Analisis Pengaruh Sudut Dilatansi Terhadap Kestabilan Lereng Dengan Metode

Elemen Hingga Teknik Strength Reduction

Investigation of Dilatancy Angle Effects on Slope Stability Using The 3D Finite Element
Method Strength Reduction Technique

Horn-Da-Lin, Wei Chien Wang, An Jui Li

Abstrak
Penggunaan Metode Elemen Hingga (MEH) 2 dimensi (2D) sudah sering digunakan dalam
analisis kestabilan lereng. Pada penggunaan nonassociated flow rule (ϕ’ ≠ ψ’), masalah
konvergen bisa diselesaikan dengan metode Davis, terutama untuk lereng yang memiliki
sudut gesek dalam besar ϕ’ dan sudut dilatansi kecil ψ’. Perkembangan perangkat computer,
memungkinkan analisa kestabilan lereng 3 dimensi (3D) MEH dapat dilakukan. Namun
pengaruh dari sudut dilatansi jarang dibahas. Pada penelitian ini, sebuah model 3D lereng
dihasilkan dari pengembangan model secara longitudinal untuk mempelajari pengaruh sudut
dilatansi menggunakan software Plaxis 3D FEM dan teknik built-in strength reduction . Hasil
memunjukkan bahwa pengaruh sudut dilatansi terhadap konvergensi model lereng 3D dan 2D
berbeda. Pada model 3D, mekanisme longsoran terjadi saat ϕ’ ≠ ψ’ (associated flow rule).
Namun, jika lereng memiliki parameter kuat tanah yang besar (c’ atau …), sudut dilatansi
akan mempengaruhi kestabilan dan konvergensi. Secara umum sudut dilatansi berpengaruh
besar terhadap kestabilan lereng dan non eligible. Sehingga para engineer harus
mempertimbangkan pengaruh sudut dilatasi dalam kestabilan lereng.

The boundary conditions of the 3D model were based on Chugh’s studies [41], including free
and fixed-on y-face, as shown in Fig. 3. For boundary conditions at the y-face for a slope
with rock or soil abutments, the y-face was set as the fixed boundary condition. When the y
face was set as the free boundary condition, the displacements u and w were not zero and the
3D model was consistent with the 2D model. Displacements were expressed as symbols u, v,
and w for the x-, y-, and z-direction, respectively.

Kondisi batas model untuk 3D berdasarkan studi Chugh, termasuk kondisi free dan fixed pada
sisi muka y. Pada kondisi batas model di permukaan y untuk lereng batuan atau tanah,
permukaan y ditentukan untuk kondisi fixed boundary. Ketika permukaan y ditentukan dalam
kondisi free boundary, perpindahan u dan w tidak sama dengan 0 dan model 3D konsisten
terhadap model 2D. Perpindahan pada arah sumbu x, y, dan z disimbolkan dengan u, v, dan w
secara berurutan.
 In the studies of Griffiths and Marquez [18] and Lim et al. [19,20], the difference
between the 3D and 2D models was the effect of boundary. End boundary constraints can
generally provide a higher FoS in a 3D model compared with a 2D model. Griffiths and
Marquez [18] indicated that the 3D model responded similarly to the 2D models when the
longitude of the 3D model was L/H≥10. The end boundary effect was insignificant, which
can be treated as a 2D slope model. Lim et al. [19,20] highlighted that the contribution of the
3D model boundary was negligible when L/H≥5. Based on the results from Lim et al. [19],
four scenarios (L/H=1, 2, 3, and 5) were studied herein, with ψ′=30°.
Fig. 5(a) shows that the FoSs were between 1.56 and 1.58 and close to the results
from the 2D models. FoS increased slightly with increasing L/H, which was different from
the results presented by Michalowski [42] and Li et al [17]. However, all FoSs were very
similar, although L/H was different.
In addition, under the fixed boundary condition, the FoSs (1.64–1.59) decreased with
the increase in L/H and achieved a conclusive value at L/H=3 [as shown in Fig. 5(b)].
Overall, the FoSs under the fixed boundary condition were higher than those under the free
boundary condition because of the 3D boundary effects; this was reasonable.

