Anda di halaman 1dari 29

Monetary

Approach of Rupiah’s Exchange Rate

Ari Tjahjawandita, Teguh Santoso


Center for Economics and Development Studies, Faculty of Economics,
Universitas Padjadjaran

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh variabel makro ekonomi dan
variabel fiskal terhadap nilai tukar nominal efektif Rupiah (Nominal Effective
Exchangerate) dalam kerangka pendekatan moneter. Pendekatan moneter terhadap
nilai tukar pada dasarnya merupakan pengembangan dari teori permintaan dan
penawaran uang dari teori Klasik, Monetaris dan Keynesian. Berdasarkan perbedaan
pandangan yang dimiliki, berdampak pada pandangan pendekatan moneter terhadap
nilai tukar. Terdapat 2 pandangan dalam pendekatan moneter, yakni flexible price
(Monetaris model) dan sticky price (Keynesian model). Dalam jangka pendek,
pendekatan moneter versi harga kaku (sticky price) model mampu menjelaskan
pergerakan nilai tukar efektif Rupiah. Dengan variabel yang berpengaruh antara lain,
indeks harga domestik, jumlah uang beredar dan hutang domestik. Dalam jangka
panjang, variabel yang berpengaruh terhadap nilai tukar efektif Rupiah antara lain,
indeks harga impor, jumlah uang beredar, GDP, hutang domestik dan dummy financial
crisis. Variabel defisit fiskal tidak berpengaruh terhadap nilai tukar. Namun, variabel
hutang domestik yang di proxy dengan outstanding hutang obligasi per GDP
berpengaruh terhadap depresiasi nilai tukar baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan risiko dari memegang uang domestik
yang tercermin dari peningkatan outstanding utang domestik, berpengaruh terhadap
nilai tukar efektif Rupiah.
JEL Classification:

Keywords: exchange rate’s monetary approach

1. Pendahuluan

Stabilitas nilai tukar merupakan komponen yang penting dalam menjaga


stabilitas perekonomian negara. Bagi negara berkembang peranan kurs valas sangat
penting dalam era perekonomian global, terutama pada mata uang uang keras (hard
money) seperti Dollar AS (USD) dan Yen Jepang (JPY). Fluktuasi nilai tukar sebuah
mata uang yang terlalu volatile, akan bisa berdampak negatif terhadap kondisi bisnis
dan perekonomian sebuah Negara. Volatilitas yang terlalu besar dan intens
merupakan sebuah ketidakpastian bagi pelaku bisnis. Selain itu juga menunjukkan
adanya ketidakstabilan nilai tukar. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas saat
ini, volatilitas dan fluktuasi nilai tukar merupakan salah satu risiko dalam
perekenomian.

Kurs valuta asing merupakan alat transaksi dalam perdagangan internasional,


sehingga upaya untuk mendapatkan manfaat yang besar dalam perdagangan
internasional harus didahului dengan upaya untuk menentukan tingkat kurs dalam
posisi yang menguntungkan bagi Negara, baik dari sisi eksportir maupun importir.
Disini menunjukkan posisi penting kurs dalam era perekonomian global saat ini,
sehingga mengakibatkan munculnya berbagai konsep yang berkaitan dengan kurs
valuta asing mengalami perkembangan yang pesat berkaitan dengan upaya untuk
mengetahui faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta
asing.

Beberapa konsep yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menentukan


pergerakan kurs valuta asing mulai mendapatkan perhatian dari para ahli ekonomi,
terutama setelah runtuhnya sistem Bretton Woods pada tahun 1973 yang
mengakibatkan beberapa Negara menerapkan sistem nilai tukar mengambang penuh
(free floating exchangerate). Dengan adanya perubahan yang sangat mendasar dalam
penentuan kurs valuta asing tersebut, beberapa pendekatan mulai diperkenalkan oleh
para ahli ekonomi. Frenkel (1983) mengemukakan terdapat 3 pendekatan dalam
penentuan nilai tukar, yakni 1)pendekatan portofolio-balance 2) pendekatan moneter
dan 3) pendekatan aset. Gylfason dan Helliwel (1982) memberikan beberapa sintesis
yang berbeda tentang pendekatan penentuan nilai tukar, yakni pendekatan
Keynesian, Monetaris, dan pendekatan Portofolio.

MacDonald dan Hallwood (1994) juga membedakan teori perkembangan kurs


menjadi beberapa pendekatan. 1) pendekatan moneter, yang analisisnya dibagi
menjadi dua yaitu pendekatan moneter versi harga kaku (sticky price monetary
model) dan pendekatan moneter versi harga fleksibel (flexible price monetary
model). 2) pendekatan keseimbangan neraca pembayaran (balance of payment
approach). 3) pendekatan keseimbangan portofolio (portofolio balance approach) dan
4) pendekatan doktrin paritas daya beli (purchasing power parity approach).

Pendekatan moneter terhadap nilai tukar (monetary approach to exchange


rate) telah menjadi model dominan dalam menjelaskan nilai tukar selama 35 tahun
(Diamandis dan Kouretas, 1996, Wilson, 2009). Terdapat 3 konsep dasar dalam
bangunan atau konstruksi model pendekatan moneter terhadap nilai tukar, yakni
Teori Kuantitas Uang (The Quantity Theory of Money), Model Keseimbangan-Kas
Cambridge (Cambridge Cash Balance Approach) dan Teori Moneter Keynesian
(Keynesian Monetary Theory). (Wilson, 2009).

Berangkat dari pengembangan model permintaan uang, penelitian ini akan


mengadopsi model yang dikembangkan oleh Kia (2006a) dan Wilson (2009). Kia
(2006a) mengembangkan model permintaan uang, dimana permintaan uang
merupakan fungsi dari outstanding utang domestic, defisit belanja pemerintah, dan
outstanding utang luar negeri. Dengan model tersebut, permintaan uang bisa menjadi
fungsi terkait risiko yang diasosiasikan dengan memegang mata uang domestik.
Risiko tersebut adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB serta komposisi utang
dalam negeri dan utang luar negeri pemerintah. Wilson (2009) mengadopsi
pendekatan Kia tersebut dalam model penentuan nilai tukar dengan pendekatan
moneter. Hal tersebut disebabkan karena pendekatan moneter terhadap nilai tukar
memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya belum mengakomodir risiko terkait
dengan memegang uang domestik sebagaimana dikembangkan oleh Kia (2006a).
Konsekuensi dari model tersebut adalah model permintaan uang sederhana dari
pendekatan Keynesian dan Cambridge tidak cukup untuk digunakan dalam penentuan
nilai tukar.

