbagai literatur yang terkait dengan judul-judul. buku
dan seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership for Public
Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public Services, Reeinventing
Government, Improved Public Service” dan berbagai judul lainnya. 

Berbagai hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam peningkatan kualitas pelayanan Publik
adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan dan
serta perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini
dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja PNS. Metode
yang dipergunakan antara lain melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik dan
swasta, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai
strategi pelayanan Publik telah menjadi alternatif antara lain dengan apa yang disebut Market
Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan
atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority. 

Dalam konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant Ecosob


sebagai jaininan legal dalam pemberian pelayanan Publik kepada masyarakat. Disamping itu,
saat ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Pelayanan Publik yang sebentar lagi akan dibahas di DPR.

Meskipun demikian, praktek New Public Management yang berupaya untuk meningkatkan
kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger
Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan dalam pelayanan Publik. Dimana
masyarakat yang berstatus sosial ekonomi rendah seringkali secara mudah terabaikan. Dalam
kaitan ini perlu juga kalangan akademisi public administration memberikan formula yang
lebih konstektual denqan kondisi Indonesia. 

4. Good Governance 
Sesuai dengan perkembangan paradigma Good Governance dalam Administrasi Publik maka,
isu Governance menjadi kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan
upaya untuk menciptakan akses partisipasi masyarakat dalam pelayanan Publik dan
penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek
lain berupa akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. 

Dalam konteks ini Governance diartikan sebagai suatu hubungan yang interakti. dan berbasis
pertukaran informasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam pemerintahan.
Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan juga
harus melibatkan masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan
partisipasi dilakukan melalui antara lain apa yang disebut dengar Citizen’s Charter dan
Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan Publik
pemerintah harus memiliki kinerja dan orientasi pemenuhan hak-hal. sipil masyarakat. Dan
melalui mekanisme pengaduan, masyarakat dapat menyampaikan keberatan-keberatan dan
masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan yang memberikan penguatan terhadap kedudukan pemerintah. 

5. Globalisasi dan Iniltenium Development Goals dan ECOSOB 


isu lain yang merupakan faktor eksternal adalah menguatnya globalisasi dan regionalisasi.
Hal ini antara lain menyebabkan berkurangnya peran dan otoritas negara dalam pembuatan
kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang. dibuat oleh pemerintah harus memperhatikan
covenant, prinsip-prinsip dan kesepakatan internasional lainnya yang telah diratifikasi.
Termasuk dalam hal ini adalah misalnya perjanjian perdagangan internasional, WTO,
perjanjian internasional tentang pemberantasan korupsi, dan covenant ECOSOB.
Perkembangan lainnya adalah pencanangan millenium Development Goals yang harus
dipenuhi oleh pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah harus memberikan penguatan kepada
masyarakat untuk lepas dari kemiskinan struktural yang terjadi. Dengan demikian isi ini juga
akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. 

6. Kebijakan Publik 
Yang juga menjadi isu dalam administrasi publik adalah terkait dengan proses penyusunan
kebijakan Publik yang harus semakin baik dan kondusif bagi pelayanan, pemerintahan dan
pembangunan. Dalam hal ini terkait dengan proses penyusunan kebijakan yang semakin
partisipatif dengan berbagai pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus
menjadi aktor yang aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, isu ini juga terkait dengan
proses potitik yang terjadi di Parlemen dalam kaitanya dengan Pemerintahan. Perubahan
sistem parlementer ke sistem presidensial di Indonesia memberikan tantangan tersendiri
dalam kebijakan Publik. Hal ini karena sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan
politik, proses political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi party. Respon
administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik dalam kebijakan Publik harus semakin
rasional dan profesional. 

Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan


metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan software-software kebijakan Publik yang
dapat merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (seperti
AHP dan System Dynainic) harus dikuasai dalam oleh para pembuat kebijakan. Termasuk
adalah penguasaan metode system thinking dan system dynainic untuk memperkuat proses
pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti knowledge management harus menjadi
kurikulum dalam administrasi Publik. 