Dalam penelitan Griffths dan Marquez dan Lim et al., perbedaan antara model 3D dan
model 2D adalah pengaruh dari batas model. Tegangan pada batas model akan menghasilkan
nilai FK yang lebih tinggi pada model 3D dibanding 2D. Penelitian Grffiths dan Marquez
menunjukan bahwa model 3D memiliki kemiripan dengan model 2D pada saat lebar model
3D sama dengan P/T ≥10. Pengaruh dari batas model tidak signifikan, sehingga bisa
dianggap sebagai model 2D. Lim et al. menyatakan bahwa kontribusi dari batas model 3D
pada saat P/T ≥5. Berdasarkan hasil dari Lim et al terdapat 4 skenario (P/T = 1, 2, 3, dan 5)
dengan sudut dilatasi = 30 derajat.
Pada gambar 5 menunjukan nilai FK antara 1.56 dan 1.58 mendekati nilai FK pada
model 2D. FK meningkat seiring meningkatnya nilai P/T, namun berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Michalowski dan Li et al. Namun keseluruhan nilai FK mirip walaupun
nilai P/T berbeda.
Sebagai tambahan, pada kondisi fixed boundary, nilai FK (1,64 – 1,59) menurun
dengan meningkatnya nilai P/T dan mencapai nilai tetap pada saat P/T = 3 (pada gambar 5b).
Secara umum nilai FK dalam kondisi fixed boundary lebih tinggi dibanding nilai FK dalam
kondisi free boundary karena pengaruh dari batas 3D.
The mesh coarseness (number of elements) was decided based on the convergence of the FoS
(in Fig. 4) because the trend of the FoS convergence on .'= 30° was stable. Furthermore, the
mesh coarseness with the associated flow rule(.'=.'45°) was also examined. The result showed
that the FoS convergence was erratic and varied between 1.25 and 1.76. When a high value of
FoSs was picked with various mesh coarseness, the trend was almost consistent with .' 30°.
Nonetheless, determining the trend for the low value of FoSs was difficult. Based on the
result for .'= 30°, 128,272 elements with 10-noded tetrahedral elements were required for the
3D model in this study. (It is the default and the unique option in PLAXIS 3D).

Tingkat kekasaran mesh (jumlah elemen) ditentukan berdasarkan kovergensi nilai FK

(gambar 4) karena kecenderungan konvergensi nilai FK terjadi pada saat nilai sudut dilatasi
30 derajat ketika nilainya stabil. Selain itu pengaruh kekasaran mesh dengan associated flow
rule (sudut gesek = sudut dilatasi = 45 derajat) juga dilakukan perhitungan. Hasil
menunjukan bahwa konvergensi nilai FK tidak menentu dan bervariasi antara 1,25 dan 1,76.
Ketika nilai FK yang lebih tinggi dicoba pada beberapa tingkat kekasaran mesh cenderung
akan konsisten pada saat sudut dilatasi = 30 derajat. Namun untuk perhitungan pada nilai FK
yang lebih rendah cukup sulit. Berdasarkan hasil untuk besar sudut dilatasi = 30 derajat, total
128.272 elemen dengan 10 node tetrahedral digunakan pada model 3D dalam penelitian ini.
(Opsi tersebut sudah tersedia pada PLAXIS3D).
Strength Reduction Technique

The strength reduction method (SRM) is a method to calculate the FoS in a FEM analysis.
Zienkiewice [22] proposed to obtain the FoS by using step-by-step SRM in FEM by allowing
the equilibrium equation not to converge. For the numerical non convergence method, the
convergence value ((.f) is defined as the ratio of nodal unbalanced force to the external force
depicted in Eq. (1). The nodal unbalanced force is obtained from the sum of forces acting on
a node from its neighboring elements. Theoretically, a node is in the equilibrium state when
the nodal un balanced force is equal to zero. However, when the value of .f is larger than the
tolerance after a preset maximum number of iterations, the algorithm cannot converge and is
unable to satisfy the failure criterion and global equilibrium. That is, “failure” has occurred.
Nodal displacement is defined as the sudden increase in the rate of the change of
displacement in the system. Because the FoS reflects the safety against shear failure and large
deformation, slope failure occurs, and the nodal displacement within the mesh increases
drastically.

where Δf is the convergence and Fint and Fext are the internal and external nodal forces,
respectively.