Dalam penelitian ini, nilai tukar menggunakan proxy Nominal Effective


Exchange Rate (Nominal EER). EER (Effective Exchange Rate) adalah indeks
penghitungan nilai tukar antar mata uang yang dihitung bedasarkan rata-rata
tertimbang (weighted average) pertukaran mata uang antar negara, melalui
perdagangan bilateral antar negara. Ada dua jenis EER, yang pertama adalah Nominal
Effective Exchange Rate yang merupakan indeks dari penghitungan rata-rata
tertimbang pertukaran bilateral mata uang. Real Effective Exchange Rate merupakan
nilai NEER yang disesuaikan dengan dengan penghitungan dari harga dan biaya
relatif, oleh karena itu perubahan dalam nIlai REER ikut menyertakan baik
perkembangan nilai tukar nominal dan perbedaan inflasi antar negara yang menjadi
patner Perdagangan.Maka dalam analisis pasar dan kebijakan, EER mempunyai
beberapa kegunaan yaitu, sebagai alat pengukur tingkat kompetitifitas Internasional,
sebagai komponen penghitung keaadaan moneter dan fiskal, sebagai pengukur
transmis dari external shock dan sebagai tujuan dari kebijakan moneter (Klau & Fung,
2006).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variable makro seperti


PDB Domestik, tingkat bunga domestik, tingkat bunga luar negeri, tingkat harga
domestik, tingkat harga luar negeri, dan jumlah uang beredar domestik terhadap nilai
tukar nominal efektif Rupiah dalam kerangka pendekatan moneter. Selain itu, juga
akan melihat bagaimana pengaruh variabel fiskal yang merupakan proksi dari risiko
memegang mata uang domestik terhadap nilai tukar efektif Rupiah.
2. Literature Review

Konsep dasar yang mempengaruhi konstruksi model pendekatan moneter


terhadap nilai tukar adalah Teori permintaan uang klasik (Classical quantity theory),
Pendekatan keseimbangan kas Cambridge (Cambridge cash balance approach) dan
Pendekatan Keynesian (Keynesian approach to money demand)

1. Teori Permintaan Uang Klasik

Teori permintaan uang klasik atau Classical quantity theory (teori kuantitas
uang) berangkat dari persamaan Fisher (Fisher Equation), dimana:

........................................................................................................ (1)

dimana M adalah jumlah uang beredar (money supply), V adalah kecepatan


perputaran uang, P adalah tingkat harga dan T adalah jumlah barang dan jasa yang
diperdagangkan, proxy dari variabel T adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Y.
Simbol asterisk pada V dan T, menunjukkan bahwa variabel tersebut bersifat konstan
dan tidak mengikuti perubahan jumlah uang beredar (∆M), sehingga perubahan
jumlah uang beredar (∆M) hanya akan mempengaruhi perubahan tingkat harga (∆P)
dengan perbandingan positif.

Interpretasi lain dari persamaan Fisher (1) adalah untuk melihat model
permintaan uang, dimana masyarakat ingin memegang uang (Mishkin, 2013). Karena
teori kuantitas uang menyatakan bahwa berapa uang yang ingin dipegang untuk
jumlah/transaksi nominal tertentu, yang merupakan dasar dari teori permintaan
uang. Persamaan 1 dapat diubah menjadi:

..................................................................................................... (2)

Keseimbangan pasar uang mensyaratkan permintaan uang akan sama dengan


penawaran uang, sehingga simbol M dapat diubah menjadi Md. Karena diasumsikan V
adalah konstan, maka 1/V dapat diganti dengan simbol k. substitusikan k dan Md
pada M, maka kita dapat menuliskan teori permintaan uang klasik:

.......................................................................................................... 3)

Pada persamaan (3), k bersifat konstan, jumlah transaksi yang dihasilkan dari
tingkat pendapatan nominal (PY) akan menentukan permintaan uang. Sehingga teori
fisher menyatakan bahwa permintaan uang murni fungsi dari pendapatan, dan tingkat
bunga tidak memiliki efek terhadap permintaan uang (Mishkin, 2013)

2. Model Keseimbangan Kas Cambridge (Cambridge Cash Balance)

Model kuantitas Fisher sebagaimana persamaan (3) mengasumsikan bahwa


total transaksi dan perputaran uang bersifat konstan, sehingga mensiratkan bahwa
uang hanya sebagai media transaksi. Namun uang juga memiliki fungsi sebagai alat
satuan hitung dan penyimpan nilai. Memegang kekayaan dalam bentuk uang berarti
mengorbankan kemungkinan mendapatakan penghasilan dalam bentuk bunga atau
keuntungan-capital (capital gain), seandainya masyarakat memegang dalam bentuk
surat berharga. Jadi berbeda dengan teori fisher yang menekankan bahwa permintan
uang semata-mata dipengaruhi oleh pendapatan nominal, teori Cambridge lebih
menekankan pada perilaku (pertimbangan untung rugi) dalam memegang uang. Teori
Cambridge mengatakan bahwa permintaan akan uang selain dipengaruhi oleh
pendapatan, juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar kekayaan, ekspektasi
mengenai masa mendatang (Budiono, 1985)

3. Teori Keynesian (Keynesian approach to money demand)

Teori Keynes akan permintaan uang disebut juga liquidity preference theory .
Keynes menyatakan terdapat 3 (tiga) motif masyarakat memegang uang, yakni motif
transaksi, berjaga – jaga dan spekulasi. Dalam motif transaksi, Keynes masih
sependapat dengan teori klasik dimana uang sebagai media pertukaran atau
transaksi. Dalam motiv ini, masyarakat memegang uang dipengaruhi oleh besar
kecilnya tingkat pendapatan nominal. Untuk motif berjaga – jaga, Keynes berbeda
dengan teori kuantitas klasik. Dimana orang memegang uang sebagai buffer atau
cadangan ketika ada kebutuhan, transaksi dan keinginan yang tidak diperkirakan.
Atas motiv ini, masyarakat mengambil porsi dari pendapatan nominalnya.

Keynes juga percaya bahwa masyarakat memilih untuk memegang uang


sebagai penyimpan nilai, yang disebut motif spekulasi. Karena definisi uang menurut
Keynes adalah jumlah uang beredar dan juga simpanan masyarakat di perbankan
(yang pada umumnya menghasilkan bunga yang kecil), Keynes mengasumsikan
bahwa uang tidak menghasilkan bunga dan ini merupakan opportunity cost relatif
terhadap asset lain seperti obligasi yang juga memiliki bunga atau imbal hasil (yield).
Ketika tingkat bunga naik, opportunity cost dari memegang uang naik (lebih mahal
memegang uang relatif terhadap obligasi) dan permintaan uang turun. Berdasarkan
tiga motif diatas, permintaan uang menurut Keynes dapat diformulasikan sebagai
berikut:

....................................................................................................... (4)

Selain faktor pendapatan dan faktor tingkat bunga yang mempengaruhi


permintaan uang, terdapat juga faktor lain seperti tingkat kekayaan, risiko dan
likuiditas dari asset lain menurut teori preferensi likuiditas Keynes (Mishkin, 2013).

4. Kerangka Model Pendekatan Moneter

Wilson (2009) menjabarkan kerangka Pendekatan Moneter berdasarkan tiga


teori permintaan uang, yakni Teori Kuantitas Klasik (The Clasical Quantity Theory for
Money), Teori Keseimbangan Kas Cambridge (Cambridge Cash Balance Theory) dan
Teori Moneter Keynesian (Keynesian Monetary Theory). Syarat utama pendekatan
moneter terhadap nilai tukar adalah permintaan uang sama dengan penawaran uang.

M s= Md .................................................................................................................... (5)
Cambridge model mensyaratkan bahwa permintaan uang riill terkait dengan
pendapatan riil, dengan persamaan:

Md = kPY .................................................................................................................. (6)

Sesuai dengan hukum satu harga (the law of one price), kita memiliki
persamaan:

P
E= ................................................................................................................... (7)
P*

dimana E adalah nilai tukar nominal yang didefinisikan nilai mata uang domestik atas
satu unit mata uang asing. Persamaan (7) mengimplikasikan bahwa perubahan dalam
P mengharuskan perubahan proporsional pada P* untuk menjaga stabilitas nilai
tukar.