7. Hukum Administrasi Negara 


Isu lainnya yang relevan dengan kajian administrasi Publik adalah Hukum Administrasi
Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya memiliki hubungan yang sangat dekat sebagaimana
telah menjadi tradisi dalam administrasi publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya
melakukan reformasi dalam administrasi Publik disebabkan juga oleh lemahnya integrasi
antara Administrasi Publik dengan Hukum Administrasi Negara. 

Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum
Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi kedua dan ketiga di
Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi negara. Hal ini berbeda dengan
ilmuwan administrasi Publik generasi pertama seperti Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh
karena itu, sudah saatnya memikirkan kembali perubahan kurikulum administrasi Publik
yang berorientasi juga pada kajian Hukum Administrasi Negara dalam kaitannya dengan
studi administrasi Publik.

8. Revolusi 4.0

Menurut Ari Welianto bahwa Revolusi Industri 4.0 merupakan fenomena yang
mengkolaborasikan teknologi siber dan teknologi otomatisasi. Revolusi Industri
4.0 dikenal juga dengan istilah “cyber physical system”. Konsep penerapannya
berpusat pada otomatisasi. Dibantu teknologi informasi dalam proses
pengaplikasiannya, keterlibatan tenaga manusia dalam prosesnya dapat
berkurang. Dengan demikian, efektivitas dan efisiensi pada suatu lingkungan
kerja dengan sendirinya bertambah. Dalam dunia industri, hal ini berdampak
signifikan pada kualitas kerja dan biaya produksi. Namun sesungguhnya, tidak
hanya industri, seluruh lapisan masyarakat juga bisa mendapatkan manfaat
umum dari sistem ini.
Dalam Revolusi Industri 4.0, setidaknya ada lima teknologi yang menjadi pilar
utama dalam mengembangkan sebuah industri siap digital, yaitu: Internet of
Things, Big Data, Artificial Intelligence, Cloud Computing dan Additive
Manufacturing.

1. Internet of Things (IoT)

IoT merupakan sistem yang menggunakan perangkat komputasi, mekanis, dan


mesin digital dalam satu keterhubungan (interrelated connection) untuk
menjalankan fungsinya melalui komunikasi data pada jaringan internet tanpa
memerlukan interaksi antarmanusia atau interaksi manusia dan
komputer. Sistem IoT mengintegrasikan empat komponen, yaitu: perangkat
sensor, konektivitas, pemrosesan data, dan antarmuka pengguna. Contoh
aplikasi IoT di Indonesia: Gowes (IoT untuk bike sharing), eFishery (IoT
pemberi pakan ikan otomatis),Qlue (IoT untuk smart city), dan Hara (IoT untuk
pangan dan pertanian).

2. Big Data
Big Data adalah istilah yang menggambarkan volume besar data, baik
terstruktur maupun tidak terstruktur. Namun bukan jumlah data yang penting,
melainkan apa yang dilakukan organisasi terhadap data. Big Data dapat
dianalisis untuk pengambilan keputusan maupun strategi bisnis yang lebih baik.
Penyedia Layanan Big Data Indonesia, antara lain :

a. Sonar Platform;
b. Paques Platform;
c. Warung Data;
d. Dattabot.

Dilansir dari Kompas.com (11/6/2018), Indonesia telah berkomitmen dan siap


menerapkan industri 4.0 untuk membangun indsutri manufaktur yang berdaya
saing global. Komitmen Indonesia ini ditandai dengan diluncurkan "Making
Indonesia 4.0" oleh Presiden Joko Widodo ( Jokowi) pada awal April 2018.
Penamaan Making Indonesia 4.0 ini menurut Jokowi sangat tepat. Karena
memiliki arti yang bagus, yakni membangun kembali perindustrian Indonesia ke
era baru pada revolusi industri keempat dan merevitalisasi industri nasional
secara menyeluruh. "Harapannya dengan implementasi Industri 4.0, Indonesia
dapat mencapai Top Ten (10 besar) ekonomi global pada tahun 2023 melalui
peningkatan angka ekspor netto kita kembalikan sebesar 10 persen dari PDB,"
kata Presiden Jokowi.
Sumber :
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengertian Industri 4.0 dan
Penerapannya di Indonesia",
https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/16/160000169/pengertian-industri-4.0-dan-
penerapannya-di-indonesia?page=all.
Penulis : Ari Welianto
Editor : Nibras Nada Nailufar

Anda mungkin juga menyukai