Strength Reduction Method (SRM) adalah metode perhitungan Factor of Safety (FoS) atau
Faktor Keamanan (FK) pada analisis dengan Metode Elemen Hingga (MEH). Zienkiewice
(1975) ingin menghitung nilai FK dengan menggunakan tahapan pada SRM dalam MEH
dengan memperbolehkan persamaan kesetimbangan agar tidak konvergen. Untuk metode
numerik non konvergen, nilai konvergen didefinisikan sebagai perbandingan gaya
ketidakseimbangan elemen terhadap gaya luar yang dirumuskan pada persamaan (1). Gaya
ketidakseimbangan elemen dihasilkan dari penjumlahan gaya yang bekerja pada sebuah
elemen terhadap elemen disekitarnya. Secara teori, sebuah node / elemen dalam kondisi
seimbang adalah ketika gaya ketidakseimbangan nodal sama dengan nol. Namun ketika nilai
∆f lebih besar dari batas toleransi pada nilai iterasi maksimum, maka algoritma tidak akan
menjadi konvergen serta tidak mampu untuk memenuhi kriteria longsoran dan kesetimbangan
global. Karena itu terjadilah “longsoran” tersebut. Perpindahan elemen didefinisikan sebagai
peningkatan secara tiba tiba dalam sebuah perpindahan pada sebuah sistem.

∆ f =¿ ¿
Dimana:
∆f = Nilai konvergensi
F∫ ¿¿ = Gaya Internal Nodes
F ext = Gaya Eksternal Nodes
SRM dan Mekanisme Longsor
SRM was used for slope stability analysis as early as 1975 by Zienkiewice et al. [22]. Later, it
has been referred to as the shear strength reduction technique [25] and used for applying
different FoS’s to the c' and tan.' terms. According to the SRM procedure, the friction angle.'
and the cohesion c' are gradually reduced using the strength reduction factor (SRF) until the
limit damage state is reached. The limit state is reached when numerical non convergence
occurs or the nodal displacement increases drastically. In the failure state, both the strength
criterion (assuming a Mohr– Coulomb failure criterion) and the equilibrium are not satisfied
with soil stress. The SRF is defined as the safety factor of the slope. After strength reduction,
the strength parameters can be expressed as follows:

This was used in this study. Currently, the position of failure surface can be observed using
three common methods, namely nodal displacement [39], plastic zone [17,19,20], and shear
strain zone [9,10,25].

SRM telah digunakan untuk analisa kestabilan lereng pada tahun 1975 oleh Zienkiewice et al.
Lalu dikenal dengan teknik Shear Strength Reduction (SSR) dan digunakan untuk
mendapatkan beberapa nilai FK yang berbeda dengan nilai kohesi dan sudut gesek dalam
yang sama. Berdasarkan prosedur SRM, gaya gesek dalam dan kohesi secara bertahap
berkurang dengan menggunakan Strength Reduction Factor (SRF) hingga batas kritis
tercapai. Batas kritis tercapai ketika non kovergensi numerik terjadi atau perpindahan elemen
meningkat secara drastis. Pada daerah kritis, baik kriteria longsoran Mohr – Coulomb dan
ketimbangan tidak sesuai dengan tekanan tanah. Nilai SRF didefinisikan sebagai nilai factor
keamanan (FK) lereng. Dengan metode ini posisi longosoran dapat diketahui dengan
menggunakan tiga metode diantaranya: perpindahan elemen, zona plastis, dan zona tegangan
regangan.