Sama dengan persamaan (6) kita dapat menulis:

M*s = k*P*Y* .......................................................................................................... (8)

dimana M*s dan Y* adalah penawaran uang asing dan pendapatan riil, dan k* adalah
parameter konstan. Substitusikan persamaan (6) dan (8) dalam persamaan (7) untuk
mendapatkan:

Msk * Y *
E= ......................................................................................................... (9)
Ms * kY
Jadikan persamaan 5 menjadi persamaan logaritma, kita akan mendapatkan
persamaan:

............................................... 10)

dimana e, m, m*, y dan y* adalah logaritma dari E,M,M*,Y dan Y*.


Keynes mengusulkan bahwa k adalah tidak konstan namun akan berbeda
secara negatif dengan tingkat bunga, sebaliknya, dipengaruhi secara negatif oleh
penawaran uang dan akan berbeda secara positif dengan tingkat pendapatan. Secara
spesifik, permintaan untuk keseimbangan riil dapat dituliskan sebagai berikut:

.................................................................................. (11)

.......................................................................... (12)

dimana i adalah tingkat bunga nominal dan a,b, dan c adalah parameter konstan.
Model moneter untuk luar negeri di identifikasikan dengan sebuah asterik. Dari
persamaan (3) kita mempunyai persamaan:

.................................................................................................. (13)

Gunakan persamaan (11) , (12) dan (13) kita akan mempunyai persamaan:

................................................... (14)

Ringkasnya, teori moneter menyatakan bahwa nilai tukar merupakan


fenomena moneter yang dipengaruhi oleh penawaran uang, tingkat pendapatan dan
tingkat bunga.

5. Model Pendekatan Moneter

Terdapat tiga model pendekatan moneter yang telah dikembangkan sejak


tahun 1970. Pendekatan tersebut adalah 1) Pendekatan Harga Fleksibel/Flexible Price
Monetary Model (Monetaris Approcah); 2) Pendekatan Harga Kaku/ Sticky Price
Monetary Model (Keynesian Approach) dan 3) Interest Rate Differential Model.

a) Flexible Price Monetary Model


Pendekatan ini dikembangkan oleh Frankel (1976) terkait dengan konsep
pendekatan moneter seperti pada persamaan (14). Harga fleksibel karena
menyesuaikan secara tiba-tiba (otomatis) pada pasar uang. Asumsi krusial bahwa
modal domestik dan luar negeri bersifat substitusi sempurna dan persamaan fisher (i
= r + π) berperan di dua negara, dimana r adalah tingkat bunga riil dan π adalah
ekspektasi inflasi, ini adalah asumsi lebih lanjut r = r*, konstan. Substitusikan pada i
dan i* dalam persamaan (14) dengan π dan gunakan asumsi konstan dan kesamaan
tingkat bunga untuk mendapatkan persamaan berikut:

........................................................... (15)

Jika kita mengasumsikan koefisien permintaan uang di domestik dan luar


negeri berbeda, kemudian kita memiliki persamaan:

............................................................................. (16)

.................................................................................... (17)

Parameter α dan β adalah koefisien konstan. Gunakan persamaan PPP dan


persamaan (16) dan (17), kita mendapatkan model moneter penentuan nilai tukar
dalam bentuk persamaan berikut:

.... (18)

dimana γ adalah koefisien konstan dan u adalah disturbance error. Dalam model ,
moneter penetuan nilai tukar, kita seharusnya mempunyai γ1 = 1, γ2 = -1, γ3 < 0, γ4 >
0, γ5 > 0 dan γ6 < 0

b) Sticky Price Monetary Model


Versi harga kaku muncul akibat adanya kritik terhadap angapan adanya
fleksibilitas harga dalam harga fleksibel, model ini dikembangkal oleh Dornbusch
(1976). Sama halnya dengan Keynes, Dornbusch mengusulkan bahwa harga bersifat
kaku dan hanya akan menyesuikan secar perlahan. Menurut versi ini, angapan adanya
kekakuan harga lebih realistis bilamenyangkut jangka waktu yang pendek.
(MacDonald, 1990).

Terdapat dua asumsi yang direvisi oleh versi harga kaku (Keynesian) dalam
pendekatan moneter. Asumsi pertama yaitu penawaran uang setiap negara adalah
variabel endogen, artinya penawaran uang dipengaruhi secara positif dengan tingkat
bunga pasar. Hal ini berdampak pada keseimbangan pasar uang, dimana
keseimbangan pasar uang menjadi (Tucker et al, 1991).

................................................................... (19)
dan

.............................................................................. (20)

dimana mt dan mt * adalah komponen eksogn dari penawaran uang.

Asumsi kedua adalah kondisi paritas daya beli hanya berlaku dalam jangka
panjang. Hal ini berbeda dengan asumsi model harga fleksibel, dimana kondisi paritas
daya beli berlaku dalam jangka pendek. Kondisi paritas daya beli dapat dirumuskan
sebagai berikut(Tucker, at al, 1991;MacDonald dan Taylor,1992).

Et ‘ = p t - p t * ....................................................................................................... (21)

Dalam jangka pendek, model ini mengasumsikan bahwa paritas suku bunga
tidak ter-cover (uncovered interest parity) ASe t+1 berlaku. Namun berdasar versi
harga kaku, perubahan kurs vluta asing yang diasumsikan mengikuti bentuk sebagai
berikut (Tucker, et al, 1991; Isnowati 2003):

Et ‘ = θ (st ‘ - st ) + (π e t - π e t *) .......................................................................... (22)

Persamaan (22) menyatakan bahwa jika kurs valuta asing yang berlaku saat
transaksi dilakukan (spot exchangerate) berada dibawah atau diatas tingkat
keseimbangan jangka panjang, maka kurs mata uang yang diharapkan akan
mengalami depresi (apresiasi). Perbedaan inflasi yang diharapkan, (π e t - π e t *), akan
menyebabkan depresiasi mata uang yang diharapkan. Jadi pendekatan moneter harga
kaku mencoba menghitung pengaharapan pasar dengan menggabungkan informasi
dari keseimbangan pasar dengan pengaruh tingkat inflasi yang diharapkan.
Kombinasi persamaan (22) dengan paritas suku bunga tidak ter-cover menunjukan
bahwa penyimpangan kurs valuta asing yang berlaku sekarangterhadap tingkat
keseimbangan disebabkan oleh perbedaan tingkat bunga riil. Kombinasi tersebut
ditunjukkan pada persamaan berikut:

Et ‘ = -1/ θ {( r t - π e t) – (r t * - π e t*) ............................................................... (23)

Pengaruh kebijakan moneter terhadap perubahan kurs valas dapat


dilihat pada persamaan (23), misalnya kebijakan uang ketat (tight money policy) akan
meningkatkan perbedaa tingkat bunga riil, sehingga akan menarik aliran modal
masuk dan mengakibatkan apresiasi mata uang dalam negeri diats keseimbangan.

Substitusi persamaan (19), (20) (23) dan (24) akan menghasilkan persamaan
sebgai berikut:

s t = (m - m*) t - φ(y – y*) t + (δ + λ - 1/ θ) (r – r*) t + (1/ θ) (πe - πe*) t .......... (24)

Berdasarkan versi harga kaku, koefisien penawaran uang (m) dan tingkat
inflasi yang diharapkan πe adalah berpengaruh positif terhadap nilai tukar,
sedangkan tingkat pendapatan riil (y) adalah berpenaruh negatif terhadap nilai tukar.
Namun, koefisien tingkat bunga menunjukkan dua tanda, positif dan negatif. Hal ini
terjadi karena perbedaan koefisien pada perbedaan tingkat bunga (r – r*) t , terdiri
dari tiga komponen yang berbeda yang menunjukkan berbagai cara yang diunakan
perbedaan tinkat bunga dalam mempengaruhi perubahan kurs valas.

Koefisien δ dan λ merupakan penyesuaian dalam penawaran uang sebagai


respon dari perubahan tingkat bunga. Kenaikan tingkat bunga dalam negeri
mendorong lembaga keuangan untuk meningkatkan penawaran dana dipasar uang.
Pada saat yang sama, tingkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi keinginan
masyarakat memegang uang. Sebagai akibatnya akan terjadi kelebihan uang (excess
money balance) di pasar uang dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan depresiasi
mata uang dalam negeri. Komponen ketiga -1/ θ, menunjukkan pengaruh perubahan
modal terhadap kurs valuta asing. Kenaikan tingkat bunga dalam negari akan menarik
aliran modal masuk ke dalam negeri. Hal ini karena kenaikan tingkat bunga dirasa
lebih menguntungkan bagi investor untuk memindahkan dana ke dalam negeri.
Adanya aliran modal masuk akan mengakibatkan apresiasi mata uang dalam negeri.

c) Interest Rate Differential Model


Frenkel (1979, dalam Wilson 2009) menguji baik model Frenkel dan
Dornbuch. Frenkel (1979) menganggap bahwa model Frenkel realistis ketika variasi
dalam perbedaan inflasi besar and model Dornbush lebih applicable ketika variasi
perbedaan inflasi kecil. Frankel mengembangkan pendekatan integratif yang
mengkombinasikan konsep harga kaku dengan penekanan sekuler pada tingkat
inflasi. Hasil dari kajian Frenkel (1979) mendukung hubungan negatif antara nilai
tukar dan perbedaan tingkat bunga nominal dan hubungan positif antara nilai tukar
nominal dan perbedaan ekspektasi inflasi jangka panjang.

6. Pengembangan Model Pendekatan Moneter

Meskipun banyak bukti empiris yang secara kuat mendukung pendekatan


moneter terhadap nilai tukar, namun masih terdapat beberapa keterbatasan (Wilson,
2009). Pertama, pengukuran jumlah uang beredar dengan deposito berjangka, pasar
uang reksadana dan instrument keuangan lain menjadi lebih sulit. Kedua, pengukuran
dalam paritas daya beli juga menjadi satu masalah. Jika paritas daya beli terjadi dalam
semua kasus, nilai tukar riil (EP*/P) tidak akan bervariasi dari nilai tukar nominal,
namun beberapa data mengindikasikan bahwa paritas daya beli tidak terjadi (Evans
1992, dalam Wilson 2009). Ketiga, permintaan yang juga fungsi dari nilai ekspektasi
pendapatan dimasa depan dan tingkat bunga. Lebih jauh, permintaan uang juga
merupakan fungsi dari risiko yang terkait dengan memegang mata uang domestik.
Risiko ini dapat menjadi fungsi dari rasio hutang pemerintah terhadap GDP dan posisi
hutang domestic dan luar negeri Pemerintah. Kia (2006a) menunjukkan bahwa
permintaan uang sebagai fungsi dari outstanding hutang domestic, deficit dan
outstanding hutang luer negeri. Konsekuensinya, Model permintaan uang sederhana
Keynesian atau Cambridge tidak cukup kuat untuk digunakan dalam menentukan nilai
tukar.

Untuk menduung pandangan bahwa nilai tukar dapat dipengaruhi oleh


variabel fiscal, Wilson (2009) menggunakan persamaan permintaan uang yang
dikembangkan oleh Kia (2006a) untuk menurukan sebuah persamaan nilai tukar,
yang termasuk variabel kebijakan fiskal. Kia (2006a) mengasumsikan sebuah
perekonomian dengan satu konsumen yang merepresentasikan konsumen identic
dalam jumlah yang besar. Konsumen memaksimalkan utilitas pada persamaan (25)
subject to kendala anggaran (26), dimana:

. (25)

.......................................................................................................................................... (26)

Dimana dan adalah single, non storable, konsumsi domestik riil atas
barang domestik dan barang produksi luar negeri. dan adalah keseimbangan
kas riil memegang uang domestik dan luar negeri. Variabel g adalah pengeluaran
pemerintah atas barang dan jasa dan diasumsikan pengeluaran atas barang. Lebih
lanjut, variabel adalah nilai riil dari transfer/penerimaan pajak/dibayarkan oleh
konsumen, adalah pendapatan riil permanen yang diterima individu, adalah nilai
tukar riil di definsikan pt*/EEt ; EEt adalah nilai tukar nominal efektif (nilai mata uang
luar negeri atas suatu mata uang domestik); pt* dan pt adalah harga luar negeri (rata-
rata tertimbang dari harga negara mitra dagang, dimana penimbang adalah jumlah
impor dari suatu negara dibagi total impor per tahun) dan tingkat harga domestik
atas harga barang domestik dan luar negeri, , jumlah uang beredar riil luar
negeri; dt adalah pembiayaan dalam negeri, yang terbayar dari ris-free tingkat bunga
R dan adalah utang luar negeri, satu periode obligasi, yang dibayar dengan risk free
rate ; dan adalah inflasi luar negeri dan domestik.

Lebih jauh Kia (2006a) mengasumsikan variabel yang merangkum risiko


terkait memegang uang domestik, yang memiliki hubungan jangka panjang:

.......................................... (27)

Variabel defgdp,debtgdp dan fdgdp adalah deficit anggaran per GDP, hutang
dalam negeri per GDP dan hutang luar negeri per GDP. Dimana tangkat bunga yang
dibayarkan diasumsikan sama dengan tingkat bunga deposito bank ( R)
Persamaan (27) juga diasumsikan tergantung pada system jangka pendek dinamis,
yang merupakan fungsi dari satuan predetermined variabel jangka pendek (stasioner)
yang telah diketahui individu. Variabel ini termasuk pertumbuhan jumlah uang
beredar, perubahan dalam variabel fiskal per GDP, pertumbuhan dari tingkat bunga
riil terutama karena perubahan tingkat suku bunga. Memaksimalkan fungsi utilitas
(25) subject to persamaan (26) dan (27), Kia (2006a) menemukan fungsi hubungan
fungsi permintaan uang sebagai berikut:

.......................................................................................................................................... (28)

dimana , >0,

7. Nilai Tukar Efektif (Effective Exchange Rate)

EER (Effective Exchange Rate) adalah indeks penghitungan nilai tukar antar
mata uang yang dihitung bedasarkan rata-rata tertimbang (weighted average)
pertukaran mata uang antar negara, melalui perdagangan bilateral antar negara. Ada
dua jenis EER, yang pertama adalah Nominal Effective Exchange Rate yang merupakan
indeks dari penghitungan rata-rata tertimbang pertukaran bilateral mata uang. Real
Effective Exchange Rate merupakan nilai NEER yang disesuaikan dengan dengan
penghitungan dari harga dan biaya relatif, oleh karena itu perubahan dalam nilai
REER ikut menyertakan baik perkembangan nilai tukar nominal dan perbedaan inflasi
antar negara yang menjadi patner berdagangan.Maka dalam analisis pasar dan
kebijakan, EER mempunyai beberapa kegunaan yaitu, sebagai alat pengukur tingkat
kompetitifitas Internasional, sebagai komponen penghitung keaadaan moneter dan
fiskal, sebagai pengukur transmis dari external shock dan sebagai tujuan dari
kebijakan moneter (Klau & Fung, 2006)

Penghitungan EER menggunakan metode penghitungan Weighted Scheme


yang didasari oleh model penghitungan Turner & Van’t Dack (1993) Nilai Nominal
Effective Exchange Rate dikalkulasikan sebagi nilai rata-rata tertimbang gemotris dari
keranjang pertukaran bilateral dan Real Effective Exchange rate adalah nilai Nominal
Effective Exchange rate disesuaijan dengan harga konsumen relatif tiap negara. Rata-
rata timbangannya diturunkan dari arus perdagangan manufaktur dan mengambil
nilai perdagangan bilateral langsung dan third market competition (Klau & Fung,
2006).


dimana:
N adalah jumlah negara yang menjadi kompetitior dan rekan berdagang
adalah index dari rata-rata nilai tukar mata uang domestic terhadap mata uang
negara tujuan berdagang
adalah Periode
W adalah Trade Weighted terhadap mata uang negara rekan berdagang
i adalah nilai mata uang negara patner dagang
Sementara nilai w didapat dari:


dimana:
adalah Share Ekspor dari Perdagangan luar negeri

adalah Share Impor dari Perdagangan luar negeri

adalah Rata-rata tertimbang ekspor dari negara i

adalah Rata-rata tertimbang impor dari negara i

Nilai w diturunkan dari share mereka didalam perdagangan barang


manufaktur internasional dan dipadu dengan informasi dari ekspor impor dalam
negeri.Rata-rata tertimbang Impor dan ekspor dari negara trade patners diambil dari
tiap share dari total impor dan ekspor dalam negeri

3. Kajian Empiris

Dalam hal ini ada beberapa penelitian terdahulu yang menjadi patokan dalam
penelitian mengenai mengembangkan model permintaan uang, dimana permintaan
uang merupakan fungsi dari outstanding utang domestic, defisit belanja pemerintah,
dan outstanding utang luar negeri dan pendekatan moneter dengan pengaruh
variabel fiskal.

Egwaikhide, Chete, & Falokun, (1994) mengemukakan hubungan antara defisit


anggaran dengan inflasi di Nigeria. Hal tersebut dicapai melalui dua langkah. Pertama
membentuk sebuah model struktural interaksi antara exchange rate, defisit anggaran,
inflasi dan pendapatan serta pengeluaran negara. Hal ini dipengaruhi dari
perkembangan dari kointegrasi serta error structural model. Kedua, melalui simulasi
eksperimental dari dampak pergerakan exchange rate terhadap nilai general price
dan defisit anggaran. Implikasi kebijakan dapat dicapai dari percobaan simulasi
tersebut Ada beberapa hal penting yang ditemukan, menggunakan analisa trend data
dari Inflasi di Nigeria dan Nilai tukar dari tahun 1970 sampai tahun 1989 yaitu,
domestic money supply, real output dan shadow price dari nilai tukar (yang sifatnya
parallel dengan market exchange rate) dan nilai ofisial dari excange rate, tidak bisa
dihiraukan dalam mengevaluasi apa saja penyebab dari inflasi yang terjadi di Nigeria
dan khususnya yang disebabkan oleh exchange rate, Hasil grafis menunjukan bahwa
nilai parallel market exchange rate lebih berkorelasi dengan inflasi dibandingkan
official market exchange rate.

Estimasi statistik dari persamaan struktural juga memberikan informasi baru.


Hasil dari persamaan inflasi menunjukan bahwa official exchange rate adalah penentu
yang signifikan dari inflasi harga, dengan jangka waktu lag selama satu tahun. Akan
tetapi, koeffisien dari nilai inflasi yang diharapkan, walaupun berdampak positif
namun tidak mempunyai nilai statistik yang signifikan bahwa pada level 10%. Impor,
yang dipengaruhi oleh nilai tukar, secara signifikan menjelaskan pendapatan dari
pajak dari impor. Besaran dari utang luar negeri dalam mata uang domestik, yang juga
dipengaruhi dari nilai tukar mempunyai tendensiuntuk menaikan jumlah pembayaran
utang atas jasa dan akhirnya kepada total pengeluaran (melalui mekanisme timbal
balik dari error-correction term). Semua ini memberikan dampak terhadap defisit
anggran dan pertumbahan dalam supply uang dalam negeri yang akhirnya
menciptakan inflasi.

Amir Kia, (2006) meneliti dampak dari faktor internal dan eksternal terhadap
tingkat inflasi di Turki, menggunakan data dari 1970 Q1-2003 Q3. Menggunakan
model moneter yang ia kembangkan dari penelitan sebelumnya, Turki yang sangat
bergantung dengan ekspor produk pangan telah mengalami periode dimana baik
inflasi yang tinggi dan tingkat utang pemerintah yang tinggi. Penelitian ini
menemukan bahwa kebijakan moneter, termasuk kebijakan nilai tukar merupakan
alat yang efektif dalam mengendalikan inflasi di Turki dalam jangka panjang.
Khususnya kebijakan moneter yang ketat (dengan tingkat suku bunga yang tinggi,
menghasilkan tingkat harga yang tinggi dalam jangka panjang, serta mata uang yang
melemah cenderung membantu merendahkan tingkat inflasi di Turki. Efek yang
sebelumnya juga mengonfirmasi pandangan Sargen Sargent & Wallace, (1981) bahwa
kebijakan moneter yang ketat di masa kini akan berefek pada inflasi di jangka
panjang.

Wilson (2009) meneliti dan mengkaji kembali pendekatan moneter terhadap


penentuan nilai tukar dan memberikan kajian sejarah mengenai pendekatan terhadap
pemerintah uang. Menggunakan metode ekonometrika yang terbaru dan skema riset
yang terperbaharui. Wilson menemukan fakta bahwa mata uang dolar terpengaruhi
sejarah signifikan dalam jangka panjang oleh tingkat harga negara-negara yang
menjadi patner perdagangan asing. Khususnya dalam jangka panjang, defisit anggaran
dan utang jatuh tempo mempunyai efek terhadap kestabilan nilai tukar

Penelitian Javad Ahmad, (2012) menggunakan metode OLS, menemukan dari


observasi utang dalam negeri dan rasio utang terhadap pendapatan dalam periode
1972 hingga 2009 berefek kepada peningkatan tingkat harga di Pakistan. Efek dari
volume utang dalam negeri dan rasionya terhadap pendapatan ditemukan positif dan
signifikan secara statistik. Utang yang mengambang (seperti treasury bills) dan
tingkat pengembaliannya yang tinggi merupakan unsur yang terbesar dari total utang
domestik, yang mana merupakan sekuritas jangka pendek dan mempunyai
pengembalian jangka pendek yang tinggi, meningkatkan pendapatan, permintaan
agregrat dan tingkat harga. Lanjutnya, tingkat suku bunga (yang merupakan biaya
dari peminjaman utang secara domestik atau rasio terhadap utang ) merupakan salah
satu alasan utama mengapa terjadi defisit anggaran di Pakistan. Maka, pemerintah
harus bergantung kepada berbagai sumber pendapatan untuk mendanai defisit
anggaran yang pada akhirnya menimbulkan inflasi. Implikasi kebijakannya adalah
dengan mengurangi utang domestik dengan cara memperbaharu sistem pajak dan
penurunan pengeluaran melalui reformasi structural
4. Model Penelitian dan Data

Model yang akan digunakan merupakan model determinasi nilai tukar berdasarkan
pendekatan moneter dengan memasukkan variabel fiskal yang merupakan proxy dari risiko
permintaan uang domestik. Dengan menggunakan keseimbangan pasar uang pada
persamaan (28), Wilson (2009) memperluas model yang dikembangkan oleh Kia
(2006) untuk menderivasi persamaan persamaan nilai tukar nominal efektif (EEt
indeks nilai tukar perdagangan tertimbang) sebagai berikut:

lEEt = δ0 + δ1lpt + δ2lpimportt + δ3lmst + δ4 it + δ5ly + δ6it* + δ7 ggdpt


........................................... (29)
+δ8 defgdpt + δ9 debtgdpt + δ10 fdebtgdpt + ut

dimana:
EE : Log Nominal Effective Exchangerate
P : Log IHK Indonesia
P_import : Log Indeks harga import
Ms : Log Jumlah uang beredar riil (M1 riil)
i : tingkat bunga nominal domestik (SBI 3 bulan)
i* : tingkat bunga nominal luar negeri
g : pengeluaran/belanja pemerintah atas barang per GDP
y : Log GDP Riil
defgdp : deficit anggaran pemerintah per GDP
debtgdp : outstanding obligasi (SUN) per GDP
fdgdp : ourtanding hutang luar negeri per GDP
Dummy : Dummy financial Crisis (1 : 2008 Q2 sd Q4; 0: others)

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series untuk
masing – masing variabel, yang bersumber dari International Financial Statistik (IFS-
IMF), Bank of International Settlement (BIS) dan Statisitik Ekonomi dan Keuangan
Indonesia (SEKI – BI). Series dalam penelitian ini adalah data kwartalan tahun 1990
Q1 sd 2015 Q2.

Alat analisis yang digunakan dalam pnelitian ini adalah Engle-Granger Error
Correction Model (EG-ECM). model koreksi kesalahan mampu meliputi banyak
variabel dalam menganalisis fenomena ekonomi jangka panjang serta mengkaji
konsistensi model empiris dengan teori ekonomi. Selain itu, model ini mampu
mencari pemecahan terhadap variabel time series yang tidak stasioner dan spurious
regression dalam ekonometri (Insukindro, 1999).

Spesifikasi koreksi kesalahan mencakup model-model dalam level maupun


perbedaan (diffrence). Mekanisme koreksi kesalahan harmonis dengan perilaku
ekuilibrium jangka panjang. Grenger Representation Theorem mengatakan bahwa
jika dua variabel berkointegrasi, kemudian terdapat hubungan antara kedua variabel
tersebut maka dapat di ekspresikan sebagai ECM.(Gujarati, 2003). Apabila variabel
dependen dan independen berkointegrasi, maka terdapat hubungan jangka panjang
antar variabel-variabel tersebut. Lebih lanjut, dinamika jangka pendek dapat
dijelaskan dengan mekanisme koreksi kesalahan. Sedangkan jika model koreksi
kesalahan merupakan model yang valid/sahi, maka variabel-variabel yang digunakan
merupakan himpunan variabel yang berkointegrasi. Sebaliknya, jika variabel-variabel
yang digunakan tidak berkointegrasi, maka residual dari ECM tidak stasioner dan
spesifikasi model menjadi tidak sahih (Insukindro, 1999:Isnowati, 2003). Gujarati
(2003) menyatakan secara ekonomis bahwa dua variabel akan berkointegrasi jika
mereka (variabel) mempunyai hubungan keseimbangan jangka panjang antara
mereka (variabel). Metodologi Engle - Grenger mencari untuk menentukan apakah
residual pada hubungan ekuilibrium adalah stasioner. (Enders, 2003).

Engle dan Granger (1987) menyatakan jika terjadi hubungan jangka panjang
sebagaimana dalam model ECM, maka disequilibrium error akan menjadi stasioner
dan memiliki nilai rata-rata nol. Selanjutnya residual residual hasil regresi kointegrasi
tersebut digunakan sebagai error term dalam ECM. (Insukindro, 1990; Thomas,
1997). Penurunan model dinamis Engle-Grenger Error Correction Model (EG-ECM)
dilakukan dengan metode Autoregressive Distributed Lag (ADL) dengan cara
memasukkan variabel kelambanan dalam model. Secara umum dapat dituliskan
sebagai berikut. (Thomas, 1997; Isnowati, 2003)
Δyt = lagged (Δy, Δx) – λut-1 + εt 0<λ<1
.......................................................................................................................................... (30)

Dimana Ut adalah residual regresi kointegrasi dan λ merupakan parameter


penyesuaian jangka pendek, pendekatan ini sesuai dengan Granger Representation
Theorem yaitu jika xt dan yt berkointegrasi, maka residual regresi kointegrasi, maka
u t juga akan stasioner.

5. Hasil Estimasi Model dan Analisis

1. Pengujian Unit Root Test


Tabel 1.Hasil Uji Root Test Variable

Unit Root Test Result Keterangan


Variabel ADF
Rasio 1st different
Debt/GDP(Domestik) -2.9204
Rasio Debt/GDP(Asing) -2.4052 Stasioner Pada Level
Rasio Deficit/GDP -1.90659 Stasioner Pada Level
G_GDP -10.07111 Stasioner Pada Level
I_TB -4.641584 Stasioner Pada Level
LCPI_ID -5.412101 1st different
1st different
LEER_ -5.61559
1st different
LGDP_REAL -9.660246
LM1 -3.162574 Stasioner Pada Level
1st different
LM2 -9.678163
1st different
LP_IMPORT -6.644538
L_SBI -1.81529 Stasioner Pada Level

Hasil Uji derajat integrasi diatas menunjukan bahwa semua variable dari data
asli yang tidak stasioner pada level telah dilakukan uji akar-akar unit pada first
difference telah mencapai Stasioneritas. Variable Rasio D/GDP(Domestik),LCPI_ID,
LEER, LGDP_REAL, LM1 dan LM2. dari hasil uji derajat integrasi telah mencapai
keadaan stasioner dengan uji akar-akar unit pada first difference karena nilai test
statistiknya signifikan pada critical value 10%.
2. Analisis Jangka Pendek dengan Menggunakan ECM (Error Correction Model)

Model estimasi Error Correction Model digunakan untuk menganalisa secara


dinamis perubahan Effective Exchange Rate mata uang Rupiah terhadap US dollar.
Tabel 2 menunjukkan hasil estimasi model ECM dalam jangka pedek dari nilai tukar
efektif Rupiah terhadap variable-variabel independennya

Hasil estimasi dinamis menunjukan bahwa model ECM yang digunakan telah
sesuai dengan kriteria sebagai model estimasi. Dimana Residual dari regresi ECM
(RESID01(-1)) sebesar -1.21752 (yang menunjukan speed of adjustment) bersifat
negatif dengan nilai probabilitas (F-Statistik) berada dibawah α= 0,05 sehingga
signifikan.
Tabel 2 Analisis Estimasi Dependent Variable Dengan Metode ECM
Error Correction Model

Variable Coefficient t- Prob. Hasil Uji Diagnostik


Statistic

C -0.01697 -1.852538 0.0729 R-squared 0.690426


D(LP) 0.597302 1.561244 0.128 Adjusted R-squared 0.577854
D(LP_IMPORT,2) -0.357883 -4.119224 0.0002* S.E. of regression 0.028706
D(LM1) 0.237852 2.923346 0.0062* Sum squared resid 0.027194
D(I_SBI) -0.005469 -0.931673 0.3583 Log likelihood 105.6974
D(LGDP_REAL,2) 0.191216 1.284539 0.2079 F-statistic 6.133179
D(I_TB) 0.001376 0.099324 0.9215 Prob(F-statistic) 0.000016
D(G_GDP) -8.02E-05 -0.000291 0.9998 Mean dependent var -0.00383
D(DEFICIT_GDP) 0.324419 1.381368 0.1764 S.D. dependent var 0.044182
D(DEBT_DOM_ 2) -20.28094 -3.545132 0.0012* Akaike info criterion -4.03032
D(DEBT_FOREIGN_GDP) 0.690054 0.314157 0.7554 Schwarz criterion -3.51353
DUM 0.005054 0.22569 0.8228 Hannan-Quinn -3.83673
criter.
RESID01(-1) -1.21752 -5.087162 0* Durbin-Watson stat 1.917522

Nilai koefisien regresi ECT (error correction term) yang sekaligus juga
menunjukkan kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) nilai tukar Rupiah
menuju ke keseimbangan dengan nilai sebesar -1.21752 artinya bahwa sekitar
121,752 % ketidaksesuaian antara Effective Exchange Rate Rupiah aktual (actual)
dengan Effective Exchange Rate yang diinginkan (desired) akan dieliminasi dalam satu
kuartal.

Dalam jangka pendek, variabel yang berpengaruh terhadap nilai tukar nominal
efektif Rupiah adalah variabel indeks harga impor, jumlah uang beredar (M1 riil) dan
hutang domestik (obligasi). Variabel indeks harga impor (log p_impor) dalam jangka
pendek berpengaruh negatif dan signifikan. Variabel tersebut menunjukkan
perubahan kenaikan tingkat harga satuan Impor sebesar satu persen selama satu
periode akan menyebabkan depresiasi mata uang rupiah sebesar 0,357883 (35%).
Kenaikan harga impor akan meningkatkan permintaan terhadap mata uang negara
mitra dagang, sehingga nilai tukar nominal Rupiah akan terdepresiasi.

Variabel MS menunjukan perubahan kenaikan jumlah uang beredar di dalam


negeri yang naik sebesar satu persen selama satu periode akan menyebabkan
apresiasi mata uang rupiah sebesar 0,237852 (23%). Temuan ini selaras dengan
sticky price model dalam pendekatan moneter terhadap nilai tukar. Dornbusch (1976)
menyatakan dalam jangka pendek akan terjadi kekakuan harga dan purchasing power
parity hanya akan terjadi dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan, ekspansi
moneter dalam jangka pendek tidak akan berpengaruh terhadap inflasi dan paritas
tingkat bunga tetap terjaga. Hal ini juga terkait dengan asumsi dalam pendekatan
harga kaku, dimana penawaran uang (jumlah uang beredar) merupakan variabel
endogen dari tingkat bunga. Ketika paritas tingkat bunga terjaga akibat tidak ada
gejolak harga dalam jangka pendek, penambahan jumlah uang beredar justru akan
mengakibatkan apresiasi.

Variabel hutang domestik (Debt_dom) pengaruh negatif dan signifikan. Kondisi


ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, ketika Pemerintah menambah
outstanding hutang domestik melalui penerbitan obligasi baru ini menunjukkan
adanya risiko memegang mata uang domestik semakin meningkat (Kia 2006a, Wilson,
2009). Risiko tersebut menjadi pertimbangan tersendiri bagi investor, sehingga
mengalihkan permintaan uang pada mata uang asing, sehingga nilai tukar nominal
Efektif Rupiah mengalami depresiasi.

3. Analisis Variabel dalam Jangka Panjang

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan variabel – variabel yang


berpengaruh terhadap nilai tukar efektif Rupiah. Meski demikian, variabel yang dalam
jangka pendek berpengaruh, dalam jangka panjang juga berpengaruh signifikan
dengan koefisien tanda yang sama dengan jangka pendek.
Tabel 3 Nilai Koefisien Variabel Independen Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Coefficient
Variable
Jangka Pendek Jangka Panjang
C -0.01697 -12.96232
D(LP) 0.597302 0.226932
D(LP_IMPORT,2) -0.357883** -0.505038**
D(LM1) 0.237852** 0.216142**
D(I_SBI) -0.005469 0.003781
D(LGDP_REAL,2) 0.191216 0.336733**
D(I_TB) 0.001376 0.007128
D(G_GDP) -8.02E-05 -0.286501
D(DEFICIT_GDP) 0.324419 0.141736
D(DEBT_DOM_GDP,2) -20.28094 -20.28925**
D(DEBT_FOREIGN_GDP) 0.690054*** 1.50454*
DUM 0.005054 0.055288**
RESID01(-1) -1.21752

*) signifikan pada α 1%; **) signifikan pada α 5%; ***) signifikan pada α 10%

Dalam jangka panjang, variabel yang berpengaruh signifikan terhadap nilai


tukar nominal efektif Rupiah adalah indeks harga impor (lp_import), jumlah uang
beredar riil (lm1), gdp riil (lgdp_real), hutang domestik/outstanding obligasi dan
dummy financial crisis.

Dalam jangka panjang, Table 3 menunjukan bahwa variable indeks harga


impor menimbulkan depresiasi secara signfikan terhadapa tingkat nilai tukar nominal
efektif Rupiah. Hasil ini menunjukan bahwa ketika tingkat harga barang impor dari
negara mitra dagang, maka akan meningkatkan permintaan mata uang negara mitra
dagang (penurunan nilai riil dari nilai tukar) sebagai akibat kenaikan biaya impor.
Temuan ini juga sama dengan temuan jangka pendek variabel indeks harga impor.

Variable jumlah uang beredar domestik dalam jangka panjang berpengaruh


positif dan signifikan terhadap nilai tukar efektif Rupiah. Temuan ini juga sama
dengan pengaruh jumlah uang beredar pada jangka pendek yang sesuai dengan
pendekatan stiky price model. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspansi moneter
dengan menambah jumlah uang beredar justru akan berpengaruh terhadap apresiasi.
Kondisi demikian tidak mendukung Hipotesis Dornbusch Overshoting yang
menyatakan bahwa dalam jangka panjang, ekspansi moneter akan berdapak pada
depresiasi mata uang domestik.

Koefisien GDP riil bernilai negatif dan signifikan. Artinya dalam jangka
panjang, kenaikan GDP Indonesia akan berdampak pada depresiasi nilai tukar efektif
Rupiah. Sesuai dengan model Mundell Fleming, kenaikan GDP akan meningkatkan
permintaan impor. Peningkatan permintaan impor akan meningkatkan permintaan
terhadap mata uang mitra dagang, sehingga nilai tukar efektif Rupiah dalam jangka
panjang akan terdepresiasi.

Koefisien estimasi dari nilai utang domestik bersifat negatif memberikan


gambaran bahwa ketika tingkat utang dalam negari bertambah maka Pemerintah
menerbitkan Obligasi yang lebih banyak akibat kebijakan fiskal yang ekspansif,
sehingga menimbulkan resiko yang lebih tinggi dalam memegang mata uang rupiah
bagi para investor, akibatnya nilai mata uang rupiah akan mengalami depresiasi
dalam jangka panjang. Temuan ini mendukung kajian Wilson (2009).

Variabel Dummy menunjukan hasil yang menarik dengan nilai koefisien


estimasi bersifat positif signifikan yang menunjukan ketika terjadi krisis finansial di
tahun 2008, terjadi aliran modal masuk di emerging market, termasuk Indonesia.
Kondisi demikian disebabkan karena, memegang Dollar dan beberapa mata uang
Eropa merupakan sebuah risiko investasi. Derasnya aliran modal masuk pada saat
dan setelah krisis finansial 2008 – 2009 melimpahnya supply mata uang asing,
termasuk Dollar sehingga nilai tukar efektif Rupiah mengalami apresiasi.

Dapat kita lihat sementara dari hasil ECM bahwa ,hanya nilai Error Correction
Term dan lag dependent variable yang bersifat signifikan secara statistik. Hasil ini
menunjukan bahwa dalam jangka panjang EER bersifat independen terhadap
defisit,dan nilai exchange rate real dan dummy. Hal yang berbeda dari jangka panjang
adalah efek dummy terhadap EER bersifat positif signifikan. Hal ini menunjukan
dalam jangka pendek ketika terjadinya krisis investor lebih cenderung tidak
melakukan kegiatan yang beresiko sehingga tetap menyimpan asetnya di luar negeri.

Analisa diatas menunjukan bahwa nilai EER dalam jangka panjang


dipengaruhi oleh tingkat jumlah uang beredar di dalam negeri yang bertambah
menyebabkan nilai tukar efektif Rupiah mengalami apreasiai. Lalu nilai utang
domestik dalam bentuk obligasi memberikan dampak signifikan terhadap depresiasi
mata uang rupiah dan terakhir adanya kenaikan tingkat harga barang impor yang
mengakibatkan bertambahnya permintaan mata uang asing akibat bertambahnya biar
impor. Karena penghitungan EER sangat berkaitan dengan nilai perdagangan ekspor-
impor bilateral antar negara (dalam hal ini Indonesia dan Amerika Serikat) serta
inflasi dari tiap-tiap negara, maka kenaikan harga barang impor akan sangat
berpengaruh secara signifikan terhadap nilai tukar efektif Rupiah.

6. Simpulan

Pendekatan moneter terhadap nilai tukar digunakan untuk melihat variabel


apa saja yang berpengaruh terhadap nilai tukar efektif Rupiah. Penelitian ini
mengadopsi model yang dikembangkan oleh Wilson (2009) yang mengaplikasikan
pendekatan moneter untuk menganalisa variabel yang mempengaruhi pergerakan
nilai tukar efektif. Hasil kajian menunjukkan, dalam jangka pendek variabel yang
berpengaruh terhadap nilai tukar efektif Rupiah adalah kenaikan indeks harga impor
yang menyebabkan depresiasi, penambahan jumlah uang beredar yang menyebabkan
apresiasi dan outstanding hutang (obligasi domestik) yang menyebabkan depresiasi.
Model juga menunjukkan kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) nilai tukar
Rupiah menuju ke keseimbangan dengan nilai sebesar -1.21752 artinya bahwa sekitar
121,752 % ketidaksesuaian antara Effective Exchange Rate Rupiah aktual (actual)
dengan Effective Exchange Rate yang diinginkan (desired) akan dieliminasi dalam
satu kuartal. Dalam jangka panjang, nilai tukar efektif Rupiah dipengaruhi oleh indeks
kenaikan indeks harga impor yang menyebabkan depresiasi, penambahan jumlah
uang beredar yang menyebabkan apresiasi, peningkatan GDP yang menyebabkan
depresiasi. Sementara penambahan hutang domestik melalui penerbitan obligasi juga
berdampak pada depresiasi nilai tukar efektif Rupiah. Dampak krisis finansial juga
berpengaruh dalam jangka panjang terhadap apresiasi nilai tukar efektif Rupiah.

Daftar Pustaka
Ahmad, Muhammad Javed. 2012. “Domestic Debt and Inflationary Effects : An
Evidence from Pakistan” 2 (18): 256–63.
Dornbusch, Rudiger. 1976. “Expectations and Exchange Rate Dynamics.” The Journal
of Political Economy. JSTOR, 1161–76.
Du, Hongwei, and Zhen Zhu. 2001. “The Effect of Exchange-Rate Risk on Exports:
Some Additional Empirical Evidence.” Journal of Economic Studies 28 (2). MCB UP
Ltd: 106–21.
Egwaikhide, Festus O, Louis N Chete, and Gabriel O Falokun. 1994. “Exchange Rate
Depreciation, Budget Deficit and Inflation: The Nigerian Experience.” AERC.
Engle, Robert F, and Clive W J Granger. 1987. “Co-Integration and Error Correction:
Representation, Estimation, and Testing.” Econometrica: Journal of the
Econometric Society. JSTOR, 251–76.
Evans, John Sidney. 1992. International Finance: A Markets Approach. Dryden Pr.
Frenkel, Jacob A. 1976. “A Monetary Approach to the Exchange Rate: Doctrinal
Aspects and Empirical Evidence.” The Scandinavian Journal of Economics. JSTOR,
200–224.
Frenkel, Jacob A. 1979. “International Reserves: Adjustment Dynamics.” Economics
Letters 4 (3). Elsevier: 267–70.
Gujarati, Damodar N. 2003. “Basic Econometrics. 4th.” New York: McGraw-Hill.
Johansen, Søren. 1988. “Statistical Analysis of Cointegration Vectors.” Journal of
Economic Dynamics and Control 12 (2). Elsevier: 231–54.
Kia, Amir. 2006a. “Deficits, Debt Financing, Monetary Policy and Inflation in
Developing Countries: Internal or External Factors?: Evidence from Iran, Turkey
and Egypt.” Journal of Asian Economics 17 (5). Elsevier: 879–903.
Kia, Amir. 2006b. “Money, Deficits, Debts and Inflation in Emerging Countries:
Evidence from Turkey.” The Global Review of Accounting and Finance 1 (1): 136–
51.
Klau, Marc, and San Sau Fung. 2006. “The New BIS Effective Exchange Rate Indices.”
BIS Quarterly Review, March.
MacDonald, Ronald, and Mark P Taylor. 1991. “The Monetary Approach to the
Exchange Rate: Long-Run Relationships and Coefficient Restrictions.” Economics
Letters 37 (2). Elsevier: 179–85.
Sargent, Thomas J, and Neil Wallace. 1981. “Some Unpleasant Monetarist Arithmetic.”
Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5 (3): 1–17.
Turner, Philip, and Jozef Van’t Dack. 1993. Measuring International Price and Cost
Competitiveness. Bank for International Settlements, Monetary and Economic
Department.
Wilson, Ian. 2009. “The Monetary Approach to Exchange Rates: A Brief Review and
Empirical Investigation of Debt, Deficit, and Debt Management: Evidence from
the United States.” The Journal of Business Inquiry 8 (1): 83–99.
Zivot, Eric, and Donald W K Andrews. 2002. “Further Evidence on the Great Crash, the
Oil-Price Shock, and the Unit-Root Hypothesis.” Journal of Business & Economic
Statistics 20 (1). Taylor & Francis: 25–44.

Anda mungkin juga menyukai